NovelToon NovelToon

BUKTI CINTA UNTUK BINTANG

1 Bintang Alkhaleena

Selamat datang di karya keduaku. 😙 Happy reading dan jangan lupa tinggalkan jejak kak. 😁

Bintang

"Tiiiiiin... tiiiiin..." Klakson mobil di belakangku seperti paduan suara yang saling bersahutan

"Astaga! Itu lampu masih merah! Kalau mau cepat lewat atas!" gerutuku di dalam mobil.

Aku tengah terjebak macet di sebuah lampu merah. Padahal tempat tujuanku hanya berberapa ratus meter di depan.

Ini yang ku benci saat harus mengendarai mobil. Papa dan mama, entah mengapa mereka sangat keberatan jika aku mengendarai sepeda motorku.

"Akhirnyaaaaa." Aku bernafas lega saat mobilku berhasil memasuki bangunan besar dengan pagar setinggi 3 meter itu.

Aku keluar dari mobil dan seseorang menyapaku. "Selamat pagi, Bu." Seorang siswi bername tag Marisa mengumbar senyum manis padaku.

"Selamat pagi, Marisa!" Aku membalas senyumnya.

Ini lah aku, Bintang Alkhaleena. Usiaku 23 tahun dan aku berhasil mewujudkan cita-citaku. Ya, aku seorang guru di SMA swasta. Yaitu SMA Cahaya Bangsa. Sekolah ini milik teman papaku, om Ray.

Sudah setahun aku berprofesi sebagai guru. Aku mengajar Matematika di kelas XII IIS (dulu disebut IPS). Dan aku menjadi wali kelas untuk kelas XII IIS 4 menggantikan guru sebelumnya yang tiba-tiba sakit keras dan berhenti mengajar.

Aku berjalan menuju ruang guru, tapi langkah kakiku terhenti secara otomatis saat ku lihat beberapa balon terikat di batu yang terletak diatas tanah. Balon bertuliskan, Bintang will you marry me!

"Astaga! Aku dilamar?" gumamku pelan.

Aku melihat sekeliling, dan dapat ku tangkap pria berkemeja navi berjalan kearahku. Dia...?

Ya Allah, mati aku!

Dia lah Elvano, guru olahraga berusia 27 tahun. Dia memang menunjukkan gelagat bahwa dia menyukaiku. Tapi aku tak pernah menanggapinya. Bukan tak tertarik, tapi hanya saja percikan api cinta memang belum ada.

Dan kemarin, Astaga!!! Aku ingat! Dia bertanya padaku, dan ku kira itu hanya candaan.

"Bu Bintang sudah siap ke plaminan?" tanyanya saat kami para guru sedang mengobrol pada jam istirahat. Kami membuat janji untuk menghadiri resepsi pernikahan putri kepala sekolah.

"Siap dong, asal yang ngelamar mapan!" Jawabku dengan gelak tawa.

"Kalau gak mapan gimana, Bi?" Dialah Alya, seorang guru BK yang memang cukup akrab denganku. Mungkin karena kami sama-sama masih lajang dan usia yang tak jauh berbeda.

"Yang penting tampan. Harta bisa dicari. Kalau keturunan?" Aku menggantung kalimatku. Lalu mengangkat bahu.

Alya tertawa. "Kalau muka bapaknya bad-looking apa kabar anaknya, ya Bi?"

Aku menjentikkan jari. "That's right beb." Lalu kami tertawa bersama.

Elvano, pria itu mendengar ucapan kami. Dan itu yang membuatnya besar kepala. Di mapan dan termasuk tampan. Jika dijajarkan dengan aktor indonesia, ketampanannya bisa dikatakan setara Chicco Jerikho.

Dan pria itu terus berjalan kearahku. Aduuh gimana ini? Aku menggigit kuku jariku. Hadapi Bi, hadapi!

"Bintang, aku... ah langsung saja, Bi." Dia berlutut di hadapanku, "Will you marry me."

Oh God, help me please! Siapapun itu tolong akuuuuu! Hatiku menjerit.

Aku diam menatapnya. Ini gila, dia melakukannya di sekolah. Atau dia sengaja supaya aku menerimanya?

Mana ini pangeran berkuda putihku? Ya Allah, kalau belum ada, minimal kirimkan ibu periku!

"Terima... terima... terima..." Para siswi mulai berteriak.

Terima? Terima apa! Terima kasih?

"Terima dong, buk!" Semua siswi yang berkumpul berteriak kearahku.

"Terima, buk!"

"Kasihan pak Vano, encok!" Itu yang menjerit adalah seorang siswa.

"Pak Vano ganteng!"

"Pa Vano, kalau di tolak sama saya aja!"

"Gantengan bapak saya, buk. Tapi belum duda!" Suara seorang siswa lagi-lagi yang terdengar begitu menggelikan.

Aku tertawa pelan untuk menghilangkan kecanggungan.

"Bintang..." Pak Vano menunggu jawabanku dengan senyum mengembang.

Cih! Senyum apa itu? Dia fikir aku bakalan nerima dia? Ya Allah, mana penolongku.

Aku menghela nafas. Bersiap untuk bilang sorry. Bukan tak ingin memberi kesempatan. Tapi aku memang tak merasakan apapun saat bersamanya. Aku tak berdebar dan tak ada mata berbinar saat menatapnya. Inilah yang membuatku menjomblo selama 23 tahun. Menyedihkan, Bi!

"Hem..." Aku berdehem menetralkan suaraku. Ya Allah, ini beneran gak ada yang bisa nolongin?

"Aaaaaaaaaaaaaaa.... tolooongiiin! Jeritan seorang siswi menarik perhatianku.

"Itu... Rion sama Ethan berantem." Siswi itu menunjuk dua orang siswa dilantai dua yang sedang beradu jotos.

"Rion! Ethan! Astaga!!" gumamku pelan.

Aku sudah biasa melihat keduanya gelut ala kucing k*win. Tapi kali ini aku tak boleh sia-siakan kesempatan untuk bisa kabur.

"Sebentar, Pak!" Aku berlari kearah bangunan dua lantai itu. Lantai pertama adalah deretan kelas XI dan di lantai dua adalah kelas XII.

Sebenarnya aku tidak peduli keduanya berkelahi, tapi demi kabur dari Pak Vano aku rela melerai dua kucing jadi-jadian itu.

Ah, terima kasih ya Allah. Kuanggap ini pertolongan-Mu.

Aku tergesa menaiki anak tangga. Dan sampai di koridor lantai dua. Keduanya masih beradu jotos. Para siswa-siswi mulai berkumpul dan naik ke atas.

Aku menghampiri keduanya. Lalu menarik telinga mereka.

"Aduuh! Sakit, Bu!" jerit Rion.

"Aduuh, Kak!" Dia keceplosan menyebutku kakak. Anak om Josep ini sepertinya memang berniat membongkar identitasku.

Aku melotot ke arahnya. "Sakit, Buk!" Ethan meralat ucapannya.

Disini tak ada yang tahu siapa aku. Identitasku di rahasiakan sesuai permintaanku pada om Ray. Aku tak ingin dianggap sebagai anak emas karena hubungan om Ray dan papa. Bahkan tak ada yang tahu jika Nair dan Nath adalah adikku. Keuntungan kami punya nama belakang yang berbeda.

Aku menggiring keduanya ke ruang guru. Sebelum di tindak lanjuti oleh guru BK. Keduanya berjalan di kanan dan kiriku. Rion bahkan sengaja meminta tasku untuk dia bawa. Aku tak sia-siakan kesempatan. Ku serahkan tasku padanya.

Keduanya adalah siswaku. Aku wali kelas mereka. Entah disebut musibah atau anugrah. Memiliki murid secuek mereka. Tingkah keduanya kadang menjengkelkan. Tapi percaya atau tidak, kelas takkan ramai tanpa keduanya.

Sebenarnya Nath juga sekelas dengan mereka. Namun entah kemana adikku itu, sedari tadi belum ku lihat batang hidungnya. Sedangkan Nair ada di kelas MIA (atau IPA). Sesuai cita-citanya untuk menjadi seorang dokter.

"Bilang terima kasih dong, Bu!" Bisik Rion padaku. Aku menatapnya.

"Heheh... Gara-gara kami berantem ibu gak jadi jadian sama pak Vano, kan?" Bisiknya dengan senyum jahil.

Dia sengaja berbisik karena semua siswa-siswi menatap kami sepanjang perjalanan ke ruang guru. Ini bukan pertama kalinya Rion membuat ulah.

Dia juga tidak akan masuk kelas pada pelajaran ekonomi terkecuali saat ada tes dan ujian. Alasannya sederhana. "Saya sudah khatam pak pelajaran ekonomi SMA."

Jelas dia sudah sangat faham karena om Ray memanggil guru privat untuk mengajarinya pelajaran ekonomi, dan bisnis sejak Ray SMP.

"Ethan?" Aku menatapnya penuh tanya. Anak om Josep ini tingginya sejengkal diatasku. Hingga aku mendongak untuk melihat wajahnya

Ethan mengangkat bahu. "Ulah Rion, Buk."

2 Orion Arrayan Danadyaksa

Orion

Hari ini aku datang lebih pagi, demi bisa melihat seorang bidadari turun dari Mini coopernya. Ini memang gila, aku jatuh hati pada seorang guru matematika yang juga merupakan kakak temanku.

Akulah Orion Arrayan Danadyaksa. Papiku adalah pemilik sekolah ini. Aku masih 18 tahun dan aku adalah siswa di kelas XII IIS 4.

Sejak kecil, papi dan mami mengenalkan kami (aku dan adikku, Chiara yang berusia 13 tahun) pada anak sahabat-sahabatnya. Ada Kak Bintang, Kak Zoya, Nath dan Nair yang merupakan anak om Akhtar dan tante Lintang.

Ada Ethan dan adiknya Elana yang masih berusia 10 tahun. Mereka anak om Josep dan tante Nathalia.

Ada Delvin dan adiknya Delia yang berusia 15 tahun. Mereka adalah anak om Dion dan tante Diana.

Ada juga Shaka yang usianya setahun lebih muda dariku, serta Lovely yang berusia 12 tahun. Mereka anak dari om Satya dan tante Bunga.

Dan yang terakhir adalah Bang Caraka usianya 22 tahun dan adiknya Syakilla yang berusia 16 tahun. Mereka adalah sepupu Nair dan Nath. Anak dari tante Sora dan om Abimanyu.

Aku melihat mini cooper berwarna biru itu masuk ke dalam gerbang sekolah. Aku bernafas lega dia sampai dengan selamat.

Dialah kak Bintang, dan di sekolah aku memanggilnya Bu Bintang. Entah sejak kapan aku jatuh hati padanya. Yang ku tahu sejak kecil aku suka mengganggunya. Suka sekali berdekatan dengannya.

Dan saat aku memasuki masa SMA aku mulai menyadari sesuatu. Aku heran akan diriku yang sama sekali tak tertarik pada perempuan di sekitarku. Padahal tak sedikit perempuan yang menyukaiku.

Hingga aku melihat Kak Bintang berjalan ke dalam kelas dan di perkenalkan sebagai guru baru saat aku duduk di kelas XI. Aku memandangnya berbeda. Bukan hanya kakak sahabatku atau putri dari teman papiku.

Aku menemukan dimana hatiku berada. Hatiku sudah tercuri olehnya. Mengungkapkan padanya bukan pilihan tepat. Tapi berlarut pada cinta dalam diam terasa sangat menyiksa.

Aku tak ingin dianggap bocah gendeng yang menyatakan cinta pada gadis yang lebih tua dariku. Aku akan menunggu minimal sampai aku lulus agar aku bisa melamarnya.

Dan doaku hanya satu. Semoga kak Bintang tak berjodoh dengan pria manapun, kecuali aku.

Kejam? Biarin!!

Aku langsung berlari ke kelas saat melihat kak Bintang sudah keluar dari area parkiran guru. Namun sampai di koridor lantai dua, aku yang tengah menikmati pemandangan dimana bidadari tengah berjalan menuju ruang guru itu di kejutkan dengan adanya balon bertuliskan will you marry me.

Yang membuatku semakin terkejut adalah pria itu berlutut di depan gadis yang telah mencuri hatiku. Pria itu adalah pak Vano seorang guru olahraga.

Aku nyaris terbahak melihat penampilannya. Dia yang biasa memakai pakaian olahraga, kali ini terlihat rapi dengan kemeja dan celana bahan.

Tapi tak ada waktu untuk tertawa, sementara aku sendiri sedang di tikung di pagi yang cerah ini.

Ayo Rion! Mikir! Otakku berputar-putar bekerja keras mencari cara agar kak Bintang tak menerima lamaran itu. Aku tak pernah melihat mereka jalan berdua, itu artinya mereka tidak berpacaran.

Para Siswa dan siswi sudah berteriak meminta kak Bintang menerima pak Vano.

Kak Bintang pasti tak akan menolak karena jika itu terjadi harga diri Pak Vano taruhannya.

*Ayo Rion! Apa aku terjun saja dari lantai dua ini. Aku tinggal berdiri di tembok pembatas setinggi 120 cm ini dan lompat!

No, Rion! Itu terlalu bodoh*.

Siulan yang ku kenal berjalan mendekat. Ah, thank you Ethan.

Aku langsung berjalan kearahnya lalu menarik kerah seragamnya dan melayangkan bogem mentah ke arah wajah tampan yang tampak bodoh itu.

"Rion! Anjay! Apa-apaan ini!" Teriaknya.

"Balas Than!" Ucapku pelan penuh penekanan. Aku memukul perutnya.

"Bugh... Bught..." Dua bogeman melayang diwajahku.

Aku rela babak belur kak, dari pada melihatmu dipasangkan cincin oleh pria itu.

Aku melirik kearah dimana drama lamara murahan itu berlangsung.

Dan berhasil. Kak Bintang berlari kearah kami.

Aku meninju wajah Ethan lagi. "Balas Than!"

"Kesurupan setan apa kamu Yon!" jeritnya sambil meninju perutku.

"Setan tikungan!" Jawabku asal. Aku memegang perutku yang terasa sakit.

Kami masih saling beradu jotos hingga telingaku terasa panas karena kak Bintang menariknya.

"Aduuh, sakit Buk!" jeritku sambil meringis.

***

Dan disinilah aku, diruang guru berhadapan langsung dengan calon bidadari surgaku. Setelah sebelumnya dia mengobati kami berdua. Memberi salep pada memar diwajah kami.

"Siapa yang mau jelaskan!" tanyanya dengan tegas.

Bukannya takut, aku malah menopang dagu menatapnya dengan senyum.

Sedangkan Ethan, dia duduk santai menatap kak Bintang tanpa berkedip. Aku menginjak sepatunya, lalu menatapnya tajam seolah memberi peringatan.

Awas kalau sampai dia suka sama Bintangku. Ah, kata Bintangku lebih enak di dengar daripada Kak Bintang.

"Ethan! Rion!" Panggilnya. "Ini masih terlalu pagi untuk membuat ulah." Guru cantik di depan kami memberi tatapan peringatan.

"Kalian mau wajahku penuh kerutan bahkan disaat aku belum menikah!" Bisiknya.

Kalau sudah begini, dia sedang berbicara sebagai kak Bintang. Kakak kami. Bukan sebagai Bu Bintang, guru matematika cerdas yang disayang semua murid.

"Rion, Buk! Dia tiba-tiba mukul saya!" Ethan menunjukku. Ethan yang terkutuk!!

"Rion!"

Aku masih diam dan berfikir. Aku harus kasih alasan apa?

"Atau kalian saya serahkan pada guru BK saja?"

Waduh, kacau.

"Jangan, Buk!"

"Jangan ya Buk!"

Aku dan Ethan kompak menolak. Jika ini sampai di tangani guru BK. Dan memanggil orang tua kami, lalu papi dan om Josep bersalaman saling meminta maaf maka putuslah kebebasan kami.

Uang jajan kena potong, sekolah naik bus dan diberi tugas menyiram koleksi bonsai mami.

Oh, No!!

"Jadi siapa yang salah. Siapa yang mukul duluan."

Huuft... Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan.

"Saya yang salah, Bu! Saya yang mukul Ethan duluan!" Aku mengakui kesalahanku.

"Kenapa kamu pukul dia?"

"Ya... ya karena saya marah sama dia, masalah pribadi, Bu." Aku terus memutar otak.

"Benar Ethan? Kalian ada masalah pribadi?" Kak Bintang menatap Ethan penuh selidik.

"Eng- Aduh!" Aku menginjak kaki Ethan. Dia melihat kearahku.

"Ehm... Ada buk!" Ethan terpaksa mengatakan iya.

"Masalah apa?" Oke Rion, cari alasan lagi.

"Dia hapus game candy saya yang sudah level 2000-an, Buk!" Aku memang suka game itu. Game yang selalu ku mainkan saat sedang gabut.

"Ethan? Benar kata Rion!"

Ethan menggaruk tengkuknya. "Hehe... saya gak sengaja Buk!"

"Mau diselesaikan disini atau di ruang BK?" tawarnya.

"Disini Buk."

Akhirnya kami bersalaman saling meminta maaf.

"Jangan ulangi lagi. Ini sekolah, bukan arena! Kalau mau gelut, di ring tinju!"

Oke sayang. Oke.

Kami keluar dari ruang guru dan berjalan ke kelas. "Hutang banyak, lo sama gue!" Ethan menatapku tajam.

"Thanks, mau apa gue jabanin." jawabku enteng.

"Bantu gue nembak Marisa!" Bisiknya lalu berlari meninggalkanku.

"Ethaaaan!" Aku berlari mengejarnya. "Sejak kapan?" Maksudku sejak kapan dia suka pada Marisa.

"Entar kita bahas!"

Ethan!!!!!

3. Kutilang Berdasi

Bintang

Hari ini adalah bad day ever (hari terburuk yang pernah ada). Entah mimpi apa aku tadi malam. Mulai dari terjebak macet, lari dari lamaran seorang pria, mengurus duo kucing pembuat ulah, hingga dipanggil menghadap kepala sekolah.

Pak Vano sungguh luar biasa seenaknya. Dia melamarku tanpa meminta izin kepala sekolah. Mengapa perlu meminta izin? Ya karena dia melamarku di halaman sekolah, dihadapan siswa-siswi.

"Ini adalah peringatan pertama dan terakhir. Jika ingin melamar, lakukan di luar sekolah. Dan jangan di depan para murid." Peringatan tegas dari pak Haris, kepala sekolah yang terkenal tegas.

"Iya pak. Saya janji ini yang terakhir." Pak Vano berjanji dengan penuh penyesalan.

Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, Pak Vano berjalan disampingku. "Bagaimana jawaban kamu, Bintang?"

Aku mengerutkan kening menatapnya. Apa-apaan dia ini. Aku sampai dipanggil ke ruangan Kepsek karena dia. Dan dia masih meminta jawabanku?

Aku berhenti dan kami saling berhadapan. "Maaf Pak Vano. Ini masalah pribadi dan sangat tidak pantas jika kita bahas disini. Terima kasih sudah membuat saya mendapat peringatan dari Kepala sekolah."

Aku berlalu meninggalkannya. Dia jelas-jelas sudah membuat masalah dan ikut menarikku dalam masalahnya. Lalu tanpa berdosa dia menanyakan jawabanku? Bukannya minta maaf malah memikirkan egonya sendiri.

"Havana, ooh na-na. Half of my heart is in Havana, ooh na-na." Aku bersenandung menyanyikan lagu Havana- Camila Cabello saat berjalan menuju teras rumah.

Daripada stress memikirkan masalah yang bukan aku penyebabnya, lebih baik aku bersenandung menata hati yang porak-poranda akibat kejutan tak terduga hari ini.

"He took me back to East Atlanta, na-na-na ah. Oh, but my heart is in Havana."

"Seneng baget, Bi." Suara bariton mengagetkanku.

"Astagfirullah." Aku mundur selangkah memegangi dadaku. Ku lihat pria yang ku kenal duduk di kursi teras.

Namun pria tampan itu malah terbahak. "Ha... ha... ha... Sorry Bi, sorry. Manusia segede ini gak kelihatan!" Dia memegangi perutnya saking semangatnya tertawa.

"Ezra! Kamu belum pernah ngerasain terjun bebas dari tugu monas, kan!"

"Ya, belum lah. Kalau udah. Aku tinggal nama, Bi."

"Oke fix. Besok kita kesana dan bersiap, aku bakal dorong kamu dari atas!"

Aku meninggalkannya di teras dan berjalan masuk kedalam rumah. Tapi pria kurang asem itu malah terbahak di belakangku.

Dialah Ezra Ganendra teman kuliahku. Usianya 27 tahun. Kami lulus di tahun yang sama. Dia terlambat masuk kuliah karena masalah ekonomi.

Sekarang dia bekerja untuk papaku. Papa memintanya menjadi supir pribadi Zoya saat di Jakarta dan menjadi Bodyguardnya saat Zoya di Surabaya.

Zoya sudah memegang Arumi Resto sepenuhnya. Restoran warisan opanya itu semakin maju di tangannya.

Zoya adalah saudaraku. Papa kami adalah orang yang sama. Kenapa bisa? Karena diawal pernikahan papa dan mama, papa menjalin hubungan special dengan mamanya Zoya yang merupakan seorang janda. Mereka berdua dulu pernah pacaran saat SMA.

Hingga saat mama hamil tujuh bulan, dan mama Zoya hamil sembilan bulan semuanya terbongkar. Mamaku mengalami pendarahan dan aku lahir prematur. Dan entah itu kebetulan atau tidak, aku dan Zoya lahir pada tanggal yang sama.

Dulu kami belum faham tentang hubungan itu. Tapi setelah beranjak dewasa kami berdua mulai memahami hubungan rumit yang terjalin antara orang tua kami.

Papa kami dan mama Zoya sudah meninggal karena kecelakaan, tepat dua hari setelah kami lahir. Dan empat tahun kemudian mamaku menikah dengan mantan suami mama Zoya, yaitu papa Akhtar.

Dunia ini sempit? Ya begitulah. Takdir manusia tak ada yang tahu.

Aku terus melangkahkan kaki ke dalam rumah tak peduli dengan tawa Ezra. Eh, tunggu! Ezra disini, berarti... aku melihat sekeliling dan menemukan Zoya sedang berkutat di dapur.

"Zoyaaaaaaaa!! Miss youuuuu!!" Jeritku berlari kearahnya. Aku langsung memeluknya erat. "Miss you so much Zoy!" Kami sudah dua minggu tidak bertemu. Karena Zoya pembukaan cabang baru Arumi Resto sekaligus meresmikannya.

"Miss you too, Bi." Dia melepas pelukanku dan kembali pada kuali yang mengeluarkan aroma menggugah selera.

"Aku masak dulu, Bi. Cepat mandi. Kita makan bareng!" Dia mengajakku makan di jam 2 siang? Gak masalah Zoy. Aku dengan senang hati meladenimu.

"Siap buk Bos!" Aku berjalan keluar dapur. Dan mendapati Alina, asisten pribadi Zoya.

"Hai kutilang darat!" Aku melempar senyum termanisku. Dia gadis bertubuh kurus, tinggi, langsing, dada rata, jika disingkat jadi kutilang darat. Tampilannya sangat feminim.

Dia yang sedari tadi fokus pada laptopnya kini beralih menatapku. "Eh, hai kutilang berdasi!"

"Apaan itu Al?"

"Kurus, tinggi, langsing, berbentuk, dada berisi." Lalu dia terbahak.

Aku memegang dadaku. Lalu menatap dadanya. Memang agak berisi sih dibanding miliknya.

"Ah ya. Thanks atas pujiannya, Al."

"Biar aja berisi, aset ini mah." lanjutku.

"Aset?" Dia mengerutkan kening menatapku penuh tanya.

"Aset nyenengin suami." Aku mengerling lalu berlari menaiki anak tangga.

"Bintang gemblung!" Jeritnya. Dan aku tertawa begitu sampai di lantai atas.

Aku segera mandi dan turun ke bawah. Ternyata Nair dan Nath sudah duduk manis di meja makan bersama Zoya dan Alina.

"Cepat, Bi." Zoya menyuruhku berjalan lebih cepat.

"Laper banget, kalian?" Ucapku pada adik kembarku, Nair dan Nath.

"Iya kak." sahut Nair.

"Ezra mana, Zoy. Ajak makan sekalian."

"Dia baru aja pulang, Bi." Zoya meletakkan nasi di piringku. Lalu ke piring Nair, Nath dan Alina.

"Kenapa? Biasanya bareng kutilang darat ini?" Aku memanyunkan bibir guna menunjuk Alina.

"Nanti malam ada undangan pesta rekanku. Kami akan pergi bersama dan Ezra akan menjemput kami disini."

Aku ber-o ria tanpa mengeluarkan suara. Aku tak tertarik membahas itu, karena cumi dengan bumbu merah membara dengan irisan cabai menghujani permukaannya lebih menarik perhatianku.

Suapan pertama, "Ehhhm.. seperti biasa. Delisiosoo."

Suapan kedua, "Nampol Zoy."

Suapan ketiga, keempat dan seterusnya masih terasa nikmat hingga ke suapan terakhir.

"Nambah, Bi."

"Dia udah nambah 3 kali, Zoy. Perutnya bisa meledak." ucap Alina.

"Ck!! Agak lebay ya, Al!"

"Habis dilamar, jadi lapar!" Celetukan Nath membuatku melotot ke arahnya.

"Siap yang di lamar, Nath?" Zoya menatap Nath penuh selidik.

"Tuh!" Nath menunjukku dengan bibirnya.

"Apa!!" Zoya terkejut lalu menatapku. "Benar, Bi?"

"Eh... anu... enggak Zoy! Enggak!"

Kenapa jadi gagap sih!

"Bi..." Zoya tahu aku bohong.

Nath, awas kamu, ya!

"Heheh.. nanti aku cerita deh. Aku mau istirahat dulu. Ngantuk."

Aku bangun dan lari seribu meninggalkan mereka semua.

Aku sebenarnya merasa moodku kembali anjlok hanya karena mengingat lamaran tak terduga itu.

Aku masuk ke kamar dan memeriksa ponselku.

3 pesan chat dari Pak Vano.

Bagaimana Bintang?

Kita harus bicara!

Ku tunggu di Cafe R jam 7 malam.

"Dasar pemaksa!" gumamku kesal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!