Pratama Aji Saputra adalah anak tunggal dari pasangan Suseno Prabowo dan istrinya Diana Larasati. Sejak kecil dia sudah menjadi kebanggaan untuk kedua orang tuanya. Prestasinya sejak sekolah sangat banyak. Mulai dari akademik hingga non akademik. Dulu Tama bercita-cita untuk menjadi seorang dokter seperti Papa, tapi setelah satu peristiwa kelam dalam hidupnya dia berubah total. Dari si ceria, penuh tawa, dan mudah bergaul menjadi Tama yang dingin, cuek, dan bodo amat.
Begitu lulus dari SMA, dia memutuskan untuk masuk ke angkatan. Dia ingin menjadi anggota kepolisian dan tekadnya sudah bulat. Beruntung Sindy kekasihnya mendukung Tama untuk maju dan memberanikan diri mengatakan keinginannya pada Mama Dia, ibunya.
Tanpa diduga, Tama berhasil mendapatkan restu dengan mudah. Dia berangkat untuk menjalani pendidikannya sebagai seorang taruna dengan mengantongi restu Bunda dan dukungan dari Sindy. Buat Tama memiliki gadis sebaik dan sesabar Sindy adalah sebuah anugerah. Ketika dia mulai berubah hampir semua teman-temannya meninggalkan dirinya, sedangkan Sindy alih-alih pergi menjauh gadis itu justru merangkulnya erat dan tidak membiarkan Tama terjun lebih dalam lagi.
4 tahun pendidikan ditempuhnya dengan lancar tanpa kendala. Hari ini Tama dan ratusan temannya yang lain akan diwisuda. Tama sempat ditempatkan di Magelang selama tahun-tahun awalnya kemudian baru dia bisa pindah ke Jogja. Kota kelahiran Papa, kota kecil yang begitu istimewa. Tempat di mana Tama menghabiskan masa kecilnya dulu.
Minggu ini Tama akhirnya mendapatkan cuti. Dia tidak menyia-nyiakan waktu, dia langsung memesan tiket untuk pulang ke Jakarta dan dan berniat menemui Sindy kekasihnya. Dia bertemu dengan Sindy di tempat biasa mereka menghabiskan waktu dulu, namun entah bagaimana gadis itu menolak uluran tangan Tama. Padahal Tama berencana untuk melamarnya hari itu. Sesayang itu Tama pada sosok Sindyana teman sekelasnya ini, namun ternyata Sindy datang tidak dengan perasaan yang sama seperti 7 tahun lalu ketika keduanya berjanji di bawah pohon trembesi yang menjadi ikon sekolah mereka.
"Maaf Tam, aku nggak bisa," katanya begitu saja.
"Kenapa?"
"Nggak bisa ya nggak bisa, kamu ngerti nggak sih?"
"Karena apa? Karena aku akan jauh dari kamu? Selama ini 7 tahun kita jauh juga bisa berjalan kok, aku janji aku akan setia sama kamu," kata Tama.
"Maaf, kita udah cukup sampai di sini."
Sindy pergi. Ketika Tama mengira hidupnya sudah mulai baik-baik saja, kekasih hatinya pergi meninggalkan dirinya begitu saja. Dengan perasaan yang masih campur aduk tidak karuan, Tama memutuskan untuk langsung kembali ke Jogja. Tama memesan kereta malam itu juga padahal dia baru sampai pagi tadi. Dia berusaha menahan tangisannya, namun gagal juga pada akhirnya. Hingga dia sadar ketika keretanya sudah sempurna berhenti di peron stasiun Tugu. Tama berjalan gontai keluar dari kereta.
Baru dia melangkahkan kaki keluar dari kereta, seorang gadis menabrak tubuhnya begitu keras. Tama berani bertaruh pasti kepala gadis itu sakit ketika terantuk bahunya. Buktinya Tama melihat sekelebat memar kecil di dahi gadis ini.
"Eh maaf Mbak maaf, Mbak nggak papa?" tanya Tama sambil membantunya berdiri.
"Iya Mas nggak papa, maaf saya buru-buru. Permisi."
Gadis itu langsung bangkit berdiri tanpa menerima uluran tangan Tama. Begitu sempurna berdiri, gadis itu langsung berlari menuju pintu keluar. Netra Tama masih terpaku memandangi punggung sempitnya yang mulai menjauh. Dari sekian banyak orang gadis ini cukup mentereng karena memakai pakaian dengan warna cerah juga tas besar berwarna mint. Lebih dari itu, dia menemukan gantungan berbentuk Hamtaro di tasnya. Sejak pertemuan tidak terduga dengan gadis Hamtaro itu, Tama tidak lagi memikirkan Sindy. Malah malam harinya dia memimpikan gadis Hamtaro yang dahinya dia buat memar pagi tadi.
Beberapa bulan kemudian, ketika dia membantu penjagaan di konser sebuah universitas dia kembali bertemu dengan gadis Hamtaro itu. Masih dengan pakaian yang warna warni dan tas mint dengan gantungan Hamtaro itu. Dalam hati Tama berteriak senang. Sejak pertemuannya dengan gadis itu di stasiun Tama sering berandai-andai apakah dia akan dipertemukan kembali atau tidak dan ternyata Tuhan menjawabnya.
Tama mendapatkan kesempatan mendekatinya, dia melihat gadis itu kesulitan mengeluarkan motornya dari tempat parkir jadi Tama berinisiatif mendekatinya dan membantunya.
"Oh?"
"Mbak masih ingat sama saya?" tanya Tama.
"I... iya... kalau tidak salah Bapak yang saya tabrak waktu itu ya, maaf ya Pak, waktu itu saya tidak sengaja, maaf banget saya juga nggak minta maaf dengan baik waktu itu soalnya saya beneran keburu-buru," katanya.
"Tunggu-tunggu, dek jangan panggil Pak dong. Saya belum tua-tua amat. Mungkin hanya selisih beberapa tahun sama kamu kok," kata Tama.
"Eh iya Pak, eh... anu... Mas," kata gadis itu lagi.
Manis, senyumnya manis. Tapi Tama tidak bisa menahannya di sana lebih lama lagi. Dia akhirnya melepaskan gadis itu agar dia bisa pulang. Lagi pula hari memang sudah cukup malam. Konsernya sebentar lagi juga akan bubar.
Tama sudah tidak meminta banyak hal lagi, dia sudah cukup bersyukur bisa kembali bertemu dengan gadis manis itu. Lagi pula dia kan masih dalam kondisi patah hati jadi tidak mungkin juga dia akan mendekati gadis itu.
...***...
Hari itu Tama tidak mengira jika Sindy akan datang menemuinya. Gadis itu meminta maaf pada Tama karena sudah membuatnya marah ketika itu, namun Tama sudah tidak ingin memberikan kesempatan kedua. Rasanya terlalu besar kesalahan gadis itu padanya. Bagi Tama mengambil keputusan untuk melamar Sindy adalah suatu hal yang besar, namun Sindy menanggapinya dengan tidak serius.
"Kamu bilang kita sudah cukup, kan. Yasudah. Tidak ada lagi kesempatan kedua Sin, aku serius ketika itu dan responmu malah begitu, sekarang aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi sama kamu. Aku yakin kamu kenal aku dengan baik, jadi kamu pasti tahu kalau aku tidak akan memberikan kesempatan kedua pada sebuah kesalahan besar. Lagi pula kita sudah tidak satu visi misi, kita nggak bisa memaksakan hubungan ini tetap berlanjut."
Tama sudah selesai. Dia sudah cukup yakin jika Sindy bukanlah yang terbaik untuknya. Tama akhirnya memilih pergi. Sebelum dia pulang Tama lebih dulu membeli makan. Berhubung dia sedang stres, sepertinya nasi langgi dekat kontrakan dia akan menjadi makan malam yang sempurna. Dia ke sana dengan berjalan kaki, dan sesampainya di sana dia langsung mengantre tanpa pikir panjang.
Ayolah, kenapa ketika Tama sedang emosi ada saja yang membuatnya semakin emosi. Dia melihat seorang gadis berhoodie putih menyerobot antrean entah karena tidak melihatnya atau karena sengaja menyerobot.
"Mbak, antre dong."
Gadis di depannya itu langsung membalik badan dan berniat menyemprot Tama dengan segala sumpah serapah namun gagal dilakukan. Tama kembali bertemu dengan gadis itu untuk ketiga kalinya tanpa kesengajaan. Malam itu dia beranikan diri bertanya siapa namanya dan pada akhirnya dia mendapatkan nama. Adiratna Widiyatna. Mahasiswa kedokteran semester 6 yang sedang menyiapkan diri untuk tugas akhirnya. Tama juga memberanikan diri meminta nomornya malam itu.
Dalam hati Tama sebenarnya tidak mengharapkan banyak hal. Apalagi setelah dia tahu jika Ratna adalah seorang calon dokter. Jika dengan Sindy yang pekerjaannya fleksibel saja dia tidak bisa, lalu bagaimana dia akan berakhir jika dengan Ratna yang sama-sama terikat. Lagi pula Tama tidak tahu apakah gadis itu sudah memilih tambatan hati atau belum. Mereka hanya tidak sengaja bertemu selama beberapa kali.
Setelah pertemuannya yang ketiga, Tama mendapatkan apa yang dia inginkan. Nomor telepon Ratna, dia bahkan sudah saling mengikuti akun sosial media masing-masing namun Tama tidak memiliki keberanian untuk menghubungi gadis itu lebih dulu. Dia hanya mampu membuka akun twitter Ratna dan melihat-lihat tweetnya yang terkadang berisi fotonya dengan sahabat, atau kata-kata bijak yang dia kutip dari buku-buku yang dibacanya.
"Ahh..., gadis ini menyukai novel," batin Tama ketika sedang asyik menyelami akun media sosial Ratna.
Berhari-hari dia hanya mampu memandangi akun Ratna, juga kontak line-nya tanpa mampu mengajaknya mengobrol hingga sore itu selepas shift Tama yang baru selesai mandi meraih handphonenya dan tanpa sadar langsung mengirim pesan singkat pada Ratna. Demi apa Tama bahkan tidak tahu bagaimana dia bisa semudah itu mengajak Ratna pergi ke Gunung Kidul berdua.
"Gila Tama gila, anak gadis orang Tam, lo juga belum kenal lama udah lo aja pergi berdua aja. Otak lo kemana Tama," kata Tama bermonolog.
Ketika Tama sedang mengutuk kenekatan dirinya, gadis itu membalas pesannya dan mengiyakan. Bahkan Ratna langsung menyebut dia ingin ke mana. Asli Tama tidak pernah mengira jika gadis ini akan se-open ini dengannya yang belum dia kenal. Apakah dia gadis yang tidak baik atau hanya karena tidak enak menolak ajakan dia sendiri tidak paham, tapi ya sudahlah mumpung sudah terlanjur gas saja.
Noted:
Hii pembaca sekalian, kembali lagi denganku disini...
ini karya keduaku guys, mohon bantuannya untuk like ya, drop komen juga dong soalnya aku suka diajak ngobrol sama pembacaku 🙏
Sementara aku upload 1 minggu sekali ya, nanti kalau rame baru deh uploadnya bisa 3 hari sekali atau bahkan setiap hari...
makanya jangan lupa like dan vote-nya ya ❤️🤗
hope you like it guys 😍😍😍
...*Ji*...
Ratna sudah cukup lelah menghadapi tugas yang seabrek, OSCE di depan mata dan Vino si posesif. Setengah hatinya menyesal sebenarnya mengapa dia memilih untuk mengiyakan ajakan Vino untuk pacaran. Vino adalah seorang dari fakultas Ekonomi dan Bisnis, berbeda fakultas tapi bisa bertemu dengan Ratna karena keduanya mengikuti satu UKM yang sama. Keduanya berkenalan ketika menghadiri latihan perdana UKM tenis ketika maba dulu. Setelah menjalani PDKT sekitar 1 tahun mereka akhirnya pacaran.
Ratna sebenarnya bahagia, Vino ini baik, pengertian, dan selalu mendukung mimpinya sebagai seorang calon dokter. Bahkan ketika Ratna kena bully teman-temannya Vino selalu ada untuk menjadi tamengnya. Dia yang selalu berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya Ratna.
Sayangnya kisah cinta Ratna dan Vino tidak semanis madu, Vino lambat laun memperlihatkan wujud aslinya. Vino mulai menuntut, dia juga mulai melarang Ratna melakukan ini itu dengan alasan dia tidak ingin Ratna terluka padahal Ratna tidak suka di kekang. Dia benci disetir apalagi oleh orang yang menurut dia bukan siapa-siapa. Bahkan orang tuanya saja tidak pernah berusaha mengekang dirinya atau bahkan melarang ini itu, tapi Vino berani makanya Ratna mulai jengah juga.
Siang tadi Ratna dan Vino kembali bertengkar, dan Ratna yang sudah kelewat muak akhirnya memutuskan Vino begitu saja. Jelas Ratna marah, bukan hanya berusaha mengatur hidupnya Vino bahkan secara gamblang bermain dengan gadis lain di belakangnya. Ratna kira Vino sudah tidak memiliki apapun lagi untuk dijelaskan. Ratna sudah terlanjur kecewa dan memilih mengakhiri hubungan toxic itu. Ratna harus kembali pada jalan lurusnya, dia harus mengejar mimpinya apapun yang terjadi.
Sekuat apapun tekadnya, kenangan selama tahun-tahunnya dengan Vino tidak begitu saja hilang tersapu angin. Mau sekeras apapun Ratna menangis, dia malah semakin merasakan sakit hati. Bahkan di luar sana hujan seakan memberikan kesempatan untuknya menangisi semua masa lalunya yang bodoh.
Baru Ratna tenang, handphonenya berdering. Masuk satu pesan dari nomor yang terkesan asing. Dia membacanya, tapi dia tidak mengenali nomor siapa itu. Dia bahkan harus melihat profilnya dan mengingatnya dengan keras baru dia ingat jika orang yang mengajaknya pergi ini adalah pak Polisi yang pernah ditabraknya di stasiun semester lalu, yang kemudian bertemu lagi di konser kampus dan sempat hampir berdebat dengannya karena perkara antrean.
Ratna yang sedang merasa terpuruk langsung mengiyakan ajakannya. Bodo amat dia dianggap gadis murahan, dia benar-benar butuh healing dan tidak mungkin dia mengajak Dipta atau Theo karena mereka pasti sibuk dengan kekasih masing-masing jika weekend tiba.
Hari ini Tama benar-benar menjemputnya, laki-laki itu datang dengan CBR warna hitamnya mendekati Ratna yang menunggu di dekat Tugu Jogja. Ratna benci motor bentuk begini, tapi tidak enak juga kan kalau dia menolak kesannya seperti tidak sopan saja.
"Kenapa? Kalau dek Ratna tidak nyaman dengan motor saya kita pakai motor dek Ratna saja bagaimana?" tawar laki-laki itu membuat Ratna kaget apakah dia bisa membaca pikirannya atau bagaimana.
"Nggak kok, nggak papa," kata Ratna yang mulai memakai helmnya dan naik ke atas boncengan.
Ratna tahu motor CBR pasti berat dan tidak nyaman jika dipakai berjalan pelan begini, jadi Ratna memberanikan diri untuk bicara para Tama, "Kalau Pak Tama mau ngebut nggak papa kok," kata Ratna sedikit berteriak agar Tama bisa mendengar dari balik helm full face nya.
"Nggak mau, nanti dek Ratna makin ngerasa nggak nyaman. Lagian jangan panggil saja Pak, umur saja baru 24, katanya lagi."
Setelah percakapan ringan itu mereka kembali saling diam hingga sampai di tempat yang mereka tuju. Baru Ratna turun dari motor, belum sampai dia melihat bibir pantai tapi suasananya sudah seperti meminta dia untuk menangis. Tama dan Ratna pergi ke Pantai Ngrumput, tempat Ratna dan Vino biasanya menghabiskan waktu ketika weekend.
Tama belum banyak bertanya, dia hanya mengamati Ratna yang memilih diam berdiri di tepi pantai lalu tiba-tiba dia menarik sesuatu dari jari manisnya dan membuangnya begitu saja jauh ke tengah pantai.
"Eh... eh..., kok dibuang?" tanya Tama.
"Nggak papa, bukan barang berharga kok. Belinya cuma 20 ribuan di 0 km Malioboro," kata Ratna dengan cuek.
Ratna kemudian duduk agak menjauh dari bibir pantai berjejer dengan Tama yang sepertinya ikut tenggelam dalam diam. Ratna berusaha keras tidak menangis, dia hanya mampu meraung di dalam batinnya tanpa dia tahu jika sebenarnya Tama juga tengah merasakan hal yang tidak berbeda jauh darinya saat ini.
"Dek...," tanya Tama setelah lama saling diam.
"Iya?"
"Kok kamu mau saya aja pergi berdua gini, memangnya Dek Ratna nggak takut saya apa-apakan?" tanya Tama.
"Memangnya Bapak...," kata-kata Ratna terpotong begitu saja karena tatapan dingin Tama.
"Maksud saya Mas Tama. Memangnya Mas mau apakan saya sampai saya harus takut?"
"Kita belum saling kenal padahal."
"Sudah kok, kan kita sudah kenalan. Nyatanya bisa ngajak main berarti kita sudah saling kenal, kan? Saya ini bukan gadis yang kolot kok, santai saja. Asal tujuannya jelas saya sih ayo ayo saja. Tapi nanti sebelum sore kita sudah harus turun ya Pak, eh Mas," jawab Ratna membuat Tama sedikit lebih lega.
"Boleh saya tanya sesuatu?" tanya Tama lagi.
"Boleh," angguk Ratna.
"Dek Ratna apa sudah punya pacar?"
"Punya...," kata Ratna membuat Tama kembali diam.
"Kemarin sore saya punya, kalau sekarang sudah tidak," katanya lagi sukses mengembalikan senyuman Tama.
"Sama, saya juga nggak punya pacar," kata Tama yang sekarang sudah lebih berani.
"Bapak lagi deketin saya ya?"
"Kok bapak lagi sih?"
"Pertanyaan saya jawab dulu, Bapak lagi berusaha deketin saya atau bagaimana?" tanya Ratna tidak menggubris omongan Tama barusan.
"Iya, kalau dek Ratna mau. Kalau tidak ya tidak akan saya dekati," katanya.
"Tapi saya calon dokter lo Pak, saya punya mimpi yang jalannya masih panjang banget buat saya raih. Sedangkan Bapak polisi kan pasti sering pindah-pindah tugas. Andai memang benar saya dan bapak jadian apa iya bisa bertahan?"
"Belum tahu, saya kan baru mau PDKT. Tapi kalau dek Ratna sudah yakin ya saya insyaallah sanggup. Saya bukan tipikal laki-laki yang harus 24 jam per 7 hari ketemu pasangan terus menerus kok," kata Tama.
"Yasudah PDKT dulu saja ya, Pak, saya mau kok," kata Ratna.
"Hahaha..., tapi jangan panggil saya Pak dong, nggak enak banget saya berasa pedofil deketin anak SMA," kata Tama sambil tertawa.
"Tapi saya nyamannya manggil gitu, maaf Pak saya belum mau ubah panggilan. Takut jadi nggak sopan," kata Ratna diangguki Tama.
Hari itu mereka berdua puas berkeliling. Mendekati sore Ratna dan Tama memutuskan untuk pulang, tapi nyatanya mereka tidak langsung pulang. Tama malah mengajak Ratna ke Alkid dan makan malam bersama di sana baru dia antar gadis itu pulang.
Padahal baru kemarin Ratna menangis begitu keras karena putus dari Vino, tapi hari ini dia sudah sanggup tertawa begitu lebar karena kehadiran satu orang baru dalam hidupnya. Namanya Pratama Aji Saputra, seorang anggota kepolisian. Bekerja di satuan Brimob DIY sebagai salah seorang danton.
Ratna tidak pernah tahu ke mana takdir akan menuntunnya, baru kemarin dia dipisahkan dengan seseorang, sekarang dengan caranya semesta mengantarnya untuk bertemu dengan sesosok laki-laki hebat seperti Pratama Aji. Dia tidak ingin berharap apapun, dari awal pekerjaan dan dunia keduanya sudah sangat bertolak belakang. Dia yang tengah mengejar impiannya dan Ratna yang mengejar cita-citanya.
Ratna menjanjikan pada laki-laki itu bahwa dia akan menjawab ketika hari di mana dia akan diwisuda. Sejak pertemuan keempat, Ratna dan Tama tidak pernah lagi putus hubungan. Entah Tama yang lebih dulu mengabarinya, atau Ratna yang lebih memilih untuk curhat dengan Tama dibandingkan dengan Dipta dan Theo.
Bayang-bayang Vino sebenarnya belum hilang. Laki-laki itu masih sering mendatanginya dan berusaha mendekatinya lagi. Tapi Ratna tidak mau, di dalam hatinya sudah tidak lagi ada Alvino Pamungkas. Sekarang yang hanya Pratama Aji Saputra.
Di hari Ratna menjanjikan jawaban pada Tama, laki-laki itu datang. Masih mengenakan seragam polisi lengkap karena setelah ini dia harus segera berangkat ke pos. Dia hanya mampir sebentar, menyapa kedua orang tua Ratna dan juga menemui Ratna untuk meminta jawaban.
"Pak, saya mau kasih jawaban boleh?" tanya Ratna.
"Sebelum kamu kasih jawaban saya mau perbarui dulu pertanyaan saya."
"Perbarui gimana?"
"Dek Ratna, mumpung ada orang tuamu nih. Saya mau tanya, dek Ratna mau nggak nikah sama saya?"
"Huh?!"
"Mas sik sik sik. Kok tiba-tiba ngajak nikah toh, kemarin janjinya mau ngajak pacaran dulu, piye sih Mas?" cerocos Ratna.
"Bentar dulu, maksud saya nggak yang kita nikah sekarang, kan kamu bilang kamu harus selesaikan koas dulu, internship dulu, katanya jalanmu masih panjang. Saya tuh cuma mau bilang kalau saya serius sama kamu dek, nggak mau main-main," kata Tama.
"Ya tapi ngomongnya nggak nyablak gitu toh Mas, bikin jantungan tau nggak."
"Kalo kamu nggak jantungan gimana kamu mau hidup, katanya dokter gitu aja nggak tahu," kata Tama berhadiah pukulan dari Ratna.
"Mbak, sini jelasin sama ibu. Kok ini tiba-tiba ada laki-laki deketin kamu pake seragam polisi gini ngajakin kamu nikah. Kok kamu nggak pernah cerita sama ibu kalo kamu punya pacar?" tanya Ibu Ratna yang syok juga karena kalimat Tama.
"Ini orang memang agak edan Bu, udah nggak usah diladenin," kata Ratna.
"Halah edan lah kamu juga tetep suka to nduk. Pacarmu toh? Keren gini kok, polisi juga. Bapak kasih restu."
"BAPAK?!"
Setelah kejadian mengejutkan itu, akhirnya Tama dan Ratna memutuskan untuk pacaran dulu sambil menunggu masa koas Ratna selesai. Ratna bersyukur bisa kenal dengan Tama. Selama mereka pacaran, tidak ada yang berubah dari Tama, justru laki-laki ini memperlihatkan sisi terbaiknya dari hari ke hari. Terkadang dia akan memberikan space untuk Ratna yang ingin sendiri, tapi kadang juga dia bisa memeluk Ratna begitu erat untuk memberinya semangat.
3 bulan pacaran, Tama dipindahkan ke Samarinda. Tama dan Ratna menjalani LDR namun diluar dugaan, walaupun keduanya jarang saling telepon tapi komunikasi mereka terasa begitu lekat dan berkualitas. Kadang Tama akan mengiriminya belasan chat hanya untuk bercerita tentang rekan-rekannya. Sehari cerita tentang trio kwekkwek Pak Slamet, Pak Sabar, dan Pak Somat. Kadang juga dia bisa cerita panjang lebar tentang seorang gadis di kesatuannya. Namanya Nesya, gadis aneh yang selalu mengekor kemanapun Pak Slamet pergi.
Ratna juga begitu, kadang dia bisa ngebom chat hingga puluhan hanya untuk bercerita panjang lebar tentang konsulennya. Atau tentang Dipta si koas bau yang membuatnya kebanjiran pasien ketika jaga malam. Herannya, Ratna dan Tama terkadang tidak saling membalas pesan-pesan yang masuk, tapi perasaan mereka bisa sampai satu sama lain. Nyatanya jarak dan waktu tidak mampu memisahkan keduanya.
"Gimana harimu dek?" tanya Tama ketika keduanya sedang video call.
"Mas tumben jam segini udah bisa telepon? Lagi selo?" tanya Ratna.
"Lagi off makanya santai. Kamu juga dek jam segini tumben sudah di rumah," Tama bertanya balik.
"Di rumah gimana? Ini masih di rumah sakit, aku di ruang istirahat. Parno sendirian terus buka line ternyata Mas lagi online," kata Ratna.
"Mas temenin ya," kata Tama.
"Capek banget kayanya, sudah berapa lama nggak pulang?" tanya Tama lagi.
"Tercatat hampir 36 jam aku nggak pulang. Ini setelah aku bisa pulang malah di luar hujan deras," jelas Ratna.
"Dek, bulan depan Mas mau ketemu sama Dek Ratna boleh?" tanya Tama.
"Bulan depan? Mas libur?" tanya Ratna.
"Iya."
"Ketimbang nemui Ratna mending Mas nemui Mama. Mama pasti juga kangen sama Mas," kata Ratna.
"Mas mau nemui kamu sama Mama. Mas juga mau ketemu sama Bapak dan Ibu, boleh ya?"
"Mas nggak mau ngelamar Ratna kan?"
"Bingo. Mas mau lamar dek Ratna, lagi pula 3 bulan lagi masa koasmu selesai. Sebelum kamu sibuk sama kerjaan kamu Mas pengen nikahi kamu dulu, mau dek?" tanya Tama.
Ratna lama terdiam. Pandangannya kosong dan pikirannya mulai ke mana-mana. 2 tahun mereka bertemu, kenalan, hingga pacaran rasanya sudah cukup untuk Tama dan Ratna saling mengenali satu sama lain. Padahal keduanya tidak ber-ekspektasi banyak mengingat ketika keduanya bertemu mereka sedang dalam kondisi patah hati. Bisa saja kan Tama adalah pelarian untuk Ratna begitu pun sebaliknya, tapi rupanya Sang Pencipta serius ketika mempertemukan kedua hamba-Nya ini.
"Boleh Mas, Ratna tunggu," jawab Ratna dengan nada yang lembut diikuti senyum yang merekah manis mengangkat kedua pipi berisinya jadi semakin bulat lucu dengan rona merah malu-malu.
Tama menepati janjinya, dia datang ke rumah Ratna bersama dengan Mamanya membawa sepasang cincin untuk mengikat hubungan mereka sebelum menuju ke pernikahan. Hari itu pihak keluarga Tama dan keluarga Ratna sekaligus mencari tanggal untuk pernikahan mereka. Didapatlah sebuah tanggal yang cantik, Dua puluh Januari adalah tanggal baik untuk kedua keluarga besar itu sekaligus juga dekat dengan ulang tahun Ratna di bulan Februari.
"Wah ternyata gini ya rasanya di lamar beneran," kata Ratna pada Tama.
"Hmm ternyata begini rasanya lamarannya diterima," Tama ikut bicara.
Keduanya tertawa. Jika mengingat masa lalu mereka yang sama-sama memiliki orang lain di hati, lucu saja. Ternyata lamanya hubungan seseorang tidak menentukan apakah kedua orang itu berjodoh. Nyatanya Tama dan Ratna, Pratama Aji si hitz Jaksel bertemu dengan Ratna si gadis lugu dari Purworejo, sebuah kota kecil di perbatasan DIY dan Jawa Tengah. Dan yang mempertemukan mereka adalah kota istimewa, kota pelajar Yogyakarta.
Tama masih memiliki 2 hari sebelum dia kembali ke Samarinda, jadi dia berencana untuk mengajak Ratna berkeliling Jogja. Agenda pastinya adalah ke warung nasi langgi tidak jauh dari rumah Papa Seno yang Tama tempati selama bertugas di Jogja. Kemudian keduanya berkeliling di area kampus lalu memilih duduk di cafe dekat stasiun tugu.
"Rasa sakitnya aku masih inget tahu," gerutu Ratna mengingat pertemuan pertamanya dengan Tama.
"Itu lengan dibuat dari apa sih Mas, keras banget," kata Ratna.
"Ya kali anggota kepolisian kok badannya lembek," kata Tama.
"Banyak kali Mas, katanya polisi tapi perutnya gede, gendut lagi," kata Ratna sedikit berbisik membuat Tama tertawa.
"Mas Tama, mumpung di sini beli lumpia yuk di dekat hotel Mutiara," kata Ratna diangguki Tama.
Keduanya pindah tempat ngobrol sekarang. Setelah membeli lumpia, Tama membeli juga 2 cup sundae lalu keduanya duduk di satu bangku kosong dekat mall malioboro. Tama dan Ratna memiliki postur yang jauh berbeda. Tinggi badan Ratna hanya sekitar 155 cm sedangkan Tama hampir mencapai 180 cm. Jika keduanya berjalan berdua begini pasti banyak yang mengira Tama adalah kakaknya Ratna. Seperti ibu-ibu penjual sate ayam keliling di dekat mereka ini juga salah mengira. Dikira Tama sedang mengajak adiknya berjalan-jalan.
"Bu, calon istri saya ngambek nih. Saya harus bujuk gimana ya?" tanya Tama pada ibu-ibu penjual sate tadi.
"Beliin sate aja mas, mbok menawi nggak marah lagi habis ini," kata ibu-ibu itu.
"Ibu tahu aja kalau calon istri saya ini suka sate. Ya sudah bu pesen 2 porsi ya, yang 1 porsi 15 ribuan yang 1 porsi 20 ribuan," kata Tama membuat ibu-ibu itu tertawa sebelum membuatkan pesanan mereka.
"Bu, yang porsi 15 ribuan cabenya banyakin ya," kata Ratna kemudian.
"Eh ibu pinter juga, udah nggak ngambek loh bu orangnya," kata Tama kembali pada ibu-ibu itu.
"Gimana Bu? Lucu ya calon istri saya, saya sayang banget Bu sama dia. Makanya saya gandeng terus, takut dikira anak hilang. Nanti didekati sama petugas yang di sana terus ditanyain 'Mamanya ke mana, dek?' ya Ratna," kata Tama terus menggoda Ratna. Tidak hanya Ratna yang tertawa, tapi ibu-ibu itu juga ikut tertawa padahal wajahnya sebelum mengobrol dengan Tama tadi masih agak muram melihat dagangannya masih banyak tersisa.
"Nuwun sewu nggih bu, calon suami saya memang agak nyebelin," kata Ratna.
"Mboten napa-napa nduk. Ibu juga seneng ada yang mau ngajak ngobrol," jawab ibu-ibu itu.
Terkadang Tama bisa serandom ini mengajak orang bicara, kadang juga tingkahnya bisa luar biasa aneh. Tapi Ratna suka, bahkan ketika Tama dengan mudahnya buang gas di samping Ratna dia menanggapnya lucu. Definisi cinta itu buta sepertinya, tapi Ratna tidak peduli karena dia bahagia bersama Pratama Aji Saputra calon suaminya.
"Mas pulang yuk ngantuk," rengek Ratna.
"Jam berapa ini? Jam 9. Wah kayanya beneran aku nikahin bocah deh," kata Tama.
"Mas..., ngantuk beneran ini, ayo pulang...," Ratna semakin merengek.
"Manja banget sih ibu negara, iya iya kita pulang ya."
"Ayo," kata Ratna.
Tama tidak tega melihat Ratna sudah setengah tidur begini, jadi Tama tanpa pikir panjang menggendong Ratna di punggungnya dan membiarkan Ratna nyaman tidur sambil memeluk lehernya. Tama menggendong Ratna hanya sampai pangkalan taksi, kemudian dia mencari taksi untuk membawa keduanya pulang.
Jika Ratna bersyukur telah dipertemukan dengan Pratama, maka Tama akan bersujud pada Allah karena diizinkan untuk menjaga Adiratna. Dia lebih dari hanya sekedar menyayangi Ratna. Gadis ini begitu dewasa, begitu polos dan lucu, juga terkadang bisa begitu galak dan bawel. Tama menyukai semua tentang Ratna, baik manjanya atau kalimat-kalimat bijak yang dia kutip dari novel yang sering dia baca.
Ratna pernah membaca sebuah novel tentang kisah cinta pertama yang tidak terpisahkan bahkan hingga maut menjemput, Ratna juga pernah bilang dia sering membayangkan kisah cintanya akan begitu juga. Tama memang tidak bisa berkata jika Ratna adalah cinta pertamanya, karena cinta pertamanya jelas adalah orang lain, tapi Tama menjanjikan jika mereka tidak akan terpisah kecuali maut menjemput.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!