NovelToon NovelToon

Song Of Songs Mafia : Haga Revenge

Bab 1. Tato Dalam Mimpi

"Pak? Pak? Bertahan pak!?" teriak Hendrikus sambil terisak menahan tangis. Memanggil orang yang dicintainya terhanyut oleh derasnya aliran sungai Afia. Beberapa orang yang kebetulan melintas disitu hanya terpaku menyaksikan salah satu warga kampung mereka digulung derasnya arus sungai.

"Tolong, tolong bapak saya bang!?" meminta bantuan sambil memegang tangan seorang pemuda yang terbilang jago renang dan sudah terbiasa berenang di sungai tersebut- bersama dengan pemuda-pemuda lainnya yang tergabung dalam organisasi karang taruna.

Tetapi orang yang dimintai tolong hanya bisa menatap aneh, "Hah? apa kau gila?" batinnya. Pemuda itu tak berani.

Jika seorang yang jago renang saja telah ciut nyalinya melihat besarnya debit air dan derasnya aliran sungai, apalagi warga yang lain. Mereka hanya menonton dari pinggir sungai. Seorang pun tak ada yang bernyali menceburkan diri ke sungai. Tak ada yang kepingin mati konyol mempertaruhkan nyawa demi orang lain.

Lama kelamaan tubuh itu semakin mengecil. Hendrikus yang ingin mengikuti sepanjang aliran sungai dihalangi oleh seorang pria paruh baya yang rumahnya hanya sejengkal dari kediaman Hendrikus. "Om, tolong bapak saya om,"

Beberapa saat setelah tubuh pria itu tidak kelihatan lagi, kerumunan membubarkan diri satu-persatu, kembali pada rutinitas masing-masing.

Mendengar kabar musibah yang menimpa suaminya, dari tetangga yang mengantarkan Hendrikus kembali ke rumah, membuat wanita itu menjerit histeris. Tidak lama kemudian ia jatuh pingsan dan digotong masuk ke rumah oleh ibu-ibu yang lain.

Setelah di laporkan oleh perangkat desa, regu penyelamat tim SAR dibantu oleh warga desa bersama-sama menyusuri aliran sungai, mencari keberadaan pria itu hingga ke hilir. Tiga hari pencarian itu berlangsung, tak juga didapatkan bongkahan tubuhnya.

Sehingga penatua agama dan masyarakat melakukan ritual untuk mengiringi arwah pria itu melintasi alam baka. Pencarian pun dihentikan pada hari yang keempat.

Hendrikus kini hidup bertiga saja dengan ibu dan seorang adik perempuan bernama Meutia. Kehilangan suami, membuat wanita itu jadi sering murung, melamun dan mengurung diri di kamar. Membuat kakak-beradik tersebut jadi tak terurus. Terlantar.

Untung masih ada tetangga yang peduli pada keadaan keluarga Hendrikus. Secara bergiliran mereka memberi pisang, sayur kacang panjang, jagung, ikan dan umbi-umbian hasil dari berkebun dan mancing di sungai. Berlangsung hampir sebulan lamanya, setelah semua tanggung diambil oleh Sartika, bibi Hendrikus dan Meutia.

Hanya berniat untuk liburan melihat keadaan adiknya, Sartika kerabat dari sang ibu, hanya bisa mengikhlaskan nasib buruk yang menimpa keluarganya.

Andai saja Sartika tidak bekerja, ia mungkin akan menetap di sana sambil mengurus adiknya yang depresi dan keponakannya. Tetapi karena tuntutan pekerjaan, tak memungkinkan ia melakukannya. Termasuk memboyong mereka untuk tinggal di kota.

Bergabung dalam suatu ordo Katholik, Sartika secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kegiatan agama. Dara itu membaktikan seluruh jiwa dan raga menjadi seorang biarawati. Tinggal di lingkungan gereja.

Hendrikus dan Meutia dipaksa dewasa terlalu dini di usia yang sangat belia. Disaat anak-anak lain seusia mereka bermain dan bermanja pada orang tua, keduanya harus menahan getir kehidupan. Mengurus diri sendiri sambil merawat sang ibu yang kini hidup bagai raga tak berjiwa. Kondisinya kian hari kian mengkhawatirkan.

“Apa kalian tidak mau melanjutkan sekolah lagi?” kata Sartika suatu hari kepada kedua keponakannya, “Bibi yang membiayai semuanya,” berharap Hendrikus melanjutkan pendidikannya di tingkat satu SMP dan Meutia di bangku kelas 3 SD.

“Tidak Bi. Nanti kalau kami sekolah, tidak ada yang menjaga ibu di rumah,” jawab Hendrikus, berselang kemudian disambut anggukan Meutia saat ia melirik gadis mungil tersebut, mempertegas keputusan yang telah mereka ambil. Sartika tidak bisa memaksa. Apalagi mengingat kondisi adiknya yang seperti itu, pertimbangan anak-anak itu ada benarnya.

Hingga suatu hari, hujan menyerbu sepenuh tenaga. Angin semakin kencang saja, sampai-sampai seng rumah berkerit. Jam di dinding masih menunjuk pukul empat sore, tetapi kondisi diluar sudah gelap tertutup awan mendung. Badai menerjang desa.

Warga termasuk Hendrikus dan Meutia lebih memilih untuk menghentikan aktivitas di luar. Berdiam mengurung diri di rumah. Mengisi waktu, kedua bocah itu menyiapkan makan malam di dapur.

Hendrikus sibuk memotong kentang dan wortel menjadi potongan-potongan kecil sambil sesekali melirik ke buku catatan. Ia memasak soup sambil meniru tahapan-tahapan yang telah dicatatnya saat Sartika mengajari.

Duduk diatas meja makan sambil mengayunkan kaki yang menggantung di udara, Meutia memperhatikan sang kakak yang memasak sambil ngemil kentang goreng yang dipotong tipis memanjang. Ia sudah tak sabar ingin segera menyantap soup masakan Hendrikus sampai habis.

"Bang, cepetan dong, Meutia lapar nih," celotehnya.

"Bentar, tunggu lima menit lagi,"

"Hm, lama," menyilangkan kedua tangannya di dada dan menghimpit masing-masing telapak tangan di ketiak. Meutia memonyongkan mulut memperlihatkan pada Hendrikus jika ia sudah kesal karena menunggu lama. Dan bocah laki-laki itu hanya tersenyum gemas melihat tingkah laku adiknya.

Terlalu asyik di dapur, keduanya tidak menyadari ada dua pria sedang berusaha mendobrak pintu rumah, memaksa masuk ke dalam. Melintasi ruang tamu langsung menuju kearah dapur. Seseorang yang berbadan besar melangkah pelan menghampiri Hendrikus, lalu membekapnya dari belakang.

Ketika Hendrikus menyadari itu, semuanya sudah terlambat. Pria itu mengangkat lalu menyeret anak dalam pelukannya ke kamar mandi. “Lari dik, sembunyi di tempat biasa,” ucapnya setengah berteriak.

Pria yang satunya lagi bertubuh ceking gagal mendekap Meutia yang dengan gesit menunduk lalu melompat dari meja. Mengikuti perintah abangnya, gadis mungil itu berlari zig-zag sambil merangkak diantara kaki-kaki meja dan kursi.

"Ayo, kejar aku om," berlari cepat menuju ruang tamu. Berlari keluar.

“Kejar dia goblok,” kata pria yang sedang membopong Hendrikus setelah mendapati temannya itu ragu-ragu mengejar.

“Nanti dilihatin warga,” ia beradu argumen.

“Kan kau ada senjata. Tembak yang ikut campur! Kita harus dapatkan gadis itu,” temannya pun bergegas lari.

Hendrikus meronta-ronta mendengar adik kecilnya menjadi target incaran kedua orang asing tersebut. "Lepaskan saya. Lepaskan," namun semua usaha yang dilakukannya berakhir sia-sia. Tubuh kecilnya kalah kuat dibanding lawan.

"Diam kau," pria besar itu memeluknya semakin erat.

Namun ia tidak menyerah. Hendrikus mengguncang tubuhnya kesana kemari, kepala, kaki juga bergerak tak tentu arah. Tiba-tiba Hendrikus terhenti, meringis kesakitan saat kepalanya membentur dagu pria itu. Membuat dekapan tubuhnya sedikit melonggar dan dimanfaatkan oleh Hendrikus untuk menggigit tangan kanannya.

Menjerit kesakitan, pria itu melempar Hendrikus hingga terhempas ke tepian tembok bak mandi. Dadanya menghantam sisi atas dari bak mandi. Menimbulkan nyeri pada area dada sekitar tulang rusuk dan pada pergelangan tangan yang terkilir yang salah mendarat saat menopang tubuhnya terjatuh.

Ahhhh, ia batuk dan kesulitan bernapas. Terasa sesak di dadanya. Sambil menahan sakit Hendrikus menengadah ke atas, mengatur laju pernafasannya. Dilihatnya pria gendut itu menekan-nekan bekas gigitan dengan tangan kirinya. Sehingga memperlihatkan tato ditangan kiri pada lengan bagian dalam. Mirip seperti tanda yang pernah dilihatnya pada lembaran partitur musik. "Tatomu terlalu bagus untuk wajah jelekmu" tersenyum menyeringai.

Sekelebat bayangan hitam dengan cepat mengarah ke arah wajah Hendrikus. Sebuah tendangan keras menghantam wajahnya, membuat segalanya menjadi hitam dalam sekejap. Bocah itu pingsan.

Haaa, haa, haa, Hendrikus terbangun dari mimpinya. Ia terduduk diatas tempat tidur mencoba menenangkan diri dari mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Mimpi itu terus menerus mengganggunya.

Ia melepas selimut tebal yang melapisi tubuhnya, lalu berdiri di samping tempat tidur. Setindak kemudian melangkah ke kamar mandi tanpa pakaian melekat sehelai pun. Terjingkat saat seekor tikus berlari cepat di bawah kakinya.

Langkah kaki Hendrikus ternyata mengganggu aktivitas seekor tikus got yang tengah asyik menikmati sekotak sereal coklat di atas meja. Merayap di atas dinding masuk melewati satu lubang di plafon rumah. Tikus itu berhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Seolah-olah sedang protes kepada Hendrikus karena telah mengganggunya. Lalu menghilang pergi.

Baru mengambil dua langkah, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, kemudian mengusap layarnya keatas- menempelkannya di telinga. Satu mayat ditemukan di tempat pembuangan akhir. Mereka ditugaskan untuk menyelidiki nya.

"Oke. Aku menuju kesana," mematikan panggilan telepon, melihat jam digital di layar ponsel menunjukkan pukul empat pagi.

Di kamar mandi, ia memutar keran dan menampung air di kedua telapak tangannya, lalu mengusap-usapkan ke wajah. Karena suatu alasan, tidak ada cermin untuk berkaca di apartemennya. Ada satu insiden yang membuatnya murka dan menghancurkan semua kaca yang ada. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Hendrikus mengambil kunci sepeda motor miliknya, yang tergantung di dinding dekat sakelar lampu kamar.

Keluar dari kamar, ia nyaris tergelincir karena sol permukaan sepatu sudah terlalu tipis. Refleks berpegangan pada penyangga tangga, Hendrikus berhasil mencegah dirinya terperosok jatuh kebawah. Dia langsung menuju parkiran dan menyalakan motor. Suara ribut dari knalpot motor RX King ternyata membuat seseorang terbangun dan mengintip dari balik gorden jendela.

Motor meninggalkan halaman apartemen, belok kiri melewati alun-alun kota, lalu melaju lurus hingga ke perbatasan kota, melewati jembatan Gido. Setelah melewati satu lapangan sepak bola, motor berbelok ke kanan dan lurus hingga sekitar lima kilometer lagi. Di sepanjang jalan pada kedua sisi, ia disambut tumpukan sampah dalam bentuk siluet berada dibalik pagar kawat.

Di gerbang masuk, ada satu petugas polisi yang berjaga. Setelah menunjukkan lencana, petugas tersebut memperbolehkan Hendrikus masuk ke dalam area pengolahan sampah.

Para karyawan dan pemulung berkerumun di luar pita kuning yang telah terpasang. Satu petugas menyuruh kerumunan untuk mundur sejenak, mempersilahkan Hendrikus lewat dibawah pita kuning yang telah diangkatnya tinggi. Hendrikus menunduk melewati pita tersebut.

"Terimakasih," kata Hendrikus melirik ke arah petugas, yang dibalas dengan anggukan kepala.

Seorang pria berbadan kekar dengan kepala plontos terbaring tak bernyawa diantara tumpukan sampah. Tubuhnya hampir rusak karena membusuk.

"Hendrikus, kau akhirnya tiba," Delau menyambut kedatangan Hendrikus, pria yang tadi menelpon meminta ia segera datang ke lokasi.

Dua petugas polisi yang lain ikut menyapanya. Raymond dan Handoko keduanya sedang jongkok mengidentifikasi korban. Hendrikus melangkah mendekati mayat sambil satu tangan menutup hidung. Aroma busuk sangat pekat menyergap hidungnya, hingga ia nyaris muntah. Tiga polisi yang berdiri disebelahnya hanya diam melihatnya dengan tatapan aneh.

"Siapa korbannya?" tanya Hendrikus.

"Masih belum tahu. Wajahnya membusuk. Identitas juga tidak ada" kata Delau menoleh kearah Hendrikus. “Tapi lihat itu. Itu tato keanggotaan kelompok mafia, Song of Songs,” sambil menujuk ke lengan kiri.

Mata Hendrikus membelalak melihat tato itu. Persis seperti yang ada di dalam mimpi. "Apa kau mengenalnya?" tanya Delau menangkap reaksi aneh dari Hendrikus.

"Tidak," Hendrikus menggeleng.

Setelah merasa cukup untuk mengidentifikasi tubuh korban, petugas membawa mayat ke ambulan untuk segera diotopsi di rumah sakit. Raymond dan Handoko tetap tinggal di tempat kejadian perkara untuk melakukan pemeriksaan ulang, mengecek kembali detail yang mungkin terlewatkan oleh pandangan mereka.

Sedangkan Delau dan Hendrikus mendatangi pos jaga, menanyai satpam yang melapor ke polisi dan seorang pemulung yang menemukan pertama kali.

Delau sesekali mencatat informasi penting dari penuturan kedua saksi. Sesekali ia melirik kearah Hendrikus dan memperhatikan koleganya itu terus menerus menatap ke kaca bewarna hitam yang ukurannya hampir separuh dinding pos jaga.

Dari dalam kaca, seseorang sedang balik menatap. Haga Harazaki Hia melihat dirinya terjebak dalam tubuh Hendrikus Masaro. Seorang kriminal yang kini harus menjalani kehidupan sebagai seorang polisi.

Bab 2. Pembantaian Di Sekolah

Kepolisian Gunungsitoli tengah mendapat sorotan dan kecaman publik karena sudah dua minggu berlalu, para penegak keadilan itu masih belum menemukan Emali si tukang jagal, pelaku pembunuhan siswi kembar dan seorang guru di SD Gusit 04.

Saking kesalnya presiden turut berkomentar karena progres yang sangat lambat. "Apa perlu kepalanya saya copot? Sudah berminggu-minggu kasus ini tidak bisa diselesaikan," potongan pidato presiden menanggapi kejadian itu. Beliau ingin pelaku ditangkap dan diberikan sanksi tegas sesuai undang-undang yang berlaku. Pembunuhan berencana dengan ganjaran hukuman mati.

Kejadian bermula awal pekan pada minggu kedua di bulan September. Emali yang sehari-hari bekerja sebagai tukang potong babi di pasar mendatangi sekolah dengan membawa sebilah parang ditangannya.

Satpam yang melihat pria itu dari kejauhan memperingatkannya untuk pulang dan tidak berbuat onar di lingkungan sekolah, apalagi saat proses belajar mengajar sedang berlangsung. Tak terima di usir, Emali dan penjaga sekolah berdebat sengit di gerbang sekolah yang telah tergembok kuat dari dalam.

Hal tak terduga terjadi. Emali menggigit sisi parang yang tumpul, memanjat pagar besi menjadikan jarak-jarak antar besi sebagai pijakan. Satpam yang melihatnya dengan kesal menggoyang-goyangkan pagar agar orang itu berhenti memanjat. Resiko paling buruk pria bertubuh pendek dengan perut buncit dan rambut keriting itu terjatuh, dan hanya akan mengalami keseleo.

Tetapi Emali bergeming. Ia mampu bertahan hingga ke puncak pagar. Berhenti sesaat untuk mengatur napas karena yang akan ia lakukan setelahnya adalah hal gila. Melompat dari ketinggian hampir mencapai 2 meter.

Ia merasa sedikit perih pada area bawah perih dan pandangan berkunang-kunang. Parang telah terlepas dari gigitannya. Tidak lama setelah itu ia mengambil parang yang terjatuh di tanah, menerjang penjaga sembari mengayunkan senjata tajam, hingga mengiris tangan pria itu. Darah mengucur dari tangan satpam.

"Kau sudah gila? Kau mau membunuh orang ya?"

"Lah, dasar tolol. Kau pikir untuk apa parang di tanganku?" melirik sekilas ke tangan lawannya yang terluka, kemudian tersenyum. "Matilah kau!' ia menerjang ruang kosong antara dirinya dan satpam.

Satpam menggeser tubuhnya ke samping sehingga tebasan itu meleset mengenainya. Nyali satpam kendor menghadapi lawan yang bersenjata sedangkan ia tidak. Sehingga ia mengambil langkah seribu berlari meninggalkan Emali. Satpam itu terus dikejar Emali sambil mengayun-ayunkan parang di udara. Lebih menguasai denah lokasi sekolah, satpam berhasil menyelamatkan diri setelah bersembunyi di gudang sekolah.

Kehilangan jejak mangsa buruannya, Emali mulai lagi pada tujuan utamanya mendatangi sekolah itu. Lantas ia mulai memasuki ruang demi ruang kelas. Mencari kembar kakak-beradik Lena dan Leoni. Anak lurah yang tidak mencantumkan namanya dalam daftar keluarga miskin yang berhak mendapatkan bantuan langsung tunai dari pemerintah sebesar 500 ribu per triwulan. Sehingga ia dendam dan melampiaskan amarahnya pada anak kembar lurah.

Lelah masuk dari satu kelas ke kelas lain dan tidak mendapati keberadaan incarannya, Emali mengancam seorang guru pria dengan gerak tubuh kemayu. Guru banci itu memberitahu kelas si kembar di bangunan yang berada di utara. Nomor kedua dari ujung kiri, kelas IV c.

"Menyingkir kau banci," melepaskan cengkraman nya dari kerah baju guru tersebut. Melangkah pergi meninggalkan kelas II e.

Melangkah dengan sangat cepat, ia menendang pintu ruang kelas yang sengaja ditutup tanpa dikunci agar pandangan murid-murid tersebut tidak melihat ke luar dan fokus pada materi di papan tulis.

Aaaaa, keributan terjadi setelah anak-anak itu tersentak kaget karena pintu ditendang dari luar, dan satu bagiannya terjatuh karena terlepas dari engsel. Emali langsung dengan mudah mendapati keberadaan kedua anak itu, dan berjalan kearah mereka. "Kalian disini ternyata," mencengkram kerah baju Lena. Saudara kembar yang duduk di sampingnya, Leoni terperanjat melihat seorang yang tak dikenal menyakiti kakaknya.

"Tuan, berhenti. Jangan menyakiti mereka," ujar Mirah yang tidak senang jam pelajarannya diganggu, termasuk menyakiti murid-murid yang diajarnya. Ia menyentuh tangan pria itu yang kemudian ditepis dengan cepat oleh Emali, menggunakan tangan kanannya sambil memegang parang. Tangan kirinya masih kuat mencekik Lena. "Tuan hentikan. Itu sangat berbahaya," jantungnya berdegup saat parang ikut menepis tangan Mirah.

"Kau bisa diam tidak? Aku tidak ada urusan denganmu," Emali membentak guru wanita itu. Langkahnya terhenti dan ia mundur sedikit karena dibentak. Sementara murid-murid yang lain mulai merasa ketakutan karena teror yang ditimbulkan oleh Emali.

Dan hal yang lebih buruk pun segera terjadi. Emali mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, mengayunkan lempengan logam tersebut keatas kepala Lena. Si gadis kecil yang melihat parang datang dari arah depan tepat di atas kepalanya merasa sangat ketakutan, sehingga ia memanggil-mangil bapak dan ibunya, "Pak.. Bu.."

"Om jangan sakiti kakak saya. Kumohon om," Leoni memelas berharap belas pengasihan dari Emali.

Swing, parang mengayun. Terhenti tipis diatas kepala Lena, setipis lembaran kertas. Mirah dengan segala upaya dan daya mengehentikan tangan kanan Emali dengan kedua tangannya dan mendekap di dadanya.

Emali menggoyang-goyangkan tangannya agar terlepas dari pegangan Mirah. Tapi itu sulit ia lakukan dengan satu tangan. Sehingga ia melepas cengkeramannya, menyeret Mirah ke sudut ruang kelas. "Kalian semua tungga apa! Tinggalkan kelas ini," masih tetap mendekap tangan kanan Emali.

Murid-murid yang ketakutan beranjak berdiri dari tempat duduknya. Barisan paling depan berhasil keluar dari dalam kelas, sambil mengintip dari sela-sela pintu ruang kelas. Yang barisan belakang saking takutnya maju ke depan kelas, justru berkerumun di sudut belakang sambil memeluk satu dengan yang lain.

Lena dan Leoni juga sudah dalam posisi berdiri. Tetapi terhenti karena diancam oleh Emali sambil menatap tajam ke arah mereka berdua. "Kalian lari, kubunuh guru dan teman-temanmu,"

"Lena, Leoni..jangan dengarkan dia! Cepat kalian pergi dari sini,"

Emali menarik tangan kanannya ke depan, lalu mendorong ke belakang sambil berlari. Mirah yang masih memegangi tangan pria itu jadi ikut-ikutan terdorong kepal. Bugh, kepalanya membentur dinding. Lalu, Emali kembali melakukan gerakan yang sama dan membanting tubuh Mirah ke dinding untuk kedua kalinya.

"Bu guru," teriak Lena, Leoni dan murid-murid lainnya serentak.

Mirah terkulai lemas, dan akhirnya mengendorkan pelukannya pada tangan kanan Emali. Gadis itu terjatuh sambil terduduk bersender pada dinding. Emali mengambil satu langkah mundur. Bugh, satu tendangan meluncur keras ke perut Mirah.

Ia terbatuk setelah menerima tendangan itu. Disaat ia dipukuli, wanita itu masih saja memikirkan kedua murid kembarnya. "Kalian kenapa tidak lari? Jangan takut, ibu akan baik-baik saja," ucapnya lirih sambil menangis.

"Bu guru. Aku tidak bisa lari," kata Lena melihat kearah gurunya, "Aku takut bu guru dan teman-teman yang lain dibunuh penjahat ini,"

"Kalian salah. Larilah!? Kalian berdua yang diincar oleh---,"

Kata-kata nya menggantung. Semua murid membelalak dan menganga, menyaksikan Emali membelah kepala wanita itu. Parang mengayun berulang-ulang kali, sampai ubun-ubun kepala Mirah tak berbentuk lagi.

Bab 3. Pembantaian Di Sekolah (2)

"Bu guru. Hu..hu..hu," ucap Lena tersedu-sedu melihat Mirah gurunya dihajar pria jahat pada bagian kepala yang kini remuk dicincang oleh Emali.

"Kak, bu Mirah kak," Leoni memegangi tangan kiri saudara kembarnya meratapi nasib tragis yang dialami oleh gurunya.

Mirah memang belum lama bertugas sebagai tenaga pengajar di SDN Gusit 04, datang sekitar 3 bulan lalu. Mengajar pelajaran matematika dan bahasa daerah Nias sebagai guru honorer, Mirah telah mampu memikat perhatian para murid-murid yang diajarnya.

Masih berusia muda, gadis itu mengajar dengan metode yang sangat jarang dilakukan oleh guru-guru lawas yang konservatif dengan metode ajari lalu berikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Belajar sambil bermain adalah metode yang dipergunakannya dan mampu membuat siswa-siswi di sekolah tersebut jadi lebih menyukai pelajaran matematika.

Murid di dalam kelas dibagi menjadi dua kelompok setiap kali ia mengajar. Masing-masing perwakilan tim diberi kesempatan untuk melempar anak dadu dalam permainan monopoli. Setiap lemparan dadu akan mendapatkan soal dengan level yang berbeda-beda. Jika pihak A sebagai pelempar dadu tidak bisa menjawab soal yang mereka dapatkan, pertanyaan tersebut akan dilempar ke tim lawan yakni tim B. Begitu juga sebaliknya.

Dengan metode ini, anak-anak dalam kelas jadi lebih aktif belajar secara mandiri dan juga secara kelompok, karena mereka termotivasi untuk menjadi pahlawan dalam tim karena memberi tambahan nilai untuk membawa kelompoknya menjadi juara. Dan hasilnya sangat efektif dalam kurun 3 bulan terakhir, dimana siswa berhasil meningkatkan pemahaman dan cara berpikir dengan kritis. Selain itu kekompakan mereka jadi lebih bertumbuh.

Namun sayang, anak-anak di sekolah itu meregang nyawa ditangan seorang tukang jagal babi yang dendam pada orang tua si kembar karena tidak didaftarkan dalam list penerima bantuan dari pemerintah.

Setelah puas menghabisi nyawa Mirah, pira bertumbuh pendek sekitar 160 cm dan berperut buncit itu mundur selangkah, mengelap wajahnya yang penuh dengan cipratan darah.

Cuihhh, ia meludah ke tubuh Mirah yang telah terbaring tak bernyawa, lalu ia maju lagi hanya untuk menginjak-nginjak tubuh tubuh gadis itu.

Lena hanya terpaku melihat ketika pria pembunuh gurunya tersebut berbalik badan, menatap tajam ke matanya dan melangkah mendekatinya. Sementara Leoni perlahan-lahan mundur ke belakang menuju sudut kelas tempat beberapa temannya saling berpelukan, meringkuk ketakutan.

"Leoni, kamu jangan kesini. Nanti kami juga dibunuh nya," tangan seorang anak terjulur mendorong punggung Leoni yang berjalan mundur. Ternyata ketiga anak lain yang berada disana ikut-ikutan mendorong tubuh gadis itu.

Emali sekarang telah berdiri tepat di hadapan Lena. Seluruh tubuhnya gemetaran sangking takutnya dengan pria itu. Lena sampai pipis celana. Lutut-lututnya terasa sangat berat untuk digerakkan. Ia tidak ingin mati, tapi tak berdaya untuk menghindari sumber kematian itu.

"Kak, jangan berdiri disitu kak," kata Leoni memperingatkan saudara kembarnya, gadis yang lahir lebih cepat 10 menit darinya.

Lena melirik ke samping melihat Leoni. "Dek, kakak takut," dengan pipi bercucuran air mata.

Plukk, seorang anak laki-laki melempar kepala Emali dengan alat penghapus papan tulis. Ia menoleh ke belakang, lalu mengacuhkannya. "Tunggu giliranmu bocah bangsat," batin Emali.

Ia berpaling lagi ke arah Lena. Emali mengangkat tinggi parangnya dan plukk, lagi-lagi bocah nakal itu melemparinya. Kali ini dengan spidol.

"Arghhhhh, cukup sudah. Aku akan menghabisimu terlebih dahulu," ia berbalik badan dengan cepat, begitu pula anak laki-laki itu yang sudah terlebih dahulu keluar dari kelas IV c.

Ketika Emali sudah berada luar kelas, anak laki-laki itu sudah berdiri di tengah halaman sekolah. "Sini kau babi gendut," teriaknya dari tengah-tengah lapangan upacara.

Jarak meraka tidak terpaut jauh, hanya sekitar 25 meter. Emali mengejar bocah laki-laki itu, begitu juga dengan si anak yang lari menghindar, melewati taman-taman bunga, lalu menyelinap dari satu gedung ke gedung lainnya.

Ia sangat gesit berlari. Emali kalah cepat mengejar anak itu, yang kini telah bersembunyi di dalam gudang sekolah. Kehilangan jejak, ia berbalik arah untuk kembali ke kelas si kembar.

Bocah laki-laki yang bersembunyi di dalam gudang menyempil diantara bangku dan meja sekolah yang sudah tidak terpakai karena lapuk ataupun rusak patah. Ia mengintip dari sela-sela pintu namun tak kunjung melihat Emali melewati koridor yang dilewatinya untuk menuju ke gudang.

"Si babi itu benar-benar menakutkan," gumamnya sambil bernapas dengan tergopoh-gopoh.

Bruukk, ia mendengar sesuatu jatuh dari arah belakangnya. Tumpukan sarana dan prasarana sekolah yang sudah tidak terpakai menumpuk disana. Bocah laki-laki itu manarik pintu hingga tertutup, lalu melangkah dengan hati-hati ke arah sumber suara.

Sarang laba-laba menganggunya sehingga ia harus beberapa kali menyibak dari udara. Selain jaring-jaring itu, debu juga mengepul di udara. Bocah laki-laki itu menoleh ke celah tumpukan meja belajar, dan mendapati seseorang sedang meringkuk bersembunyi disana. Penjaga kelas.

"Pak, ngapain disini?"

"Kau yang ngapain disini?" tanya orang itu balik.

"Saya lagi dikejar-kejar orang gila. Dia bawa-bawa parang," jawab anak itu dengan enteng.

"Dia kesini? ," mata membelalak ketakutan melihat murid di hadapannya mengangguk.

"Kita sudah tidak aman disini, ayo kabur," penjaga sekolah bangkit berdiri, menuju pintu. Ketika ia membukanya, pintu tersebut tidak mau membuka. Macet.

"Kau! Kan sudah ada tulisan pintu rusak, ngapain malah ditutup?" kesal karena meraka terkurung dalam gudang. Pintu tersebut sudah rusak karena usia pemakaiannya sudah melebihi batas waktu dan harus diganti. Tetapi seolah tak peduli, para pengurus sekolah tetap membiarkan keadaan pintu tersebut rusak. Toh hanya dipergunakan sebagai gudang saja, jadi tidak perlu perbaikan.

Pintu gudang itu hanya bisa dibuka dari luar. Tetapi juga dibuka dari dalam, gagang dan pengaitnya tidak berfungsi dengan baik. Jika ingin keluar hanya ada satu cara, yakni menunggu orang lain membukakan pintu.

"Bagaimana keadaan murid-murid lain? Tak ada yang berani menghentikan babi gila itu," anak laki-laki tersebut duduk sambil menyenderkan punggungnya di dinding. Sementara pria itu terus menerus mengguncang-guncang gagang pintu agar bisa terbuka. Bukannya bernasib bujur, gagang pintu itu malah patah karena ulah penjaga sekolah. "Matilah kita," ucapnya lirih.

"Tolong. Siapa saja tolong kami," penjaga itu menoleh cepat ke arah murid laki-laki yang teriak itu.

"Kau gila? Orang itu kan lagi mengejarmu di gedung ini. Kalau justru dia yang masuk bagaimana?"

Mendengar perkataan penjaga sekolah, anak itu langsung ingat dan menutup mulutnya cepat-cepat. Mereka berdua tidak bisa kabur, dan hanya orang dari luar saja yang bisa membuka pintu. Haga Harazaki Hia tak ingin mati sebelum ia tumbuh dewasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!