Selamat membaca
Jangan lupa, vote, komen dan jempolnya (👍)
***
“Luna. Tunggu jangan cepat-cepat jalannya. Capek tahu.” Seorang wanita berjalan tergesa-gesa mengikuti langkah Luna di belakang.
“Kita udah telat, Rara. Nanti Pak Abdul bisa ngamuk kalau kita nggak cepat-cepat. Nilai dia lebih berharga dari tas-tas branded kamu.”
Luna berhenti sejenak melihat temannya yang terlihat kecapean dengan nafas tidak teratur sambil membawa tas belanjaan.
Tiga jam sebelumnya. Luna mengantarkan Rara ke mall untuk membeli tas branded yang diinginkan sahabatnya ini. Tapi saking asyik memilih-milih sampai ia lupa dengan waktu. Mereka berdua berjalan cepat untuk kembali ke kampus dengan tergesa-gesa.
Untung saat mereka sampai kelas dosennya belum datang untuk mengajar. Jadi mereka berdua aman.
Tidak lama kemudian masuk seorang wanita setengah baya masuk dan memberitahukan bahwa dosennya tidak masuk. Karena beliau kecelakaan lalu lintas saat mengantarkan anaknya sekolah dan dirawat dirumah sakit.
Abdul sosok pengajar yang amat dihindari para mahasiswa di kampus.
Apalagi mahasiswa yang akan melakukan skripsi dan tidak berharap mendapatkan dospem seperti Abdul yang dikenal killer.
“Pak Abdul kasihan juga ya, Ra. Kamu mau jenguk dia nggak?” tanya Luna merasa iba dengan niatan terselubung.
“Modus. Aku tahu kamu mau jenguk dia biar dapat nilai plus buat mata kuliah dia kan?” ujar Rara melirik Luna disebelahnya.
“Namanya juga usaha, Ra.” Ia diam sejenak dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Aku bakal lakukan apapun biar nilaiku bagus di mata kuliah dia.” Kata Luna mengangkat bahu.
“Sore nanti kita jenguk yuk?”
“Besok. Hari ini aku nggak sabar lihat tas aku yang tadi di beli.”
“Nggak sohib. Padahal aku―”
“OK! Kita jenguk dosen killer. Awas saja kalau nilai aku masih C- juga, setidaknya C+ lebih mendingan.” Kata Rara cepat membuat Luna kecurian start akan ucapan Rara yang lebih dulu menyahut.
“Itu aku nggak tahu. Hanya Pak Abdul yang kuasa.” Ujar Luna dengan segenap jiwa kalau membahas tentang nilai. Nilai saja menjadi tolak ukur untuk Luna yang sekarang sudah memasuki semester akhir dan mencari tempat magang yang bagus dan memiliki ardenaline yang cukup bukan yang ekstrim.
“Itu dosen harus kita pelet biar baik hati dan nggak pelit nilai. Biar mahasiswa di kampus sejahtera bukan malah melara begini kalau tiap pelajarannya.” Desis Rara.
Dia sudah gagal akan pelajaran dosen itu hingga selalu mengulang dan mengulang.
“Kita harus bawa parsel buah buat dia, biar memberi kesan baik dimata dia.”
***
Selesai kuliah Luna dan Rara bergegas ke ruang dosen untuk menanyakan di mana Abdul di rawat. Setelah mencari informasi mereka pun berangkat menuju rumah sakit besar di Jakarta. Memasuki lift ditekannya lantai sembilan tempat di mana dosennya berada. Dalam lift mereka masih merangkai kata-kata dan mempersiapkan segalanya saat berhadapan dengan macam Abdul.
“Ra. Benar ini tempatnya?” Luna penasaran. Tidak percaya. Karena melihat lantai ruangan rumah sakit di lantai sembilan sangat terlihat mewah seperti kamar hotel bukanlah rumah sakit pada umumnya. Yang dikenal seram dan bau obat-obatan tidak jelas. “Nggak salahkan, atau kita nyasar.” Tanya Luna lagi membuat Rara mendelik ke arahnya.
“Benaran, Luna. Gila tuh dosen kaya juga. Bisa di rawat di kelas VIP begini.” Rara sama tidak percaya seperti Luna. Karena dosen satu ini, yang mereka tahu adalah seorang dosen yang biasa-biasa saja. Kalau di lihat dari mobil saja, dia memakai mobil sedan kijang jadul yang tidak tahu keluaran tahun berapa. Saking jadulnya.
Sesampainya di depan kamar inap, Luna dan Rara mengetuk pintu di hadapannya. Detak jantung kedua wanita itu nampak bergetar hebat.
Tanpa waktu lama pintu terbuka seorang pria tampan dengan wajah datar tanpa senyuman berdiri di depan mereka. Luna dan Rara hanya diam melihat pria dihadapannya membuka pintu. Belum merespon sama sekali. Malah menatap keduanya penuh selidik.
“Luna. Ada malaikat nyasar disini. Ganteng banget.” Bisik Rara ketelinga Luna. Ia hanya mengangguk, mengiyakan.
Sesaat Luna melirik ke arah pria itu tampak dingin tidak begitu bersahabat.
“Diam, Ra. Kita kesini buat jenguk Pak Abdul.” Kata Luna tanpa memindahkan tatapannya ke pria di depannya.
“Maaf kalian cari siapa ya?” tanya pria itu. Dia masih memandang keduanya masih sibuk dengan obrolan bisik-bisik mereka.
“Kita mau jenguk Pak Abdul.” Luna sambil membawa parsel buah yang mereka beli di toko buah segar sebelum ke rumah sakit.
“Iya, kita berdua cari Pak Abdul.” Timpal Rara dengan mata masih melekat pada pria bak dewa yunani dihadapannya.
Pria itu pun mempersilahkan keduanya untuk masuk. Luna memandang ke depan dilihat dosennya yang masih terbaring lemah di ranjang ditemani seorang wanita, yang tidak lain istrinya. Seorang anak kecil berumur kisaran tiga tahun sedang duduk di pinggir tempat tidur Abdul.
Sementara Rara Memandang pria di samping dengan penuh ketertarikan. Melihat akan tingkah Rara yang kegenitan.
Luna menarik tangan Rara paksa melangkah mendekati dosennya. Pria tampan itu kembali ke sofa, menyibukkan diri dengan aktifitasnya yang tertunda.
“Sore, Pak Abdul. Maaf kita berdua tidak memberi kabar terlebih dulu kalau kita mau kesini.” Kata Luna sopan. Ia memberikan parsel buah pada istrinya.
“Tidak apa-apa Luna. Saya malah berterima kasih kalian berdua mau repot-repot untuk menjenguk.” Jawab Abdul dengan nada sedikit pelan sambil membenarkan sandarannya.
“Saya masih tidak percaya. Bakal di jengukin sama kalian berdua.” Katanya lagi dengan raut muka sedikit curiga.
Mendengar kata dosennya ini. Mereka berdua diam sesaat. Saling bertukar pandang gugup. Tidak tahu akan menjawab apa? sekejap memandang lidah keduanya begitu kelud. Ternyata Abdul sangat curiga akan maksud kedatangan mereka. Maklum mereka berdua di kenal kurang ajar, suka melawan dan bolos pelajarannya. Tiba-tiba melihat mereka menjenguk seperti ada sesuatu yang menganjal.
“Ehm...” Suara dehem Luna. “Pak Abdul, dosen kita. Masa kita nggak jengukin. Begini-begini kita juga peduli sama Pak Abdul.” Luna sedikit gugup menyikut Rara dan memberi kode pada sahabatnya untuk berbicara.
“Betul Pak. Kita kan anak yang baik hati dan tidak sombong.” Ucap Rara dengan sedikit candaannya agak kaku. Melihat tingkah Rara sahabatnya, Luna hanya bisa mengelus-elus dadanya. Setidaknya, tidak membuat dosen itu curiga.
“Saya percaya. Tapi rasanya aneh saja kalian berdua yang menjenguk duluan. Yang lain saja belum. Saya sangat tersanjung.” Katanya sedikit menyindir. Terlebih ternyata dosen atau mahasiswa lainnya belum menjenguk. Suatu keberuntungan untuk keduanya bisa lebih dulu meski mendapat terpaan.
Memang selama ini Luna dan Rara adalah mahasiswa yang terang-terangan tidak begitu suka dengan mata kuliah Abdul. Mereka berdua selalu saja bolos dan kalau masuk kelas, mereka tidak pernah memperhatikan ajaran Dosennya. Sibuk dengan dunianya sendiri. Setelah mereka dapat nilai jelek, Luna berusaha berbuat baik atau ikut kelas Abdul dengan serius karena memang untuk mengubah ekspektasi dosen itu terhadapnya selama ini. Melakukan sesuatu yang akan membuat mereka mendapat nilai tinggi. Tidak muluk-muluk B+ saja sudah bersyukur.
Memasuki semester akhir nilai mata kuliah Abdul lah yang sangat jelek. Karena keinginan lulus dengan nilai bagus mereka berdua pun melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai plus mata kuliah Pak Abdul yang pelit akan nilai.
Disela-sela obrolan mereka anak kecil menghampiri Luna. Meminta untuk di gendong. Anak kecil itu sangat tampan dan manis. Sekarang saja pakaiannya begitu modis. Kaos bergambar animasi dan celana jeans pendek. Dengan senang hati Luna menggendong anak kecil itu tanpa banyak berpikir. Ia memang menyukai anak-anak. Karena ia memiliki adik perempuan juga nan jauh di sana.
“Kamu lucu banget sih? Namanya siapa?” Luna gemas dengan anak kecil didepannya sambil mencubit pipi gembulnya.
“Bi...” balas anak kecil itu sambil meletakan tangannya di pipi Luna.
“Bi?” Luna mengulang perkataan anak kecil itu. Dan memandang sekilas ke arah pria yang dari tadi duduk sambil memainkan laptop di hadapannya. Dan kembali melihat ke arah anak kecil yang digendong Luna.
“Namanya Bima. Dia jarang banget mau digendong sama orang yang belum dikenal loh. Tapi sama kamu dia minta di gendong.” Kata Sarah istri Abdul menjelaskan. Abdul sendiri tersenyum melihat kedekatan Luna dan Bima.
“Benarkah?”
Luna tidak percaya. Padahal Bima terlihat sangat ramah pada orang. Anak kecil memang suka pilih-pilih karena memang belum mengenal akan wajah orang dalam waktu yang cepat.
Melihat Luna asyik dengan Bima. Pria itu memandang penasaran dalam benaknya. Melihat anaknya dekat dengan seseorang selain keluarga besarnya. Itu cukup membuat pria itu kagum.
Selama ini Bima sangat tidak bersahabat dengan siapapun. Biasanya dia bisa rewel, mengamuk bila ada seseorang mendekatinya atau mencoba untuk menggendongnya. Kali ini tidak. Malah Bima yang memintanya.
“Luna. Kamu sudah cocok menjadi seorang Ibu.” Kata Rara mengejek, nyengir. Melihat Luna asyik dengan bocah yang namanya Bima, Saking asyik, Luna lupa kalau dia kesini untuk menjenguk Pak Abdul.
“Kelak kita akan menjadi Ibu. Melahirkan anak-anak kita, Rara.” Balas Luna penuh makna. Membuat orang dalam ruangan terseyum akan ucapannya.
Rara tidak menjawab kali ini dia kalah telak. Karena apa yang dikatakan sahabatnya memang benar. Setiap wanita di muka bumi akan menjadi seorang Ibu dan melahirkan anak-anak untuk cucu-cucu mereka. Luna kembali bercengkerama dengan Bima hingga melupakan mereka di dalam ruangan yang memperhatikan keduanya merajuk canda.
“Maaf Pak jadi ke asyikan. Bi anaknya siapa Pak?” tanya Luna penasaran akan Bima yang cakep dan lucu ini.
Setahu Luna, kalau Abdul hanya memiliki anak perempuan bukan laki-laki. Di tambah Bima masih sangat kecil. Tidak ada kemiripan dengan Abdul maupun Sarah yang dilihatnya.
“Bima, anak adik saya. Itu, bapaknya yang lagi sibuk sama laptop.”
Abdul menunjuk ke arah pria yang sedang sibuk dengan laptopnya itu. Luna dan Rara menatap tidak percaya.
Rara dan Luna terkejut. Bisa dibilang kalau pria yang tidak tahu namanya itu sangat tampan dan muda. Tapi tidak menyangka sudah mempunyai anak.
Tidak seperti temannya yang terlihat syok tidak percaya.
“WHAT?” Rara sedikit keras. Karena suara keras Rara, pria itu pun memandang ke arah mereka berdua dengan raut wajah bingung.
“Upss sorry.” Katanya lagi sambil menutup mulutnya cepat.
Tidak enak akan sikap Rara yang terlalu lebay, Luna tersenyum kikuk.
“Kalau begitu kita pamit. Maaf kedatangan kita sedikit mengganggu Bapak. Kita harus pulang.” Kata Luna berdiri di tempat dengan pelan memindahkan Bima ke tangan Sarah.
Bima tidak mau beranjak dari gendongan Luna dan terus memeluk Luna dengan erat. Dengan sedikit paksaan Sarah mengambil Bima dari pelukannya.
Tasa berat hati Luna memandang sedih, seperti ia berpisah dengan anaknya sendiri. Bima menjadi rewel dan menggeliat tidak mau pisah dengan Luna.
Bima merengek.
“Cup-cup sayang. Tante Luna mau pulang. Nanti besok lagi ya.” Bujuk Sarah memberi ketenangan pada Bima yang sedang rewel dan merengek menangis. Luna mendekati Bima dan mengusap kepala Bima dengan lembut.
“Tante nanti kesini lagi. Tante pulang dulu. Kamu jangan nangis.” Dengan sentuhan lembut elusan Luna. Bima menjadi sedikit tenang. Tidak lama pria itu yang tidak lain Ayah Bima entah siapa namanya, mendekati mereka. Menggendong dan memeluk agar Bima tenang.
“Anak Daddy. Jangan nangis.” Ucapnya penuh lembut sekilas memandang kearah Luna yang berdiri di sampingnya.
Luna menunduk malu karena tidak sengaja tatapan keduanya bertemu.
“Kalau begitu kami pamit, cepat sembuh ya, Pak.” Kata keduanya, lalu berpamitan dan bersalaman. Keluar dari kamar Dosennya.
Masih dengan perasaannya yang tidak rela, saat Luna meninggalkan Bima yang masih sedikit rewel karena kepergian Luna. Mereka keluar dari ruangan inap Pak Abdul kemudian bergegas menuju parkiran.
Luna meminta Rara untuk mengantarkannya langsung ke apartemen. Karena badannya terasa lelah. Tadinya mereka berniat untuk pergi ke cafe tongkrongan mereka untuk sekedar santai dan cuci mata. Tapi niatnya diurungkan.
Rara memandang sahabatnya yang sejak tadi masih melamun. Dia tahu kalau, Luna pasti sedang memikirkan sesuatu.
Sebagai sahabat Rara hanya bisa merangkul Luna.
“Hey! Malah melamun. Kesambet baru tahu rasa.” Rara menyadarkan Luna dari lamunan.
Luna memandang Rara diam tanpa berkata apapun.
“Kenapa? Masih kepikiran anaknya? Apa Bapaknya?”ledek Rara keukeuh. Sejak tadi Rara terus saja membicarakan pria itu.
Katanya itu bukan tipe-nya tapi kenapa terus saja yang di bahas itu-itu saja.
Luna hanya mendengar tidak mau merespon tentang pria itu, yang jelas tidak mau disebut pelakor, yang sekarang sedang gencar untuk para istri menjaga suaminya.
“Anaknya. Masa Bapaknya. Nggak jelas. Dosa tahu masa mikirin suami orang. Aku masih waras.” Jawab Luna cepat dan menyanggah pemikiran Rara.
“Tapi, dia ganteng loh.”
“Iya terus? Aku harus bilang wow gitu?”
“Setidaknya kasih respon dong.”
“Respon seperti apa Nyai?” Rara mencubit bahu tangan Luna karena menyebutnya 'Nyai' dia tidak suka.
“Sakit, Ra.” Keluhnya menyentuh bekas cubitan Rara perbuatan. Hingga Luna mendelik kesal.
Rara cecengiran tanpa dosa.
“So, Why? what's happen? apa yang kau pikirkan sejak tadi?” tanya sambil menyetir pandangannya masih ke depan sesekali melirik ke arah Luna yang sedang duduk di sebelahnya.
“Hanya saja jadi inget sama mendiang Kak Anggi. Kalau anak-anaknya masih ada pasti umurnya sama kayak Bi.”
Cerita Luna merasakan kesedihan. Saat Luna menginggat kembali kejadian kecelakaan di mana kakaknya meninggal dan kandungan didalam ikut meninggal. Kakaknya beserta dua keponakannya meninggal di tempat.
“Sabar. Pasti sulit buat kamu lupain hal itu semua. Aku yakin mereka sudah hidup bahagia di sana.” Kata Rara menenangkan hati sahabatnya sambil mengusap punggung Luna lembut.
Luna menutup wajah dengan tangan sambil menahan rasa perihnya saat ditinggal kakak tersayang.
Apa kalian bahagia di sana?
Terik matahari menyambut kedatangan Luna yang datang tiba-tiba ke kampusnya. Luna dengan cepat masuk ke ruangan Dosen untuk mengikuti magang untuk sebuah perusahaan. Luna memang dari jurusan bisnis. Ia pun mendaftarkan dirinya pada Pak Diaz untuk magang di perusahaan SJ COMPANY. Perusahaan ini amat di minati seluruh mahasiswa maupun orang-orang di luar sana. Karena bagi yang ingin bekerja di sana amat sangat susah hanya orang terpilih yang dapet bekerja di perusahaan tersebut.
Setelah selesai menulis data formulir Luna bergegas ke kantin kampusnya untuk makan siang. Kantin pada jam begini tampak ramai hingga Luna mencari tempat untuk duduk. Melihat Rara sedang duduk sendiri, ia mendekati sahabatnya.
"Rara." teriak Luna. Rara melonjak kaget akan suara sahabatnya. Untung dia tidak tersedak akan makanan yang sedang di makan.
"Astaga! Bisa nggak lebih kenceng lagi? Biar seluruh kampus denger teriakan kamu." protes Rara acara makannya terganggu. Sedangkan tersangkanya hanya tertawa.
"Habis. Sahabat lagi puyeng sama program magang. Nah, kamu malah enak-enak makan."
"Deritamu. Siapa suruh ambil program magang?"
"Pengen cepat lulus,Ra."
"Jadi pengen tinggalin aku nih. Kalau kamu lulus wisuda duluan. Aku gimana?"
"Makanya nekad. Belajar yang bener. Jangan belanja mulu."
"Sudah kodratnya kali." ngelesnya. Kemudian seseorang meletakkan es kelapa yang sudah dipesannya. "Terus, kamu sudah mengajukan lembar formulir ke Pak Diaz?" katanya lagi sambil menyuapkan mie ayam kedalam mulut sedikit-sedikit.
"Sudah, tapi nggak yakin bakal di terima magang di sana. Pasti banyak mahasiswa yang ikut daftar. Mereka punya nilai plus di banding aku." Ucap Luna pesimis mengambil es kelapa milik Rara. Yang punya hanya berdecak akan kelakuan wanita di hadapannya.
"Positive thinking dong. Aku yakin Luna Anatasya Gerraldy bakal di terima magang. Percaya akan keberuntungan." kata Rara memberi semangat 45' kepada Luna di sampingnya.
"Thank you. Rara." kata Luna merangkul Rara. Merasa senang sahabatnya selalu mendukung dan memberikan semangat.
"Kamu nggak ke rumah sakit lagi? bukannya sudah janji sama itu anak." Rara mengingatkan.
"Aku lupa." kata Luna sambil memukul keningnya pelan, tiba-tiba teringat akan janjinya. "Tapi, aku nggak enak sama Pak Abdul. Masa aku datang buat ketemu sama keponakannya." Tambahnya sambil menimbang-imbang haruskah ia kesana atau tidak.
"Janji itu hutang. Atau mau akui temanin ke sana? Kira aja ada Bapaknya yang ganteng itu." Rara bertingkah mengoda.
"Modus! mending nggak usah. Kalau niatan kamu buat godain suami orang." ketusnya. Rara cemberut sekilas memalingkan wajahnya.
Tidak lama suara ponsel Luna terdengar nyaring. Ia pun memandang ponselnya merasa bingung akan panggilan tidak di kenal masuk. Hanya memandangi layar ponsel.
"Siapa?" tanya Rara penasaran, karena Luna nampak kebingungan.
"Nggak tahu nomor tidak di kenal."
Luna hanya memandang tidak berniat mengangkat, tapi ponselnya terus bersuara.
"Kira aja penting."
Luna mengangguk. Takut menganggu pendengaran orang-orang di sekitarnya juga. Luna dengan sigap mengangkat ponsel itu dan ia terima.
Di ujung telepon terdengar suara tangisan seorang anak kecil yang Luna kenal. Suara seorang pria pun terdengar lega.
"Akhirnya kamu angkat telpon juga, Luna." Suara seorang pria terdengar gusar. Belum sempat Luna menjawab pria itu melanjutkan kata-katanya. "Ini Pak Abdul. Kamu bisa kerumah sakit sekarang tidak? Bi dari tadi nangis melulu pengen ketemu sama kamu. Bukannya kamu janji mau ke sini lagi." Kata Pak Abdul dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
"Baru saya mau kesana Pak. Kalau begitu saya segera ke rumah sakit." Jawab Luna agak ragu.
"Saya tunggu. Maaf kalau merepotkan kamu."
"Nggak apa-apa, Pak. Saya tidak merasa di repotkan."
Tidak menunggu lama Luna pun bergegas ke rumah sakit dengan Rara yang memaksa ingin mengantar dan ikut menemui Bima anak dari adiknya Pak Abdul yang entah siapa namanya itu, sampai sekarang Luna tidak mengetahuinya.
"Kamu yakin mau ikut." kata Luna. Dengan cepat ia pun melanjutkan perkataanya. "Awas saja jangan keganjenan." Luna mengingatkan sahabatnya agar tidak berbuat aneh-aneh apalagi mengoda suami orang.
"Iya janji. Lagian siapa juga yang mau jadi pelakor". Rara jengkel.
"Pegang itu janji". Luna menggingatkan kembali.
"Iya, Luna bawel." balas Rara kesal.
Keduanya berjalan ke parkiran. Dalam perjalanan banyak yang mereka obrolankan. Dari kampus ke rumah sakit jaraknya hanya lima belas menit saja.
Sesampainya di rumah sakit Luna dan Rara langsung memasuki Lift. Hanya dalam waktu satu menit, lalu mereka sudah sampai di kamar Pak Abdul di rawat. Luna bergegas mengetuk pintu. Masuk. Lalu Luna mendengar suara tangisan Bima. Begitu keras dan sesegukkan.
Terdengar suara pintu terbuka di lihatnya Bima yang sedang menangis di gendongan Ibu Sarah. Luna pun masuk dan membungkuk sopan pada Pak Abdul yang masih berbaring di ranjangnya.
"Hai Bi. Sama Tante, maaf ya Tante telat datangnya." kata Luna mengambil alih Bima dari gendongan Bu Sarah. Dalam sekejap Bima berhenti dari tangisannya setelah Luna datang dan mengendongnya.
"Ya, ampun. Anak ini benar-benar suka banget sama kamu Luna. Tangisanya aja langsung berhenti." Jelas Bu Sarah melihat Bima dalam pelukan Luna.
Rara dan Pak Abdul memandang kekaguman ke Luna bisa menenangkan Bima begitu saja tanpa repot.
"Kangen ya, sama Tante." kata Luna memandang Bima dalam pelukanya yang sedang memainkan rambutnya dengan raut muka yang masih suram. Tanpa menjawab.
"Bi, kamu marah sama Tante karena telat datang." Bima hanya mengangguk dan entah mengerti atau tidak dengan kata yang Luna maksudkan. Karena Bima masih kecil.
"Kamu mau ice cream."
"Mau." Bima pun langsung menjawab dengan hati senang.
Pak Abdul, Ibu Sarah dan Rara hanya memandang Luna maupun Bima tanpa ingin merusak moment keduanya, di mana mereka sedang asyik berdua.
Luna mengusap punggung Bima. Anak kecil itu amat terlihat lelah. Luna tidak tega mengajaknya keluar untuk makan ice cream.
"Luna. Terima kasih kamu mau datang kesini. Maaf jadi ngerepotin kamu." Pak Abdul membuka suara. yang masih bersandar di kasur empuknya.
"Tidak apa Pak. Saya senang kok. Lagian saya juga udah janji mau ke sini lagi." jawabnya yang masih mengendong Bima.
"Dia biasanya tidak begini sama siapapun. Tapi sama kamu dia itu merasa seperti sosok Ibu yang tidak pernah anak ini lihat sejak lahir." ucap Ibu Sarah menjelaskan. Luna hanya memandang bingung ke arah Ibu Sarah dan Pak Abdul dengan raut muka sedih.
"Maksud Ibu Sarah, Ibunya sudah meninggal." kata Rara dengan cepat membuka suara penasaran.
"Iya, benar. Ibunya meninggal saat melahirkan Bi. Jadi Luna tidak tahu rupa atau mendengar suara Ibunya." Sarah menjelaskan dengan hati yang masih sedih. Jadi pria itu Duda toh, batin Luna.
Karena sibuk bercerita tanpa sadar Bima tertidur di pelukan Luna, mereka tidak sempat untuk membeli ice cream.
Luna membaringkan Bima di atas ranjang yang sudah di sediakan oleh rumah sakit. Wajar di ruangan Pak Abdul memang bukan seperti kamar atau bangsal yang sering Luna lihat. Fasilitas di kamar ini seperti berada dalam hotel semuanya lengkap.
Setelah membaringkan Bima ke tempat tidur single. Luna dan Rara berpamitan untuk pulang. Tidak mau terlalu lama di ruangan Pak Abdul. Merasa tidak enak dan nyaman. Apalagi Luna dan Rara tidak bergitu dekat dengan Pak Abdul.
Dalam perjalanan sahabatnya ini tidak bisa berhenti bicara bila menyangkut obrolan tadi dirumah sakit mengenai Bima dan Bapaknya yang ternyata seorang Single Daddy alias Duda.
"Sumpah ya, Aku nggak percaya. Si ganteng itu teryata Duren. katanya spontan.
"Udah deh kamu itu dari tadi ngomongin itu itu aja. Nggak bisa gitu bahas yang lain." ucap kesal Luna mendengar ocehan Rara saat keluar dari rumah sakit sampai sekarang masih belum percaya dengan apa yang di dengar. Masih Speecles.
Bicara soal Duda, kebanyakan beranggapan keren untuk wanita. Apalagi Duda nya masih muda. Beuh, pasti banyak yang antri dan mengejar.
•••
Suasana dalam ruang kantor terasa kacau. Seorang pria dengan cepat melonggarkan dasi bajunya karena terasa letih. Dan menyandarkan tubuhnya di bangku. Menghela nafas dengan berat karena lelah melanda.
Sesekali ia mengerutkan dan menyentuh pelipis di hidungnya sembari memejamkan matanya.
"Pak Reza, maaf saya ganggu. Ini data karyawan magang yang direkomendasikan dari beberapa peguruan tinggi." kata seorang pria berjas rapi menghampiri, meletakkan dokumen di atas meja.
Tanpa bicara apa-apa Reza mengambil dokumen di atas meja dan dengan serius, membaca data formulir untuk karyawan magang. Beberapa menit melihat data formulir yang di pegangnya, Reza mengenal di antara daftar mahasiswa yang ia ketahui. Dengan raut sedikit tidak terduga.
Ini kan mahasiswanya Mas Abdul. Yang namanya Luna. Jadi dia berniat magang disini, Reza dalam hati.
"Kamu proses saja semua anak magang ini. Dan tempatkan mereka pada bagian yang membutuhkan tambahan karyawan. Dan pastikan mereka bekerja dengan baik. Dan tetapkan tanggal panggilannya." katanya tegas. Meletakan kembali dokumen tersebut.
"Baik Pak, saya mengerti". Ucapnya sekretaris itu sambil meninggalkan ruangan.
Reza bergegas mengambil ponsel didalam jasnya dan menelpon seseorang.
"Assalamualaikum, Mbak sarah bagaimana keadaan Biboy sekarang?" tanya Reza merasa cemas akan keadaan anaknya.
"Walaikumsalam, Biboy sudah tidur. Lelap banget. Mungkin tadi dia menagis terus." balas Sarah pada adik iparnya.
"Syukur. Kalau gitu. Nanti aku jemput setelah kerjaan Reza di kantor beres."
"Iya, adikku sayang. kamu jangan cemasin dia. Kamu urusin aja kerjaan kamu."
"Terima kasih ya Mbak mau jagain anak Reza. Padahal Mas Abdul masih di rawat. Reza jadi banyak repotin Mbak Sarah. Nanti Reza akan cari baby sitter yang baru."
"Siapa yang repot. Malah Mbak senang bisa jagain Biboy. Cari baby sitternya yang benar jangan kayak kemarin."
Baby sitter sebelumnya ternyata terlalu mengekang Bima. Dan parahnya Bima pernah di sentak Babysitter. Hingga menangis. Untung Reza selalu mengawasi Bima di apartemen melalu kamera CCTV yang tersembunyi. Baby sitter itu Reza berhentikan. Sejak saat itu Bima di titipkan pada Sarah, kakak iparnya. Dan belum mencari baby sitter baru. Masih sedikit trauma.
"Iya, aku akan selektif mencari Babysitter baru buat Biboy."
"Kamu ingin punya seseorang yang bisa jaga Biboy dengan aman dan menyayanginya?"
Tanpa Reza tahu, dia menjawab polos.
"Tentu saja."
"Seorang Istri. Cepat nikah cari Mommy buat jagain Biboy."
Ungkap Sarah pada adiknya. Selama ini Reza terlalu lama sendiri. Tidak mencoba untuk mengenal atau mendekati wanita lain di luar yang selalu mendekati Reza.
Dari ujung telpon Reza tidak merespon ataupun berbicara sesaat ia terdiam memikirkan perkataan kakaknya ini. Reza tahu kalau Bima membutuhkan sosok seorang Ibu yang bisa menyayanginya.
Ia pun menghela nafas panjang dan tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Reza dengan sopan ijin untuk mengakhiri pembicaraannya ditelpon. Melanjutkan pekerjaanya.
"Jadi saya diterima Pak". Luna tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari seorang memberitahu bahwa dirinya lolos dan diterima magang diperusahaan yang Luna inginkan. "Terima kasih Pak, atas informasinya". Kata Luna sopan dan menutup panggilan masuk di ponselnya.
Dengan kegirangan dia menelpon sahabatnya. Ingin memberikan kabar baik, bahwa dirinya di terima untuk magang. Tapi panggilan telpon Luna tidak di angkat sahabatnya ini. Padahal ia berniat mentraktir makan Rara. Mungkin sibuk, pikir Luna.
Tidak lama sebuah chat masuk. Di bacanya chat dari sahabatnya, Rara.
Sorry Luna. Aku nggak bisa angkat telpon kamu. Aku lagi di acara kondangan teman Mamiku. Ponsel aku di kekeupin Mami biar nggak kabur. Jangan marah Luna nanti aku telpon balik deh.
Membaca chat temannya ini Luna hanya menghela nafas panjang. Segera membalas chat sahabatnya ini.
Oke, aku tunggu telpon kamu. Ini penting pake banget.
Luna pun bergegas menuju KFC memesan makanan dan minuman untuk mengisi makan siang. Setelah makan siang habis Luna masih sibuk dengan ponsel dan mencari referensi busana untuk hari pertama dia kenakan untuk bekerja dengan status magang.
Banyak macam-macam style yang Luna lihat. Tapi ia mulai bosan dan bergegas meninggalkan restauran cepat saji itu.
Luna cepat menekan pencarian untuk mendapat taksi online. Tapi tidak ada taksi online yang dia dapatkan. Sambil menunggu pencarian taksi online, Luna masih berdiri di depan restauran, menunggu di pinggir jalan.
Sebuah mobil Mercedes-Maybach S-Class berhenti di depan Luna berdiri. Dengan raut wajah kebingungan Luna pun melihat ponsel ditanganya. Tapi pencarian taksi online masih belum menujukkan keberadaannya yang di pesan dari App. Ini mobil ngapain berhenti didepanku, batin Luna terus bertanya-tanya.
Sesekali Luna melihat ke arah samping maupun belakang takutnya ada seseorang yang menunggu mobil ini. Tapi nihil hanya ada Luna seorang. Masih dengan raut muka bingung.
Sedangkan seseorang dalam mobil tersenyum geli akan tingkah Luna dengan raut kebingungannya.
Jendela mobil di kedua sisi pun perlahan terbuka di lihatnya seorang pria dan seorang wanita tersenyum. Luna membalas senyum mereka. Masih sedikit tidak percaya. Di lihatnya ada Pak Abdul dan Ibu Sarah memandang dirinya dari dalam mobil mewah di hadapannya.
"Kamu nunggu siapa Luna?" tanya Ibu sarah.
"Nunggu taksi online, Bu. Tapi nggak dapat-dapat." keluh Luna yang masiha setia berdiri di depan mobil itu
"Kita antar kamu yah." tawar Pak Abdul membuka suara menawarkan tumpangan.
Dengan cepat Luna menggeleng kepala pelan. "Tidak usah Pak saya bisa pulang sendiri." ucapnya menolak ajakan Dosennya ini. Bukannya menolak Luna tidak enak kalau harus menghantarkannya ke apartemen miliknya.
Dari arah dalam mobil Luna mendengar suara Bima yang memanggil dirinya. "Tante Una."
"Hai, Bi." sapa Luna balik, dengan senyum senang melambaikan tangannya. Ibu sarah pun membuka pintu mobil dan dengan cepat menarik tangan Luna. Tanpa sadar Luna sudah berada didalam mobil yang di tumpangi Dosennya.
"Kamu tinggal di mana biar kita antarkan. Iya kan Reza?" Tanya Ibu sarah yang masih mendudukan Bima di pangkuannya.
Reza toh namanya.
Sembari melirik ke depan melirik sekilas pada seorang pria yang mengemudi di sisi kanan. Pria itu hanya menggaguk setuju tanpa berkata apapun. Pria itu benar-benar pelit bicara. Membuat Luna sedikit ragu menerima tumpangan dari Dosennya.
"Saya tinggal di apartemen Sudirman Park". Jawab Luna yang masih tidak enak hati untuk diantarkan.
"Kamu tinggal disana?" Kata Ibu Sarah. Membuat Luna mengerut keningnya, seakan wanita itu tidak percaya akan ucapannya. Memang apartemennya lumayan mahal untuk kalangan mahasiswa. Luna mendapat apartemen dari Ayahnya yang meminta Luna untuk tinggal di apartemen, dari pada harus tinggal di kosan atau mengontrak rumah.
"Reza juga tinggal di sana. Tapi kita kok nggak pernah ketemu kamu, ya?" Sarah melanjutkan lagi.
"Luna baru satu bulan tinggal disana, Bu." Jawabnya memberitahu.
"Pantesan, kamu tinggal sama siapa?" Tanya Ibu Sarah benar-benar kepo akan Luna. Sedangkan kedua pria di depan hanya mendengarkan sekali-kali mereka melirik kebelakang.
"Udah Mah, kamu kepo banget sih, kamu nggak lihat Luna nggak nyaman di tanya-tanyain terus." sahut Pak Abdul memandang malu dengan tingkah istrinya itu.
Pak Abdul peka banget sih. Luna hanya tersenyum tidak mau menyinggung Ibu Sarah.
"Mamah nggak kepo cuma tanya saja. Iya kan Luna." Belanya. Luna hanya mengangguk pelan dalam arti setuju.
"Saya, tinggal sendiri." jawabnya sambil megambil Bima dari pangkuan Ibu Sarah di sampingnya.
"Kamu tinggal sendiri. Orang tua kamu?" Ibu Sarah bertanya kembali saking kepo, Luna memang tidak suka kalau orang lain menayakan keluarganya tapi Luna tidak tahu kenapa malah menceritakan hal pribadi pada keluarga Pak Abdul. Meski tidak secara detail.
"Ibu saya sudah meninggal. Ayah tinggal sama Istri dan anaknya di Jerman." Jawab Luna dengan nada pelan namun jelas. Meskipun begitu Luna merasa senang bisa berbincang tanpa beban pada mereka.
"Maaf. Saya nggak tahu". Ibu Sarah merasa bersalah dan mengelus pundak Luna lembut. Luna pun hanya mengangguk tanpa berbicara apapun. Reza dan Pak Abdul hanya diam tanpa berkata-kata.
Hanya mendengarkan obrolan keduanya belakang. Fokus memandang kedepan. Kadang kedua pria itu asyik dengan obrolan mereka sendiri.
Dalam perjalanan menuju apartemen. Luna dan Ibu Sarah asyik mengobrol. Maklum saja Sarah sangat menyukai Luna, gadis yang manis dan asyik untuk diajak bicara. Dan mereka punya satu hobby yang sama yaitu menonton drama korea, dan menyukai aktor yang sama yaitu Gong Yo, Hyun Bin dan Song Seung Hun. Tiga pria korea paling populer dan tampan.
Saking asyik mengobrol mereka sampai di depan apartemen. Bima yang tertidur di pangkuan Luna berpindah tempat pada Ibu Sarah. Mereka turun dari mobil masuk menuju Apartemen. Sebelumnya Luna mengucapkan terima kasih pada Reza. Pria itu hanya membalas dengan anggukan saja. Membuat Luna kesal. Seperti pria bisu.
Pria itu melajukan mobilnya memarkirkan mobilnya.
Sedangkan Luna dan yang lain memasuki Lobby, mereka masuk ke dalam lift.
Memang Pak Abdul tidak tinggal Sudirman Park. Tapi mereka tinggal disini sementara semenjak keluar dari rumah sakit. Karena Dosennya ini masih dalam tahap penyembuhan dan harus bulak balik untuk control. Jarak rumah beliau jauh dari rumah sakit, sedangkan dari apartemen ini hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai.
"Apartemen kamu lantai berapa?" tanya Pak Abdul sebelum menekan nomor lift dihadapanya.
"Saya tinggal di lantai lima Pak". Balasnya.
Tidak lama pintu lift sudah terbuka. Luna berpamitan pada pasangan suami istri ini dan bergegas menuju pintu apartemenya.
•••
"Pah. Menurut kamu Luna bagaimana?" tanya Sarah tiba-tiba. Di samping mereka Reza duduk yang sibuk dengan ponselnya. Mendengarkan pertanyaan Sarah tentang Luna, wajah Reza yang tadinya serius dengan ponselnya berubah mengerit keningnya, seperti ada sesuatu yang membuat Reza tidak tenang dan tidak suka akan pertanyaan Sarah pada Abdul-kakaknya.
"Luna anaknya cantik, ceria dan baik yang aku tahu." Jawab Abdul sambil membuka lembaran buku yang sedang ia pegang.
Sarah merasa tidak puas akan jawaban Abdul yang tidak sesuai akan maksud pertanyaannya.
"Itu Mamah setuju. Maksud Mamah cocok nggak jadi Mommynya Biboy." Kata Sarah membuat kedua pria di sisinya melotot tidak percaya dengan perkataan wanita dihadapanya ini.
Dehem Reza terdengar. "Ngomong apa Mbak, jangan bercanda deh." Masih kaget dengan perkataan kakak iparnya ini. Reza kembali fokus pada ponsel yang ada di tangannya. Tapi masih tetap kepikiran akan ucapan kakak iparnya.
"Betul apa kata Reza. Kamu kalau ngomong jangan bercanda. Apalagi jodoh-jodohin Luna sama Reza." Bela Pak Abdul pada adik. Reza cepat mengangguk setuju.
"Terus mau sampai kapan. Biboy butuh sosok Ibu dan yang sayang sama dia. Biboy itu udah dekat banget sama Luna. Kamu tahu sendiri dia itu susah banget dekat sama orang asing. Tapi sama Luna dia itu kayak ada something gitu". Ucapnya menjelaskan panjang lebar.
Reza. Setuju akan ucapan Sarah tentang kedekatan Luna dan Bima cepat tanpa butuh waktu lama dan hanya sekali bertemu saja mereka begitu akrab.
"Benar juga kata kamu Mah." Pak Abdul tanpa sadar setuju dengan ucapan istrinya ini.
Reza hanya diam malas mendengarkan ocehan kakak iparnya yang menyuruh Reza untuk cepat menikah. Diapun bergegas meninggalkan mereka berdua dan naik ke lantai dua memasuki kamar Biboy.
Melihat anaknya telah tertidur lelap semenjak kembali dalam perjalanan ke apartemen.
Flashback
"Dok. Bagaimana keadaan istri saya dan anak saya?" Kata Reza khawatir. Di hadapannya seorang Dokter yang masih terdiam tanpa bicara. Dan tanpa sadar ia mengucapkan kalau Lisa itu istrinya.
"Maaf, istri anda mengalami pendarahan cukup banyak. Pendarahannya tidak dapat di hentikan. Kami hanya bisa menyelamatkan istri anda. Kami sudah berusaha keras untuk menyelamatkan istri anda. Tapi kondisi istri anda sangat lemah. Dan一" ucapan Dokter pun terhenti ketika seorang Dokter lainnya menghampiri dan meminta bantuan. Karena ada seorang pasien hamil yang membutuhkan bantuannya.
Reza menoleh tak jauh dari ruangan mereka seorang gadis berpakaian seragam putih abu-abu terisak menangis keras didepan ruangan tempatnya berdiri di temani seorang pria dengan bertubuh kekar merangkul dan menengkan gadis itu.
Ketika Dokter itu berpamitan pada Reza yang masih tak percaya kalau orang yang sangat ia cintai sudah tiada. Sebenarnya Reza dan Lisa tidak menikah, namun hubungan mereka bukan sekedar hubungan pacaran biasanya. Tapi seperti pasangan suami istri. Dan mereka putus saat hubungan mereka menginjak satu tahun lamanya. Reza dengan brengsek malah meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil.
Mereka bertemu kembali saat Lisa mengandung delapan bulan. Hidup sendiri tanpa ada yang menemaninya saat berbadan dua. Ia ditinggal di panti asuhan 'Kenangan Ibu' karena Lisa sudah memalukan panti itu. Lisa dan Adiknya di usir begitu saja, tanpa rasa kasihan sedikitpun. Sedangkan pemilik sebelumnya sudah meninggal yang begitu menyanyagi Lisa dan Adiknya, dan di lanjutkan oleh anaknya.
Dengan tekat berani karena tidak ingin kalau anaknya kesusahan dan dihina oleh orang-orang.
Lisa menghubungi Reza yang menghamili dirinya untuk bertemu dan minta pertanggung jawaban untuk kelangsungan anaknya.
__
Dua jam sebelum pendarahan Lisa terjadi. Sosok Reza berhadapan dengan Lisa yang sedang mengelus perut buncitnya sambil memandang pria tampan itu yang masih bingung akan maksud dan tujuannya.
"Kamu mau bicara apa, sama saya?" Ucapnya sinis dan to the point.
"Harusnya kamu tanya kabar saya. Bukannya malah mau bicara apa." Jawabnya tegas.
"Saya sibuk banyak kerjaan." ucap Reza dengan nada sedikit keras ketus.
"Saya tahu kamu sibuk, apalagi sekarang kamu sudah jadi orang besar. Pastinya kamu nggak punya waktu buat bicara sama saya. Langsung pada intinya karena saya nggak mau ganggu kerjaan kamu". Ucapnya sedikit gemetar dan gugup. Reza hanya diam dan mendengarkan ocehan mantan kekasihnya ini.
"Kamu lihatkan saya sedang hamil?" Lanjutnya berkata.
"Saya tahu. Terus urusannya sama saya apa?"
"Ini anak kamu" Jawabnya singkat padat. Tanpa respon apapun Reza hanya memasang raut muka datar memandang wanita di hadapanya.
"Kamu yakin itu anak saya?" tanyanya sok tidak tahu. Padahal dalam dirinya Reza sangat tahu kehamilan Lisa saat itu. Hanya waktu yang tidak bisa membuat Reza menerimanya.
Lisa terdiam sesaat mendengar ucapan Reza tidak percaya dengan perkataanya. Dia melihat pria di hadapanya berbeda dengan pria dulu sangat mencintainya.
Lama mereka berbicara tapi tidak ada titik temu. Rezapun tetap dengan pendiriannya dia tidak mengakui anak yang ada dikandungannya itu adalah darah dagingnya.
Tidak banyak berpikir Lisa bangkit dari tempat duduknya dan bergegas akan meninggalkkan Reza dihadapannya. Sambil mengelus perutnya yang terasa sakit menyerang. Tanpa disadari Reza tertegun melihat bagian belakang dress yang di pakai Lisa sudah ternodai bercak darah yang masih baru. Ia pun bergegas menghampiri Lisa yang sudah lemas hampir jatuh kelantai. Tapi untung Reza dengan sigap merangkul mantan kekasihnya dan membawanya kerumah sakit terdekat.
Sesampainya dirumaha sakit Lisa langsung memasuki UGD sebelum memasuki ruangan Lisa berbisik pelan pada telinga Reza. Tanpa ia sadari tetesan air mata jatuh dipipinya. Ucapa Lisa membuat ia mati rasa.
Tolong jaga dan sayangi anak kita. Jangan buat dia menangis.
Pesan terakhir Lisa.
__
Reza masih dalam bayangan masa lalunya sambil mengelus anaknya. Ada rasa penyesalan yang amat dalam benaknya. Penyelasan yang tidak bisa Reza ubah kembali. Dia hanya bisa memegang pesannya yang terakhir.
"Maafkanlah Daddy, Biboy. Karena Daddy sudah membuat kamu kehilangan sosok Ibu. Daddy janji akan menjaga dan menyayangimu." gunamnya, air mata lolos begitu saja dan mengusap jejak air mata itu dari pipinya.
Maafkan aku juga Lisa, semua ini memang salahku, tidak seharusnya aku mengikuti kemauannya dan meninggalkanmu begitu saja. Membuatmu harus menderita karena diriku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!