Pengumuman baru saja kulihat secara online, mengenai kelulusan merebut kursi mahasiswa negeri. Rasanya senang, campur bahagia, akhirnya hari ini aku bisa melanjutkan pendidikan setelah tertunda setahun lamanya.
Yap, … aku seseorang lulusan tahun lalu, dengan pengalaman setahun itu membuatku 'kapok' dan tak ingin terombang-ambing di dunia ini tanpa tujuan lagi. Apakah kegiatanku selama setahun itu?
Flashback On
Usai pengumuman yang sama seperti hari ini, pengumuman kelulusan mahasiswa negeri, namun ternyata aku masih belum beruntung. Gagal dalam ikut pertarungan secara nasional merebut kursi perkuliahan negeri. Kenapa aku begitu ngotot masuk kuliah negeri?
Karena orang tuaku tak sanggup membiayai kuliah di swasta. Sehingga otomatis tersimpan dalam mindset-ku, tujuan utama hanya bangku kuliah negeri, jika tidak lulus juga, berarti harus bekerja menyudahi diri untuk merepotkan mereka. Setelah dinyatakan gagal, kuberalih mencoba petarungan masuk politeknik negeri. Lulus sih, hanya tiba-tiba tidak berminat saja saat hasilnya keluar.
Aku beri kabar buat seseorang, seseorang yang menjadi pacarku. Pacar yang sangat jauh, pacar yang belum pernah kutemui. Tetapi aku tidak bilang bahwa aku batal melanjutkan kuliah. Soalnya aku malu, mengakui bahwa saat ini aku hanya seorang pengangguran. Kami pacaran jarak jauh, kenal pun hanya dari hape. Kebetulan hape yang kumiliki hanya hape jadul, kami berkontak pun masih menggunakan SMS.
***
Beberapa hari kemudian aku berinisiatif membuat kartu tanda penduduk agar bisa melamar pekerjaan. Saat tamat SMA, usiaku pas tujuh belas tahun. Aku tergolong siswa yang cepat masuk sekolah. Tidak sabar pengen ikut sekolah melihat Kakak sekolah.
Jadi baru kepikiran untuk membuat KTP, yang mengurusnya luar biasa repot. Tidak tanggung-tanggung, setelah membuat KTP, aku ingin membuat kartu prakerja. Entahlah, pikiran mudaku sudah melayang kemana-mana bila masuk dunia kerja.
Dulu ibu sangat menggebu-gebu agar aku bisa lanjut untuk kuliah. Aku juga demikian, ingin mengikuti jejak beliau. Tapi otak yang pas-pasan membuatku kalah bersaing dengan siswa seluruh Indonesia.
Untuk sementara aku ingin mencari pengalaman kerja terlebih dahulu. Siapa tahu aku beruntung bisa mendapat pekerjaan yang bagus, dan jadi kaya raya di usia muda.
"Bu, di mana sih tempat membuat kartu prakerja?"
"Ya di Dinas Sosial."
"Dinas Sosial itu di mana? Aku kan nggak tahu"
"Itu, di jalan Rasuna Said."
"Rasuna Said itu di mana?"
"Waduh, kata nya mau bekerja? Kamu kan asli sini? Masa Rasuna Said saja kamu tidak tahu?"
"Iya, aku memang orang sini. Tapi, aku tak pernah pergi keluyuran kan Bu? Jadi wajar dong kalau aku tidak tahu di mana letak jalan Rasuna Said itu."
"Baiklah, nanti Ibu antar ke DEPNAKER itu."
"Hore, …" sorakku.
Akhirnya, Ibu mengantarkanku ke kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan. Ibu menarik tanganku, dengan langkah ragu, aku terus mengikuti ibu.
Setelah itu, Ibu menyerahkanku pada orang-orang berseragam kaki yang bekerja di sana. Mereka segera mendaftarkan dan membuatkan aku kartu prakerja.
Mereka menertawakanku, "Udah gede kok masih dianter sama Ibu? Kan udah mau cari kerja?"
Aku hanya sembunyi di balik ibu. Tak lama, Ibu meminta diri karena akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang guru honor. Ibuku adalah seorang guru honor di kabupaten tetangga. Beliau bolak-balik dari sini ke luar kota demi menjalankan kewajiban menjadi orang tua, istri, dan sebagai tenaga pendidik, walau hanya sekedar honorer.
Awalnya aku merasa agak takut. Tapi, kenyataannya mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka menolongku hingga kartu prakerja milikku selesai dicetak. Ternyata membuat kartu ini gampang, malahan gampang sekali. Setelah semua urusanku selesai, aku mengucapkan terimakasih dan kembali ke rumah.
Keesokkan paginya, langsung membuka surat kabar terbaru dan mencari iklan Lowongan Pekerjaan. Tak lama membolak-balik koran, tampak sebuah lowongan pekerjaan. Akan menerima banyak pegawai;
~Dibutuhkan sepuluh orang untuk dijadikan sekretaris, tiga orang untuk manajer, dua puluh orang untuk supervisor, dan lima puluh orang untuk posisi kepala gudang.
"Pasti menjadi orang yang sukses serta Gaji yang Banyak."
Ditanya apakah aku tergiur? Jawabannya, "Aku tergiur banget."
Persyaratannya pun mudah, minimal memiliki ijazah SMA, tinggi minimal seratus enam puluh senti, ulet dalam bekerja dan yang utama berpenampilan menarik. Batinku berkata, "Toh aku kan nggak jelek-jelek amat ya?"
Langsung aku minta sahabat untuk menemani ke perusahaan yang memasang iklan tersebut. Sahabatku bernama Feli juga nasib yang sama denganku tidak lulus seleksi PTN kemarin.
Namun dia lebih beruntung berada dalam lingkungan keluarga berada. Dia berencana ambil kelas mandiri di Universitas Andalas. Dia ingin mencoba mengambil jurusan Farmasi, dan pilihan berikutnya ialah jurusan Fisika.
Walah, ternyata dia hanya lulus di jurusan Fisika. Dia sangat tidak berminat pada jurusan Fisika itu. Jadi, sekarang kami sama-sama bertitel, 'ex-pelajar.'
Bedanya aku mau mencari kerja, sedang dia mau cari tempat bimbingan belajar selama satu tahun. Aku minta dia menemaniku ke perusahaan, dia meminta aku mencari tempat bimbingan belajar.
Aku sedang menunggu panggilan dari pimpinan perusahaan. Setelah setengah jam menunggu, akhirnya aku dipanggil juga.
Sang manager memberikan pertanyaan padaku. Aku pun menjawab dengan sok mantap dan meyakinkan. Sang manager menyuruhku datang kembali pada waktu yang telah ditentukan menggunakan kemeja putih bawahan hitam.
Dengan sedikit bersorak, aku mencari Feli. "Besok aku ke sini lagi pakai baju putih bawahan hitam,"
Feli turut berbahagia, "Bagus lah! Nanti kalau udah gajian jangan lupa traktir aku ya!" ucapnya.
***
Sesuai perjanjian, setelah itu aku menemaninya mencari tempat bimbel yang 'pas' menurut dia. Kamipun mengunjungi semua tempat bimbel yang paling terkenal di kota ini. Baik terkenal dengan rumus 'the king-nya,' terkenal dengan 'terdepan dalam prestasi,' maupun terkenal dengan 'sukses karena Ridho Allah,' nya.
Menurutnya, "Biarlah biayanya mahal, asal berkualitas." Berbeda prinsip denganku yang sebaliknya, 'Biarlah biasa, asalkan harganya murah.'
Feli tidak langsung mendaftar, sekarang dia hanya meminta brosur untuk menimbang-nimbang di mana tempat yang paling cocok untuknya. Setelah itu, kami naik kendaraan umum menuju jalan raya Andalas ke tempat sahabat kami berdua bernama Chesi.
Chesi bekerja sebagai penjaga kios pulsa di Andalas. Kami bertiga telah bersama sejak kelas satu SMA.
Sementara dengan Feli, kami sudah dekat semenjak kelas satu SMP. Aku dan Feli bisa berada di sini hingga sore, hehe sekalian untuk menghindari tugas rumah yang seabrek. Kami juga tahu diri kok, apabila ada yang datang bertransaksi ke sini, kami berdua tidak akan mengganggu pekerjaan Chesi.
***
Keesokan harinya aku ke perusahaan itu mengenakan kemeja putih dengan celana hitam, dalam pikiran ku yang masih lugu, aku membayangkan akan diuji secara tertulis agar bisa menjadi manager seperti yang ku citakan.
Semua pelamar yang akan ikut tes, telah berkumpul dibagi menjadi beberapa kelompok dengan beranggotakan tiga orang masing-masing kelompoknya. Kemudian muncul lah beberapa orang dengan gaya sok penting. Salah satu diantara mereka memandu aku dengan teman sekelompokku.
Kami mengira, tes yang akan kami lakukan ialah secara face to face. Atau dalam bentuk wawancara. Masih besar rasa optimisme dalam jiwaku hingga saat ini. Kemudian dia memperkenalkan dirinya kepada kami semua. Akhirnya kami tahu namanya 'Nana,' jadi kami semua memanggilnya kak Nana. Kami semua seluruh anggota kelompok pun saling berkenalan.
Setelah itu, kak Nana membawa kami ke sebuah gudang, yang lumayan besar. Tampak gudang itu penuh dengan peralatan dapur dan rumah tangga seperti; kompor gas, penanak nasi, panci-panci buat masak, dan dispenser. Dengan lugu, aku menyangka perusahaan itu lah yang membuat semua benda itu. Hebat sekali perusahaan ini, ....
Seketika pikiran positif hancur gara-gara kak Nana menyuruh satu di antara kami untuk mengangkat benda itu sebanyak tiga buah. Benda-benda yang dipilih temanku yaitu; kompor gas, race coocker dan dispenser. Aku kedapatan tugas mengangkat kompor gas yang tidak terlalu berat.
Aku sangat terkejut karena kami akan mendatangi rumah-rumah untuk menawari semua ini. Tapi belum tahu wilayah tempat kami akan beraksi. Yang jelas kami hanya followers kak Nana, dan kami menaiki angkot jurusan pasar raya.
"Kak, dalam surat kabar yang aku baca pekerjaan yang ditawarkan menjadi manajer, supervisor, sekretaris dan lain-lain. Apa hubungannya dengan ini kak?" tanyaku yang benar-benar belum paham.
"Begini, perusahaan kami memang akan melahirkan calon-calon yang Adik sebutkan tadi. Tapi dengan cara berusaha terlebih dahulu. Beginilah cara kami menguji para calon karyawan." jelasnya.
"Oo," aku mengerti dan kembali muncul rasa optimis dalam diriku.
Kami berhenti di jalan Hilligo. Kak Nana masuk ke sebuah warung nasi. Gawat? Aku hanya bawa uang pas-pasan buat ongkos saja. Aku kira hanya sekadar tes di tempat. Aku tunggu kak Nana di luar warung, aku males masuk. Aku tidak punya uang, tapi perutku kelaparan.
Lalu kak Nana keluar dengan membawa kantong yang isinya beberapa bungkus nasi. Oh lega nya, kak Nana belikan kami nasi buat makan siang. Kak Nana menyerahkan kantong berisi nasi itu padaku, lalu tugas angkat kompor gas dirangkap oleh teman kelompokku yang Lanang.
Kebetulan dalam kelompokku itu, hanya aku saja anggota perempuannya. Jadi aku mendapat pekerjaan ringan sekadar membawa nasi bungkus, boleh laah.
Aku mengira akan makan bersama di lapangan terbuka Taman Imam Bonjol yang tak jauh dari sini. Eh, perkiraan ternyata meleset. Habis keluar dari warung itu, kak Nana menyuruh kami masuk angkot jurusan Teluk Bayur. Kami akan dibawa kemana ya? Terus, kami akan diapakan? Padahal perut udah keroncongan nih.
Sampai di simpang tiga Teluk Bayur, kami berempat turun. Lalu menelusuri wilayah bernama Gaung. Kak Nana adalah 'leader' kami. Jadi, kami harus mematuhi semua perkataannya. Dia menyuruh kami masuk ke pekarangan sebuah rumah. Aku kira kami akan menawarkan barang-barang ini di rumah tersebut.
Waduh… perkiraanku meleset lagi. Kak Nana meminta kantong berisi nasi itu. Nasi dibuka dan kami semua disuruh makan bersama. Kami masih tetap manut pada perintah gadis itu.
Ku duduk di depan sebungkus nasi yang isinya sangat banyak. Selama makan, aku masih bingung, apa yang punya rumah tidak marah ya saat kami makan di teras rumahnya tanpa minta izin?
Aku juga tahu kenapa kami ditraktir makan, lauk yang ada hanya gulai nangka, ditambah kerupuk lalu disiram dengan berbagai kuah gulai. Namun seolah tidak masalah, nasi itu tetap ku makan karena dari tadi perutku udah gempa karena kelaparan.
"Nasi itu harus dihabiskan! Jika nggak habis, nanti nilainya akan saya kurangi"
Kejam banget kak Nana menyuruh kami menghabiskan nasi itu? Apalagi di antara teman-teman lainnya, akulah yang paling kecil. Mau tidak mau, masih tetap patuh pada semua perintahnya. Bayangkan! Nasi itu lebih pantes dimakan berdua, eh… dipaksa makan sendirian.
Nasi itu berhasil aku habiskan, tapi rasanya mual, aku kekenyangan. Dulu kalau beli nasi bungkus, aku selalu memakannya berdua dengan kakakku. Sekarang nasi itu terpaksa berdesak-desakkan dalam lambung dan ususku. Rasanya sangat aneh, tapi harus aku tahan.
Selesai makan, aku sempatkan melaksanakan sholat Zuhur di mushala terdekat. Setelah itu kami menunggu kendaraan untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Tapi aku masih belum tahu akan dibawa ke mana. Aku lihat, kak Nana tidak pernah menyetop bis. Padahal udah puluhan bis lalu lalang di hadapan kami.
"Kak, dari tadi kan banyak bis yang lewat. Kenapa tidak disetop?"
"Karena kita akan menghemat biaya pengeluaran. Kita cari yang gratisan saja"
"Maksudnya?"
"Lihat aja nanti!"
Sumpah! Hari ini begitu penuh dengan kejutan. Dalam pikiran, kami akan menumpang gratis dengan kendaraan pribadi. Ternyata meleset juga. Kak Nana menyetop 'truk pengaduk semen' dari sebuah perusahaan semen ternama di kota ini.
Aku takut, ini untuk pertama kalinya numpang naik kendaraan gratis tak kenal sama sekali, apalagi kendaraan besar seperti itu. Apakah tidak apa-apa menumpang mobil super besar dengan pengaduk semen yang super besar di belakangnya itu? Orangnya gimana? Apa dia orang baik? Nanti kami diapa-apakan bagaimana? Pikiran sudah meracau karena cemas.
Hapeku bergetar. Sebuah SMS masuk di hape jadul ku. Sebuan pesan dari seseorang yang kucinta. Namun, aku harus pura-pura sibuk aahh, ... biar disangka beneran kuliah. Maafkan aku Harry. Aku hanya bisa membohongimu. Karena aku sayang kamu.
***
Rasa khawatirku berubah, karena supir itu ternyata orang yang baik. Beliau berhenti di deretan mini market dekat pantai Caroline. membelikan kami snack dan minuman buat perjalanan yang entah kemana. Kak Nana ngobrol dengan supir yang baik itu, dan ternyata kami hendak menuju Pesisir Selatan.
Sebelumnya aku belum pernah ke Pessel itu, dan inilah untuk pertama kalinya. Perjalanan pun sangat menyenangkan. Kami harus naik dan turun dan memutari perbukitan. Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga. Setelah mengucapkan terimakasih pada supir baik hati itu, kami turun di sebuah tempat bernama Bayang, Pesisir Selatan.
Di sini lah kak Nana memulai aksinya. Mengetuk dari pintu ke pintu. Tapi entah kenapa aku menjadi malu. Seperti bukan jiwaku jika harus ngetuk-ngetuk pintu rumah orang seperti ini.
"Kami dari perusahaan ternama di Indonesia, membuka cabang baru di kota Padang. Karena ingin mengucapkan terimakasih kepada pelanggan yang telah menggunkan produk dari perusahaan kami, kami akan memberikan hadiah pada Ibu sebuah kompor gas sebagai wujud rasa terimakasih kami. Tapi sebelumnya Ibu harus bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan."
"Apa pertanyaannya?" tanya calon mangsa kami.
"Apakah nama Wilayah yang disebut sebagai kota Budaya?"
"Bukittinggi!" jawab yang punya rumah dengan semangat.
Kak Nana menahan tawa, dan aku juga menahan tawa. Apa yang akan dilakukan kak Nana selanjutnya? Ternyata kak Nana menjabat tangan Ibu itu-
"Selamat, Anda berhasil menjawab pertanyaan kami. Untuk itu anda berhak mendapatkan kompor gas."
Apa? Kak Nana telah membohongi yang punya rumah? Masa membenarkan jawaban Ibu itu yang jelas udah salah besar. Kota budaya di Sumatera Barat kan Batusangkar? Waduh … waduh …
"Setiap transaksi dikenakan pajak, namun Ibu tidak perlu dikenakan pajak. Ibu cukup memberikan ongkos kirim pada kami sebesar enam ratus ribu rupiah?"
Ha? Ternyata begini caranya? Padahal tadi kak Nana bilang harga kompor gas itu hanya tiga ratus ribu, kenapa dia minta ongkos kirim segala?
Oh iya, anggap harga beli kompor dan ongkos kami menuju tempat ini. Aku tidak bisa seperti ini. Aku tak mau jadi pembohong. Busyet katanya mau jadiin aku manajer? Manajer dari Hongkong?
Dalam hati kutanamkan agar tidak akan kembali lagi ke perusahaan itu setelah sampai ke rumahku. Hancur sudah harapanku menjadi seorang manajer muda yang kaya. Manager dari Hongkong???
***
Pengalaman buruk itu kuceritakan pada dua, eh tiga sahabatku. Yang pasti mereka tertawa terpingkal-pingkal akan nasibku itu. Satu lagi sahabat yang belum kuperkenalkan bernama Rani. Aku kenal dengan Rani sejak kelas satu SMA sewaktu jadi anggota PASKIBRAKA di sekolahku. Kelas satu dan dua aku hanya sekedar say "hello" dengannya. Kelas tiga kami sekelas, dan sebangku. Jadi sejak itu aku dengannya menjadi dekat.
Mungkin nasib Rani lebih beruntung karena bisa melanjutkan pendidikkannya. Dia kuliah di salah satu kampus swasta, kalau tidak salah dia Jurusan Teknik Ekonomi Konstruksi, jenjang pendidikan Diploma tiga.
Dibandingkan dengan Chesi dan Feli, Rani ini kerjaannya emang suka ngeledekin aku terus. Rani yang paling sering main ke rumahku. Rani jugalah yang paling hebat dalam kisah asmara. Rani ini aku hanya bisa membuatku geleng-geleng kepala.
***
Kembali ada lowongan pekerjaan, yaitu menjadi SPG di salah satu Departemen Store terkenal di Indonesia cabang Padang. Kalau ini, agak sedikit berminat, karena aku lihat pekerjaan ini lumayan asyik dan gampang. Tinggal dandan yang cantik, terus berdiri di antara baju, sepatu, makanan dan mainan, bahkan gajinya pun lumayan.
Dalam melamar pekerjaan ini, Rani yang setia menemaniku. Kan nggak ada larangan manfaatin temen, daripada dimanfaatin temen terus. Tapi, Rani ini emang agak sedikit terlalu. Masa orang belum bekerja dia udah minta traktir duluan? Untung saja cuma minta eskrim monas, harganya sepuluh ribu. Kalau lebih dari itu, bisa mati bangkrut aku.
Tes demi tes ku lalui dengan mudah. Pada tes terakhir aku mengalami kesialan yakni pada tes wawancara. Yang langsung turun tangan ialah manajernya, dan membuatku gugup. Kesalahan-demi kesalahan terjadi saat menjawap pertanyaan sang manajer. Mungkin ini bukan rezekiku, karena aku gagal mendapatkan pekerjaan ini. Dan gagal pula impian tampil cantik setiap hari.
***
Chesi sibuk dengan pekerjaannya menjaga kios hape. Feli sibuk dengan Bimbel dan teman-teman barunya. Rani sibuk dengan kuliah dan empat pacarnya. Sedangkan aku??? Aku sibuk pontang panting mencari pekerjaan yang tak kunjung dapat.
Kembali, mendapat pesan singkat dari Sayangku, bernama Harry. Seorang pria yang lewat tulisan di SMS-nya, membuatku jatuh cinta dan tergila-gila. Seandainya saja aku punya hape yang lebih canggih, aku pasti bisa langsung berbicara lewat video call sepertu yang lain. Namun sayang, ibuku belum sanggup membelikanku hape itu.
Dia pun merasa tidak masalah saat aku hanya bisa menghubunginya lewat hape jadul. Entah beneran cinta sama aku, entah hanya sekedar iseng mengisi waktu. Yang jelas, hatiku selalu memikirkan dia. Membayangkan bagaimana wajahnya. Bagaimana jika suatu saat nanti kami benar-benar bertemu.
[~Ayank lagi apa?~] tanyanya.
[~Aku lagi kuliah, tunggu dulu ya? Love u~] jawabku bohong.
[~Love U Too~] jawabnya.
Maafkan aku Sayang. Aku benar-benar sayang sama kamu. Jika aku dapat pekerjaan, mungkin aku bisa membeli hape android juga. Kita bisa saling bicara dan menyapa. Saat ini aku tengah sibuk mantengin surat kabar, mencari lowongan pekerjaan yang bisa menerima tamatan SMA sepertiku.
Wah, ada lowongan. PT Semen yang ada di Padang membuka lowongan pekerjaan secara besar-besaran. Ditanya apa aku ikut melamar? Ya iya lah. Semen ternama gitu? Pasti gajinya besar.
Kami pelamar disuruh langsung memasukkan surat lamaran ke perusahaan itu. WOOOOOW gila? Begitu banyak yang ikut melamar? Aku juga bertemu banyak temen-temen SMA dan SMP. Ada juga temen yang udah kuliah, yang ikut memasukkan surat lamaran. Kakakku yang udah kuliah juga ikut melamar. Ibu agak keberatan kalau kakak ku ikut melamar, kata ibu, "Lebih baik selesaikan kuliahnya dulu baru cari kerja."
"Mumpung ada kesempatan Bu? Kan jarang banget perusahaan itu membuka lowongan besar-besaran kayak gini?" jawab kakakku.
Sebelum memulai ujian tertulis, aku sudah membayangkan jika diterima bekerja di sana. Aku bermimpi akan menjadi jutawan muda. Mempunyai rumah mewah, mobil mewah, dan semua yang serba mewah. Lagi-lagi impianku hanya tinggal mimpi. Jangankan menjadi jutawan? Jadi kuli nya saja aku tak lulus. Aku gagal dalam tes itu. Impianku hancur.
Akhirnya, kisah cinta yang kupunya aku akhiri begitu saja. Tidak mungkin terus membohonginya. Semua kisah tentang aku dan Harry ada pada BAB tersendiri.
***
Sekarang semuanya sudah cukup! Aku selalu saja gagal mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Ada pun yang mau menerimaku hanyalah pekerjaan yang sama sekali tidak pernah aku impikan. Aku sempat menjadi karyawan di POM BENSIN.
Namun dalam beberapa hari semua usaha perawatan yang ku lakukan selama ini menjadi sia-sia. Dalam beberapa waktu, kulitku berubah menjadi gelap dan noda-noda putih panu sana-sini memenuhi wajahku. Aku berhenti dari pekerjaan itu sebelum sempat menerima gaji.
Pekerjaan lain yang sempat aku tekuni ialah menjadi baby sitter. Aku sangat menyukai dan menyayangi anak-anak. Dulu waktu melamar pekerjaan ini, kupikir akan merawat bayi yang umurnya beberapa bulan.
Ternyata yang harus ku jaga adalah si bandel berumur tiga tahun. Anak ini bandelnya tidak ketulungan. Aku sering hampir celaka karena menjaganya. Aku sudah males memanggil namanya, aku panggil saja dia dengan, "si bandel."
Karena gajinya lumayan, aku coba untuk terus bersabar. Yang namanya manusia pasti memiliki batas kesabaran. Dan aku sudah tidak bisa bersabar lagi. Dia melempar batu ke arahku sehingga membuatku kesakitan.
Aku tarik dia lalu aku jewer sejadinya. Dia menangis dan menjerit-jerit. Untung saja orangtuanya tidak ada di rumah. Tangisannya tidak mau berhenti membuatku bete, sebel, dan jengkel. Langsung kucari sesuatu yang terdekat. Tampak kain batik, langsung kusumpal ke mulutnya.
Si Bandel berhenti menangis sebelum orang tuanya pulang. Ibu si Bandel bertanya padaku, siapa yang udah mengotorkan kain batik sutra nya yang mahal? Aku bilang saja itu ulah si Bandel.
Lalu si nyonya bertanya pada si Bandel. Kembali si Bandel nangis dan mengadukan semua yang telah aku lakukan. Kurang asem kan tu anak? Gara-gara dia aku dipecat, ya udah lah, bukan rezeki, batinku.
Untuk mengisi waktu, ku buka les kecil-kecilan untuk anak SD. Ku pasang ajakkan masuk les di Kaca jendela rumahku. Tapi dasar orangtua pelit para tetanggaku itu, yang tidak ingin melihat anak-anaknya sukses dan malas mengeluarkan biaya tambahan untuk mendaftarkan les anak-anak mereka. Yang belajar padaku Cuma anak-anak tante yang tidak dikenakan biaya.
Chesi asyik dengan pekerjaannya, Feli serius dengan Bimbelnya, dan Rani sibuk dengan kuliahnya, sedangkan aku??? Aku gamblang dan teler dengan pekerjaan rumah; nyuci piring, nyuci baju, masak, bersihin rumah, dan jagain anak ante yang masih kecil, aduh pusiiiiiiing…
Beberapa bulan lagi akan ada seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri. AKU HARUS LULUS dengan semangat berkobar, aku belajar … belajar … dan terus belajar. Feli mulai jenuh dengan bimbingan belajar yang dilaksanakannya hampir setahun, dan dia mulai sering bolos dan nongkrong di rumahku.
Aku berpikir, mungkin Tuhan punya rahasia lain di balik semua ini. Mungkin saja aku disuruh untuk berkonsentrasi menghadapi ujian seleksi ini dan tidak mendapatkan pekerjaan yang ku inginkan. Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Dua bulan lagi seleksi itu akan dilaksanakan. Dan AKU HARUS LULUS …
Dengan tak terduga, Chesi mengirim pesan padaku
~Aku berhenti kerja. Jangan tanya kenapa! Besok aku mau pulang ke Kerinci.~
Karena ada kalimat, 'jangan tanya kenapa' malah membuatku jadi penasaran.
~Kenapa? Emang apa yang terjadi?~ jawabku.
~Aku belum siap untuk menceritakkannya. Yang jelas aku dirampok, mengalami kerugian 10 juta~ balasnya.
Membaca pesan itu, ada semburat kesedihan dalam hatiku. Dan aku mengalah untuk tidak bertanya lebih lanjut. Chesi cukup lama berada di kampung halamannya, dan kembali sesaat akan melaksanakan Bimbel eksklusif untuk seleksi ujian masuk PTN negeri.
Sebulan sebelum seleksi, kedua sahabatku sibuk dengan Bimbel, dulu sempat ingin ikut Bimbel, tapi aku trauma akan masa lalu karena tidak lulus seleksi walaupun udah ikut Bimbel, udah bayar Bimbel mahal-mahal, tapi nggak lulus, itu sangat memalukan.
Sekarang yang ada hanya sebuah tekad, dengan tekad itu aku bersemangat terus belajar. Dengan tekad itu pula, aku mampu menguasai Matematika yang waktu Bimbelpun aku tak mampu menguasainya.
Untung kakakku kuliah di Jurusan Matematika, membuatku memahami dan sedikit mampu membahas soal matematika dasar. Kalau Bahasa Indonesia, aku tidak perlu takut, dan yang membuatku stres, ialah Bahasa Inggris.
Aku bener-bener blo'on dengan bahasa Inggris. Selama belajar sendirian, yang selalu ku bahas hanya Matematika Dasar dan kemampuan IPS.
Padahal waktu SMA dulu aku ambil jurusan Ilmu Alam, ini karena aku benci Ekonomi dan masuk jurusan IPA lebih bergensi dibanding masuk IPS (ops… itu jalan pikiranku waktu dulu).
Ditanya seberapa kebencianku pada Ekonomi? Benci... banget deh pokoknya. Waktu kelas satu dulu waktu melaksanakan tes IQ untuk menentukan jurusan yang cocok, hasilnya IQ ku di atas rata-rata, tapi digolongkan ke jurusan sosial.
Mendapatkan hasil tes itu membuatku menangis dalam kelas. Sehingga, aku diledek oleh teman-teman cowok di kelasku.
"Dasar cengeng…"
Sekarang aku berpikir, kenapa begitu tololnya aku menangis di kelas Cuma gara-gara masuk jurusan sosial. Toh, aku bisa memilih jurusan Alam dengan mudah karena aku juara kelas.
Tapi… itu sama sekali nggak ada gunanya. Karena sekarang untuk memilih jurusan masuk PTN aku lebih condong ke sosial. Aku masuk ilmu alam, paling tidak sekedar menghindar dari pelajaran Ekonomi.
Chesi tidak jauh beda dengan Feli. Mungkin lebih parah? Baru bimbel seminggu aja dia udah berani bolos. Seperti biasa, markas untuk anak-anak bolos ya di rumah aku.
"Gimana TO nya kemaren?"
"Hasilnya bagus, tapi…"
"Kamu nyontek?"
"Iya… hehe"
"Ches…" ku tatap mata Chesi dalam-dalam "ku saranin, kamu jangan nyontet lagi ya? Nanti kamu menyesal, kayak aku dulu…"
"Iya sih… mau gimana lagi? Semua orang pada contet-contetan, kalau nggak ikut pasti passing grade aku jeblok, kan malu sama temen-temen?"
"Ches, tahun lalu aku juga Bimbel, TO pertama aku andalin diri sendiri. Passing grade ku jeblok banget. Lalu konsultasi dengan tentor nya, katanya pas TO pertama emang seperti itu. Dan temen-temen lain juga pada hancur nilainya, malahan ada yang lebih rendah dari aku. Tapi karena itu usahaku sendiri, aku lumayan bangga dan tak berkecil hati"
"Iya… itu kalau nggak ada yang nyontek. Tapi temen-temenku pada contet-contetan semua"
"Udahlah friend! Jangan nyontet lagi! Daripada bimbel tapi nggak ada hasil, lebih baik nggak usah bimbel dari kemaren-kemaren!" ujarku tegas "dulu akhirnya aku juga nyontet, pas seleksi sebenarnya jadi tegantung dengan temen-temen, tapi nggak satupun sekelas dengan temen bimbelku, akhirnya aku kocar-kacir sendirian dengan soalnya yang sulit banget.
Karena itu aku gagal Ches… aku menyesal… aku merasa jadi manusia paling begok di dunia ini, buang-buang uang, dan aku tidak ingin kamu merasakan hal yang sama ku rasakan waktu itu"
"Iya… iya buk… cerewet banget sih?"
"Ini demi keepentingan kamu tahu?"
"Iya… makasih udah ingetin…"
"Aku kan sahabat kamu, jadi wajar aku selalu mengingatkan kamu"
"By The Way kamu mau ambil apa aja nanti?"
"Aku kan mau ambil campuran? Paling pilihan pertamaku Kesehatan Masyarakat karena Ibu yang nyuruh. Tapi aku yakin kok,nggak akan jebol di sana. setelah itu Hukum, lalu Sastra"
"Kok sastra pilihan terakhir? Kamu kan gemar dengan sastra? Emang Sastra mana yang kamu ambil? Mending jadi guru aja! Sekarang prospek jadi guru sangat bagus"
"Walaupun aku cinta dunia sastra, tapi aku taat aturan. Dibandingkan Sastra, passing grade hukum lebih tinggi. Jadi sastra di pilihan ketiga aja, paling Cuma lulus di pilihan ketiga, karena aku nggak ada ikut bimbingan belajar. Iya… aku mau jadi guru Bahasa Indonesia suatu saat nanti"
"Kalau aku pilihan utamanya pendidikan Bahasa Inggris, lalu Sastra Inggris setelah itu buat cadangan ambil pertanian aja"
"Cie… orang yang jago bahasa Inggris nih? Pilihannya Inggris semua? Kalau aku, pasti udah pusing dengan bahasa luar itu"
Hahahaha
**
Hari ini adalah hari perjuangan pertama seleksi bersama masuk perguruan tinggi secara online. Meskipun online, tetap harus ke kampus yang menjadi panitia pelaksana seleksi ini.
Pertama kali aku dihadapkan oleh jejeran komputer yang sangat banyak, dengan jumlah peserta seleksi yang banyak juga.
Dan tes pertama dimulai, kukerjakan dengan penuh antusias. Berharap hasilnya sangat maksimal. Namun hal yang tidak terduga pun terjadi. Tiba-tiba seluruh komputer di ruangan kami tes mati, listrik mati.
"Aaaaarghhh..."
"Waduuuuhhh... kenapa ini?"
"Anjaaaaiii... aku hampir selesai..."
"Aku udah selesai, tapi belum diklik selesai-nya..."
Sontak suasana ruangan yang tadi panas meski difasilitasi AC, menjadi semakin panas karena mati lampu. Hampir seluruh peserta panik karena kejadian ini, tak terkecuali aku. Aku yang tinggal klik selesai, jadi batal gara-gara mati lampu tadi.
Tak lama kemudian, listrik, lampu, perangkat komputer dan AC menyala kembali. Tapi sama sekali perasaan kami tidak lega. Karen kami semua harus mengulang lagi dari awal, meskipun waktunya tidak ditambah.
Kembali ku konsentrasi membaca soal-soal tersebut, Waaaahh.. soalnya sama. Insya Allah aku masih ingat jawabannya. Dengan cepat kubaca soal sedikit, lalu klik jawaban. Begitulah seterusnya, tak sampai lima menit aku berhasil menyelesaikannya dan langsung klik tombol 'selesai' takut kejadian tadi terulang kembali.
Dengan duduk dengan tenang, kuperhatikan peserta lain yang juga segera menyelesaikan tes mereka, mungkin dengan perasaan yang sama denganku, takut mati listrik lagi.
Waktu dinyatakan habis oleh timer yang terus berjalan di masing-masing perangkat komputer kami.
"Bagi peserta yang telah selesai, diharapkan keluar ruangan dengan tertib..." ujar pengawas seleksi kami tadi.
Kulihat wajah peserta tes, rata-rata sangat kusut, ada beberapa yang tenang seperti aku. Aku segera mengontak Felli dengan telepon jadulku. Kami berada di ruangan dan gedung yang berbeda. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri Felli.
Sampai di tempat Felli menunggu, tampak wajahnya yang sangat kusut. Ternyata kejadian mati lampu tadi bukan hanya ruangan aku saja yang mengalaminya. Sepertinya seluruh lokasi di kampus ini mengalami gangguan yang sama.
"Huuuhh.. sebel... gara-gara mati lampu tadi konsentrasi ku buyar. Bayangkan aku memulai semua lagi dari awaaall... aaarrrgghhtt..." ucapnya gemas..
"Bukankah tadi soalnya sama Fel?"
"Iya sama... masalahnya tadi itu aku masih belum selesai. Gara-gara terlalu konsen mencari jawaban yang kurasa cukup sulit. eeehh tahu-tahu nya waktu mau habis aja, dan gilanya listrik pakai padam segala..."
"Iya siiih... tadi nyebelin banget. Ada-ada aja masalahnya," jawabku.
"Tapi kok kamu tenang-tenang aja?" celetuk Felli.
"Lalu kamu maunya aku kayak apa?"
"Yaaa ikut-ikutan heboh juga kek, ikut ngeluh kek, ikut marah-marah sama panitia juga kek..."
"Wkwkwkwk... emangnya aku kelihatan gak marah gitu?"
"Enggak..kamu terlihat santai aja kayaknya..."
"Tadi aku juga panik kok, tapi syukurnya aku tadi sempat menyelesaikan semua. Jadi pas listrik nyala lagi, aku hanya tinggal menjawab ulang aja..."
"Waaahhh... kamu curang... kenapa kamu bisa selesai?"
"Soalnya tadi aku jawabnya yang mudah aja dulu, yang susah-susah aku cari terakhir, kalau gak bisa lagi, aku main cap cip cup kembang kuncup, atau aku kosongkan aja... dari pada nilainya malah minus kalau dijawab semua, tapi salah kan?"
"Iiihhh... Aaaaaaarrrggghhhtt..." Felli hanya mengerang gemas.. "Rasanya mau meremas komputer itu sampai lecek... sebel banget, sumpaaahh..."
"Sabar...sabar.. kan masih ada hari esok untuk dua tes lagi. Sapa tahu kamu malah memimpin di materi esok..."
"Iya... mudah-mudahan..."
Lalu kami pulang ke rumah masing-masing dan belajar untuk materi esoknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!