Namanya Fajar Putra Satria. Jika mendengar namanya, kalian mungkin sudah tahu jika dia lahir dikala Fajar sedang menjelma dengan indahnya. Tangisan pertamanya muncul untuk membuka hari baru dihidupnya dan keluarganya. Tapi, perjalanan hidupnya, tak seindah nama yang tersemat padanya.
Dia adalah seorang anak dari Ibu yang sangat baik dan berhati malaikat dan ayah yang seorang pengatur, pemarah dan berhati batu. Ia tak segan mengatakan keburukan-keburukan tentang ayahnya kepada teman-temannya. Ayahnya yang selalu memukulnya jika ia melakukan sedikit kesalahan saja, ayahnya yang selalu memaki anaknya meski di depan orang lain, dan ayahnya yang selalu pergi dari pagi-pagi buta hingga malam gelap gulita dengan pikiran yang tak karuan karena mabuk-mabukan dengan teman kerjanya.
Dan Ibu, ia tak pernah marah sedikit pun, sifatnya sangat kontras dengan ayah. Ibu sangat lembut, pengertian, perhatian, dan penyayang. Tapi jika di depan ayah, Ibu tak berdaya. Jangankan membela Fajar, membela dirinya sendiri saja sangat sulit. Entah apa alasan Ibu mau menikah dengan ayah saat itu.
Dan Fajar memiliki sifat yang keras. Dalam hal positif, sifat kerasnya ini sangat luar biasa. Jika ia memiliki keinginan ia akan berusaha keras untuk mendapatkannya, tak peduli seberapa kali ia gagal. Sedangkan dalam hal negatif sifat kerasnya sangat buruk, ia sering kali mempertahankan keputusannya, entah itu baik ataupun tidak, ia selalu bersikeras dengan apa pun yang sudah diputuskannya. Tak peduli seperti apa pun orang-orang mencoba membuatnya berpikir kembali. Jika ia sudah berkata A, berarti A.
Selain itu, Ia juga seseorang yang senang membuat guru disekolahnya kesal. Sudah sering ia disebut sebagai anak yang tak baik, tapi meski begitu, ia masih memiliki teman yang setia. Masih ada lagi hal negatif dari Fajar yaitu ia senang membuat orang lain kesal dan tertawa di atas kekesalan mereka. Dan lagi, ia juga tak pernah memedulikan perasaan orang lain yang kesal karenanya. Yang ia inginkan hanya kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Ia berprinsip "YANG PENTING SAYA BAHAGIA. JIKA ORANG LAIN TIDAK SENANG DENGAN YANG SAYA LAKUKAN SAYA TIDAK PEDULI." Itulah yang ia pikirkan.
"Bu, hari ini masak apa?." Tanyanya seraya menghampiri Ibu yang sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak.
"Masak omlet kesukaan kamu."
"Ya udah aku nunggu di meja makan." Saat hendak ke meja makan, di meja itu ternyata sudah ada ayahnya. Fajar mengurungkan niatnya untuk ke meja makan. Ia kembali ke dapur dan mendatangi Ibu.
"Bu, aku bantu ya?."
"Katanya tadi mau nunggu di meja makan."
"Males ah. Ada monster tahu Bu. Hih!." ujarnya sambil mengernyitkan dahi.
"Kamu ini. Ya udah ayo sini masak. Maaf ya, Ibu kesiangan masaknya jadi kamu baru sarapan jam segini." Ibu meminta maaf tentangnya yang memasak kesiangan. Karena biasanya Fajar sarapan lebih pagi dan lebih awal dengan Ibu agar ia tidak berhadapan dengan ayah.
“Enggak apa-apa Bu. Tapi maaf ya Bu, kalau ada ayah Fajar enggak bisa sarapan di meja makan. Padahal Fajar maunya sarapan sambil diliatin Ibu."
"Ish kamu ini. Masa sarapan mau diliatin Ibu."
"Kan biasanya Ibu kalau liat aku sarapan suka senyum. Jadi aku pengennya gitu terus."
"Iya.... terserah kamu."
Omlet telah selesai dimasak. Oleh Ibu dan anak lelakinya.
"Bu aku mau pisahin aja ya. Makannya di sini aja."
"Iya..."
Ibu sudah mengerti keinginan anaknya itu. Ia memisahkan omlet untuk anaknya dan meninggalkannya sendiri di dapur. Fajar segera makan, sambil memainkan HP. Membuka instagram, sosial media kesukaannya.
"Hih apaan sih ini. Instagram isinya cuman kampanye politik semua." tukasnya kesal.
Tak lama, seseorang yang paling ia tak suka datang ke dapur untuk mengambil minum. Ayahnya. Karena Ibu lupa menyiapkan minum, ayahnya harus datang ke dapur. Fajar hanya menunduk sambil sesekali melirik ke arah ayahnya.
Uhuk.... uhuk..... suara Fajar yang sedang terdesak membuat ayahnya melihatnya. Tapi ayahnya pergi menuju meja makan lagi. Fajar langsung minum dan mengelus-ngelus dadanya karena lega.
"Huuuh untung aja enggak lama-lama di sini. Kalau dia terus di sini nih. Bisa mati keselek Gue." ucap Fajar sambil menunjuk-nunjuk ke arah ruang makan.
Diruang makan terdengar suara obrolan ayah dan Ibu.
"Bu, ayah pergi kerja dulu ya."
"Hih. Bu, ayah pergi kerja dulu ya. Kerja apaan lagi libur lebaran gini? Kerja enggak mabuk-mabukan iya." Ujar Fajar yang mengejek ucapan ayahnya.
Ayah pergi keluar menaiki mobilnya. Dan pergi meninggalkan Ibu dan Fajar di rumah. Karena Fajar sedang berlibur. Fajar malah curiga kepada ayahnya.
"Bu ke mana sih dia?. Masa kerja lagi liburan gini."
"Iya ayah kamu itu katanya ada panggilan dadakan dari bosnya. Ya udah ayo bantuin Ibu beresin." Karena pembantunya sedang pulang kampung di liburan lebaran ini. Jadi Ibu harus melakukan semua pekerjaannya sendiri. Usai Fajar membantu Ibu membereskan meja makan, ia kembali ke kamar. Ya memangnya apalagi yang harus dilakukan untuk seseorang yang liburan di rumah dikala orang-orang lain pulang kampung?.
Trrrrt..... trrrrt. HP Fajar bergetar. Ada notifikasi dari aplikasi whatssapp.
"Jar sini yuk. Main ke rumah Gue. Kita main game atau apalah Gue bosen nih." sebuah pesan muncul dari Rendy, kawan Fajar yang rumahnya tak jauh dari rumah Fajar.
"Lo enggak pulang kampung ren?."
“Enggak, Gue males ikut mereka jadi Gue sendirian di rumah. Ya udah sini. Lo pasti lagi kesel sama bapak Lo kan? Ha ha."
"Lo tahu aja. Iya Gue kesel. Masa dia kerja pas lagi liburan gini kan aneh ya?."
"Ha ha ya udah lah cepetan kesini Gue tunggu." Dibandingkan teman-temannya yang lain. Rendi ini adalah salah satu orang yang paling mengerti tentang Fajar. Rendi ini memiliki sifat yang sangat mirip dengan Fajar. Ia sangat percaya diri, sangat ambisius dan suka membuat guru disekolahnya kesal. Hal yang berbeda antara Fajar dan Rendy yaitu tentang keluarganya. Berbeda dengan Fajar yang sangat ingin diberi kasih sayang, Rendy ini tak suka diberi kasih sayang yang berlebihan oleh kedua orang tuanya. Ia seperti ingin hidup sendiri. Karena menurutnya, kasih sayang yang berlebihan itu hanya untuk anak kecil. Maka dari itu ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan tidak ikut pulang kampung. Ia lebih senang di rumah bersama bibi (pembantunya) yang akan ke rumah Rendy setiap pagi hingga sore.
Fajar mandi dan bersiap siap. Mengganti bajunya, menyisir rambutnya, dan menyiapkan sepatunya. Saat mau pergi ia ditanya oleh Ibu. Dan ia hanya menjawab "pergi main sama Rendy." karena Ibu sudah sangat kenal dengan Rendy, jadi Ibu tidak terlalu khawatir dan mengizinkannya.
Setelah pamitan kepada Ibu, Fajar berjalan kaki ke rumah Rendy yang memang lumayan dekat. Sesampainya di sana Rendy sedang mengeluarkan mobilnya.
"Lah. Lo ngapain ngeluarin mobil?. Katanya mau main game."
"Niat Gue berubah ayo cepetan naik."
"Gue udah menduga ini. Kalau Lo ngajak Gue ke rumah. Ujung ujungnya pasti pergi keluar juga. Ha ha. Untung Gue mandi dulu."
"Ya udah ayo naik. Si Refina juga mau ikut katanya."
"Dia yang mau ikut atau Lo yang ngajak dia?."
"Iya... itu Lo tahu."
Refina ini adalah teman mereka berdua. Refina memiliki sifat yang jauh dengan Fajar dan Rendy. Ia tak senang mempunyai banyak masalah yang disebabkan oleh dirinya. Ia juga sangat taat dengan peraturan yang diberikan di mana pun. Refina ini adalah seseorang yang disukai oleh Rendy. Tapi Rendy tidak berani mengungkapkan perasaannya karena takut ditolak katanya. Kalau kata Fajar. "Penakut. Sebelum perang udah menduga duga bakalan kalah!."
Mereka pergi menjemput Refina yang juga tak berlibur ke kampung halaman karena memang semua keluarganya tinggal di daerah yang sama. Hal itulah yang membuatnya kurang suka berkumpul dengan keluarganya. Karena setiap mereka berkumpul entah itu hari-hari biasa ataupun hari lebaran, semuanya sama saja. Padahal yang Refina inginkan adalah pergi menemui keluarganya yang jauh untuk saling melepas rindu dan menceritakan banyak hal. Tapi hal itu memang tidak mungkin untuk sekarang.
Setelah Refina naik mobil, dia bertanya.
"Kita mau ke mana ren?."
"Ke bioskop. Kita nonton film horor yang seru."
"Nah gitu dong ngajak Gue yang lagi gabut di rumah. Terus Lo jar, Lo juga enggak liburan?." Tanya Refina sambil menengok ke jok belakang tempat Fajar duduk di sana.
“Enggak lah. Ayah Gue kerja."
"Ha kerja? Lo enggak salah?."
"Kagak. Bingung Gue juga. Punya bapak aneh banget."
"Ha ha. Ya udah lah biarin. Kalau si Rendy lebih aneh lagi ya?. Masa keluarganya pulang kampung dia malah pengen stay di rumah sendirian. Kenapa ren?."
"Gue enggak suka pulang kampung. Apalagi ketemu sama keluarga gitu kan. Mereka suka pada ngomong gini 'eh nak Rendy, udah gede aja. Padahal dulu waktu kesini masih kecil banget' ya iya lah ya kan Gue tumbuh. Mereka kira Gue jenglot kali yang hidupnya bakalan segede gitu aja." Ucapan Rendy sontak membuat Fajar dan Refina tertawa keras.
Sesampainya di tempat yang di tuju, Fajar memutuskan untuk tidak ikut menonton. Ia ingin membeli buku saja. Selain itu ia juga tak ingin mengganggu Rendy dan Refina. Tanpa basa basi Rendy langsung mengiyakan.
Rendy dan Refina menonton film horor di bioskop. Sebenarnya Rendy sudah memesan tiketnya terlebih dahulu jadi ia langsung saja menonton filmnya tanpa harus menunggu. Saat menonton, sesekali Refina memegang tangan Rendy saat hantunya muncul. Dan yang namanya Rendy, saat ia dipeluk oleh seseorang yang ia sayang senangnya bukan main. Ia seperti tidak fokus menonton film. Ia hanya fokus memperhatikan Refina.
"Aaaaaa. Ren takut Gue." teriak Refina sambil memegang tangan Rendy dan menempelkan kepalanya di bahu Rendy.
Rendy hanya diam saat diperlakukan seperti itu. Karena itu memang sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Rendy. Dia yang selalu kesulitan saat sedang mencoba mendekatkan hatinya pada Refina. Kali ini merupakan awal yang bagus untuk kedekatan mereka berdua.
Sementara Rendy dengan Refina menonton. Fajar lebih memilih membeli dan membaca buku. Selain karena dia tak ingin mengganggu Rendy yang sedang pdkt. Ia juga tak suka suara teriakan orang-orang saat sedang menonton film horor.
Di toko buku, Ia memilih membeli buku roman dan komik. Setelah membeli buku, Fajar pergi ke tempat makan, duduk di sebuah meja, memesan sebuah cappucino, sambil membaca buku yang tadi ia beli. Kali ini ia membaca sebuah novel tentang kisah cinta remaja.
"Cerita dalam novel selalu bercanda. Dua anak remaja yang tadinya saling benci bisa jadi saling mencintai hingga mempunyai anak dan cucu. Memang ada ya kisah cinta yang seperti itu di kehidupan nyata?." Fajar bergumam sendiri dengan batinnya. Setelah dari novel, ia beralih membaca komik super hero kesukaannya sambil sesekali menyeruput capuchino yang sudah ia pesan. Setelah belasan halaman ia baca, ia beralih lagi ke novel. Terus saja begitu.
Lalu Rendy dengan Refina mengirim pesan pada Fajar.
"Lo di mana sih katanya cuman beli buku. Tapi ko enggak ada?."
"Oh Gue lagi di tempat makan nih, Lo cepet dateng aja kesini. Soalnya Gue belum bayar. Ha ha."
"Hadeeeh. Lo ada-ada aja. Giliran bayar Lo suruh Gue cepet dateng."
Rendy dan Refina lalu menghampiri Fajar dan duduk di satu meja. Mereka makan dan mengobrolkan masalah-masalah yang akhir-akhir ini sedang menimpa mereka. Dan hal itu bukan hal yang aneh. Mereka bertiga sudah saling mempercayai satu sama lain. Hingga mereka tidak segan untuk membicarakan setiap hal. Bahkan untuk hal-hal yang sangat rahasia bagi mereka sekalipun.
Ucapan Fajar akhirnya membuat suasana agak hening.
"Eh Ref. Katanya tadi si Rendy mau ngomong sesuatu sama Lo."
"Ha? Sesuatu? Sama Gue?." Mereka bertiga langsung terdiam.
"Iya Lo doang yang belum dia kasih tahu."
"Loh kok gitu sih Ren. Si Fajar udah dikasih tahu tapi kok Lo ngerahasia in dari Gue sih."
"Ha? gu... Gue..." Ucap Rendy gugup sambil melirik ke arah Fajar dan mengisyaratkan harus ngomong apa Gue?
"Omongin aja Ren jangan segan segan. Atau mau Gue aja yang ngomong?." Fajar menekan terus agar Rendy mau bicara.
"Gue itu.."
"Dia itu suka....." sebelum Fajar menyelesaikan ucapannya Rendy langsung memotongnya.
"Gue itu suka banget nonton drama korea gitu."
"Ha? Sejak kapan? Ih Lo mah bercanda kali." ujar Refina heran.
Gue itu suka sama Lo. hati Rendy geregetan untuk membicarakan hal itu.
"Ha ha dasar ya si Rendy." Fajar tertawa sambil menepuk bahu Rendy.
Obrolan mereka di sana begitu hangat, mereka seperti sebuah keluarga yang saling menyapa dikala lebaran tiba. Setiap obrolan yang membuat mereka nyaman, senang, dan bahagia sepertinya hanya didapat saat berkumpul seperti ini. Bukan berkumpul bersama keluarga mereka.
Kadang orang-orang yang kita anggap seperti keluarga lebih berharga. Dibandingkan orang-orang yang memiliki ikatan keluarga dengan kita. Tapi tak pernah menganggap kita ada.
-Fajar
Waktu liburan telah berakhir di hari Selasa. Dan sekarang sudah mulai memasuki tahun ajaran baru. Fajar dan teman-temannya sudah menjadi kelas 12 di SMAN 2 Bandung sekarang. Sudah jadi kakak yang paling tua katanya. Dan saat awal-awal masuk seperti ini apalagi baru selesai lebaran. Satu sekolah pasti akan melakukan halalbihalal dan saling melepas kerinduan. Meskipun di antara mereka banyak yang berbeda agama, tapi mereka tetap ikut untuk menghargai. Satu persatu siswa saling bersalaman dan saling bermaaf-maafan. Baik kepada sesama temannya maupun kepada para guru. Mereka membuat barisan yang panjang dan memenuhi seisi lapangan.
"Maafin aku ya. Aku kadang suka bikin kamu kesel."
"Maafin aku ya, kadang aku suka marah-marah enggak jelas."
"Maafin aku ya, aku pernah ngehina kamu sampe kamu nagis."
"Aduh, kangen banget, udah lama kita enggak ketemu."
"Akhirnya kita ketemu juga, aku kangen kita saling nyontek pas ujian." semua ucapan permintaan maaf dan ucapan rindu menjadi suara-suara yang menggema memenuhi lapangan.
Setelah halalbihalal dan saling melepas kerinduan, semua siswa berkeliaran disekolah. Karena proses belajar mengajar belum dilaksanakan. Jadi mereka bebas, yang penting pulang sesuai waktu yang sudah ditentukan. Saat itu, Fajar, Rendy dan Refina tengah duduk di kantin sambil memainkan HP masing-masing. Dan hal itu adalah hal wajar yang sering terjadi di zaman yang aneh ini. Di mana setiap orang yang berkumpul akan sibuk dengan dunia yang masing-masing mereka genggam.
Saat tengah asyik memainkan Hp, dari luar kantin terlihat dengan jelas seorang perempuan yang berjalan ke arah ruang kepala sekolah dengan orang tuanya. Dengan memakai seragam yang atributnya berbeda, mengenakan tas hitam yang menggantung dipunggungnya dan dengan rambut yang diikat satu, ia berjalan sambil terus menatap sekeliling.
"Eh eh. Itu siapa deh? Kok sama orang tuanya gitu kayak anak sd mau ngambil rapot." Tanya Fajar penasaran.
"Murid baru kali. Lo kayak heboh banget gitu sih." balas Refina dingin.
"Dia cantik." ucap Fajar sambil memperhatikan perempuan yang melewatinya di depan kantin dengan tangan yang memegang dagunya.
"Halah. Bisa aja Lo. Dia enggak mungkin suka sama Lo." Ujar Rendy yang tiba-tiba mengusap wajah Fajar. Rendy sudah mengerti maksud Fajar. Yaitu Fajar menyukai gadis itu.
"Mungkin aja ah. Tuhan itu maha membolak-balikan hati jadi kalau Lo bilang dia enggak bakalan suka, tuhan bisa aja bikin dia suka sama Gue."
"Malah ceramah Lo."
"Udah lah Gue mau cari tahu dia siapa." Fajar berdiri dari kursinya sambil memegang meja lalu pergi keluar kantin. Rendy dan Refina saling menatap heran lalu mengangkat bahu dan tangan mereka ke depan.
Fajar pergi ke ruang kepala sekolah. Saat sudah sampai di depan ruangan itu, ia mengendap-endap dan mengintip ke dalam sabil menguping. Ia mengarahkan sebelah matanya ke dalam ruang kepala sekolah. Melihat pak kepala sekolah dan seorang Ibu dan anak sebagai lawan bicara pak kepala sekolah.
"Nak Andini, besok bisa mulai sekolah. Jadi untuk sekarang bisa pulang aja dulu ke rumahnya. Soalnya proses belajar mengajar dimulainya besok." ucap pak kepala sekolah yang terdengar samar-samar.
"Oh namanya Andini." ucap Fajar sambil mengangguk.
"Baik pak. Tapi kelas saya di mana ya?."
"Untuk kelas. Nak Andini bisa diantar besok. Dan kelas nak Andini yaitu kelas 12 IPS 3."
"Oh iya pak terima kasih ya."
"Terima kasih ya pak. Anak saya besok akan mulai sekolah." ucap Ibu Andini.
"Iya Bu, semoga betah ya sekolah di sini" harap pak kepala sekolah.
"Amiin."
Andini keluar dari ruangan itu. Fajar yang terlihat kaget lalu berjalan menjauh dan berpura-pura bahwa ia sedang berjalan ke ruang kelas. Ibu Andini pergi ke dalam mobilnya dan meninggalkan Andini sendiri di sana, sementara Andini berjalan-jalan sendiri sambil melihat lihat lingkungan sekolah. Ini merupakan kesempatan bagi Fajar. Tanpa berlama-lama, Fajar menghampiri Andini lalu berpura-pura menanyakan namanya meski ia tahu.
"Hai, kamu murid baru ya? Namanya siapa?."
Andini hanya menatap heran lalu melihat ke arah belakang, memperhatikan kepada siapa lelaki di hadapannya itu berbicara.
"Gue?." Tanya Andini sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
"Iya kamu, nama kamu siapa?."
"Jangan kepo deh Lo!."
"Oh jangan kepo deh Lo namanya. Kenalin aku Fajar." Fajar mengulurkan tangannya.
"Lo tuh ngeselin ya, udah minggir, Gue mau pulang!!" Hardik Andini lalu berjalan menjauh.
"Jangan pergi dulu Andini!." Andini melihat ke arah Fajar.
"Nama kamu Andini kan?." Lanjut Fajar.
"Iya, Gue Andini. Udah ya Gue mau pulang." Andini sangat ingin marah saat itu. tapi ia murid baru disekolah ini. Jadi tidak mungkin ia tiba-tiba marah, terlebih lagi pada seseorang yang baru ia kenal.
"Jangan dulu!!." Fajar mencoba mengejar dan menahan Andini.
"Apaan lagi?."
"Kamu kan baru kesini, nah aku temenin buat keliling-keliling ya?."
“Enggak usah."
"Oke."
Fajar langsung menarik tangan Andini dan mengajaknya berkeliling meski Andini tidak mengiyakan ajakan Fajar. Fajar menunjukkan beberapa ruangan. Seperti kelas, lab komputer, ruang guru, ruang BK. Belum semua ruangan Fajar tunjukan pada Andini, Andini menghentikan langkah mereka berdua dan melepaskan tangan Fajar yang masih memegangnya.
"Udah ya, Lo itu ganggu banget sumpah. Gue mau pulang!!."
"Tunggu bentar deh. Kamu tahu enggak?."
"Apa?" Tanyanya dengan nada meninggi.
"Kamu cantik. Dan aku suka sama kamu." ucap Fajar sambil tersenyum.
"Gue harus pergi. Sorry." Andini yang kaget dengan ucapan Fajar memutuskan untuk menghentikan percakapan di antara mereka dengan pergi ke arah mobil yang sedang terparkir dan ada Ibunya di sana. Bagaimana ia tidak kaget dan langsung pergi jika ia diberi ucapan rasa suka oleh seseorang yang baru ia kenal?.
"Dasar orang aneh." hardik Andini ketus.
Andini pergi meninggalkan Fajar. Sementara Fajar hanya tersenyum melihat gelagat Andini lalu berteriak.
"Kamu suka juga enggak sama aku? Hey Andini.... ya udah aku tungguin."
Bukan tidak mungkin cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, buktinya saat ini Fajar mengalaminya. Entah mengapa tiba-tiba rasa itu datang. Tapi bukan itu yang penting, yang penting itu apakah perasaan itu akan terbalas atau tidak, jika tidak, ia harus memperjuangkannya.
Usai pertemuan Fajar dan Andini tadi. Apa yang kalian pikirkan? Mungkin kalian berpikir bahwa mereka akan saling jatuh cinta, dan di akhir cerita mereka akan hidup bahagia bersama selamanya. Begitu? Maaf, cerita ini bukan cerita murahan. Jika kalian ingin tahu, baca dulu hingga selesai.
Usai jam-jam kebebasan, semua siswa dipulangkan. Hari pertama sekolah memang selalu berakhir dengan singkat. Fajar mulai berjalan menuju kelas. untuk mengambil tasnya, dikelas ia tersenyum sambil membayangkan setiap kejadian yang dialaminya tadi.
"Jar Lo kenapa sih? Kesambet jurig sekolah nih kayaknya. Sana jangan deket-deket, takut Gue." tukas Rendy seenaknya sambil mengambil tas.
"Iya nih si Fajar kenapa sih?." Tanya Refina.
"Gue suka sama dia" ucap Fajar.
"Dia? dia siapa?." Rendy heran.
"Gue suka sama dia." tegas Fajar.
"Iya Gue tahu. Tapi dia itu siapa kadal!." Refina kesal.
"Dia itu Andini."
"Andini?." Tanya Rendy
"Andini siapa?." Sambung Refina. Rendy dan Refina semakin penasaran dengan sosok Andini ini. Tapi Fajar tak menjawab dan lekas keluar kelas.
Saat keluar dari kelas, Fajar diikuti oleh Rendy dan Refina karena mereka penasaran dengan perempuan yang disukai oleh Fajar.
"Eh jar, jar." panggil Rendy
"Apaan?."
"Lo belum jawab pertanyaan kita berdua tadi!."
"Pertanyaan apa?."
"Andini itu siapa?." Tanya Refina kesal.
"Oh itu. Besok lah. Besok Gue kasih tahu."
"Yeeeee. Ni anak. Bikin kita makin penasaran aja." gerutu Refina.
"Ya udah Gue pulang dulu. Sampai jumpa esok hari teman-temanku."
"Dia kenapa sih. Aneh." tukas Rendy
"Iya aneh banget kayak Lo. Ha ha." Refina tertawa sambil pergi menemui ayahnya yang sudah menjemputnya.
"Emang Gue aneh ya?." Tanya Rendy pada dirinya sendiri sambil menggaruk garuk kepalanya dan pergi ke parkiran.
Pak satpam membuka kunci gerbang dan menggeser gerbang lebar-lebar. Semua siswa berhamburan pulang melewati gerbang dengan rasa senang. Ada yang pulang menaiki motor, mobil atau menunggu orang tuanya menjemput. Di tempat parkir itu, Rendy menemui Fajar yang sedang tidak membawa motor yang biasa ia pakai.
"Jar Lo mau pulang bareng?."
“Enggak ren Gue bawa sepeda biar sehat."
"Halah sehat. Ngomong aja motor Lo bensinnya abis."
"Tau aja Lo. Gue males minta duit sama ayah. Dan Ibu bilang dia lagi enggak pegang uang. Jadi ya udah Gue naik sepeda aja."
"Serius nih Lo enggak mau bareng Gue?."
"Iya Gue serius. Udah sono ajak aja si Refina."
"Dia juga enggak mau. Katanya dijemput. Ya udah Lo hati-hati ya."
"Iya. Lo juga."
Fajar naik ke atas sepedanya dan mulai mengayuh. Menyusuri jalanan di kota Bandung meninggalkan SMA 2. Karena rumahnya yang lumayan agak jauh, keringatnya menetes dari kepala hingga ke dadanya. Perlahan tapi pasti, ia pun sampai ke rumahnya dengan nafas yang terengah engah.
Setelah membuka sepatu dan kaos kaki, ia lari ke dapur dan mengambil minuman dingin di kulkas.
"Huuuh. Baru kali ini Gue naik sepeda lagi. Udah cuacanya panas lagi, jadi Gue keringetan."
"Kamu kenapa jar?."
"Ini Bu Fajar kecapean. He he."
"Maaf ya, Ibu lagi enggak punya uang. Jadi kamu enggak bisa beli bensin dan naik motor."
"Iya Bu enggak apa-apa. Emangnya ayah enggak pernah ngasih uang ya Bu? Tapi katanya dia kerja mulu."
“Enggak tahu Ibu juga. Katanya dia belum gajian."
"Hhhh. Paling di pake mabuk-mabukan lagi bu. Fajar udah bosen dengan alesan dia."
"Kamu enggak boleh gitu nak!."
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Fajar langsung pergi ke kamar meninggalkan Ibunya. Ia duduk di kursi meja belajarnya.
"Andini ya...." ia terus memikirkan seorang murid baru yang tadi ia temui. Ia mengambil HP-nya dan berniat melakukan satu hal.
"Gue cari aja kali ya sosial medianya." Pikirnya. Ia lalu mulai membuka aplikasi instagram dan menuju kolom pencarian. Ia mencari nama Andini. Dan yang ia dapat adalah ratusan bahkan ribuan akun dengan nama Andini.
"Buset!. Banyak banget orang yang namanya Andini. enggak apa-apa lah. Gue cari aja satu satu." Dengan penuh semangat, Fajar mulai mengklik satu persatu profil orang-orang dengan nama Andini. Mulai dari Andini saja hingga ayam geprek Andini, semua profil orang-orang dengan nama Andini ia buka satu persatu.
Sudah beberapa menit ia mencari tapi tetap ia belum menemukan Andini yang mengupload foto dengan wajah seseorang yang ia temui tadi.
"Mana sih?. Kok enggak ketemu-ketemu." Ujar Fajar kesal. Ia terus mencari hingga akhirnya ia menemukan seseorang dengan akun bernama Andini Larasati. Dan dari foto fotonya ia tak menemukan wajah seseorang yang ia temui disekolah. Hanya ada beberapa foto pemandangan dan foto sepasang suami istri.
"Aduh ini juga bukan. Eh eh, tapi ini Gue kayak tahu deh." Fajar melihat dan memperhatikan foto sepasang suami istri yang ada di sana. Ia terus memperbesar gambar dan memperhatikannya.
"Ini kayaknya Ibu-ibu yang tadi sama Andini. Mungkin ini Ibunya kali ya?. Hmmmm. Oke follow!!" Tegasnya.
Cinta pandangaan pertama ternyata enggak mustahil. Yang berkemungkinan mustahil adalah dicintai kembali oleh seseorang yang kita cintai pada pandangan pertama kali. -Fajar
Dia Andini Larasati. Ia lahir dikala hari menjelang pagi. Saat ia lahir, ia tak sempat melihat wajah Ibunya. Karena Ibunya meninggal beberapa jam usai melahirkannya. Dan dari kecil, ia hanya tinggal dengan ayahnya. Ayahnya yang selalu ia panggil dengan sebutan Papa, Ayahnya yang sangat baik dan selalu bersikap ramah terhadap siapa pun, ayahnya yang menyayanginya dan ayahnya yang selalu memanjakannya karena ia anak satu satunya. Beberapa tahun setelah Andini lahir, ayahnya menikah lagi dengan seorang perempuan yang ia cintai. Yang selalu bersikap baik terhadap Andini. Ibu barunya ini tak seperti Ibu tiri Ibu tiri dicerita dongeng. Ibu tiri Andini ini seperti malaikat yang memang ditakdirkan tuhan untuk menjaganya. Perlahan-lahan Andini bisa menerima Ibunya yang baru, ia mulai dekat dan semakin dekat. Hingga Andini selalu ingin ditemani oleh Ibunya ke mana pun ia pergi.
Andini sangat pandai bermain catur. Andini belajar bermain catur dari kakeknya. Di mana kakeknya sering mengajaknya bermain catur bersama hingga Andini pandai. Waktu ia berusia 15 tahun ia pernah menjadi juara satu di daerahnya dalam pertandingan catur. Di mana orang tuanya sangat bangga terhadapnya saat itu.
Saat ini Andini pindah ke Bandung karena ikut dengan ayahnya. ayahnya yang selalu bekerja dari pagi hingga petang dan selalu pergi keluar kota untuk pekerjaannya. Dan kota tempat ayahnya bekerja kali ini adalah Bandung. Tapi kali ini, Andini harus ikut dengan ayahnya keluar kota untuk pekerjaan yang cukup lama. Dan mungkin Andini akan tinggal terus di Bandung.
Sebelum ia pindah ke Bandung dan pindah sekolah, dari kecil ia tinggal di Jakarta. Jakarta itu tempat di mana tangisan pertamanya berawal, tempat di mana kakinya melangkah untuk pertama kali, tempat di mana ia belajar catur dengan kakeknya. Dan tempat di mana segala kebahagiaan ia dapatkan. Dan karena hal itulah ketika ayah Andini memutuskan untuk pindah ke Bandung, Andini tak senang dengan keputusan itu. Ia sangat marah terhadap ayahnya. Menurutnya Jakarta itu tempat kebahagiaannya. Di mana ia dapat bermain catur dengan kakeknya, jalan-jalan dan bersepeda dengan temannya hingga sore lalu pulang dengan rasa lelah dan rasa senang. Tapi di Bandung, ia mungkin tak akan dapat melakukan semua itu lagi. Ia tak bisa bermain catur dengan kakeknya dan bersepeda hingga sore dengan temannya. Meski ia hanya punya satu teman di Jakarta, tapi ia sangat enggan berpisah dengan temannya. Karena temannya itu adalah satu satunya orang yang mengerti dan merasakan apa yang ia rasakan. Teman senasib katanya.
Tentang sifat Andini, Sifatnya ini bertolak belakang dengan ayahnya. Dingin, apalagi terhadap orang baru. Ia tidak bisa dan biasa bersikap ramah terhadap seseorang yang baru ia kenal. Tapi di hadapan ayah dan Ibunya, ia masih tetap seperti seorang anak kecil, sangat ceria dan senang menceritakan banyak hal. Terlepas dari sikap dinginnya, Andini ini seseorang yang pandai, kukuh terhadap pendiriannya dan berani mengambil keputusan.
Waktu hari pertama ia datang ke sekolah, ia bertemu dengan Fajar. Ia diajak oleh Fajar berkeliling. Dan dengan terpaksa, ia mengikuti Fajar meski ia tak mengiyakannya. Entah ada apa dalam diri Fajar. Saat pertama bertemu dengan Andini saja Fajar langsung mengatakan bahwa ia menyukai Andini, dan ya, saat itu Andini langsung membeku dan meninggalkan Fajar. Menurutnya, sikap Fajar itu sangat aneh.
"Udah SKSD. Pake bilang suka-suka segala lagi. Dih aneh emang." gumam Andini dalam hati.
Dalam mobil, saat ia bergegas untuk pulang, Andini memikirkan ucapan Fajar.
"An, kamu kenapa? Kok ngelamun?."
"Mmmm enggak Ma, enggak apa-apa. Ayo kita jalan." ucap Andini pada Ibunya.
Ibunya lalu menjalankan mobil dan melewati jalanan untuk pulang.
Saat malam tiba, ayahnya tak juga pulang ke rumah. Andini selalu menunggu ayahnya meski hingga larut malam hanya untuk memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja. Jika sudah pulang, kebiasaan Andini adalah menyiapkan segelas teh lalu bercerita dengan ayahnya. Ayahnya selalu meluangkan waktu meski hanya sebentar.
"Pa, sekolah baru yang papa bilang itu tadi aku udah dateng ke sana."
"Gimana, kamu suka?."
"Mmmmm. Suka sih."
"Suka sih? Berarti ada yang enggak sukanya."
“Enggak sukanya, karena murid-muridnya orang-orang baru." jelas Andini pelan.
“Enggak apa-apa. Kamu pasti bisa terbiasa. Coba deh kamu kasih senyum sesekali sama orang-orang kalau ketemu mereka."
"Ngapain? Nanti dikira SKSD."
"justru, dibandung hampir semua orang kaya gitu. Ramah, bahkan sama seseorang yang baru ia kenal. Kayak Ibu kamu"
"Ibu? Ibu yang mana?."
"Ibu kamu. Ibu yang melahirkan kamu."
"Emang Ibu aku itu gimana?."
"Dia itu ramah, baik sama semua orang, pertama kali kita ketemu itu Ibu kamu nolongin papa waktu keserempet motor. Dia bawa papa ke rumahnya dan ngobatin luka papa padahal kita enggak saling kenal."
"Oh gitu ya. Berarti Ibu itu cinta pandangan pertama papa. Ha ha."
"Ish kamu ini. Udah cepet tidur." ucap ayah Andini sambil pergi menggelengkan kepala dan meninggalkan Andini ke kamarnya.
Andini lalu pergi ke kamarnya dan lekas tidur.
Esoknya, pagi-pagi sekali Andini bangun. Ke kamar mandi, lalu Shalat subuh. Setelah selesai, ia duduk kembali di kasur dan memainkan HP-nya untuk berselancar di instagram. Saat membukanya, di daftar DM ada seseorang yang mengirim pesan padanya.
"Hai Andini, ini aku yang kemarin nganterin kamu keliling sekolah."
Pesan itu dari Fajar. Andini berpikir sejenak.
Gak usah dibales lah ngapain juga. Gue kan enggak kenal dia. Andini membatin.
Beberapa menit setelah memainkan HP-nya. Andini membuka jendelanya untuk menghirup udara segar dan menyaksikan sang Fajar terbit dari arah timur. Tak lama kemudian, Ibunya datang untuk mengajaknya pergi sarapan.
“Sebentar Ma, Andini mau mandi dulu!.” Ucapnya.
Andini lalu mandi, beberapa menit setelahnya ia langsung berganti baju, menyiapkan buku, dan mengikat rambutnya seperti biasa lalu lari ke meja makan untuk sarapan.
Mereka bertiga makan di satu meja. Satu hal yang menyenangkan bagi sebuah keluarga. Masakan dari seorang Ibu dan obrolan-obrolan menyenangkan yang keluar dari mereka adalah sebuah kebahagiaan sederhana yang tak bisa didapat di tempat lain.
Sarapan berakhir, Andini berpamitan kepada ayahnya. Karena ia akan berangkat dengan Ibunya. Karena tempat bekerja ayahnya berbeda arah dengan sekolah Andini. Jadi Andini harus diantar jemput oleh Ibunya. Sesampainya disekolah, Andini turun dari mobil dan berpamitan kepada Ibunya. Setelah itu, ia berjalan perlahan menuju ruang kepala sekolah untuk menanyakan di mana kelasnya berada. Ia berjalan sambil sesekali memperhatikan ke arah kiri dan kanan.
"Hmmmm, ini hari pertama sekolah. Semoga menyenangkan!." Senyum bahagia muncul dari bibirnya.
"Hai Andini." Sapa lelaki yang sudah tak asing lagi bagi Andini. Yaitu Fajar. Wajah Andini berubah, dari yang tadinya tersenyum bahagia sekarang cemberut dan sangat marah.
"Apaan sih ganggu banget Lo."
"Kok Lo sih manggilnya. Aku kamu dong!."
“Enggak!."
"Ayolah."
“Enggak!."
"Kita ini baru kenal masa kamu kayak gitu."
“Enggak!."
"Jadi...."
“Enggak!."
“Enggak!." canda Fajar.
Mendengar ucapan itu Andini menahan tawa. Ia mencoba untuk bersikap tidak peduli pada Fajar agar Fajar segera menjauhinya. Karena takut Fajar mempunyai niat buruk.
"Dasar aneh!."
"Hai jar!." sapa kedua teman Fajar. Rendy dan Refina.
"Ini siapa?." Tanya mereka berdua.
“Ini Andini.”
“Oh yang Lo bilang kemarin suka sama dia?.” Ucap Rendy lantang. Mendengar hal itu Fajar langsung memukul Rendy.
“iya Andini. Katanya Fajar suka sama kamu!.” Refina memberikan ucapan yang membuat Andini tertegun seperti kemarin. Dan lagi-lagi, setelah mendengar ucapan itu Andini langsung pergi buru-buru. Meninggalkan mereka bertiga di sana. Dari kejauhan terdengar perdebatan antara Fajar, Rendy dan Refina.
"Lo kok bilang kalau Gue suka sama dia sih. Jadinya dia ninggalin Gue kayak kemarin." protes Fajar ketus.
"Kemarin? Jadi Lo udah bilang suka sama dia. W-O-W-B-G-T." Refina kaget dan mengeja ucapannya.
"Gila sih Lo jar padahal dia murid baru yang baru Lo temuin 1 hari." Rendy bertepuk tangan beberapa kali karena kagum.
Bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Andi masuk ke kelas 12 IPS 3 dan diantar oleh Pak kepala sekolah.
"Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, ini teman baru kalian. Namanya Andini. Mulai sekarang dia akan belajar dikelas ini. Silakan Andini memperkenalkan diri."
"Hai semuanya, nama saya Andini, saya pindahan dari Jakarta."
"Ada yang mau ditanyakan? Kalau enggak ada saya tinggal ya. Silakan Andini duduk."
Andini duduk di kursi paling belakang yang masih kosong. Karena jam pertama pelajaran adalah jam kosong dan guru tidak memberi tugas, semua siswa hanya mengobrol saja. Kecuali Andini, entah kenapa seperti ada batas di antara Andini dan orang-orang baru. Ia tak pernah berani untuk berkata "hai" kepada satu orang pun di sampingnya. Saat perkenalan tadi saja, tatapan orang-orang padanya seperti menyuruhnya untuk menjauh. Tapi hal itu adalah hal yang biasa dan merupakan hal yang ia senangi. Ya, ia senang jika tak ada yang mau berteman dengannya. Karena menurutnya untuk apa punya banyak teman. Toh kalau dia sedang susah juga, ujung ujungnya mereka yang dianggap teman akan menjauh entah ke mana, tak akan ada yang mau membantunya satu pun. Meski begitu, Andini selalu mempunyai kesenangan dikala ia sendiri yaitu menggambar. Ia selalu menggambar di waktu luang atau di waktu seperti ini, di mana ia merasa sendiri di keramaian.
Usai pelajaran selesai, Andini keluar dari kelasnya. Ia menggendong tas lalu melewati pintu dan berlari ke arah parkiran. Dan di sana Ibunya belum ada. Tapi ia akan menunggu. Tiba-tiba laki-laki itu muncul lagi.
"Hai Andini. Lagi nungguin jemputan ya?."
"Hhhh. Kenapa sih di setiap sudut sekolah ini ada Lo mulu. Siapa nama Lo? Gue lupa."
"Fajar. Ya kan aku udah bilang kalau aku suka sama kamu."
"Terserah Lo."
"Ya udah aku temenin ya sampai Ibu kamu dateng."
“Enggak!."
"Gitu mulu. Ya udah aku duluan. Tapi hati-hati kalau sendirian di sini. Kan semua orang bakalan langsung pulang. Hiiii. Dadah!." Fajar menakut-nakuti Andini sambil naik ke atas sepeda.
"Eh jangan nakutin Gue. Ya udah Lo temenin Gue di sini. Tapi diem doang jangan ngomong apa pun. Diem di sini!." tegas Andini sambil menunjuk ke arah sampingnya.
"Iya deh iya. Penakut!."
"Apa Lo bilang. Hhhh!!." Andini mengepalkan tangannya.
Beberapa menit kemudian, Ibunya datang, Andini naik ke atas mobil dan meninggalkan Fajar sendiri di sana.
"Dadah Andini!."
"An itu siapa?." Tanya Ibu Andini
“Enggak tahu. Dia sok kenal gitu. Udah ayo cepet Ma. Aku udah laper."
"Ya udah berangkaaaat."
Ibu Andini menyetir mobilnya dan cepat-cepat pulang ke rumahnya.
Untuk apa punya banyak teman. Toh kalau kita sedang susah juga, ujung ujungnya mereka yang dianggap teman akan menjauh entah ke mana, tak akan ada yang mau membantu satu pun. -Andini
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!