NovelToon NovelToon

Melawan Perjanjian Gaib

Ritual

Kosim (27) tahun, pemuda itu khusuk merapalkan mantra yang diberikan sang kuncen. Dia duduk bersila ditengah-tengah garis lingkaran yang dikelilingi nyala lilin disepanjang garisnya.

Baru setengah jumlah bacaan mantra yang harus diselesaikannya, tiba-tiba suara dentuman keras dari kilatan cahaya putih yang meluncur deras menghempaskan dirinya hingga terpental sekaligus memporak-porandakan batangan lilin dan aneka kembang sesaji hingga berserakan ke berbagai arah.

Kosim terpental tersudut dipojok merintih sambil memegangi dadanya. Ada darah keluar dari sudut kanan bibir. Pandangannya terlihat kosong dan kebingungan.

"Kamu telah gagal akan tètapi kontrak perjanjianmu tetap berlaku..!" Teriak Sang Kuncen murka.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

...............Malam itu sekitar pukul 20.00 wib, Kosim sendirian duduk termenung di pos ronda dekat rumahnya. Raut wajahnya nampak kusut seperti sedang kebingungan dan banyak yang dipikirkannya.

Kosim kepikiran terus oleh perkataan kasar istrinya bernama Arin. Namun apabila teringat Dede, anak laki-lakinya berusia 3 tahunan seketika wajah Kosim berubah sumringah. Anak diusia tersebut sedang lucu-lucunya dan menggemaskan dengan segala tingkahnya.

Kosim bukanlah suami pemalas meski pekerjaannya serabutan, apapun dijalaninya. Kadang kerja sebagai kuli bangunan kalau ada yang mengajaknya. Namun biasanya Kosim jualan cilok keliling jauh hingga ke desa-desa di kecamatan lain.

Berhari-hari isi kepalanya selalu dipenuhi ucapan-ucapan istrinya yang pedas menusuk hati terus terngiang-ngiang hingga mengendap dan membatu didalam hatinya.

"Sana cari uang yang banyak! Biar kaya orang-orang, pergi belanja, dandan ke salon, pake gelang emas, kalung, cincin biar para tetangga segan, biar.. biar... biar...! Kosim menutup mukanya mengingat perkataan yang didengarnya hampir setiap hari.

Tuntutan istrinya soal kebutuhan ekonomi membuat istrinya melenyapkan rasa syukur dan menutup akal sehatnya. Sehingga timbul dihati Kosim untuk mewujudkan keinginan Arin, apapun caranya.

......................

Berbekal petunjuk yang diperolehnya dari searching di Google, Kosim bertekad pergi ke sebuah tempat dimana dirinya dapat memperoleh yang kekayaan dengan cara singkat.

Didalam bus, Kosim duduk dekat kaca jendela yang membawanya kearah selatan. Pandangannya nanar dan kosong menatap jauh menembus kaca jendela bus sepanjang jalan yang dilewati. Angannya melambung jauh tinggi ke langit tujuh membayangkan sepulangnya dari tempat yang menjanjikan kekayaan itu bakal merubah perekonomiannya.

"Terminal... terminal... Habissss..!" Teriakan kondektur membuyarkan lamunan Kosim setelah kurang lebih 8 jam perjalanan naik bus yang membawanya ke ujung Timur Pulau Jawa.

Kosim bergegas turun, hari itu sudah menjelang sore sekitar pukul 16.20 wib. Perjalanan selama 8 jam keujung timur Pulau Jawa tidak membuatnya terasa lelah.

Diantara lalu lalang orang di terminal bus itu Kosim celingukkan nampak kebingungan kemana ia harus berjalan. Petunjuk satu-satunya yang diperoleh dari internet hanyalah naik ojek motor.

Sampai akhirnya ada seseorang yang mendatanginya dan menanyakan tujuan Kosim sekaligus menawarkan tumpangan ojek motor untuk mengantarkannya.

"Mau ke Gunung Ng kang, berapa?" Tanya Kosim.

"Oh, sampeyan mau ke Gunung itu mas? Yakin???" Kata tukang ojek seakan-akan mengingatkan dan tahu betul kalau tempat tersebut merupakan tempat orang yang mencari pesugihan.

"Iya kang, jauh nggak dari sini dan berapa ongkosnya?" Kata Kosim malu-malu.

"Lumayan jauh mas, ayo Mas naik 50 ribu aja saya antar sampai ke kediaman Kuncen. Saya sudah biasa nganterin penumpang ke tempat itu." Ujar tukang ojek.

Tanpa tawar menawar dan pikir panjang lagi, Kosim pun langsung naik ke boncengan motor ojek.

Tempat yang dituju Kosim tidak lain adalah pesugihan Ng. Ng merupakan nama daerah dimana pada suatu lokasi terdapat tempat ritual untuk memperoleh kekayaan dari jenis golongan kera atau monyet.

Proses menjadi kayanya konon dengan melibatkan monyet yang akan membantu memperoleh uang dengan cepat dan banyak. Syaratnya tentu saja dengan menyanggupi syarat dan kontrak Perjanjian Gaib dengan sang Mahluk gaib Penguasa Gunung Ng.

Diantara syarat itu adalah menyediakan nyawa darah dagingnya sebagai tumbal dan akan menjadi penghuni Gunung Ng hidup bersama monyet-monyet yang ada di sana hingga akhir jaman.

Warga sekitar meyakini banyaknya monyet tersebut merupakan jelmaan para pelaku pesugihan yang bersedia melakukan perjanjian gaib sebelum-sebelumnya.

Sementara itu jauh direlung hati Kosim yang sudah tertutup rapat akal sehatnya, apapun resiko dia bersedia menanggungnya. Ia tetap melanjutkan tekadnya sebab didalam pikirannya hanya satu, "JADI ORANG KAYA".

......................

Setelah melewati perkampungan penduduk waktu menunjukan pukul 17.05 wib namun suasana jalan menuju pondok Kuncen sudah terlihat temaram karena sinar senja terhalangi bebukitan disekelilingnya.

Sepeda motor ojek yang ditumpangi Kosim kini melintas di hutan kecil dengan jalan tak begitu lebar dan berkelok menanjak. Di kanan kirinya hanya melihat lebatnya pepohonan liar nan rimbun.

Suara-suara bintang malam sudah mulai terdengar bersahutan riang seakan siap menyambut kedatangan tamu yang akan menjadi penghuni baru. Sepanjang jalan menuju tempat Kuncen tak satupun terlihat adanya lalu lalang kendaraan maupun aktifitas manusia.

Tak berapa lama kemudian dikejauhan nampak terlihat cahaya berasal dari api obor. Nyala api terlihat berkedip-kedip, kadang membesar kadang mengecil tertiup oleh angin.

Kosim merapatkan jaketnya menahan hawa yang mulai dingin sembari menyedekapkan kedua tangannya.

Tak lama kemudian sepeda motor ojek berhenti didepan sebuah pondokan yang terbuat dari kayu. Bergegas tukang ojek turun melangkah kearah pintu pondok tersebut dan mengetuknya tanpa sungkan.

Tok..Tok..Tok...!

"Kulo Nuwun mbah...," Tukang ojek itu mengetuk pintu pondokan.

"Monggo.." terdengar sahutan dari dalam pondok.

Suaranya sedikit berat dan berasa menggetarkan jantung Kosim.

"Punten nggangu Mbah, niki wonten tamu.." (maaf menggangu mbah, ini ada tamu,) Kata Tukang ojek saat pintu dibuka.

"Njih.. njih.. monggo mlebet.." Orang yang dipanggil Mbah itu mempersilahkan masuk.

Muncul dari balik pintu lelaki renta agak bungkuk usianya berkisar 70 tahunan dengan rambut memutih panjang sebahu diikat dengan kain batik khas Jawa. Kumisnya pun memutih sedikit panjang dikedua ujungnya menjuntai hingga dagunya. Jenggotnya juga panjang sejengkal terlihat sangat berwibawa sekali.

Beberapa saat orang yang dipanggil Mbah itu terlibat obrolan dengan tukang ojek ditengah-tengah pintu lalu diakhiri uluran kepalan tangan Si Mbah seperti ada sesuatu yang diberikan untuk tukang ojek. Ya mungkin memberikan semacam tips.

Sementara Kosim sudah duduk bersila sambil memperhatikan dinding sekelilingnya yang terbuat dari pagar kayu. Tidak ada pajangan satupun disana.

Tiba-tiba putaran kepalanya terhenti, matanya tertuju memandang pada sebuah pintu, ia merasakan seperti ada yang menarik-narik dan mengajaknya masuk.

Namun rasa itu tak berlangsung lama setelah terdengar deheman Si Mbah yang langsung duduk dihadapan Kosim. Keduanya duduk hanya beralaskan tikar alang-alang yang sudah usang.

"Kacung seng pundi.." (anak dari mana) tanya Si Mbah membuka percakapan.

Kosim menjelaskan asal usulnya hingga menceritakan tekadnya ingin mendapatkan kekayaan dengan mudah dan cepat.

Sesaat Si Mbah terdiam dengan mengerutkan keningnya. Apa yang diucapkan Kosim nampaknya tak asing mendengar ragam alasan tersebut, ia sudah terbiasa mendengar kisah kesusahan seperti Kosim. Si Mbah hanya manggut-manggut mendengar penuturan Kosim.

"Cung, jalan ini tidak baik, dosa besar!" Ujar Si Mbah mengingatkan Kosim. (sudah translet bahasa indonesia nih)

"Apakah ada yang tau kamu ke tempat ini? Kamu tau resikonya Cung?" Tanya Si Mbah.

"Nggak ada Mbah," jawab Kosim.

"Ini resikonya sangat besar dan menyakitkan, Cung. Kamu bakal sengsara seumur hidupmu. Anakmu akan ditumbalkan untuk kesenanganmu yang hanya sesaat, setelahnya kamu akan menjadi budak mahluk gaib yang memberimu kekayaan semu bersama anakmu..." kata Mbah.

Kosim hanya tertunduk diam, pikirannya tak bisa lagi mencerna dengan akal sehat. Isi kepalanya hanya dipenuhi dengan bayangan uang, uang dan uang untuk membahagiakan istrinya.

Usai Si Mbah berkata, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari atap pondoknya disusul suara riuh seperti ada binatang sedang lompat-lompat diatas atap dengan suaranya saling bersahutan,

"nyiiit..nyiitt. nyiiit..nyiitt." Seperti suara monyet dalam jumlah banyak riuh terdengar dari atas atap pondokan.

Kosim tersurut mundur, sedangkan Si Mbah reflek mendongak keatas. Kemudian langsung menundukan kepalanya sembari merangkapkan kedua telapak tangan di dadanya. Mulutnya komat-kamit seperti sedang berkomunikasi.

Sesaat kemudian suasana kembali hening, suara-suara monyet itu menghilang begitu saja. Meski sudah diingatkan oleh sang Kuncen, namun Kosim tetap pada pendiriannya. Sudah tekad bulat ingin melanjutkan niatnya.

"Ya sudah sekarang istirahat saja dulu. Nanti mulai besok malam bertepatan dengan malam Jumat Kliwon Mbah akan menuntun ritualnya," ucap si Mbah dengan senyum sinis.

......................

Sesuai waktu yang dijanjikan Si Mbah sebagai Kuncen Pesugihan Gunung Ng, malam Jumat Kliwon itu Kosim pun bersiap melakukan ritual.

Didalam Pondokan sangat terasa aura penuh mistis. Sunyi, temaram dan sesekali terdengar suara burung hantu kian menambah kemistikannya.

Malam ini Kosim mulai melakukan ritual mengikat perjanjian gaib dengan mahluk gaib Siluman Monyet yang menjanjikan kekayaan.

Kosim duduk bersila dengan khusuk, mulutnya tak henti komat-kamit merapalkan mantra yang diberikan sang kuncen. Dia duduk bersila ditengah-tengah garis lingkaran dengan dikelilingi nyala lilin sepanjang garisnya. Dihadapannya sudah tersaji kopi hitam, air putih, cerutu serta beraneka macam kembang, kantil, melati, kamboja, mawar dan entah apa lagi.

Beberapa saat lamanya dan masih setengah jalan membaca jumlah bacaan mantra, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras disertai deru angin kencang dan menghempaskan tubuh Kosim hingga terpental membentur sudut ruangan.

Hantaman tak kasat mata itupun memporak-porandakan aneka ragam sesaji didepan Kosim. Batangan-batangan lilin berserakan ke berbagai arah, ada juga yang masih menyala dan sebagian padam.

Kosim merintih sambil memegangi dadanya. Ada darah keluar dari sudut kanan bibirnya, pandangannya terlihat kosong dan terlihat sangat ketakuatan bercampur bingung.

"Kurang ajar..!" Teriak Sang Kuncen murka, muncul dari dalam kamar.

"Kamu telah gagal! Tetapi kontrak perjanjianmu tetap berlaku..!" Tegas Kuncen dengan rahang gemeretak.

...................

Menjemput Tumbal

Disebuah rumah sederhana dalam kamar berukuran 3X4 meter seorang anak laki-laki 3 tahunan nampak bernafas tersengal-sengal, matanya terbelalak liar meronta-ronta. Disamping kiri, ibunya bernama Arin (25) terus memegangi sambil membacakan ayat-ayat Al-Quran sebisa yang dia hafal dengan bercucuran air mata dan kepanikan tiada terkira. Sesekali Arin memanggil-manggil bocah itu,

"De... de... kenapa sih de..." Suara lirih Arin diselingi isak tangis, lalu kembali membaca macam-macam surat Al Quran.

Sementara diluar kamar, beberapa tetangga berdatangan ingin membantunya namun urung dilakukan setelah melihat kondisi Dede. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi, mereka hanya saling bertanya satu sama lainnya yang juga sama-sama tidak mengerti.

"Kemana Kosimnya?" Salah seorang ibu-ibu bertanya ke tetangga lain.

"Iya mana Kosim, dari tadi nggak ada, didalam hanya ada Arin dan anaknya." Ujar ibu lain menimpali.

"Ahh, kirain dari tadi ada Kosim didalam." Sergah ibu-ibu yang lain.

Beberapa saat kemudian datang kakak perempuan Arin bersama seorang lelaki seusia kakaknya . Dari penampilannya, minimalnya dia seorang ustad, berkopyah hitam dengan sorban melilit dileher sedang tangannya melingkar tasbih. Auranya sangat berwibawa sekali meskipun tergolong masih muda.

Semua orang yang ada diruangan tamu itu kompak memberikan salam hormat dengan menganggukan kepalanya.

Namanya Ustad Abdul Basit orang setempat biasa memanggilnya Abah Dul. Dia diketahui sebagai praktisi Supranatural dan sering dimintai tolong oleh masyarakat sekitar ataupun masyarakat dari luar daerah.

Keduanya langsung masuk kamar Arin, "Astagfirullah al'adzimmm..!" Seru Abah Dul.

Baru saja satu kakinya melangkah masuk, Abah Dul tersentak kaget yang teramat sangat. Mata batinnya melihat bocah kecil itu sedang dikerubuti puluhan monyet. Ada yang menarik-narik tangannya, ada yang memgangi kedua kakinya sedangkan monyet-monyet lainnya melompat-lompat memutari bocah tersebut.

Disaksikan Arin dan kakanya, Abah Dul lalu memejamkan mata, mulutnya komat-kamit membacakan doa-doa sedangkan jari tangannya meniti tasbih.

Sesaat kemudian Abah Dul berteriak seperti menghardik sembari mengibaskan tasbihnya, "Allahu Akbarrrr...!!!!"

Beberapa kali tasbihnya dikibas-kibaskan kesegala arah berusaha mengusir mahluk tak kasat mata itu.

"Pergi kalian, jangan ganggu anak itu..!" Hardik Abah Dul kepada monyet-monyet siluman.

"Tidak bisa! Ini sudah menjadi milik Raja kami," Kata salah satu monyet paling besar yang menjadi pimpinannya.

Percakapan tersebut tentu saja hanya bisa didengar oleh Abah Dul.

"Apa maksud kalian milik Raja?" kata Abah Dul.

"Anak ini sudah diserahkan bapaknya sebagai jaminan tumbal pesugihan!" Sergah Pimpinan Monyet.

"Apapun itu, kalian tidak bisa membawanya.. Pergi kalian! Atau aku musnahkan kalian!" kata Abah Dul mengancam.

Dialam yang kasat mata, pertarungan sengit pun terjadi. Abah Dul diserang dan dikeroyok oleh monyet-monyet itu. Dengan gesit Abah Dul menangkis dan berkelit dari tendangan-tendangan dan cakaran monyet.

Abah Dul melepaskan sorban yang melingkar dilihernya. Sorban warna hijau bergaris putih itu dihentakan tarik ulur menghantam monyet-monyet siluman keberbagai arah. Ada yang terhantam kepalanya hingga terpental, ada yang ambruk terhantam kibasan sorban diperutnya.

"Kabuuuuurrrrr.... Ayo kabuuuurrrr...!" Teriak pimpinan monyet gaib.

Monyet paling besar itu lebih dulu kabur menghilang dari pandangan mata batin Abah Dul. Kemudian disusul secara bersamaan puluhan monyet lainnya pun berhamburan dan menghilang.

Sementara itu Arin dan kakaknya hanya terpana tak mengerti melihat tubuh Abah Dul berguncang-guncang dan mulai bercucuran keringat di dahinya. Hanya teriakan-teriakan Abah Dul yang terdengar oleh Arin dan Kakaknya serta para tetangganya yang berkumpul diruang tamu. Mereka saling bertatapan satu sama lain, tatapan saling bertanya.

"Buuuuu... ibuuuuu... ibuuuu.." Terdengar tangisan histeris Dede kecil yang sedari tadi terbaring kaku sambil memanggil-manggil Arin penuh dengan ketakutan.

"Alhamdulillah de... Dede kenapa sih de..." Tangis Arin membuncah melihat kondisi anaknya kembali sadar.

Matanya tak lagi melotot, tangannya tak lagi mengepal kuat. Arin langsung menggendongnya penuh dengan kasih sayang bercampur kecemasan.

Abah Dul kini sudah membuka matanya kembali, sambil meraupkan telapak tangan ke mukanya dia berucap, "Alhamdulillah.."

"Kosimnya kemana Rin.." Tanya Abah Dul dengan suara berat.

"Nggak tau bah, subuh kemarin dia pergi katanya mau ke orang tuanya di Subang." Jawab Arin.

Abah Dul tak lagi bertanya, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah ia tahu kalau Kosim sedang berada dimana dan sedang melakukan apa, namun Abah Dul tidak mau menceritakannya, biar dipendam saja dihatinya. Jika diceritakan pastilah akan membuat geger orang sekampung.

"Mbak ambilkan air putih ya.." kata Abah Dul kepada Kakak Arin bernama Dewi.

Beberapa saat kemudian Dewi sudah kembali dengan mebawa dua botol air mineral yang satu ukuran sedang dan yang satunya botol besar.

"Yang ini buat Abah," kata Kakak Arin mengulurkan botol kecil kepada Abah Dul.

Sesaat Abah Dul meminumnya hingga setengah botol lalu diletakan disampingnya. Kemudian ia ambil botol air mineral besar dan langsung membuka tutupnya dan dibacakan doa-doa lalu ditiupkan pada mulut botol air mineral itu.

"Rin, ini diminumkan ke dede dan juga kamu ya. Lalu usapkan air itu dikepalanya dede hingga tiga kali dengan membaca Alfatihah," kata Abah Dul.

"Bah, kenapa dengan dede bah.." Tanya Arin penasaran.

"Ah, gak apa-apa hanya gangguan mahluk halus biasa." Jawab Abah Dul menenangkan.

Abah Dul selain memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi, ia juga sangat bijaksana mengerti mana yang harus diceritakan dan mana yang harus ditutupi.

Sebab jika kejadian yang sebenarnya ia ceritakan, bukan saja akan menimbulkan fitnah tapi juga akan mengundang cibiran dari masyarakat sekitar terhadap keluarga Kosim bahkan bisa dikucilkan.

Sebetulnya ketika dialam pertempuran kasat mata dan saat monyet-monyet gaib itu melarikan diri, dengan kemampuan kebatinanya Abah Dul mengikuti kemana larinya mahluk-mahluk tersebut.

Sampai pada satu tempat Abah Dul melihat sebuah pondokan yang terbuat dari kayu ditengah hutan didaerah pegunungan. Kemudian ia memasukinya dan terlihat Kosim sedang terduduk menggelosoh disudut ruangan sambil memegangi dadanya. Abah Dul melihat ada darah yang masih segar meleleh di sudut bibir Kosim.

Ditengah ruangan nampak berserakan macam-macam bunga dan juga lilin. Disudut seberang dihadapan Kosim, nampak kakek-kakek dengan ikat kepala batik berambut putih bertolak pinggang, raut mukanya menyiratkan kemarahan yang luar biasa.

"Hmm, rupanya Kosim sedang menjalani ritual pesugihan." Gumam Abah Dul dalam hati.

Kakek itu terkesiap, rupanya ia melihat kedatangan sosok Abah Dul diruangan itu. Belum sempat Kakek itu berkata-kata, Abah Dul segera menghilang pergi dari tempat tersebut.

Sejenak Abah Dul memandangi dalam-dalam anak kecil yang dipanggil Dede itu sembari mengusap-usap kepalanya.

"Anak secakap ini tega-teganya dijadikan tumbal. Sepertinya ini belum berakhir, pasti akan ada balasan lanjutan." Gumam Abah Dul dalam hati, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Emm, Rin sebaiknya kamu dan anakmu untuk sementara waktu pindah dulu jangan dirumah ini, ya..." Kata Abah Dul.

"Ya udah bah, biar Arin dan Dede menginap dan tinggal dirumah saya," ujar Kakak Arin.

"Ya, itu lebih bagus sebab gangguan seperti ini pasti akan datang lagi. Biar nanti Abah ke rumahmu agar mudah mengontrolnya. Ya sudah Abah pamit ya." Kata Abah Dul lalu beranjak dari duduknya.

Saat pintu kamar dibuka, para tetangga yang sedari tadi berkumpul diruang tamu langsung menyongsongnya.

"Gimana Bah,"

"Kenapa Dede Bah,"

"Gimana keadaan Dede Bah,"

Gelombang pertanyaan langsung menyerbu Abah Dul begitu keluar kamar. Tetapi Abah Dul hanya menjawabnya singkat, "udah, udah nggak apa-apa. Ayo sekarang bubar, bubar kembali kerumah dewe'-dewe (sendiri-sendiri)."

Beberapa saat kemudian para tetangga Arin keluar satu demi satu. Hanya satu dua orang saja yang tetap tinggal. Rupanya penasaran ingin melihat kondisi dede.

"Gimana, Rin keadaan Dede.." Tanya Mak Ijah tetangga sebelahnya yang sudah dianggap emaknya sendiri.

"Alhamdulilah Mak, Dede sudah sadar. Dan sekarang tertidur kelihatan lemas kecapean," kata Arin.

"Ya udah Emak tinggal dulu ya, kalau ada apa-apa panggil aja emak." Ujar emak Ijah berpamitan.

......................

Halusinasi Nyata

Udara dingin Pegunungan "Ng" menusuk hingga terasa ke tulang sumsum Kosim yang hanya hanya berbalutkan jaket levis biru telur asin yang sudah memudar nan kumal. Kosim berjalan gontai dengan ransel dipunggungnya meninggalkan pondokkan Mbah Utung menyusuri jalanan tanah yang kanan kirinya dipenuhi semak belukar.

Suara-suara binatang khas pegunungan menjadi teman perjalanan yang mengiringi langkah demi langkah gontai kakinya. Diatas pepohonan sejumlah monyet-monyet seperti mengawasi sepanjang perjalanan Kosim. Ada yang bergelantungan di dahan-dahan, ada yang duduk-duduk di bawah pohon dengan sorot mata tajam memperhatikan Kosim.

Kosim tak terlalu menghiraukan tingkah polah monyet-monyet tersebut. Dia terus melangkah mengayunkan kakinya menuju jalan besar. Tak ada satupun kendaraan angkutan atau tukang ojek yang lewat karena memang bukan jalan umum dan tak ada aktifitas lalu lalang warga.

Sejauh 2 kilo meteran barulah Kosim sampai di jalanan umum beraspal. Sambil melepas lelah, ia duduk pada sebuah batu besar dipinggir jalan menunggu kendaraan tumpangan lewat.

Kaki kanannya ditumpangkan pada lutut kaki kirinya, ia pijit-pijit telapak kakinya yang terasa sakit. Antara capek dan lapar saling bersaing di tubuhnya. Kosim baru teringat, masih ada sisa roti di ranselnya yang ia bawa saat pergi. Buru-buru ia buka ranselnya.

"Syukurlah, masih ada makanan." Ucapnya dalam hati.

Baru saja roti dikeluarkan dari bungkus plastiknya, sebuah tangan berbulu lebat dengan cepat menyambar roti dari tangan Kosim. Kosim reflek menolehkan pandangannya mengikuti larinya kelebatan mahluk yang telah mengambil rotinya.

"Monyet...?!" Kosim terkesiap kaget.

Matanya melihat seekor monyet besar berwarna kelabu dengan cepat melompat diantara rerimbunan semak belukar dan pepohon diseberang jalan lalu menghilang.

"Sialan..!" Umpat Kosim.

Kosim menghembuskan nafasnya kesal ditempat duduknya mengingat roti satu-satunya sebagai pengganjal laparnya lenyap begitu saja dibawa kabur monyet. Beruntung berselang 20 menitan, sayup-sayup terdengar dikejauhan suara kendaraan yang sepertinya akan melintas.

Dan benar saja ada sebuah truk muncul dari sebelah kirinya, Kosim segera berdiri melambaikan tangannya minta tumpangan. Untungnya sang sopir mau berbaik hati menghentikan truknya.

"Mau kemana kang?" Teriak sopir dari balik kemudinya.

Kosim langsung melongokan kepalanya dari jendela samping kiri, "Ke terminal Mas," sahut Kosim penuh harap.

"Oh, ayo naik kang. Kebetulan saya lewat terminal." Ujar sopir.

Kosim bergegas bermaksud naik di bak truk tapi dicegah oleh sopir, "Depan aja kang, kosong!" Sergah sopir.

"Cukuplah kesialanku hanya pada roti yang diserobot monyet." Gumam Kosim dalam hati setelah duduk disamping sopir.

Kosim duduk terdiam pikirannya melayang jauh ke rumahnya, tergambar jelas wajah putranya yang lucu. Kosim senyum-senyum sendiri mengingat tingkah putranya.

Namun sesaat kemudian senyumnya seketika mendadak sirna wajahnya berubah muram bayangannya muncul wajah Arin, istrinya.

"Sana cari uang yang banyak! Banyak kebutuhan untuk bayar hutang, beli pempers, beli susu, bla... bla... bla.." Perkataan Arin itu terngiang melekat dipikirannya.

"Habis darimana kang?" Tanya sopir.

Kosim diam tak bergeming, pandangannya kosong menatap lurus kedepan. Dia nampak tak mendengar pertanyaan sopir.

"Kang...?"

"Eh, iya mas.." Kosim tersentak kaget.

"Habis darimana?" Sopir mengulang pertanyaannya.

"Dari tempat sodara Kang," jawab Kosim berusaha menutupi kunjungannya ke pondokan itu.

"Setahu saya diitempat Mas nyetop truk saya tadi nggak ada pemukiman penduduk, ada juga pondokan Mbah Utung. Sodaranya di kampung mana?" Ujar sopir.

Kosim sedikit gelagapan mendengar ucapan sopir truk. "Waduh, salah jawab." Umpat Kosim dalam hati.

"Eh, anu.. i..iya mas, ya itu sodara saya Mbah Utung," kata Kosim sekenanya.

"Banyak loh mas, orang-orang dari luar Jawa yang juga datang ke tempatnya Mbah Utung. Semua orang sini sudah tau siapa Mbah Utung Mas, jadi ndak usah malu-malu berterus terang saja ra popo, hehehe.." Kata sopir seolah mengerti apa yang ditutup-tutupi dari Kosim.

Kosim hanya tersenyum kecut mendengar perkataan sopir truk. Ada perasaan malu dihatinya karena ketahuan perbuatannya meminta pesugihan.

"Sampeyan, melihat banyak monyet disana?" Tanya sopir truk.

"Iya banyak Kang. Bahkan tadi sewaktu nunggu tumpangan, rotiku satu-satunya diembat dibawa kabur monyet besar," jawab Kosim.

"Monyet besar abu-abu? Ngambil roti?!" Tanya sopir meyakinkan.

"Iya Kang. Ukurannya tak wajar tiga kali lipat ukurannya lebih besar dari monyet umumnya," ujar Kosim.

"Menurut orang-orang sini, kalau ketemu dengan monyet besar dan mengambil sesuatu dari orang itu, bertanda..." Sopir truk ragu-ragu meneruskan ucapannya.

"Bertanda apa Kang?!" Tanya Kosim penasaran.

"Itu terminalnya didepan kang, turun disebelah mana kang?" Sopir truk tak menjawab rasa penasaran Kosim, entah karena kebetulan sudah sampai tujuan atau sengaja tak mau berterus terang.

Terdengar dari kejauhan teriakkan-teriakkan para calo dan kondektur bus menawarkan bus tujuannya.

"Jakarta... Jakarta...!"

"Surabaya.. Surabaya...!"

Semarang...Semarang, Berangkaaaatttt!" Teriak calo dan kondektur.

Ramai riuh suara kondektur bus menawarkan tujuan busnya diantara lalu lalang calon penumpang. Kosim bergegas menuju sumber suara kondektur yang berteriak, Jakarta.

"Jakarta kang..?" Tanya Kosim memastikan.

"Iya, iya mas. Ayo silahkan masuk, masuk. Bentar lagi penuh." Kata kondektur berkepala plontos.

Didalam bus nampak penuh sesak. Kosim masuk dari pintu depan dan berjalan tersendat-sendat diantara para pedagang asongan yang sedang menawarkan dagangannya.

"Punten.. punten.. punten..." Ucap Kosim sambil menyelinap diantara pedagang asongan mencari kursi kosong.

Kosim bergegas setelah melihat ada kursi kosong diurutan kedua dari belakang sejajar dengan pintu. Setelah menaruh ranselnya dibagasi atas, Kosim langsung menghempaskan tubuhnya di kursi pinggir jendela.

Pandangannya menatap jauh keluar jendela. Diantara lalu lalang orang dengan tujuannya masing-masing, dilihatnya seorang pemuda sedang memainkan tetabuhan.

Didepan pemuda ada seekor monyet menari kesana-kemari, kadang menaiki motor-motoran kecil, lalu berganti memakai payung sambil membawa kantong rinjing layaknya mau ke pasar.

"Monyet lagi, monyet lagi.." Gumam Kosim.

Ada perasaan aneh menjalar tubuhnya setiap kali melihat monyet seperti ada perasaan benci dan takut. Seolah-olah bayang-bayang monyet selalu muncul kemana pun mata Kosim memandang.

Selang beberapa lama kemudian, bus mulai bergerak dan keluar meninggalkan terminal. Kosim memposisikan duduknya hingga membuatnya nyaman. Kebetulan bangku sebelahnya kosong tak ada penumpangnya sehingga membuatnya lebih leluasa menselonjorkan kakinya.

Karena rasa kecapekan yang amat sangat, tidak butuh waktu lama Kosim pun terlelap tidur.

"Jangan ambil anakku...! Jangan, jangan... Monyet sialan!" Teriak Kosim.

Kosim terus memegangi tangan kiri putranya sementara tangan kanannya ditarik oleh seekor monyet besar berwarna abu-abu.

Kosim berdiri dikelilingi banyak monyet seperti menari-nari dan melompat kesana-kemari seolah sedang bersorak sorai menjemput temannya.

"Pergiiiii... jangan ganggu anakku...!" Teriak Kosim.

Bersamaan teriakkan kosim, bus yang ditumpanginya mendadak ngerem sekuat tenaga sehingga semua penumpangnya serentak menjerit.

"Astagfirullah!!!"

Nyaris seluruh penumpang tubuhnya terdorong kedepan hingga kepalanya terjedot kursi didepannya akibat direm mendadak.

Kosim pun langsung terjaga dari mimpinya. Sambil mengusap-usap keningnya yang terbentur kursi, ia melihat situasi didalam bus para penumpangnya tak henti-hentinya berucap istigfar.

Samar-samar suara sopir bus berkata entah kepada kondekturnya atau kepada penumpang dibelakangnya.

"Aneh, tiba-tiba ada segerombolan monyet berlompatan menyeberangi jalan.." Kata sopir bus.

"Mana ada monyet, bang! Dari tadi nggak ada apa-apa kok," sergah kondektur.

"Tadi banyak banget didepan nyeberangi jalan." Ujar sopir bus meyakinkan.

Perdebatan antara kondektur dan sopir itu tak berujung selesai. Keduanya sama-sama yakin pada penglihatannya. Si sopir tetap meyakinkan pada penglihatannya melihat gerombolan monyet sedangkan kondektur pun demikian karena tak melihat adanya monyet.

"Monyet..???" Gumam Kosim.

"Monyet lagi, monyet lagi..." Kosim mengerutkan keningnya.

Bus pun kembali melanjutkan perjalanannya menuju Jakarta.

Beberpa saat lamanya bus terlihat memasuki pintu tol Semarang. Setelah menempelkan kartu e-tol dan palang pintunya terbuka, bus pun meneruskan lajunya.

Entah sudah berapa lama bus melaju di jalan mulus tol yang menghungkan hingga ke Jakarta itu. Kosim nampak sudah kembali bersiap mengikuti matanya yang terasa mengantuk berat sambil menyandarkan kepalanya dikursi.

Tiba-tiba deritan rem bus mengagetkan seisi bus, disusul hentakan badan bus terdorong liar kedepan.

"Brakkkk!"

Kosim dan seisi bus terguncang akibat bus ditabrak dari dari belakang oleh kontainer.

Bus pun oleng ke kiri melaju tak terkendali hingga keluar jalur melindas rerumputan dan alang-alang lalu terhenti setelah salah satu roda depannya masuk parit sedangkan badan bus tersangkut pada kawat berduri pembatas jalan.

"Aaaaaakhhh...toloooong... toloooong..." Teriakan jeritan para penumpang panik saling bersahutan sebelum bus terhenti.

Kosim terpental hingga ke kursi tengah kepalanya membentur keras besi kursi hingga berdarah-darah. Para penumpang saling tindih satu penumpang dengan penumpang lain.

Suasana makin panik manakala ada asap mulai mengepul dibagian belakang. Para penumpang pun bergegas berhamburan saling berebut menuju pintu keluar.

Dengan susah payah Kosim berusaha keluar melalui jendela yang terbuka mengikuti penumpang lain yang sudah lebih dulu keluar.

Sopir bus dan kondekturnya diketahui selamat dengan luka ringan. Hanya terdapat luka goresan dan sedikit benjol di dahi.

"Gila! Lagi, lagi saya melihat monyet. Kali ini banyak sekali seperti sengaja menghadang ditengah-tengah jalan. Anehnya mereka muncul secara tiba-tiba! Kali ini ada monyet sangat besar berwarna abu-abu." Seru sopir kepada kondektur sambil menahan sakit pada lengannya.

Kosim yang terduduk tak jauh dari posisi sopir bus dan kondektur, samar-samar mendengar ucapan tersebut.

"Monyet besar?" Gumamnya dalam hati.

"Apa mungkin monyet yang sama?" Dia teringat dengan monyet yang mencuri rotinya.

"Apa dia mengikutiku..?" Keluh Kosim dalam hati.

Tak berapa lama terdengar suara sirine mobil polisi dan ambulance datang bersamaan. Beruntung seluruh penumpang bus selamat, hanya mengalami luka ringan tak sampai menimbulkan korban jiwa.

......................

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!