NovelToon NovelToon

Pengisi Hati Tuan Muda Kesepian

00.01 (Revisi)

"DAVAAAA, AWASSSSS"

BRAKKK....

Malam yang biasanya tenang dan sunyi, mendadak berubah menjadi mencekam. Hanya suara desiran angin yang terdengar sebelumnya, kini tergantikan oleh sebuah dentuman keras yang mengguncang udara. Suara itu seperti petir yang menyambar, memecah keheningan malam. Sejenak, semua terdiam, seolah waktu berhenti. Beberapa orang yang tengah perjalanan pulang berhenti sejenak, matanya terbelalak mencari asal suara.

Tiba-tiba, terdengar dentuman keras dari sebrang jalan, ketegangan di hati mereka yang sedang melakukan aktivitas di jalanan. Sebagian orang berlari ke sebrang, mencari sumber suara. Di antara mereka, wajah-wajah yang cemas dan pucat, bibir yang terkatup rapat, berusaha menahan rasa takut. Seseorang menggigil, sementara yang lain terdiam, menatap kosong ke arah kegelapan yang menyelimuti.

Angin malam semakin kencang berhembus, membawa aroma tanah basah dan suara gemerisik daun-daun kering. Di balik bayangan pepohonan yang rimbun, tampak sesosok bayangan bergerak cepat, namun tak ada yang tahu pasti apa itu. Hati setiap orang berdebar, ketakutan bercampur rasa ingin tahu yang tidak terucapkan. Suasana semakin pilu, seakan malam ini menyimpan sesuatu yang tak ingin diungkapkan.

......***......

Helen dan Robert pasangan suami istri yang sedang berbahagia menanti kehadiran putra mereka yang ke tiga, tapi kali ini bukan hanya satu putra saja tapi ada tiga dalam kandungan helen 2 seorang putra dan 1 seorang putri sedang bersemayam dalam kandungan Helen.

penantian panjang yang yang mereka nantikan akan segera hadir, usia kandungan sudah sangat matang hanya tinggal hitungan minggu saja dan mereka siap kedatangan anggora baru di keluarga nya.

namun di usianya kandungan yang belum semestinya untuk lahir, helen mengalami penurunan kesehatan, perutnya mulai berkontraksi membuat nya merasakan sakit yang sangat parah

Tak kuasa dengan rasa sakit yang dia rasakan ia berteriak memanggil suaminya yang sedang berada di ruang kerjanya, Helen merosot kebawah karena tidak tahan menahan perutnya yang terus bergejolak

AAAAAA

teriaknya begitu nyaring hingga terdengar di sepanjang lorong dan ruang an, Robert yang sedang berkecamuk dengan laporan laporan perusahaan tersentak mendengar teriakkan istrinya.

Robert sengaja untuk bekerja dari rumah karna khawatir dengan kondisi istri tercinta nya.

semua orang yang mendengar teriakkan Helen langsung berlari menuju kearahnya dan dengan panik melihat keadaan nya yang terus kesakitan

Bi Ijah kepala pelayan rumah dan beberapa pelayan ikut panik dan segera menghampiri tuanya untuk memberi tahu keadaan sang nyonya, seisi rumah ini berguncang karna kondisi dari Nyonya besar rumah ini sedang di landa rasa sakit

Robert yang mendengar suara istrinya langsung berlari menuju ruang tengah, saat ia keluar dari ruangan nya ia bertemu dengan salah satu pelayan rumah yang hendak memanggil nya, dengan raut wajah cemas ia mengatakan dengan terbata bata

"Tuan, nyonya Tuan"

Robert mengangguk dan segera pergi ke ruang tengah tempat istrinya tengah menahan kontraksi, dengan segera ia memanggil istrinya dengan panik segera mengangkat tubuh istrinya dan berteriak pada bawahan nya.

"sayang!, cepat siapkan mobil!"

Langit yang penuh awan putih, dengan terik mataharii semakin menambah sensasi ketegangan. Kegelisahan dalam hati Robert semakin membara. Ia memegang setir mobil dengan cemas, matanya sesekali melirik ke arah Helen yang duduk di kursi penumpang, wajahnya memucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Kontraksi yang datang lebih cepat dari yang mereka harapkan telah memecah keheningan malam.

Helen menggenggam tangan Robert dengan erat, matanya terpejam, dan bibirnya menggigit, menahan rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kali gelombang kontraksi datang, tubuhnya menegang, membuatnya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengeluarkan suara kecil, menahan rasa sakit. Wajahnya terlihat lelah, namun ada semangat di balik kesakitannya—semangat untuk menyambut tiga nyawa yang ada di dalam perutnya.

“Tenang, sayang. Kita hampir sampai," kata Robert dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan. Ia berusaha keras untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Rasa cemas menyelimuti, takut jika bayi-bayi mereka datang terlalu cepat, lebih cepat dari yang seharusnya.

Di luar, jalanan terasa padat, Robert menekan pedal gas lebih dalam membelah jalanan, berharap mereka bisa sampai ke rumah sakit secepat mungkin. Suara mesin mobil yang menggulung seolah ikut bersaing dengan deru napas Helen yang terengah-engah.

“Robert...” Suara Helen terdengar parau, penuh kepanikan. “Ini... sakit sekali. Aku takut… terlalu cepat, kan? Aku tidak siap, ini belum waktunya.”

Robert menggenggam tangan Helen lebih erat, berusaha menenangkan, meskipun dadanya terasa sesak. “Kita sudah siap, Helen. Kamu kuat. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan ini hanya langkah terakhir. Kita akan sampai ke sana, dan semua akan baik-baik saja."

Namun, meskipun ia mencoba menenangkan, ada rasa tak pasti yang merayap di benaknya. Bagaimana jika ini berisiko? Bagaimana jika bayi-bayi mereka lahir lebih cepat dari yang bisa ditangani? Setiap detik terasa seperti sebuah perjalanan yang memisahkan antara ketenangan dan ketegangan, antara harapan dan kecemasan.

Helen menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang semakin tak bisa ia kendalikan. “Robert… aku merasa seperti… ini akan terjadi sekarang juga,” katanya dengan suara tercekat, matanya membuka, penuh rasa takut dan kebingungan.

“Jangan khawatir, sayang. Kita sudah hampir sampai,” jawab Robert, meskipun nada suaranya semakin serak, tak mampu menyembunyikan kegugupan yang membuncah.

Sekali lagi, kontraksi datang menghampiri, lebih kuat dan lebih sering. Helen menutup mata, menggenggam tangan suaminya lebih erat lagi. Suara Helen yang sesekali terlepas dalam isakan, membuat hati Robert semakin teriris. Ia memaksakan diri untuk tidak melihat ke belakang, meski tubuh Helen sudah menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang tak terbendung.

Mobil terus melaju, menggulung jalanan yang kosong, namun setiap detiknya semakin terasa semakin berat. Ketegangan antara mereka berdua seperti menghimpit ruang di dalam mobil. Namun, di tengah rasa takut itu, ada pula kekuatan yang tumbuh. Kekuatan yang datang dari kenyataan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa mereka berdua, dan bayi-bayi mereka, akan melewati ini bersama.

“Robert... aku… aku takut,” suara Helen kembali terdengar, kali ini lebih lembut, hampir seperti bisikan.

Robert menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu berkata, “Aku di sini, sayang. Kita bersama-sama.”

Ketika mobil mereka akhirnya menyentuh pintu gerbang rumah sakit, hati Robert merasa lega sejenak, meskipun kecemasan masih membayangi. Begitu pintu mobil terbuka, perawat segera mendekat, dan mereka dengan cepat membantu Helen keluar dari mobil.

Hari yang sebelumnya damai dan santai, kini berubah menjadi penuh ketegangan. Robert menggenggam tangan Helen saat mereka berjalan menuju ruang bersalin, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah berdoa, berharap kelahiran anak kembar tiga mereka dapat berjalan lancar.

sampainya di koridor rumah sakit langkah kaki perawat yang terburu buru segera menghampiri suara roda bangsal rumah sakitpun semakin membuat suasana semakin cemas. Kontraksi yang datang lebih awal, jauh sebelum perkiraan dokter, membuat segalanya terasa lebih mendesak.

Suasana di ruang bersalin itu terasa penuh harapan dan kekhawatiran. Helen, dengan perut yang semakin membesar, duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan Robert dengan erat. Mereka saling menatap, seakan menguatkan satu sama lain. Selama sembilan bulan terakhir, mereka telah menantikan momen ini—kelahiran anak kembar tiga mereka, yang sudah mereka bayangkan akan menjadi anugerah terbesar dalam hidup mereka.

Robert, meski tampak tenang, tidak bisa menyembunyikan kilatan kecemasan di matanya. Ia memegang tangan Helen dengan penuh perhatian, wajahnya penuh harap. "Bunda, kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya lembut, mencoba menenangkan.

Helen mengangguk, meski napasnya mulai terengah. Ia merasakan sedikit ketegangan di perutnya, namun masih menganggap itu bagian dari proses normal. Mereka berdua tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kegugupan. Namun, suasana yang tenang itu tiba-tiba pecah dengan suara keras.

"Hhh... Robert, sakit!" Helen berteriak pelan, wajahnya berubah menjadi pucat. Tiba-tiba, rasa nyeri yang kuat menyerang perutnya, memaksanya untuk meremas tangan suaminya lebih erat lagi. Wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Robert terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Helen? Apa yang terjadi? Ini... ini terlalu cepat!" Ia segera berdiri, tampak cemas, matanya mencari-cari bantuan. Sesuatu yang tak terduga terjadi—kelahiran anak kembar tiga yang seharusnya masih beberapa hari lagi kini mendekat lebih cepat dari yang mereka harapkan.

Helen menahan rasa sakit yang datang begitu mendalam. "Aku rasa... ini... kontraksi, Robert," katanya dengan suara tercekat. "Tapi, ini... terlalu cepat, bukan? HPL masih beberapa hari lagi..."

Robert mengusap keringat di dahi Helen, dan meskipun ia berusaha tenang, ketegangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan. "Tenang, sayang. Kita sudah di ruang bersalin sekarang," kata Robert, berusaha meyakinkan, meskipun hatinya sendiri penuh kekhawatiran.

Dalam detik-detik yang menegangkan itu,

Helen menggigit bibir, menahan rasa sakit yang semakin hebat. "Aku takut, Robert," suaranya gemetar. "Apa semuanya akan baik-baik saja?"

Robert menatapnya dengan penuh kasih, mencoba menenangkan. "Anak-anak kita kuat, dan kamu juga. Kamu bisa melaluinya, Helen. Kita sudah menunggu momen ini. Semua akan baik-baik saja."

Namun, meskipun ia mencoba menunjukkan keberanian, dalam hatinya, Robert merasakan ketakutan yang sama mendalam. Mereka hanya bisa berdoa, berharap segala sesuatunya berjalan lancar. Saat perawat datang dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya, satu-satunya yang mereka tahu adalah kenyataan bahwa kelahiran anak-anak mereka—yang sudah lama dinantikan—akan segera dimulai, lebih cepat dari yang mereka bayangkan.

Ruangan bersalin itu penuh dengan suara mesin yang berdengung dan langkah kaki para perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan. Di sudut ruangan, Robert berdiri dengan cemas, menatap Helen yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak pucat dan penuh kelelahan, namun yang paling mengganggu pikirannya adalah rasa sakit yang semakin hebat yang dirasakan Helen—serta kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Helen terbaring dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya menggigil di bawah selimut tipis. Matanya yang terpejam sesekali terbuka, menatap Robert dengan ekspresi kesakitan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tubuhnya sudah lelah, namun kontraksi masih datang, lebih kuat dan lebih sering.

Robert memegang erat tangan Helen, mencoba memberikan kekuatan dengan senyum yang bahkan ia sendiri tahu tidak meyakinkan. Namun, saat itu juga, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita, yang tampaknya sudah memeriksa kondisi Helen, masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, beberapa perawat segera mengikuti, membawa peralatan medis.

“Tuan Robert,” dokter itu memanggil, dan suaranya yang tenang tapi tegas membuat jantung Robert berdegup lebih kencang. “Kita perlu bicara.”

Robert berdiri sedikit lebih tegak, berusaha menutupi rasa cemas di wajahnya dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Dok?”

Dokter itu menghela napas sebelum berbicara, memandang Robert dengan penuh perhatian. “Keadaan Istri anda menurun. Kita sudah melakukan pemeriksaan, dan ada beberapa komplikasi. Bayi-bayi kembar di dalam kandungannya tersangkut, dan detak jantung mereka mulai menurun. Ini bisa membahayakan mereka dan ibunya jika dibiarkan berlanjut.”

Robert terdiam sejenak, kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar. “Apa maksudnya, Dok? Apa yang harus dilakukan?” suara Robert mulai pecah, suaranya terbata-bata, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah dokter itu.

Dokter itu menatapnya dengan serius. “Kami harus melakukan operasi sesegera mungkin, Robert. Persalinan normal sudah tidak memungkinkan lagi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan anak-anaknya.”

Robert merasa seolah dunia berputar lebih cepat. Rasa cemas dan ketakutan yang selama ini ia coba sembunyikan kini datang menghujam begitu mendalam. Ia menoleh ke arah Helen yang kini mulai terisak, wajahnya penuh ketakutan. Robert menggenggam tangan Helen dengan kuat, berusaha memberi dukungan, meski hatinya penuh dengan kecemasan yang sama.

“Helen, sayang…” Robert berkata pelan, suaranya bergetar. “Dokter akan membantu kita, semuanya akan baik-baik saja.”

Helen memandangnya dengan mata yang basah, mulutnya terbuka ingin berkata sesuatu, namun rasa sakit membuat suaranya terhenti. Air matanya mengalir deras, wajahnya penuh ketakutan. "Robert… aku… aku takut..." katanya dengan suara terengah-engah.

Robert mengusap air matanya, lalu menatap dokter itu dengan penuh harap. “Tolong… lakukan apa yang harus dilakukan, Dok.”

Dokter itu mengangguk dan mendekat. “Kami akan membawa Helen ke ruang operasi sekarang. Prosedurnya harus segera dilakukan sebelum kondisinya semakin memburuk. Kamu harus menunggu di luar, Robert. Kami akan memberi kabar setelahnya.”

Robert merasakan dadanya terhimpit. “Tapi… aku harus di sana, bersama Helen…”

Dokter itu menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata lembut. “Kamu harus kuat, Robert. Kami akan lakukan yang terbaik. Helen akan baik-baik saja, dan bayi-bayi kalian juga.”

Robert mengangguk lemah, meskipun rasa cemas semakin menggulung di perutnya. Ia mencium tangan Helen dengan lembut, memandang wajah istrinya yang tampak begitu lemah. "Aku cinta kamu, sayang. Aku akan menunggumu."

Helen hanya bisa mengangguk, matanya yang lelah menatap suaminya dengan penuh harapan dan ketakutan. Sebelum perawat dan dokter membawa Helen keluar dari ruang bersalin, Robert memberikan ciuman terakhir di dahinya, dan dengan hati yang berat, ia melangkah mundur, meninggalkan ruangan itu, berdoa dalam hati bahwa semuanya akan berjalan lancar.

Suasana di luar terasa begitu sunyi, dan meskipun lampu-lampu rumah sakit berkelip terang, Robert merasa seakan malam itu begitu gelap. Ia duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan cemas yang menyelimutinya, menunggu, berharap, dan berdoa agar istrinya dan anak-anak mereka selamat.

...***...

Ruangan bersalin itu penuh dengan suara mesin yang berdengung dan langkah kaki para perawat yang sibuk mempersiapkan peralatan. Di sudut ruangan, Robert berdiri dengan cemas, menatap Helen yang terbaring di ranjang. Wajahnya tampak pucat dan penuh kelelahan, namun yang paling mengganggu pikirannya adalah rasa sakit yang semakin hebat yang dirasakan Helen—serta kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Helen terbaring dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya menggigil di bawah selimut tipis. Matanya yang terpejam sesekali terbuka, menatap Robert dengan ekspresi kesakitan yang tak bisa lagi disembunyikan. Tubuhnya sudah lelah, namun kontraksi masih datang, lebih kuat dan lebih sering.

Robert memegang erat tangan Helen, mencoba memberikan kekuatan dengan senyum yang bahkan ia sendiri tahu tidak meyakinkan. Namun, saat itu juga, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita, yang tampaknya sudah memeriksa kondisi Helen, masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, beberapa perawat segera mengikuti, membawa peralatan medis.

“Robert,” dokter itu memanggil, dan suaranya yang tenang tapi tegas membuat jantung Robert berdegup lebih kencang. “Kita perlu bicara.”

Robert berdiri sedikit lebih tegak, berusaha menutupi rasa cemas di wajahnya dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Dok?”

Dokter itu menghela napas sebelum berbicara, memandang Robert dengan penuh perhatian. “Keadaan ibunya menurun. Kita sudah melakukan pemeriksaan, dan ada beberapa komplikasi. Bayi-bayi kembar di dalam kandungannya tersangkut, dan detak jantung mereka mulai menurun. Ini bisa membahayakan mereka dan Helen jika dibiarkan berlanjut.”

Robert terdiam sejenak, kata-kata dokter itu seperti petir yang menyambar. “Apa maksudnya, Dok? Apa yang harus dilakukan?” suara Robert mulai pecah, suaranya terbata-bata, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah dokter itu.

Dokter itu menatapnya dengan serius. “Kami harus melakukan operasi sesegera mungkin, Robert. Persalinan normal sudah tidak memungkinkan lagi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu dan anak-anaknya.”

Robert merasa seolah dunia berputar lebih cepat. Rasa cemas dan ketakutan yang selama ini ia coba sembunyikan kini datang menghujam begitu mendalam. Ia menoleh ke arah Helen yang kini mulai terisak, wajahnya penuh ketakutan. Robert menggenggam tangan Helen dengan kuat, berusaha memberi dukungan, meski hatinya penuh dengan kecemasan yang sama.

“Helen, sayang…” Robert berkata pelan, suaranya bergetar. “Dokter akan membantu kita, semuanya akan baik-baik saja.”

Helen memandangnya dengan mata yang basah, mulutnya terbuka ingin berkata sesuatu, namun rasa sakit membuat suaranya terhenti. Air matanya mengalir deras, wajahnya penuh ketakutan. "Robert… aku… aku takut..." katanya dengan suara terengah-engah.

Robert mengusap air matanya, lalu menatap dokter itu dengan penuh harap. “Tolong… lakukan apa yang harus dilakukan, Dok.”

Dokter itu mengangguk dan mendekat. “Kami akan membawa Helen ke ruang operasi sekarang. Prosedurnya harus segera dilakukan sebelum kondisinya semakin memburuk. Kamu harus menunggu di luar, Robert. Kami akan memberi kabar setelahnya.”

Robert merasakan dadanya terhimpit. “Tapi… aku harus di sana, bersama Helen…”

Dokter itu menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata lembut. “Kamu harus kuat, Robert. Kami akan lakukan yang terbaik. Helen akan baik-baik saja, dan bayi-bayi kalian juga.”

Robert mengangguk lemah, meskipun rasa cemas semakin menggulung di perutnya. Ia mencium tangan Helen dengan lembut, memandang wajah istrinya yang tampak begitu lemah. "Aku cinta kamu, sayang. Aku akan menunggumu."

Helen hanya bisa mengangguk, matanya yang lelah menatap suaminya dengan penuh harapan dan ketakutan. Sebelum perawat dan dokter membawa Helen keluar dari ruang bersalin, Robert memberikan ciuman terakhir di dahinya, dan dengan hati yang berat, ia melangkah mundur, meninggalkan ruangan itu, berdoa dalam hati bahwa semuanya akan berjalan lancar.

Suasana di luar terasa begitu sunyi, dan meskipun lampu-lampu rumah sakit berkelip terang, Robert merasa seakan malam itu begitu gelap. Ia duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan cemas yang menyelimutinya, menunggu, berharap, dan berdoa agar istrinya dan anak-anak mereka selamat.

istrinya di pindahkan ke ruang perawatan VVIP dengan segala kenyamanan dan kemewahan, pelayanan terbaik di rumah sakit ini sebagai pasien istimewa. Rumah sakit ini adalah rumah sakit elite di ibu kota.

Beberapa bulan kemudian

2 anak mereka sudah bisa mereka peluk, dirawat dalam satu ruangan dengan Helen sang ibu. Robert memberikan mereka nama Davi Anggara Ramsay anak yang lahir lebih dulu dan putri kedua dengan jarah 5 menit bernama Devi Anggareta Ramsay satu lagi anak terakhir dengan jarah waktu 7 menit bernama Dava Anggara Ramsay

Dava masih berada di ruang ICU.

Robert berada di balik kaca ruangan, melihat putra nya di dalam lengkap dengan selang dan alat yang membantu ia tetap bertahan hidup..

mata Robert memanas melihat kondisi putra nya, mata yang biasanya terlihat tajam dan dingin kini berubah menjadi sendu dan penuh harap, keadaan ini mengingatkan nya pada kejadian beberapa tahun lalu, ia tidak menyangka bahwa ini akan terulang kembali.

Hari demi hari, minggu demi Minggu berlalu kondisi Dava kini mulai membaik

4 bulan sudah berlalu waktu terasa begitu cepat berjalan, bayi kembar tiga itu semakin hari semakin menggemaskan. mereka sudah aktif bermain dengan hal hal yang berada di sekitar nya..

meski masih harus dirawat di rumah sakit Dava juga masih terlihat sangat aktif dan sangat menggemaskan, dengan selang oksigen yang masih menempel di hidung dan mulutnya.

...***...

"kondisi nya sudah stabil, perlu saya sampaikan dia memiliki kelainan jantung tetap jaga imun nya, dia juga memiliki tubuh yang sensitif hindari dari benturan, di bawah sinar matahari terlalu lama, sekecil apa pun lukanya bisa menjadi pemicu gejala lain, tetap kontrol satu minggu sekali, besok sudah boleh pulang", kata Dokter Harun

genap usia satu setengah tahun, untuk pertama kalinya nya Dava akan keluar dari rumah sakit, pertama kali nya ia akan melihat mansion keluarga Ramsay...

sorak ramai dari sebuh ruangan penuh dengan pemainan dan banyak anak sedang bermain di sana

disinilah tempat paling di sukai anak anak di rumah sakit

ruangan itu juga menjadi saksi bisu bagi kebahagiaan anak yang sedang berjuang mempertaruhkan hidup dan matinya, melawan rada sakit yang ia terima dari ribuan jarum suntik

tempat ini pula yang membuat mereka bahagian sementara dan melupakan segala rasa sakit yang di deritanya

Begitu pula Dava telah banyak menghabiskan waktunya di sana bermain berlari dan berteman

"Dava, ikut mama yuk, kita pulang" ucap Helen sambil mengangkat tangan sejajar dada

Hari ini adalah hari penantian panjang untuk Robert dan Helen mereka bisa membawa putra bungsu mereka pulang ke mansion

Namun karna minim nya Dava bertemu dengan mama nya membuat ia merasa asing dengan seseorang di depan nya.

merasa asing dan canggung bercampur takut membuat Dava lari kearah Siska.

Siska suster yang selalu berada di samping Dava dari usia nya menginjak 3 bulan, di samping itu ia juga bersama Rio rekan kerjanya..

mereka berdua adalah perawat yang setia menemani Dava,

duh dah kayak keluarga deh ibu bapak anak..

melihat kedekatan mereka Robert dan Helen merasa cemburu, dan merasa sedih akan hal itu.

Robert menyadari kesedihan sang istri dan ia menggenggam tangan nya sembari memberi dukungan pada sang istri.

melihat kedekatan Dava dan dua perawat itu Helen dan Robert memutuskan untuk membawa Siska dan Rio ke mansion untuk tetap merawat Dava.

selama perjalanan menuju rumah Dava hanya menempel pada Siska, mereka duduk di kursi belakang bersama helen di samping siska rio dan rober di kursi depan denga Robert yang mengendarai

Sesekali Helen akan mengambil kesempatan untuk menarik perhatian putra nya. Hingga mereka sampai di depan gerbang mansion Ramsay. Dava tertidur saat perjalanan

Bimo yang melihat mobil tuanya telah kembali segera bejaga untuk menyambut dan membuka pintu mobil, sebelum itu dia juga sudah menyiapkan kereta bayi untuk berjaga jaga.

sampai di pintu utama mansion Ramsay, mansion dengan segala fasilitas, mereka memasuki pintu utama dengan kreta bayi yang mereka dorong,..

disambut dengan teriakan anak laki laki usia 7 tahun. "mamaaaa" teriak Kevan tuan muda ke tiga dari keluarga Ramsay..

"mama, apa Dava sudah boleh pulang? apa dia tidak akan kembali ke rumah sakit? dia sudah boleh main dengan kita kan?" rentangan pertanyaan di lontarkan oleh Kevan, yang sangat antusias dengan kepulangan nya.

bukan hanya Kevan saja namun juga Kevin serta Nadia anak tertua Robert dan Helen..

"mama apa aku boleh menggendongnya,?"-Nadia

Helen berdiri mensejajarkan tinggi nya dengan putri nya "Sayang untuk sekarang Dava belom bisa di gendong sembarangan, kan dia baru saja keluar dari rumah sakit, kita juga harus sangat berhati-hati menjaga nya"

"okee ma, kalau gitu aku akan menjaganya dengan saamngat baik"

"aku juga,aku juga aku akan menjaga nya dengan sangat baik" sambung Kevan dan Kevin bersamaan

Dava yang sedang tidur dalam troli baby merasa terusik dengan perbincangan Kakak-kakak dan kedua orang tuanya..

perlahan mulai membuka mata bulat nya, pipi tembem dan merah, terlihat sangat lucu..

Dava yang belum terbiasa dengan suasana dan keadaan ini terkejut dan merasa takut.

...******...

Satu bulan berlalu Dava mulai terbiasa dan mulai mengenal keluarga nya, tapi tetap masih menempel pada Helen atau Robert..

rupanya Robert dan Helen berhasil menarik hati Dava, ada kala nya ia akan menempel pada Nadia atau Kevin...

Disaat ia menempel pada Helen ada rasa iri di hati dua kembaran nya Davi dan Diva dan menimbulkan, pertengkaran kecil...

tapi kereka bisa mengatasinya dengan memberi pengertian sedikit demi sedikit pada keluarga nya

Di usia dini mereka membaca keadaan sekitar, sepertinya keluarga Ramsay memiliki kecerdasan di atas usia mereka, tidak lupa mereka juga di bantu oleh Nadia yang perlahan lahan menjelaskan pada mereka...

Dava tumbuh menjadi anak yang ceria dengan dukungan keluarga dan saudaranya ia berhasil melewati masa masa sulit, kini ia sudah jarang pergi ke rumah sakit, meski hanya sebatas cek darah. ia hanya perlu pemeriksaan di rumah..

usianya sudah menginjak usia 7 tahun, dia sudah mulai aktif bersekolah pada umum nya anak seusia nya, meski keputusan untuk ia pergi bersekolah menjadi perdebatan panjang dalam keluarga..

Robert yang sangat posesif terhadap putra bungsu nya itu tidak setuju Dava pergi ke sekolah, ia memilih agar Dava Homeschooling saja..

Tapi Helen membiarkan untuk ia pergi ke sekolah, karna melihat antusias Dava saat melihat kakak nya berangkat sekolah dan selalu merengek untuk ikut bersekolah...

Akhirnya Robert mengalah dan membiarkan Dava pergi ke sekolah, mereka bersekolah di RM schooling internasional. Tidak lain adalah milik keluarga Ramsay sendiri..

...***...

~Taman~

"Dava, jangan jauh jauh, Dava jangan lari-lari nanti capek, Dava ayo makan dulu" -Helen

" Aduh, Mama kenapa cerewet sekali" gerutu Dafa yang mendengar mama nya berulang kali memanggil nya

"sudah lah ayo kita kembali" saut Davi saat mendengar Dava berdecak kesal, meski Dava mengucapkan dengan pelan namun cukup jelas di dengar Davi..

"yaa sudah ayo kita kembali" -kevin & Nadia

mereka semua kembali ke tempat orang tua mereka duduk, sedangkan Dava masih berdiri di tempat melihat ke arah keluarga nya dengan wajah lesung, pasal nya ia Masih ingin bermain.

"Dava"suara berat Robert membuyarkan lamunan nya, ia berjalan berjalan dengan lesung...

...***...

"paa, Dava masih ingin bermain pa"Dava merengek ingin kembali bermain besama temannya dan anak anak sebaya nya di taman kota itu, Dava berusaha untuk berdiri namun perut nya di tahan oleh tangan Robert,

Dava berada di pangkuan Robert dengan tangan Robert melingkar di perut Daffa "paa, please kali ini saja, Papa" ia tak berhenti merengek

"kan dari tadi sudah main, sekarang sini dulu temenin papa, luruskan kaki nya dulu.."

Helen terkekeh melihat tingkah suami dan putra nya, namun wajah Helen berubah "paa"

Robert yang mendengar dengan samar menoleh kearah istri nya dengan wajah bertanya

Helen memberi isyarat pada Robert dengan memegang telinga nya namun ia menunjuk ke arah Dava yang berada di pangkuan Robert. Robert yang paham dengan maksud istrinya langsung melihat kearah Dava,..

melihat Helen yang mengeluarkan beberapa botol obat-obatan Dava mulai menangis takut..

"ma, jangan ma, Dava nggak mau hiks hiks"

next part....

00.02 (revisi)

Sore itu di taman, suasana cerah dengan langit biru yang dihiasi oleh awan tipis, menciptakan nuansa yang seharusnya tenang dan menyenangkan. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang mekar menambah keindahan alam, sementara udara segar menyelimuti seluruh area taman. Namun, di sebuah bangku taman, suasana yang jauh dari tenang sedang terjadi.

Dava, anak laki-laki mereka yang berusia tujuh tahun, duduk di ujung bangku dengan wajah masam dan tangan terlipat di dada. Matanya memandang jauh ke depan, seakan menghindari tatapan orang tuanya. Dia tampak gelisah dan cemas, tidak seperti biasanya yang ceria bermain di taman.

Helen dan Robert, duduk di sebelahnya, terlihat khawatir. Mereka sudah berusaha sabar, namun sekarang, setelah berjam-jam Dava menolak untuk minum obatnya, kesabaran mereka mulai menipis. Dava terlihat lelah setelah seharian bermain, namun demam yang datang mendadak membuatnya terkulai lemah, dan ini membuat Helen dan Robert merasa cemas.

“Dava, kamu harus minum obat ini,” kata Helen dengan lembut, namun ada ketegasan di balik suaranya. Ia memegang botol obat, mencoba menawarkan pada Dava yang kini menatapnya dengan mata penuh protes.

Dava menggigit bibirnya, wajahnya memerah karena marah dan frustrasi. “Aku nggak mau minum obat itu! Rasanya pasti jelek!” katanya, suara protes terdengar jelas.

Robert menghela napas, matanya menatap Dava dengan lembut namun juga penuh kekhawatiran. "Dava, ini untuk kebaikanmu. Kamu demam, dan obat ini bisa bantu tubuhmu cepat sembuh. Jangan bikin ibu dan ayah khawatir," katanya dengan suara yang pelan tapi penuh makna.

Dava berbalik, menatap ayahnya dengan tajam. "Aku nggak sakit! Kenapa harus minum obat?" protesnya, matanya memerah, kesal karena merasa dipaksa.

Helen dan Robert saling berpandangan sejenak, merasa terjebak di antara keinginan untuk menjaga Dava tetap sehat dan keteguhan hati Dava yang tidak mau mengalah. Ini bukan pertama kalinya Dava menolak obat, tapi kali ini, di tengah sore yang cerah ini, ketegangan terasa semakin menebal.

“Dava, sayang,” Helen berusaha lagi, berbicara dengan lembut. "Ini cuma sebentar, setelah kamu minum obat, kamu bisa tidur dan bangun dengan perasaan lebih baik. Kita masih bisa jalan-jalan di taman lagi besok, kalau kamu sudah sehat.”

Dava menggigit bibir bawahnya, tubuhnya semakin membungkuk, menunjukkan tanda-tanda frustrasi. “Aku nggak mau! Obat itu pasti pahit!”

Matanya mulai berkaca-kaca, seolah menahan tangis. Dava tahu ia harus minum obat, tetapi rasa tidak nyaman dan ketidaksukaannya terhadap rasa obat itu membuatnya merasa marah dan takut.

Robert duduk lebih dekat dengan Dava, mencoba berbicara dengan nada lebih tegas, meski masih dengan kasih sayang. “Dava, ini demi kesehatanmu. Kamu nggak bisa terus begini. Kalau kamu nggak minum obat, demammu bisa semakin parah. Kita nggak ingin kamu makin sakit, kan?”

Dava menunduk, menatap tanah dengan hati yang terasa penuh. “Tapi aku nggak mau! Aku benci obat itu!”

Helen, yang sudah mulai merasa frustasi, menghela napas dalam-dalam. “Dava, dengar ya, ini bukan pilihan. Kamu harus minum obat ini supaya tubuh kamu cepat sembuh. Ini untuk kebaikanmu.”

Dava memandang ibunya dengan wajah marah, lalu menatap botol obat itu seolah barang itu adalah musuh besar yang harus ia lawan. “Kamu nggak ngerti, Ma! Aku nggak mau!”

Saat itu, Robert sedikit mengangkat suara, tanpa meninggalkan kelembutan. “Dava, kita nggak mau berdebat lagi. Kalau kamu nggak minum obat, kamu nggak akan bisa bermain lagi di taman atau melakukan hal seru lainnya. Jadi, minumlah, ya?”

Dava, yang kini sudah mulai terbawa perasaan, akhirnya meledak. "Kenapa kalian selalu memaksa aku?" teriaknya dengan suara kecil yang terisak. “Aku nggak mau, kenapa nggak bisa kalian biarin aku aja?”

Suasana di taman itu, yang semula tenang, kini terasa semakin tegang. Orang-orang yang berjalan santai di sekitar taman mulai memperhatikan mereka, namun Helen dan Robert tidak peduli dengan pandangan orang lain. Mereka hanya ingin Dava sehat, dan mereka tahu cara terbaik adalah dengan memberikan obat itu.

Helen, dengan hati yang berat, akhirnya mendekat lebih dekat ke Dava. “Dava, sayang, kamu harus minum ini. Setelah ini, kita semua bisa pulang dan istirahat. Kamu nggak mau sakit lebih lama, kan?” Dengan lembut, Helen mencoba membuka mulut Dava, sementara Robert memegang tangannya dengan lembut agar tidak menahan.

Dava, dengan wajah penuh amarah dan air mata yang mulai menetes, akhirnya membuka mulutnya, walau sedikit, hanya untuk menerima obat itu.

Obat itu, dengan rasa pahit yang menusuk, segera menyentuh lidah Dava, dan ia langsung mengerutkan wajahnya, mencoba menahan rasa jijik dan ingin muntah. Namun, ia tahu, ini sudah tidak bisa dihindari lagi.

“Yuk, habiskan, Dava. Hanya sedikit lagi,” bisik Helen dengan lembut.

Dava terisak, namun setelah beberapa detik, ia menelan obat itu dengan terbata-bata. Wajahnya memerah, dan air mata masih mengalir, namun ia akhirnya berhasil menelan obat itu meski dengan sangat terpaksa.

Setelah itu, Dava terdiam, menatap ke depan dengan wajah penuh kemarahan yang masih tersisa. Namun, ia juga terlihat sedikit lebih tenang, seolah merasakan beban yang terlepas dari dirinya.

Robert menepuk bahunya pelan, mencoba memberi penghiburan. “Kamu hebat, Dava. Sekarang kita pulang dan istirahat. Kamu pasti cepat sembuh.”

Dava hanya mengangguk pelan, masih dengan wajah masam, tapi ia tak lagi berusaha melawan. Malam itu, meskipun suasana taman masih ramai dengan orang-orang yang menikmati sore, di dalam hati Dava, suasana hati yang tertekan itu akhirnya mereda sedikit.

Setelah Dava menelan obat pahit itu, suasana di taman yang tadinya tegang mulai sedikit mereda. Namun, ada perubahan yang perlahan terjadi pada dirinya. Wajahnya masih tampak kesal, tapi sekarang ada ekspresi yang lebih lelah, seperti tubuhnya mulai menyerah pada rasa kantuk yang datang.

Robert dan Helen saling memandang, melihat anak mereka yang kini tampak semakin lesu. Dava, yang sebelumnya begitu bersemangat, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Matanya yang semula penuh amarah dan kebingungan mulai tampak berat. Ia terdiam sejenak, memandang kosong ke sekeliling taman yang mulai sepi.

"Sayang," Helen bersuara lembut, mencoba menarik perhatian Dava. "Kamu mulai merasa ngantuk, kan?"

Dava hanya mengangguk pelan, namun ia tak berkata-kata. Tubuh kecilnya mulai merosot sedikit ke samping, seolah tak punya tenaga lagi untuk duduk tegak. Obat yang baru saja diminumnya mulai bekerja, meresap ke dalam tubuhnya, dan perlahan-lahan, rasa kantuk itu datang begitu mendalam.

Robert mengangkat Dava ke pangkuannya, merasa tubuh Dava yang semakin lemas. "Kamu ngantuk banget, ya?" katanya sambil mengelus rambut Dava yang sudah mulai terurai. "Ayo, tidur di pangkuan Mama."

Helen, yang sudah siap untuk membopong anaknya, menarik Dava lebih dekat ke tubuhnya. Dengan hati-hati, ia memeluknya, merasakan tubuh kecil yang mulai lentur dalam pelukannya. Wajah Dava yang tadi penuh protes dan kebencian terhadap obat itu kini tampak lebih tenang, meski masih ada sisa-sisa kesal di matanya.

Dava merapatkan kepalanya di dada Helen, dan dengan berat, matanya yang setengah terpejam akhirnya mulai tertutup. Perlahan-lahan, napasnya menjadi lebih pelan, tanda bahwa ia mulai tenggelam dalam tidur yang sangat dibutuhkannya. Obat itu bekerja dengan cepat, dan kantuk yang datang semakin dalam.

"Mama..." suara Dava yang lemah terdengar, hampir tak jelas. "Aku... ngantuk..."

Helen hanya tersenyum lembut, membelai rambut Dava dengan lembut. "Iya, sayang. Tidur saja, kamu butuh istirahat. Nanti kalau sudah bangun, badan kamu pasti lebih baik."

Dava tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara kecil dari dalam tidurnya, dan dalam beberapa detik, tubuhnya benar-benar terkulai dalam pelukan Helen. Suasana di taman yang semula ramai kini terasa semakin sepi, hanya terdengar suara burung malam dan angin sepoi-sepoi yang menyentuh daun-daun pohon.

Robert dan Helen duduk diam, saling berpandangan sejenak, menikmati momen tenang setelah semua kekhawatiran dan ketegangan. Tangan Robert menggenggam tangan Helen, dan mereka tahu bahwa meskipun Dava merasa terganggu dengan obat itu, kini ia akhirnya bisa beristirahat dan pulih.

“Mungkin kita harus pulang sekarang, ya?” Robert berbisik, melihat anak mereka yang sudah tertidur lelap di pangkuan Helen.

Helen mengangguk, namun wajahnya masih dipenuhi rasa kasih sayang dan khawatir. "Iya, kita bawa Dava pulang, biar dia bisa tidur lebih nyenyak, tapi anak anak masih ingin bermain sepertinya" jawabnya pelan.

...***...

Sementara itu di sudut taman yang mulai sepi, di bawah bayang-bayang pohon yang tinggi, tampak dua sosok kecil berdiri, menyaksikan dengan penuh rasa ingin tahu. Devi dan Davi, saudara kembar Dava yang berusia tujuh tahun, berdiri di samping bangku taman, matanya besar dan terbelalak saat melihat Dava yang kini terkulai lemah di pelukan Helen. Wajah Dava yang semula penuh protes dan kebencian kini tampak damai, meskipun masih ada sisa-sisa keengganan di wajahnya.

Di samping mereka, Nadia, kakak tertua yang berusia dua beles tahun, duduk di atas rumput dengan tangan terlipat, memandang dengan khawatir. Nadia menyadari perubahan yang terjadi pada adiknya, dan meski ia sudah terbiasa melihat Dava yang tidak suka minum obat, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dava tampak begitu lelah, begitu lemah.

Devi, yang selalu ceria dan penuh rasa ingin tahu, menarik lengan Nadia dengan lembut, matanya tidak bisa lepas dari Dava yang sedang tertidur di pangkuan ibu mereka. “Kak, kenapa Dava nggak bangun? Kenapa dia langsung tertidur?” tanyanya dengan suara kecil, penuh kebingungan.

Nadia menoleh, memberikan senyum tipis, meski di matanya tampak kekhawatiran. "Dava sedang merasa nggak enak badan, Dev. Obat yang dia minum membuat dia jadi ngantuk. Dia butuh tidur supaya bisa cepat sembuh."

Davi masih memandang dengan penuh rasa ingin tahu. “Tapi kenapa harus minum obat? Bukannya rasanya nggak enak?” tanya Davi lagi, mata besarnya penuh dengan pertanyaan.

Davi, yang dari tadi hanya diam, kini ikut mengangguk. “Iya, Kak. Kenapa Dava harus minum obat, sih? Kita kan nggak suka juga, kan?”

Nadia menghela napas, menyadari bahwa ini mungkin pertama kalinya mereka benar-benar melihat Dava dalam keadaan seperti ini. Sebelumnya, Dava selalu terlihat kuat dan berani, dan mereka sering kali mendengar protes Dava yang nggak suka minum obat. Namun, hari ini, Dava terlihat begitu rentan.

“Obat itu memang nggak enak, sayang. Tapi kalau Dava nggak minum, dia bisa makin sakit, dan itu bisa bikin dia nggak bisa bermain dengan kita,” jawab Maya dengan lembut. “Kamu lihat, kan? Dava sekarang demam. Obat itu harus masuk ke tubuhnya supaya dia cepat sembuh.”

Davi dan Devi saling pandang, tampak sedikit bingung dan khawatir. Devi menggigit bibir bawahnya, merasa kasihan pada Dava yang sudah begitu lelah. “Tapi, Kak, sampai kapan Dava harus minum obat itu?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang sedikit cemas.

Nadia terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. Ia tahu ini adalah momen yang sulit bagi adik-adiknya, terutama bagi Davi dan Devi yang masih begitu kecil dan tidak sepenuhnya mengerti tentang sakit dan obat.

“Sampai Dava benar-benar sembuh, Dev. Kalau Dava sudah nggak demam dan tubuhnya sudah kuat lagi, dia nggak perlu minum obat lagi. Tapi untuk sekarang, obat itu membantu tubuhnya melawan sakit,” jawab Maya dengan hati-hati, sambil menatap Dava yang masih tertidur di pelukan ibunya.

Davi mengangguk pelan, meskipun ekspresinya masih cemas. “Tapi... Dava nggak suka obat itu, Kak. Dia pasti benci banget sama obat itu.”

Nadia tersenyum tipis, mencoba menenangkan adik-adiknya. “Iya, aku tahu. Tapi Dava tahu itu baik untuk dirinya. Meski nggak enak, tapi dia harus kuat supaya cepat sembuh.”

Davi, yang semula terlihat bingung, akhirnya berbicara dengan suara pelan, "Kita bisa bantu Dava, ya, Kak? Biar dia nggak ngerasa sendirian?"

Nadia menatap adik kembarnya, dan kali ini ia tersenyum penuh kasih. “Tentu. Kita bisa bantu Dava. Kalau dia sudah sembuh, kita bisa bermain lagi bersama. Jadi, kita harus jaga dia dan biar Mama dan Papa nggak khawatir.”

Maya merangkul kedua adiknya, merasakan beratnya situasi ini, tapi ia tahu, mereka semua harus tetap kuat. Mereka harus mendampingi Dava, walaupun itu berarti harus melalui momen yang tidak mudah.

Davi dan Devi saling memandang, dan meskipun mereka masih merasa cemas, mereka mulai merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa mereka bisa membantu Dava dengan cara mereka sendiri—dengan kesabaran dan kasih sayang. Mereka duduk di samping Maya, memandang Dava yang sedang terlelap, sementara angin sore berbisik lembut di sekitar mereka, membawa rasa damai yang perlahan-lahan menghilangkan ketegangan.

Dava mungkin sedang terlelap dalam tidurnya, tapi di sekelilingnya, ada keluarganya yang dengan penuh kasih sayang menjaga dan merawatnya, menanti dengan harap-harap cemas sampai ia kembali ceria dan sehat.

***

Angin sepoi-sepoi yang mengusap wajah. Di sekitar mereka, anak-anak lain tampak ceria bermain, mengejar bola, atau berlarian dengan riang. Helen dan Robert, bersama dengan Davi, Devi, Kevan Kevin dan Nadia, menikmati sore yang damai, meskipun hati mereka masih dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi Dava.

Di bangku taman yang teduh, Robert berdiri sambil memandang ke arah Bimo, asisten keluarga mereka, yang sedang berdiri tak jauh dari situ, menunggu instruksi lebih lanjut. Dava, yang masih terlelap dalam pelukan Helen, terlihat tenang dengan wajah yang damai setelah tidur cukup lama. Obat yang diminumnya kini mulai bekerja, dan demamnya sudah mereda, meskipun ia masih sangat lemah.

“Anak Anak” Robert memanggil sambil mengamati anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang di dekat ayunan. “Kalian tetap di sini ya, bermain dengan Mama. Papa akan minta Bimo untuk membawa Dava pulang ke rumah dulu. Nanti kita bisa menyusul setelah pulang.”

Nadia, yang sedang sibuk memegang bola, menoleh dan mengangguk. "Oke, pa," jawabnya, meskipun masih tampak sedikit khawatir melihat kondisi adiknya.

Robert berjalan beberapa langkah menuju Bimo, wajahnya terlihat serius namun penuh perhatian. “Bimo, tolong bawa Dava pulang. Pastikan dia tetap nyaman dan aman selama perjalanan,” perintahnya dengan nada yang tegas namun penuh kasih.

Bimo mengangguk cepat. “Tentu, Pak. Saya sudah menyiapkan mobil di dekat pintu taman. Dava akan baik-baik saja.”

Robert menghela napas lega. "Pastikan dia duduk dengan nyaman dan jangan terlalu cepat. Dia butuh istirahat, dan kita nggak ingin dia terganggu selama di perjalanan," lanjutnya.

Bimo mengangguk lagi, mengerti dengan jelas apa yang diinginkan majikannya. “Akan saya pastikan, Pak.”

Sementara itu, Helen yang masih duduk di bangku taman, mengelus rambut Dava yang terbaring di pangkuannya, memandang dengan penuh kasih sayang. “Pa, aku akan menemani anak-anak di sini. Bimo bisa bawa Dava pulang dengan aman, kan?”

“Ya, Bimo sudah cukup berpengalaman,” jawab Robert dengan senyuman tipis. “Kita bisa tenang sementara anak-anak di sini masih bisa bermain."

Helen mengangguk, merasa sedikit lega meskipun masih ada rasa cemas di dalam dirinya. Ia tahu Dava butuh istirahat, dan di rumah nanti ia akan bisa lebih nyaman untuk tidur. Tapi sekarang, ada rasa tenang melihat anak-anak yang lain bisa tetap ceria dan menikmati waktu mereka di taman.

Sambil mengawasi Dava yang masih terlelap, Robert meraih tangan Helen, menggenggamnya erat. “Kita akan pastikan semuanya baik-baik saja. Anak-anak juga butuh waktu untuk bermain. Mereka sudah cukup khawatir dengan Dava, dan ini adalah kesempatan bagus untuk memberi mereka sedikit waktu untuk merasa lebih baik,” katanya pelan, memberikan dukungan pada Helen yang terlihat sedikit lelah.

Helen tersenyum kecil, lalu memandang ke arah anak-anak mereka yang tampak sedang menikmati waktu bermain mereka. Davi sedang berlari-lari sambil tertawa, Devi bermain dengan bola, dan Nadia tampak memimpin permainan mereka, mengajak mereka bermain ayunan. Kevan dan Kevin sibuk dengan dunia mereka sendiri

“Terima kasih, sayang,” Helen mengucapkan dengan lembut, meyakinkan Robert bahwa mereka berdua saling mendukung. “Aku tahu Dava akan baik-baik saja.”

Robert tersenyum, mengusap lembut kepala Helen. “Aku yakin semuanya akan baik-baik saja,” jawabnya dengan penuh keyakinan.

Saat itu, Bimo sudah mendekati bangku taman, dengan langkah hati-hati membawa Dava yang masih tidur. "Pak, saya akan berangkat sekarang," katanya dengan suara lembut.

Robert menoleh dan tersenyum, memberikan isyarat agar Bimo melanjutkan perjalanan. “Jaga Dava dengan baik. Kami akan menyusul nanti,” katanya, lalu melangkah kembali ke sisi Helen.

Bimo, dengan hati-hati dan penuh perhatian, mengangkat Dava ke dalam mobil, memastikan bahwa Dava terbaring dengan nyaman di kursi belakang. Ia menutup pintu mobil dengan hati-hati dan melaju pelan, meninggalkan taman dengan tujuan rumah yang tak jauh dari situ.

Setelah mobil Bimo berlalu, Robert kembali bergabung dengan Helen dan anak-anak mereka. Ia duduk di sebelah Helen, menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku taman, sambil mengamati anak-anak yang tengah bermain.

"Anak anak" Robert memanggil, membuat ketiga anak itu berhenti sejenak dan berbalik. "Kita tetap akan tinggal di taman ini untuk sementara. Nikmati waktumu bermain, ya?"

"Tapi pa, apa kita tidak pulang saja kasihan dava dirumah sendirian kitanya asyik bermain" jawaban pertanyaan dari putri kecilnya Devi dan di setujui oleh semua saudaranya

Robert tersenyum mendengarnya ikatan di antara mereka begitu kuat dan menggemaskan menurutnya "Tidak apa apa Dava di rumah agar bisa istirahat dengan nyaman kalian bisa tetap habiskan waktu kalian di taman, besok jika dia sudah lebih baik kita bisa ajak dia untuk bermain sepuasnya" jawaban robert dengan penuh kasih sayang dan hati hati

"Baiklah pa besok kita bisa ajak Dava bermain puas puas saat sudah sembuh" jawab mereka serentak

Anak-anak mengangguk riang dan melanjutkan permainan mereka dengan ceria. Suasana di taman kembali tenang, dengan suara tawa mereka yang mengisi udara. Meski cemas masih terasa di hati Helen dan Robert, mereka tahu bahwa Dava sudah berada di tangan yang tepat. Di rumah, Dava akan mendapatkan istirahat yang dibutuhkan, dan semuanya akan kembali normal setelahnya.

Sore itu, meskipun ada rasa cemas yang masih menggelayuti hati, mereka merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa keluarga mereka saling mendukung dan bersama-sama melewati momen yang tidak mudah ini.

Hari mulai meredup saat matahari tenggelam di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat oranye yang lembut. Suasana di taman yang tadinya riuh dengan tawa anak-anak kini berubah menjadi lebih tenang, dengan udara yang mulai sedikit sejuk. Lampu-lampu taman mulai menyala, menciptakan suasana yang hangat meski gelap sudah mulai menyelimuti.

Helen menoleh ke arah Robert yang sedang berdiri di dekat ayunan, memandang anak-anak mereka yang masih asyik bermain. Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi tampak tak ingin berpisah dari taman, menikmati setiap detik sisa waktu mereka. Namun, Helen tahu sudah saatnya mereka pulang.

"Robert, sepertinya sudah cukup. Hari mulai gelap," kata Helen sambil menyeka pelipisnya yang sedikit berkeringat.

Robert mengangguk, matanya masih tertuju pada anak-anak. “Kita harus pulang. Dava sudah di rumah, dan mereka juga butuh istirahat setelah seharian bermain.”

Nadia, yang sedang berlari di sekitar ayunan, mendengar suara ayahnya dan segera berhenti. Ia menoleh dengan wajah kecewa, meskipun sudah tahu bahwa waktunya bermain sudah hampir habis. "Pa, masih sebentar, dong... Aku nggak mau pulang dulu," protesnya.

“Sudah malam, Nak. Kita harus pulang sekarang,” jawab Robert lembut, meskipun nada suaranya tetap tegas. "Dava sudah di rumah dan Mama juga butuh istirahat. Kalian juga pasti capek"

Davi dan Devi yang melihat kakaknya berhenti bermain ikut menghampiri, tampak kecewa juga, namun mereka tahu saatnya pulang memang sudah tiba. “Ayo, kalian bisa bermain lagi nanti di rumah,” kata Nadia dengan senyuman kecil, mencoba menenangkan adik-adiknya.

Helen berdiri dan menyapa mereka semua. "Sudah cukup bermain, sayang. Saatnya pulang dan beristirahat." Ia menarik pelan tangan Nadia, Kevan,Kevin dan Devi sementara Davi berlari kecil mendekat.

Robert berjalan mendekat, menyadari bahwa mereka semua memang sudah harus pulang. “Bimo sudah membawa Dava pulang lebih dulu, jadi sekarang kita juga harus siap-siap,” katanya sambil tersenyum pada anak-anak mereka yang sudah mulai lelah.

Di kejauhan, mereka bisa melihat mobil **Bimo** yang sudah terparkir di pintu keluar taman. Semua barang yang mereka bawa dari rumah, seperti tas dan piknik, sudah siap diambil. Taman yang semula penuh dengan tawa kini sepi, dengan suara alam yang mulai tenang.

Nadia menghela napas, meski ia tahu tak bisa berlama-lama lagi. "Oke, pa. Kita pulang," katanya dengan suara pasrah.

Mereka semua, bersama Helen dan Robert, mulai berjalan menuju mobil. Di sepanjang jalan, suasana terasa lebih tenang. Suara langkah kaki mereka terdengar lembut, diselingi dengan tawa kecil dari Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi yang masih berbicara tentang permainan mereka di taman.

Di dalam mobil, suasana terasa hangat. Helen duduk di samping Robert, dan anak-anak duduk di kursi belakang. Nadia, Kevan,Kevin Davi, dan Devi mulai tertidur dengan kepala bersandar di sandaran kursi, kelelahan setelah seharian bermain. Hanya beberapa detik setelah mereka melaju, keheningan mulai merayap di dalam mobil.

Robert memandang Helen dan tersenyum. "Terima kasih sudah menemani mereka bermain hari ini. Aku tahu, ini bukan hari yang mudah."

Helen mengangguk sambil tersenyum kecil, matanya juga mulai mengantuk. "Aku juga senang melihat mereka ceria lagi, meski Dava masih harus pulih."

Mereka berdua saling berpegangan tangan sejenak, merasakan kedamaian dalam perjalanan pulang. Meski hari itu dipenuhi dengan kekhawatiran, mereka tahu keluarga mereka selalu saling mendukung dan bahwa mereka akan terus bersama, melewati semua hal dengan penuh kasih.

Dalam keheningan mobil yang berjalan perlahan, mereka akhirnya sampai di rumah. Mobil berhenti di depan rumah, dan Bimo sudah menunggu di depan pintu, siap membantu mereka masuk ke dalam.

Hari itu berakhir dengan tenang. Semua anggota keluarga, meski kelelahan, merasa bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik untuk satu sama lain.

###

Ihh, bang Kevaaaan itu punyaku, Balikin siniii'' suara ribut dua kakak beradik itu memenuhi ruang tengah

''ya udah ini, ambil, kalo nyampe hahahaaa''

''Abaaaang"

Helen yang baru keluar dari dapur hanya menggeleng kan kepala nya melihat anak anak nya....

Di samping 2 insan sedang beradu bacot, ada 2 manusia sedang melepas tawa mereka di ruang TV. sedangkan Dava yang sudah terlelap tidur dari tadi, dan sudah di pindah ke kamar nya, di lantai tiga.

Helen masuk ruang TV dengan membawa camilan dan duduk di sofa singel, melihat Helen duduk Nadia pun membuka suara

''Maa, besok di sekolah ada camp ke puncak apa aku boleh ikut??"

Nadia gadis cantik Putri pertama keluarga Ramsay yang kini duduk di bangku kelas 2 SMA, dan menginjak usia 16 tahun.

''Besok?"

''Ehh maksudnya dalam jangka dekat ini''

''Ohhh, ikut aja''

'Boleh mah? serius"

''kenapa enggak, ikut lah masa enggak''

''makasih mamaaa''.

Asyik keluarga bahagia yah bund, bikin iri Mimin aja deh hahahaaa...

semua orang di ruang TV sedang asik dengan dunia mereka masing masing...

PYAARR

Suara benda pecah itu menghancurkan suasana nyaman di ruang keluarga, semua orang menoleh pada sumber suara.

ada seorang wanita sedang berdiri di dekat serpihan gelas yang pecah karna jatuh dari tangan nya

Bimo yang mendengarnya langsung menghampiri nya untuk mencari tahu apa yang terjadi. pelayan itu pun meminta maaf pada kepala penjaga yang bernama Bimo

''Maaf pak Bimo saya tidak sengaja''

''Ada apa Bim?" tanya Helen yang baru menghampiri mereka

''maaf nyonya membuat keributan, dia tidak sengaja menjatuhkan gelas berisi air yang akan dibawa ke kamar mas Dava"

''Ya sudah bersihkan hingga bersih, jangan tersisa sedikit pun, nanti bisa melukai siapapun''

''Baik nyonya''..

"Cepat bersihkan ini hingga bersih dan bawakan gelas air yang baru untuk di bawa ke kamar tuan muda Dava"

'' Ohh iya Bim, air untuk Dava biar saya sendiri yang bawa''

''baik nyonya, kamu cepat bersihkan"

''baik pak''

Di sisi lain Kevin berjalan melewati kamar kakaknya, Nadia, ketika pintu tiba-tiba terbuka. Nadia muncul dengan ekspresi penasaran, "Kevin, kamu mau ke mana?"

''Kamar Dava.'' jawab nya singkat langsung berjalan menuju kamar Dava. Kevin memasuki kamar Dava dengan perasaan senang, membayangkan melihat dava tidur dengan lelap. sesekali dia berniat untuk tidur bersama sang adik.

Namun, begitu ia membuka pintu, pemandangan yang mengejutkan menyambutnya. Di sana, seorang wanita berdiri di samping tempat tidur, memegang bantal erat di kedua tangannya, siap membekap Dava yang terbaring tak sadar.

Mata Kevin membelalak, dan tanpa berpikir panjang, dia langsung bergerak cepat. Dengan sigap, tangannya menangkap bantal itu sebelum sempat menyentuh wajah Dava. Bantal terlempar ke samping, dan Kevin berdiri tegak, menatap tajam wanita itu. Nafasnya memburu, penuh kemarahan.

“Siapa kau? Apa yang kau pikirkan? Apa yang kau coba lakukan?” Kevin menggeram, suaranya keras dan penuh tuntutan. Mata wanita itu melebar sejenak, tapi belum menjawab. Kevin terus menatapnya, marah dan penuh waspada, menunggu penjelasan yang mungkin tak akan pernah datang.

"

next part....

****************

okee guys segitu dulu semoga kalian seneng

Salam cantik semua....

00.03 (Revisi)

“Helen, aku ada meeting malam ini,” katanya singkat, namun nada suaranya serius. Helen berhenti sejenak, matanya menatap Robert dengan sedikit ragu. Malam ini? Ia baru saja berharap bisa menghabiskan waktu bersama Robert.

“Haruskah malam ini perginya?” tanya Helen dengan nada yang sedikit lemah, penuh keraguan. Namun setelah jeda singkat, dia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. “Baiklah, aku akan menyiapkan bajumu,” tambahnya dengan suara lebih tenang, berusaha bersikap pengertian.

Selesai dengan Robert, Helen beranjak ke dapur, menyiapkan air untuk Dava yang masih beristirahat di kamarnya. Ia memanggil Ririn, pembantu baru mereka. “Ririn, tolong antar ini ke kamar Dava, ya,” ujar Helen lembut sambil menyerahkan nampan berisi gelas air.

Ririn tersenyum, menerima nampan itu dengan anggukan. “Baik, Bu Helen, saya akan antarkan,” katanya. Tapi ada sesuatu dalam senyumnya—senyum yang samar, hampir tidak terlihat. Mata Ririn tampak berkilat aneh sejenak, seolah menyembunyikan niat yang tidak jelas. Helen merasa ada yang ganjil, tapi tak mengatakan apa-apa. Ririn berbalik, melangkah menuju kamar Dava, sementara Helen hanya memandangnya dengan sedikit keraguan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

...****************...

~tiga hari lalu~

"nyonya saya ingin minta izin untuk pulang ke kampung, ibu saya sedang sakit dan tidak ada yang menjaga" -siska

Siska adalah perawat yang di bawa dari rumah sakit..

"Mbk Siska mau pulang?? Tidak, kamu tidak boleh pulang hiks hiks hiks" saut Dava yang merengek sambil memeluk kaki Siska dengan erat...

''Dava, mama nya Mbak Siska sedang sakit jadi Mbak Siska nya harus pulang, nanti kalo mama nya sudah sehat Mbak Siska akan kembali kesini" -Helen

''enggak, enggak boleh pulang Huaa" Dava mulai menangis, Helen pun langsung menarik lembut Dava dari kaki Siska dan menggendong nya

"Siska pulang lah rawat ibumu dan segera kembali, jangan cemas Dava biar nanti saya jelaskan perlahan"

"Baik nyonya" Siska dengan perasaan tidak tega meninggal kan Dava yang sudah seperti anak atau adik nya sendiri, harus pergi karna orang tua nya membutuhkan nya..

sedang kan Dava masih menangis dalam gendongan Helen, Robert yang mendengat tangisan putranya, langsung keluar dari ruang kerjanya...

Robert pun menghampiri istri nya yang sedang kalang kabut untuk menenangkan Dava. ia mengambil alih Dava dari Helen..

''Hai, anak papa kenapa kok nangis? hei diam sebentar saja dan cerita sini sama papa ada apa" sambil mengusap punggung putra nya

''papa, cegah Mbak Siska paa'' '' memang Mbak Siska mau kemana?'' ''Dia mau pulang paa, Dava nggak mau mbak Siska pulang " ''Hai dengerin papa, Mbak Siska pulang nya kenapa, pasti ada alasannya kan'' ''kata mama, mama nya Mbak Siska sakit'' ''klo mama nya Mbak Siska sakit maka Mbak Siska harus pulang untuk merawat nya dulu'' "Tapi Dava nggak mau Mbak Siska pergi" Dava mulai menangis kembali

''Hai dengerin papa, dengerin papa dulu baru nangis lagi,'' mendengar ucapan Robert Dava pun mulai tenang

''Dengerin papa, sekarang papa tanya dulu sama Dava kalo misal Oma sakit mama pulang ke rumah Oma nggak?" ''pulang'' ''kita semua pergi ke rumah Oma kan'' dijawab anggukan oleh Dava

''Nah sama seperti itu juga Mbk Siska, Mbak Siska punya mama, kalo mama nya sakit Mbk siska harus pulang dulu, sama seperti kita, saat Oma sakit maka kita semua harus pulang ke rumah Oma, dan saat Oma sudah sehat apa kita tetep di sana?" "Tidak" ''jadi sama seperti itu juga Mbak Siska kalo mama nya sudah sehat pasti Mbak Siska akan kembali lagi kesini''

''Jadi apa sekarang mbak Siska boleh pulang??'' ''iya pa, boleh'' "ya udah berikan salam dulu sama mbak Siska..'' Dafa pun pergi ke kamar Siska

''Mbak Siska...'' ''Ehh mas Dava, kenapa?'' tanya Siska dengan lembut ''mbak Siska cepat kembali yaa, Dava berdoa agar mamanya mbak Siska cepat sehat dan Mbak Siska cepat kembali..'' Siska pun tersenyum mendengar ucapan anak asuh nya ''Siap tuan muda, mbak Siska akan cepat kembali dan bermain lagi dengan tuan muda Dava'' Dava pun memeluk Siska ''mbak siska hati hati di jalan yaa''

"Mama Mama, mama bilang kita akan makan bersama di taman?'' Tanya Davi dengan antusias

''iya...'' "lalu kapan kita akan berangkat? aku ingin bermain puas puas" "Emm, kapan yaa? Bagaimana kalo sekarang, ini mama sudah siap kan makanan nya" mata Davi pun berbinar mendengar ucapan Helena...

"Yesss...''

...****************...

Di tempat lain, sebuah mobil hitam terparkir di area terpencil, jauh dari keramaian. Seorang laki-laki duduk di kursi pengemudi, wajahnya terlihat tegang di bawah cahaya redup dari layar ponselnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama cepat, tanda ketidaksabarannya. Dia menekan panggilan, dan setelah beberapa nada tunggu, terdengar suara di seberang.

"Masuk ke Mansion Ramsay sekarang," ucap laki-laki itu tanpa basa-basi. Suaranya rendah dan dingin, seperti orang yang terbiasa memerintah. "Buat keributan. Pastikan semua orang teralihkan."

Namun, terdengar suara penolakan samar di seberang, yang jelas tidak sesuai dengan perintahnya. Laki-laki itu menyipitkan mata, menahan amarah yang mulai merayap ke permukaan.

"Apa maksudmu? Ini bukan saatnya mempertanyakan rencanaku," katanya dengan nada marah, menggenggam ponsel lebih erat. "Kau hanya perlu melakukan apa yang aku suruh! Aku tidak peduli dengan alasanmu. Masuk ke sana dan lakukan pekerjaannya."

Suasana di dalam mobil semakin mencekam. Suara napas laki-laki itu semakin berat, penuh emosi yang hampir meledak.

"Jangan banyak bicara lagi! Aku tidak mau tahu! Kalau kau gagal, aku pastikan ini tidak akan berakhir baik untukmu," ucapnya dengan tegas, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Wajahnya terlihat gelap, penuh amarah dan frustrasi, sementara mobilnya tetap terdiam di kegelapan, seperti bayangan yang mengintai dari kejauhan.

...****************...

Kevin menatap Rini dengan tatapan tajam, matanya penuh amarah. Pelayan itu berdiri mematung di depan pintu kamar Dava, tidak bergerak sedikitpun meski sudah beberapa kali diperingatkan. Suasana kamar terasa tegang, hanya terdengar napas berat Kevin yang semakin geram.

“Keluar sekarang!” bentaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Namun, Rini tetap diam, tubuhnya kaku seperti tidak mendengar perintahnya. Kevin tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Tanpa berpikir panjang, dia menghampiri Rini dan dengan kasar menarik lengannya, menyeretnya keluar dari kamar.

Saat pintu kamar terbuka, langkah kaki terdengar di koridor. Robert, yang baru saja keluar dari kamarnya yang tidak jauh dari kamar Dava, berhenti dan memandang ke arah mereka. Wajahnya tenang, berbeda dengan Kevin yang masih dikuasai amarah. Robert mengenakan pakaian rapi, jas hitam yang diseterika sempurna, memberi kesan bahwa dia siap menghadapi sesuatu yang penting. Matanya menatap tajam ke arah Kevin dan Rini, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya suasana dingin yang menyelimuti koridor itu.

Robert melangkah mendekat, alisnya berkerut melihat Kevin menyeret Rini dengan kasar. Suasana di koridor mendadak hening, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Robert, yang biasanya tenang dan berwibawa, tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Apa yang terjadi, Kevin?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas. "Kau tidak biasanya bersikap seperti ini pada pelayan."

Kevin berhenti sejenak, masih menggenggam lengan Rini yang berusaha melepaskan diri. Napasnya berat, amarah di matanya belum juga surut. Dia menatap Robert dengan intens, lalu akhirnya mengeluarkan kata-kata yang mengejutkan.

"Dia mencoba membunuh Dava," Kevin berkata, suaranya penuh kebencian. "Aku melihatnya sendiri... menggunakan bantal. Dia hampir membuat Dava kehabisan napas."

Robert terdiam sejenak, terkejut dengan pengakuan itu. Tatapannya beralih ke Rini yang tampak gemetar, wajahnya pucat seperti kehilangan darah. Sementara itu, Kevin masih memandang Robert dengan ekspresi penuh kemarahan dan frustrasi, berharap dukungan atas tindakannya.

"Benarkah itu?" tanya Robert, nadanya tetap tenang meski pikirannya bergolak.

Rini tetap diam, wajahnya semakin pucat. Tatapannya kosong, tidak ada sedikit pun usaha untuk menjawab pertanyaan Robert. Hening kembali menyelimuti koridor itu, hanya terdengar deru napas Kevin yang masih terbakar amarah. Robert, yang biasanya begitu tenang dan menguasai situasi, kini mulai tampak geram. Matanya menyipit, menatap Rini dengan penuh kecurigaan.

“Rini!” seru Robert, suaranya kini lebih keras, namun pelayan itu tetap bungkam. Sikap diamnya hanya membuat suasana semakin tegang, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Robert akhirnya kehilangan kesabaran.

Dengan langkah cepat, Robert menarik ponselnya dari saku dan menekan tombol panggil. “Bimo,” katanya dengan nada dingin namun jelas penuh kemarahan. “Datang ke sini sekarang. Aku ingin kau menyelidiki siapa Rini ini sebenarnya dan siapa orang-orang di baliknya. Ada sesuatu yang tidak beres”

Tidak lama setelah Robert menutup telepon, suara langkah kaki terdengar mendekat dari ujung koridor. Bimo muncul dengan cepat, ditemani beberapa bodyguard berpakaian hitam di belakangnya, wajah mereka serius tanpa ekspresi. Robert melirik ke arah mereka dan mengangguk singkat. Bimo tak perlu diberi arahan lebih lanjut; dia langsung menghampiri Rini yang masih berdiri pucat, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

"Ambil dia," perintah Bimo tegas. Para bodyguard segera bergerak, dua di antaranya memegang lengan Rini dan membawanya pergi tanpa perlawanan. Suara sepatu mereka menggema di sepanjang koridor, membawa Rini entah ke mana, meninggalkan keheningan yang semakin berat di mansion.

Kevin, yang sedari tadi berdiri mematung dengan amarah yang perlahan mereda, menghela napas panjang. Perasaan campur aduk antara cemas, lega, dan ketidakpastian memenuhi dirinya. Dengan langkah berat, dia masuk kembali ke kamar Dava. Saat melihat adiknya terbaring, wajahnya sedikit melunak, namun bayangan insiden tadi masih menghantui pikirannya. Ia berdiri di samping ranjang Dava, memperhatikan napas tenang yang perlahan-lahan mengusir kecemasannya.

Tak lama kemudian, Robert pun menyusul masuk ke kamar Dava. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekhawatiran, sorot matanya menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap putra bungsunya itu. Robert berdiri di samping Kevin, keduanya saling berpandangan sebentar tanpa berkata apa-apa, berbagi kekhawatiran yang sama.

Di dalam kamar itu, keheningan terasa berat. Meski Dava terlihat aman, perasaan cemas dan tak menentu masih menggantung di antara mereka. Robert menatap anaknya dengan penuh perhatian, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, sementara Kevin berdiri di dekatnya, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar.

Setelah beberapa saat mengamati Dava yang terbaring dengan tenang, Robert menghela napas panjang. Wajahnya sedikit melunak, tetapi kekhawatiran masih tergambar jelas di matanya. Meski putranya tampak baik-baik saja, rasa tanggung jawab sebagai seorang ayah membuat pikirannya tetap waspada.

Robert berbalik menghadap Kevin, yang berdiri tidak jauh darinya, masih dalam keadaan siaga. Setelah jeda singkat, Robert berbicara dengan nada tegas namun tenang.

"Kevin, Papa harus pergi untuk sebuah meeting yang tak bisa ditunda. Tapi malam ini bisakah kamu menemani Dava?," ucapnya sambil menatap mata Kevin.

Kevin mengangguk pelan. Meski masih ada kekhawatiran di wajahnya, dia berusaha menenangkan diri. Ia tahu betul apa yang dipertaruhkan, apalagi setelah insiden tadi.

"iya pa Dava akan tidur bersamaku malam ini" jawab Kevin dengan nada penuh keyakinan.

Robert menatap putranya sekali lagi, memastikan semuanya aman sebelum melangkah keluar kamar. Meski ada urusan penting yang menunggunya, tatapan beratnya menandakan bahwa pikirannya masih tertuju pada Dava. Namun, ia tahu tugasnya belum selesai malam ini. Ia meninggalkan kamar dengan langkah tegas, meninggalkan kedua putranya.

Setelah Robert pergi, suasana kamar kembali hening. Kevin duduk di kursi dekat ranjang Dava, mengawasi setiap gerakan kecil yang dilakukan adiknya. Di tengah kesunyian, Dava tiba-tiba menggeliat di tempat tidurnya, perlahan membuka mata. Wajahnya masih sedikit kusut karena tidur, dan ia terlihat mengantuk, mencari-cari sesuatu di sekitarnya.

Dengan langkah lemah, Dava bangkit dari tempat tidur, ingin mengambil air di meja samping ranjang. Namun sebelum dia sempat melangkah lebih jauh, Kevin tiba-tiba berdiri dan tanpa peringatan memeluknya erat. Pelukan itu penuh emosi, seolah Kevin tak ingin melepaskannya. Dava, yang masih setengah sadar, terkejut dengan pelukan mendadak itu. Tubuhnya menegang, dan ia mengerutkan kening, kebingungan.

"Kak, ada apa? Kenapa tiba-tiba peluk aku?" tanya Dava, suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Dia mencoba melihat wajah Kevin, tapi kakaknya hanya memeluknya semakin erat, seakan tidak ingin melepaskannya.

Kevin tetap diam beberapa detik, tidak segera menjawab. Perasaan campur aduk yang sejak tadi menghantui pikirannya kini terasa mendidih, tapi dia tidak ingin Dava tahu apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, dengan nada tenang, Kevin berkata, "Tidak ada apa-apa, Dava. Kamu jangan khawatir, aku cuma… merindukanmu. Aku ingin memelukmu saja."

Dava sedikit bingung, tapi dia mengendurkan ketegangannya. Walaupun tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang dirasakan kakaknya, pelukan itu terasa tulus. Dia pun membiarkan Kevin memeluknya lebih lama, tanpa bertanya lebih jauh. Kevin, di sisi lain, hanya bisa menahan napas dalam kelegaan, mencoba menenangkan kecemasan yang bergelut di dalam dirinya, bersyukur bahwa Dava masih aman di sisinya.

Kevin masih memeluk Dava dengan erat, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun setelah beberapa saat, Dava bergerak pelan, merasa tak tahan lagi dengan rasa haus yang semakin mengganggu.

“Kak, aku haus… Aku butuh air,” ujar Dava dengan suara pelan, masih setengah mengantuk tapi tak lagi bisa mengabaikan rasa kering di tenggorokannya.

Kevin melepaskan pelukannya, tapi matanya tetap waspada. Dia melirik ke arah gelas yang ada di meja samping ranjang, berisi air yang semula ingin diambil Dava. Namun, rasa khawatir tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Pikirannya bercampur aduk, seolah ada sesuatu yang tak beres dengan benda-benda di dalam kamar ini. Setelah semua yang terjadi, Kevin merasa tidak ingin mengambil risiko sekecil apapun.

“Nggak usah minum air yang di sini,” jawab Kevin cepat, nada suaranya lembut tapi tegas. Dava menatap kakaknya, bingung dengan jawabannya.

“Kenapa, Kak? Ini kan cuma air…” Dava bertanya, tapi Kevin menggeleng pelan.

“Biar aku saja yang ambilkan air baru buatmu, ya?” lanjut Kevin, sambil berdiri dari tempat duduknya. Dia berusaha menyembunyikan kecemasannya, tak ingin membuat Dava curiga atau khawatir. “Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan segera kembali.”

Dava mengerutkan dahi, masih tidak mengerti kenapa Kevin begitu protektif malam ini. Tapi melihat ekspresi serius di wajah kakaknya, dia memutuskan untuk tidak membantah. “Oke, Kak,” ucapnya pelan.

Kevin berjalan keluar kamar, namun sebelum membuka pintu, dia menoleh sekali lagi ke arah Dava, memastikan adiknya tetap aman di tempatnya. Dengan langkah cepat tapi hati-hati, dia meninggalkan kamar, pikiran masih berputar soal insiden yang hampir saja terjadi. Sesuatu tentang kamar itu membuatnya merasa gelisah, seolah bahaya masih mengintai, dan dia tak mau mengambil risiko sekecil apapun terhadap keselamatan Dava.

Sebelum Kevin benar-benar melangkah keluar dari kamar Dava, dia berhenti sejenak di ambang pintu. Perasaan cemas yang terus menghantui membuatnya berpikir dua kali untuk meninggalkan adiknya sendirian, meski hanya sebentar. Dia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang muncul setelah insiden sebelumnya.

Dengan cepat, Kevin membuka pintu dan melangkah ke koridor. Di luar, salah satu bodyguard yang tadi datang bersama Bimo terlihat berjaga di ujung lorong. Kevin melambaikan tangan, memanggilnya mendekat.

"Aku mau kau berjaga di depan kamar ini," perintah Kevin dengan nada tegas tapi tenang. "Pastikan tidak ada yang masuk atau mendekat. Aku hanya akan ke dapur untuk mengambil air sebentar."

Bodyguard itu mengangguk tanpa banyak bicara, langsung mengambil posisi di depan pintu kamar Dava. Matanya waspada, memperhatikan setiap gerakan di sekitar. Kevin menatapnya sejenak, memastikan dia memahami betapa pentingnya tugas ini.

"Jaga Dava baik-baik," tambah Kevin dengan sedikit tekanan dalam suaranya. "Aku tidak ingin ada yang terjadi selama aku pergi."

"Ya, Pak," jawab bodyguard itu dengan tegas, berdiri siap siaga di tempatnya.

Kevin, meski masih merasa cemas, sedikit lega mengetahui ada pengawasan ketat di depan kamar adiknya. Setelah memberikan instruksi, dia berjalan cepat menyusuri koridor menuju dapur. Perasaan tegang belum sepenuhnya hilang, tapi dia berusaha menenangkan diri, fokus pada satu tujuan—membawa air baru untuk Dava, dan memastikan semuanya tetap aman.

Kevin dan kevan adalah putra kedua dari Robert dan Helen, berusia 14 tahun. Meskipun usianya masih muda, pemikirannya jauh lebih dewasa dibandingkan teman-temannya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman hidup yang telah dilaluinya, terutama sejak kelahiran adik-adiknya yang merupakan kembar tiga. Dava adalah salah satu dari ketiga bayi tersebut yang memerlukan perawatan lebih lama di rumah sakit.

Selama masa-masa sulit itu, Kevin bersama dengan kakaknya yang tertua, Nadia, mengambil peran penting dalam mengurus kedua adiknya, Devi dan Davi. Mereka berdua terpaksa tumbuh lebih cepat dan belajar tanggung jawab di usia yang sangat muda. Kevin sering kali merasa perlu menjaga adik-adiknya, mengasuh dan melindungi mereka seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri.

Kondisi tersebut membuatnya lebih peka terhadap situasi di sekitarnya dan memberi kontribusi besar terhadap cara pandangnya tentang dunia. Kevin memahami bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus dan bahwa dia harus siap menghadapi tantangan. Dia bertekad untuk selalu melindungi Dava, Devi, dan menjaga keluarganya, bahkan jika itu berarti mengorbankan waktu dan kebahagiaannya sendiri. Keterikatan yang kuat dengan adik-adiknya membuat Kevin merasa lebih dewasa, bertanggung jawab, dan penuh kasih sayang.

...****************...

Setelah pulang dari meeting yang berlangsung panjang dan melelahkan, Robert langsung menuju ruang kerjanya dengan langkah cepat. Suasana di dalam ruangan itu terasa serius, dan dia tahu bahwa ada banyak hal yang perlu dibahas setelah insiden di kamar Dava.

Setibanya di dalam, Robert melihat Bimo sudah menunggu dengan ekspresi tegas di wajahnya. Di samping Bimo, Helen, istrinya, tampak khawatir, wajahnya menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap keadaan keluarga mereka. Robert mengangguk pada mereka berdua sebelum berbicara.

"Bimo, apa yang terjadi tadi malam di kamar Dava?" tanya Robert, suaranya tegas. "Aku ingin tahu setiap detailnya."

Bimo menjelaskan tentang insiden dengan Rini, pelayan yang ditangkap, dan kekhawatiran yang melingkupi situasi tersebut. Setelah mendengar penjelasan Bimo, Robert menyandarkan punggungnya pada kursi dan menatap Bimo dengan tajam.

"Jangan lepaskan wanita itu. Terus selidiki siapa orang di balik semua ini," perintah Robert, nadanya menunjukkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. "Aku ingin tahu siapa yang berani mengancam keluargaku."

Helen mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya terasa berat dengan situasi yang tengah dihadapi. Dia menyentuh lengan Robert, mengingatkan suaminya untuk tetap waspada, namun tidak menimbulkan kepanikan yang lebih besar.

Robert melanjutkan, "Bimo, aku juga ingin kau memperketat penjagaan di mansion ini. Setiap sudut harus diawasi. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi. Keselamatan keluarga adalah prioritas utama."

Bimo mengangguk tegas, mencatat semua perintah Robert dengan seksama. "Baik, Pak. Saya akan memastikan semua langkah pengamanan diperketat dan terus memantau situasi."

Robert merasa sedikit lega mendengar komitmen Bimo. Namun, rasa khawatirnya belum sepenuhnya sirna. Dia tahu bahwa ancaman bisa datang dari mana saja, dan dia akan melakukan segala cara untuk melindungi keluarganya. Saat pertemuan itu berakhir, dia merasakan beban yang masih tersisa di pundaknya, tetapi tekadnya untuk melindungi keluarga Ramsay semakin kuat.

Helen, yang mendengar nama putranya, langsung merasakan gelombang kekhawatiran. “Aku ingin melihat keadaan Dava,” katanya dengan nada penuh kekhawatiran, matanya melirik ke arah pintu seakan berharap Dava segera muncul. Namun, Robert dengan lembut menahan tangannya. “Helen, Kevin sudah ada di kamar Dava. Mereka berdua baik-baik saja. Yang lebih penting, kita harus menyelesaikan pembicaraan ini,” ujarnya, berusaha menenangkan istrinya.

Bimo mengangguk setuju. “Betul, kita tidak bisa panik. Fokus kita sekarang adalah memastikan bahwa situasi ini tidak terulang. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana melindungi keluarga kita ke depan.”

Helen menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan kekhawatirannya. “Tapi bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi lagi? Aku tidak bisa berpikir dengan tenang,” keluhnya, suaranya mulai bergetar.

Robert menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti, Helen. Namun, jika kita terus berada dalam keadaan panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih. Mari kita selesaikan rencana ini bersama-sama, demi keselamatan kita semua,” katanya tegas.

Helen menunduk, berusaha mengumpulkan pikirannya. Dia tahu Robert benar, tetapi naluri keibuannya membuatnya sulit untuk tenang. Bimo melanjutkan, “Kita perlu mengidentifikasi titik-titik rentan dalam keamanan rumah dan melakukan langkah-langkah preventif yang lebih baik. Kita juga perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara kita.”

Suasana di ruangan itu mulai terasa lebih terarah, dan Helen berusaha berpegang pada harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja, asalkan mereka bersatu dalam menghadapi masalah ini.

Di tengah diskusi yang semakin intens, pintu ruang kerja terbuka dan salah satu anak buah Bimo masuk, membawa sebuah amplop besar. Ia menyerahkan amplop tersebut kepada Bimo, yang segera mengambilnya dan membukanya dengan cepat. Suara kertas yang menggesek menambah suasana tegang di ruangan.

Robert memperhatikan dengan saksama dan kemudian bertanya pada Helen, “Apakah kamu kenal dengan wanita ini?” Ia menunjuk pada foto yang muncul dari dalam amplop. Helen mengambil foto tersebut dan mencermatinya, memperhatikan detail wajah wanita di dalamnya.

Mata Helen menyipit, mencoba mengingat. Wanita itu tampak familiar, tetapi bayangan ingatannya masih samar. “Aku… merasa pernah melihatnya,” kata Helen, suaranya bergetar sedikit, “tapi aku tidak bisa mengingat di mana atau kapan.”

Robert mengamati reaksi Helen, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Kita perlu tahu siapa dia. mungkinkah dia ada di belakang rini?”

Bimo mengangguk setuju. “Ini mungkin kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Jika Helen mengenalnya, kita bisa mencari tahu lebih lanjut.”

Helen masih memegang foto itu erat-erat, berusaha mengingat detail-detail kecil. “Mungkin dia pernah datang ke acara keluarga atau pertemuan bisnis,” katanya, mengernyitkan dahi. “Tetapi, aku tidak bisa memastikan. Rasanya, ada sesuatu yang penting di balik semua ini.”

Robert menambahkan, “Jika kita bisa menemukan informasi lebih lanjut tentang wanita ini, kita mungkin bisa mencegah potensi bahaya di masa depan.”

Diskusi pun berlanjut, dengan Helen berusaha mengingat lebih banyak sambil Robert dan Bimo mulai merumuskan langkah-langkah berikutnya untuk menyelidiki siapa wanita itu dan apa keterkaitannya dengan situasi yang sedang mereka hadapi.

next part.....

...****************...

Sampai jumpa di part selanjutnya temen temen...

salam cantik dari author.....

partnya segini dulu yaa, semoga sukaa....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!