NovelToon NovelToon

Hasrat 3 cinta

1. Anak tukang kebun

Budayakan meninggalkan like dan komentar atau bila berkenan dan tertarik dengan cerita ini silahkan tambahkan ke favorit anda.

Itu merupakan salah satu bentuk apresiasi untuk penulis.

Tak ada ruginya untuk sekedar menekan gambar like👍

komentar💬

dan favorit💙.

Bukankah saling menghargai itu baik?

...Happy redding!...

...POV Ayana....

Seperti biasa, aku disibukkan dengan segudang kesibukan di pagi hari. Aku Ayana Jasmine. Tak ada yang istimewa dari diriku.

Aku hanyalah anak tukang kebun di sebuah keluarga kaya raya. Keluarga Armanto.

Ibuku sudah lama meninggal semenjak melahirkanku. Aku sama sekali tak pernah melihat wajahnya ataupun mengusapnya. Aku hanya pernah melihatnya dalam foto dan Ya, harus ku akui aku mewarisi wajah ayunya.

" Ay....! Mana celanaku?" Teriak seseorang yang menggema memenuhi ruangan tempatku saat ini menyetrika baju.

Kebiasaannya selalu seperti itu, memburuku saat aku sedang bekerja. Ini masih jam 6 pagi dan aku sudah seperti ibu-ibu yang kerepotan mengurus ketiga anaknya.

" Celana yang mana sih Tuan?" Sengaja aku menekankan kata TUAN kepadanya, lelaki bertubuh kekar yang hanya berbeda 3 tahun lebih tua dariku. Namanya Jackie Putra Armanto. Dari seisi rumah ini, dia yang paling jahil padaku.

" Tuan, tuan!" Desisnya dengan suara yang meninggi. Dia tak suka ku panggil Tuan.

" Itu, celana bellel. Yang biru dongker!" Dengusnya yang kemudian menerobos masuk dengan hanya memakai handuk batas sepinggang sedang bagian dadanya sudah terekspos kemana-mana.

Sudah biasa bagiku melihat pemandangan seperti itu. Setiap hari dia suguhkan kepadaku dan membuat mata, hati, dan pikiranku ternoda.

" Ini kan? " Celana itu sudah terlipat rapih di susunan celana dan dia menariknya begitu saja sehingga membuat yang lainnya jatuh berhamburan. Aku selalu di kerjainnya seperti ini dia suka sekali melihat wajahku yang kesal. " Ups! Maaf tak sengaja!" Cetusnya seenak hati disusul dengan langkah seribu dia berlari meninggalkan ku yang berteriak emosi.

" Jack... !!! " Ku lempar ****** ******** ke arahnya namun sayangnya tidak mengenainya tapi justru di tangkap oleh anak nomor dua dari keluarga ini. Alex namanya. Alex Putra Armanto. Sosok yang lembut dan manis. Ku akui dia tipe lelaki yang hangat. Bahagia sekali nanti wanita yang menjadi istrinya.

" Kak? " Aku melongo juga malu. Kini aku hanya bisa menunduk lesu takut kalau dia akan menegurku.

Dia mendekat dan hanya berjarak 3 kilan dariku. " Mana dasiku yang merah maroon? " Suaranya lembut dan sedikit serak membuatku meremang dan memiliki hasrat ingin menjadi istrinya. Hehehehe tak tau malu jika aku berharap seperti itu. Tidak, tidak, aku cukup tau diri.

Ku ambil dasi yang masih berada di keranjang pakaian dan ku setrika sebentar. " Ini. " kataku mengulurkan padanya. Dia menunduk dan merendahkan lehernya. Aku sudah hapal apa maunya. Iya, setiap hari dia ingin aku memakaikan dasinya. " Besok lagi jangan lempar celana dalamku pada Jack, lempar saja langsung setrikamu ke kepalanya." Katanya yang lalu menaruh ****** ******** di atas meja setrika.

Apa?

****** ********??

Oh, God!!!

****...!!

Aku sungguh malu saat ini. Mungkin wajahku sudah memerah seperti udang busuk. Tapi, dia tetap saja berlaku manis. Dia tersenyum dan mengusap kepalaku sebelum pergi. " Cepat selesaikan dan sarapan bersama kami." Katanya yang kemudian menghilang di balik pintu yang telah berhasil membuat jantungku meletup-letup.

" Ya, " lirihku dan kembali merapikan tumpukan celana yang terjatuh tadi.

" Na..., Mana bajuku? " Suara bariton dari seorang pria yang gagah dan tinggi yang semakin mendekat dan membuatku mendongak kesusahan.

" Baju yang mana Kak? " Aku melihatnya, rambut setengah basah dan juga wangi aroma maskulin membuatku dimabuk kepayang. Wanita munafik yang menolak mengakui sisi ketampanannya ini. " Kemeja putih. " Sahutnya.

Kemeja putih? Bukankah banyak kemeja kerjanya yang berwarna putih. " Yang ini Na, " Dia menyambar kemeja putih yang sudah tergantung di hanger.

Sengaja memang, mereka sengaja menambah pekerjaanku di pagi hari, siang, atau malam. Mereka menganggapku sebagai adik kecilnya. Tapi, tidak dengan Jack yang berkali-kali mengatakan jika aku adalah calon istrinya di masa depan. Dan aku? Sudah pasti aku berpikir seribu kali untuk mengamini hal itu. Dia jahil sekali, bagaimana bila aku menjadi istrinya?? bisa habis kurus kering aku di kerjai.

Lelaki yang menenteng kemeja putih itu sudah memakai celana panjangnya tapi belum dengan kemejanya, bisa dibilang penampilannya saat kerja adalah semaunya. Tak akan berpenampilan rapih jika tak akan ketemu klien penting. " Kancingkan! " Perintahnya dengan merentangkan kedua tangannya seolah akan terbang.

Sudah biasa..

Apalagi yang bisa ku katakan selain itu? Bagaimana? aku sudah sangat mirip dengan ibu-ibu rempong kan?

" Apa tidak akan ketemu klien Kak? " Tanyaku yang menurut sembari mengancingkan bajunya. Kulihat wajahnya yang masih lembab dan dihiasi beberapa bulir air sisa mandi. Terlihat sexy Dan menggoda. Dai menggeleng pelan tanpa melihatku dan sibuk melihat benda pipih di tangannya.

" Nanti tolong kamu temani Lena belanja ya. Dia ingin pergi ke Mall katanya. " Ujarnya yang kemudian tersenyum melihatku sekilas lalu pergi tanpa menunggu jawabanku. Entah bisa atau tidak tapi aku harus.

Lena, siapa Lena?

Lena adalah istrinya. Istri dari lelaki ini. Gino Putra Armanto.

Aku, tugasku di rumah ini adalah mengurusi perbajuan mereka semua. Ayah, Bunda dan ketiga anaknya ini, juga menantunya.

Di meja makan.

Aku datang sembari mendorong kursi roda Kak Lena. Dia adalah wanita yang kurang beruntung. Dia dahulunya adalah seorang dancer. Tapi sebuah kecelakaan merenggut semua darinya. Dia menjadi lumpuh karena kecelakaan yang fatal. Juga rahimnya, dia harus melakukan pengangkatan rahim karena kecelakaan itu.

Harus ku akui, keluarga ini teramat baik. Mereka kaya, tapi masih bisa menghargai manusia lainnya. Mereka tak tinggi hati. Terbukti mereka merestui pernikahan Kak Gino dan Kak Lena yang memiliki banyak kekurangan.

" Lena, nanti Kamu di temani Ayana saja ya. Aku ada kunjungan ke cabang baru yang cukup jauh." Kak Gino membuka suara setelah sebelumnya hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring makan.

Kak Lena tersenyum. " Iya Mas. " Jawabnya dengan lembut. Wajahnya terlihat teduh.

" Ay..., Hemh....! " Jackie memayunkan bibirnya ke arahku tanda meminta sesuatu dan aku tau apa itu.

Aku hanya bisa menurut dan memutar bola mataku malas sambil mendengus. " Iya." Jawabku berat hati kemudian menggambil tisu dan mengelap sudut bibirnya yang terkena saus.

" Cih! Bunda, kamu lihat anakmu itu? dia manja sekali pada Ayana. Dia sudah besar Bunda. Tidak pantas dia seperti itu." Protes Alex dengan raut wajah yang tak suka.

" Hihihi...! Sudah berapa tahun kamu melihat hal ini setiap pagi? Masih saja protes. Apa kamu belum hapal kebiasaan adikmu itu? " Bunda Winda terkesan membela Jackie si bungsu.

" Oh, Ayolah.. Bunda...." Alex lagi-lagi melontarkan protesnya.

" Kenapa? Apa salahnya manja terhadap calon istri. Ya kan Yah?" Jackie menyambar ucapan Alex.

Selalu dan selalu Tuan Dhani Armanto yang menengahi pertengkaran kecil yang menggemaskan ini. Sedangkan aku, tak berani membuka suara. Aku sadar aku ini siapa. Dengan bisa duduk satu meja di tengah-tengah mereka seperti ini sudah lebih dari cukup bagiku sebab aku hanyalah anak tukang kebun disini.

" Tanya dulu Mau tidak Ayana sama kamu Jack! "

Orang yang sedari tadi tenang dan enggan bicara akhirnya bicara juga. Gino berbicara dengan raut wajahnya yang datar dan tak perduli.

" Mau dong! " Sambar si bungsu yakin.

Aku hanya diam tertunduk tak berani menjawab celotehannya.

" Ya, mau ya? " Dia si jahil itu menaikkan kedua alisnya dan berkedip manja padaku. Sungguh aku ingin menjambak bulu matanya saat itu juga.

" Tuh kan dia mau. Kalau diam berarti mau kan? " Dia yakin dengan opininya sendiri.

Oh, astaga!

Kamu adalah lelaki kaya dan tampan. Mengapa tidak mencari calon yang lain saja. Aku ini hanya tukang kebun Kak Jackie..!

Dan seperti biasa, saat di kampus.

" Jangan jauh-jauh! " Semburnya saat kaki mulai bergerak satu langkah dari sisinya.

Jika di rumah dia selalu berkata aku ini adalah calon istrinya. Lain jika di kampus, dengan entengnya dia mengumumkan pada semuanya jika aku adalah pacarnya. Aku punya hak apa?

Aku tak bisa menolak karena ancamannya pasti akan semakin mempersulit hidupku. Tapi terkadang dari hubungan pura-pura ini, aku juga mendapatkan keuntungan. Setidaknya tak perlu repot-repot untuk mengeluarkan uang transportasi lagi, Hihihih...!

" Iya Abang sayang. Ini cuma mau buang sampah. " Dengusku yang sungguh malas jika harus beradu argument.

Dia nyengir dan memamerkan gigi kelincinya " Hehehehe, jangan jauh-jauh. Kamu kan tau aku gampang kangen? " Ujarnya dengan membuat aegyo.

Terdengar samar dan riuh di telinga banyak wanita yang memujanya saat dia menunjukkan aegyo miliknya. Kata mereka itu imut, manis, dan lucu. Tapi bagiku? Biasa saja.

" Iya, iya..." Aku mencubit gemas pipinya sambil melotot kesal dan menggertakan gigiku agar merka tak membaca ucapanku selanjutnya. " Dasar monster..! " Desisiku yang di susul dengan senyuman terbaiku.

2. Aku tidak pantas.

" Ay, mau ke Mall kan? aku ikut ya? " Kata manusia bergigi kelinci yang duduk bersandar di punggungku saat aku tengah membaca buku di rerumputan.

Ku lirik dia sekilas dari ekor mataku terlihat dia mengatupkan kedua tangannya meski aku tak berbalik menghadapnya. " Ih, tidak ah. Ini acara perempuan. Dia pasti risih kalau kamu ikut." Dalihku yang sebenarnya malas mengajak si jahil ini.

" Oh, Ayolah..! " Rengeknya seperti anak TK yang meminta sesuatu. Harus ku akui dia memang memiliki baby face. Jika saja dia tidak jahil dan usil, sudah tentu aku mungkin akan khilaf dan menerimanya menjadi pacarku.

" Jack, Aku hanya di ajak. Jika kamu benar-benar mau ikut, tanyalah saja langsung padanya. " Tungkasku yang malas berdebat lagi.

Dia tersenyum girang lalu mulai menghubungi seorang wanita. Kutahu itu pasti Kak Lena. Aku menempelkan telingaku dekat pada telinganya dan mendengarkan percakapan mereka. Keyakinannya luntur saat penolakan itu terdengar tegas.

" Tidak boleh. " Katanya yang lesu dan lemas.

Asik... senangku dalam hati. " Kasihan... " Aku menggeleng dan mengusap dahinya seolah iba. Padahal aku sangat senang. Akhirnya ada satu hari dalam satu bulan ini aku tidak di tempeli olehnya.

" Jack! Ayo kita latihan semua sudah menunggumu." Seru seorang lelaki berkulit putih pucat menghampiri kami dari seberang lapangan basket yang menghampar.

Aku tersenyum lalu menatapnya, dia terlihat layu. " Pergilah, sana teman-temanmu sudah menunggumu. Kamu kan pemanin yang handal? Jack aku cuma menemani Kakak iparmu, bukan menemani Kakakmu." Cicitku pelan.

" Senang sekali kamu? Hhhh... " Dia mendesah sebelum berlanjut, "Ay rasanya aku sulit sekali jauh darimu. Lama aku jatuh cinta padamu tapi mengapa tidak pernah kamu terima? Apa ketampananku ini tidak mampu memikat hatimu? " Dia menarik kakiku dan kini kita saling berhadapan. Suasana berubah hening dan serius di selimuti hawa dingin.

" Bukan begitu Jack, kamu tau kan alasannya? Aku cukup tau diri. Aku tak pantas untuk kalian. Aku hanya anak tukang kebun."

" Kamu anak tukang kebun, tapi kan sebentar lagi kamu akan menjadi karyawan di perusahaan Ayah." Dia terus saja merayuku.

Aku memegang lututnya yang masih terlipat. Agaknya hal ini perlu di bahas lebih serius lagi. " Aku tau diri Jack, Oh ayolah carilah wanita lain.. Aku hanya anak tukang kebun. Ya, walaupun nantinya akan menjadi karyawan di sebuah perusahaan, tetap saja itu masih atas uluran tangan keluargamu Jack. Aku tak mau dibilang melunjak dan melebihi batas. "

Dia balas mengusap lembut dan menggenggam tanganku. Tentu hal seperti ini yang pertama kalinya. Walaupun dia mengakui ku sebagai pacarnya di kampus, tapi dia sangat menghormati ku dan menjaga batasan. Aku juga tidak tau apa tujuannya mengaku-ngaku sebagai pacarku. " Ay..., Kamu tau kan keluarga kami bukan keluarga yang seperti itu? Status bukanlah hal utama bagi kami. Kamu lihhat Kak Gino? Dia menikah dengan orang yang biasa saja kan? tanpa status, tanpa Drajat tanpa saham. " Ujarnya yang memang benar semua itu fakta.

Batu kerikil terlempar dan tepat mengenai kepalanya membuatnya meringis dan kemudian mengerang kesal otot-otot lehernya yang sudah siap untuk berteriak. Aku segera kembali mengusap lututnya. Aku tau dia mudah terprovokasi keadaan. " Jangan marah! " Desis ku lalu menenangkannya. Atensinya kembali padaku.

" Hey, ayo latihan!! " Seru beberapa teman-temannya yang sudah berjajar dan membawa bola basket. Ada sparing basket Kali ini, sebenarnya dia memintaku untuk menemaninya tapi kak Lena juga butuh teman.

Berat hati dia meninggalkanku setelah sebelumnya dia mengacak rambutku. Aku hanya bisa terdiam tak membalas selain tersenyum kepadanya. Jika tidak ada senyuman, maka dia akan murka.

...🌷🌷🌷...

Di sebuah Mall.

Aku masih saja setia mendorong kursi rodanya dan berputar-putar mengelilingi Mall ini. Kadang aku mengeluh dalam hati. Dia enak tinggal duduk dan aku mendorongnya kemanapun.

" Kalau kamu lelah, kita berhenti di resto itu ya. " Katanya yang seolah tau keresahanku.

"Ayo! " Sahutku tanpa basa basi. Aku lagi-lagi mendorongnya dengan beberapa kantong belanjaan yang menggantung di handel pendorong. Banyak sekali dia berbelanja, agaknya dia melampiaskan sesuatu.

Kami sampai dan duduk di sebuah meja yang terlihat di sudut resto. " Ini buatmu, ini buatku, ini... buatmu, ini buatku..." Katanya berulang ulang dan membuatku bingung.

" Tumben banyak belanja Kak? biasanya malas keluar?" Tanyaku yang sedang membasahi kerongkonganku dengan jus buah.

Dia tersenyum lalu menatapku teduh dan wajah ayunya mulai sedikit bergerak untuk menjawab. " Ini untukmu! " Tangannya mendorong beberapa kantong belanjaan.

Jujur aku merasa takjub juga kaget. " A... apa? " Aku tak percaya. " Buatku? semua ini? " Malu sangat malu setelah sebelumnya aku berpikiran yang tidak-tidak.

Aku tak enak hati lalu menolaknya perlahan dan menggesernya kembali lebih dekat dengannya duduk. " Aku tidak pantas untuk ini Kak. " Kataku dengan menunduk lesu.

" Apanya yang tidak pantas Ayana? Kamu itu sudah di anggap seperti anak juga di keluarga Bunda... " Tekannya dengan lembut.

" Pakailah ini untuk acara wisudamu nanti. " Ujarnya.

" Tapi ini berlebihan Kak. " Tolak ku halus. Jujur saja aku tak enak hati, percayalah.

Dia kembali tersenyum lalu melihatku dan meraih tanganku. " Jangan menolak atau mengembalikan ini. Atau aku akan marah." Ancamnya dengan wajah yang manis. Siapa yang takut kalau di ancam model begini?

" Ayana, " Panggilnya dan mengalihkan atensiku dari ponsel.

" Apa kak?"

" Kapan kamu memiliki rencana untuk menikah? "

Aku mengambil kembali jusku dan menyeruputnya " Belum ada rencana. Bagaimana nanti saja biarkan jodoh itu yang mengahmpiriku. " Jawabku yang tak mencurigai sesuatu.

Dia tiba-tiba menitikan air matanya. " Boleh aku mengajukan satu calon untukmu? "

Apa maksudnya??

Dia berbicara seperti itu tapi dengan air mata? Aku tidak mengerti pemikiran apa yang ada di kepalanya.

" Kak ada apa? " Aku ikut merasakan kegelisahannya. Terpancar jelas dari matanya ada kesedihan disana.

" Kamu tau aku cacat kan? Aku juga tidak bisa hamil, Aku ingin suamiku bahagia."

" Lalu apa hubungannya denganku kak? "

Dia mendekat dan memelukku hangat. " Bila selesai wisuda nanti, menikahlah dengan suamiku ya? " Ucapnya.

Sukses sudah dia membuat jantungku menggelinding entah kemana. Apa ini? istri melamarkan wanita lain untuk suaminya?? Mengapa ini seperti sinetron?

" Tidak! " Ku urai pelukan kami dengan kasar dan membuat dia sedikit bergeser dari tempatnya.

" Kalau Kakak ada masalah ceritalah padaku, walau aku belum berpengalaman, tapi semoga saja itu bisa membuatmu sedikit merasakan kelegaan. Jangan bicara hal yang tak masuk akal."

Dia menggeleng dan menahan air matanya dengan suara yang bergetar. " Aku tidak bisa memberikan dia keturunan, dia tidak mau menceraikan ku Na. Aku bingung, dia teramat baik padaku. Kadang aku merasa tak pantas bersanding dengan dia. Aku merasa tak sepantasnya kami bersama. Dia begitu tulus dengan cintanya. Tapi apa yang bisa ku berikan? Tidak ada Na, tidak ada!! " Tangisnya kembali pecah dan menggetarkan hatiku.

" Apalagi aku Kak? Sedari bayi merah, aku hidup atas kelapangan hati dan kebaikan mereka semuanya. Lantas apakah pantas aku berpikiran untuk mendapatkan salah satu anaknya? membayangkannya saja aku tak berani Kak. Jangan, tolong jangan aku yang kau seret dalam urusan rumah tanggamu. " Pintaku yang terdengar memelas.

Dia kembali tersenyum lalu mengusap air matanya dari pipinya yang merona " Tapi kamu calon terbaik dari semua wanita yang ku pikirkan. Tolonglah Na, setidaknya sebelum aku berpulang, aku telah memilihkan calon yang baik untuk suamiku. Untuk menjaganya nanti. "

" Apa maksudmu? " Aku melongo tak percaya. Dan dia kini bersimpuh di kakiku. Kami menjadi tontonan banyak orang.

" Dokter memnvonisku tak bisa hidup lebih lama Na. Lalu, apakah aku akan tetap menahannya untuk tetap merawat aku sampai akhir hayatku? Aku ingin melihat senyumnya Na. Selama bersamaku dua tahun ini, tak pernah kulihat senyumnya bersamaku. Hanya bersamamu saat kau kancingkan bajunya aku melihatnya tersenyum."

Apa jadi dia sering melihat canda tawa kami? " Kak Lena slaah paham. Kami tertawa bersama karena membicarakan Jackie, bukan karena kami ada sesuatu." Tepisku bercampur marah karena tuduhannya.

Kubantu dia berdiri dan kembali duduk di kursi rodanya. " Na, pikirkanlah. Ada atau tidak rasamu padanya aku tak apa. Aku bisa terima Na, asalkan wanita itu kamu. " Bergetar suaranya sat mengatakan itu dan membuat dadaku sesak tak karuan.

3. Pernyataannya.

...🌹🌹🌹...

Sepulangnya kami dari Mall, aku masih saja terngiang-ngiang dengan ucapan Kak Lena. Apa niatanya hingga menawarkan sesuatu yang menyesakkan dada seperti itu?

Menyerahkan lelakinya untuk wanita lain? kok bisa?

" Ay.....! " Seru si gigi kelinci memanggilku dari gerbang belakang saat aku sudah siap mengayuh sepedaku.

" Ada apa! " Kesal iya aku memang kesal. Pasti ada lagi ulah jahilnya kali ini.

Langit sudah hampir gelap, aku sedang terburu-buru tapi dia?

Dia memanggilku dan kini hanya berlenggok santai seolah menjadi model brand ternama di panggung catwalk. Huft Jackie...! kau menyebalkan!!

" Cepat...!" Teriakku kesal.

" Sabar! " Sahutnya santai tanpa beban.

" Mau pulang? " Dia menanyaiku lalu duduk di boncengan sepeda milikku.

" Tidak, Mau shopping! " Ketusku. " sudah jelas mau pulang lah lihat langitnya sudah semakin gelap." Aku menunjuk langit senja bercampur mendung.

Dia melongok ke atas lalu dengan sengaja aku menyentil jakunya. Gemas saja melihat dia yang seperti itu. Terkadang gigi kelinci dan juga mata bulatnya membuatku gemas dan ingin melakukan sesuatu padanya. Hanya sesuatu yang melampiaskan kegemasan bukan sesuatu yang menjurus pada otak kotor.

" Kebiasaan! " Dengusnya yang lalu berpegangan pada pinggangku dan menaikkan kakinya di pijakan belakang.

Aku heran tapi ya memang dia terkadang aneh. " Mau apa? Ada apa? " Aku lalu mengayuh sepedaku dengan membonceng raksasa di belangku ini. Dia terlalu besar untuk ukuran sepedaku. Tolonglah! kalau sepedaku bisa mengeluh, sudah pasti dia akan berteriak histeris dan menjerit pilu sekarang.

" Ay..."

" Hem..."

" Dari kecil kita selalu bersama. "

" Iya, lalu? "

" Aku ingin menawarkan sesuatu. " Katanya yang membuatku penasaran.

" Apa? Apa ada pekerjaan baru? " Aku berhenti mengayuh karena dia melingkarkan tangannya di pinggangku. Terasa hangat di sekitarnya juga punggungku karena dia kini menempel di punggungku.

" Iya. " Angguknya dan terasa dari pergerakan yang menempel di punggungku. " Kamu bisa mengurus bayi?"

" Bisa. " Jawabku aku masih berpikir jika semua ini berkaitan dengan pekerjaan.

" Orang tua? " Tanyanya lagi.

" Bisa, aku terbiasa mengurus Ayahku kan? Dan mengurusmu yang sudah seperti bayi besar." jawabku dengan sindiran dengan aku yang mulai terkikik geli mengingat tingkahnya yang seperti bayi besar.

" Serius! " Cicitnya.

" Iya, aku juga serius. Apa kamu lupa betapa manjanya kamu? "

" Maksudku, aku ingin kamu nanti merawat bayi kita dan juga orang tua kita bersama. " Ucapnya lembut.

Aku terdiam dan masih mencerna ucapanya.

" Jackie, bercandamu tidak lucu ya. " Aku meliriknya sekilas lalu kembali mengayuh sepedaku.

Dia semakin mengeratkan pelukannya dan terasa pergerakan bibirnya yang hangat mencium punggungku. " Aku tidak bercanda dan aku serius. Maukah kamu Ayana Jasmine menjadi ibu dari anak-anakku dan Putri dari kedua orang tuaku? " Suara baritonnya membuatku menghentikan pergerakan kakiku dan kami terdiam di jalanan yang lengang.

Aku melihat sekitar dan mengamatinya. " Kamu tidak demam. " Gumamku yang memutar badan lalu memeriksa keningnya.

" Ay, aku sudah mengatakan hal ini berkali kali. Tapi kamu selalu saja menolaknya. Apa kurangnya aku Ay? "

" Jackie, kamu itu tidak memiliki kekurangan. Disini aku yang memiliki banyak kekurangan. Sudahlah jangan di bahas lagi. Aku doakan semoga kamu mendapatkan wanita yang baik sebagai ibu dari anak-anakmu kelak. Dan wanita yang menyayangi dan menghormati kedua orang tuamu. " Kataku yang masih tak percaya dengan telingaku sendiri. Tapi sungguh percayalah jantungku seakan meledak saat mendengarkan pengakuannya. Pipiku? pipiku seperti udang rebus sekarang, terasa panas dan memerah.

" Kamu tau sebulan lagi Papa akan memgirimku kemana?" Dia mulai merenggangkan pelukannya seolah menanti jawabanku.

Aku mengangguk dan kembali mengayuh sepeda lebih kencang. " Iya aku tau, kamu akan ke Italia kan melanjutkan studi?" Sejenak aku berpikir " Lalu apa hubungannya dengan ucapanmu tadi? "

" Berhenti! " Serunya yang mengagetkanku.

Oh ayolah apalagi kali ini? " Ada apa? membuatku kaget saja. " Geramku dengan kaki yang spontan menjaga keseimbangan sepeda yang sudah berhenti.

" Ay, Kam.. kamu benar-benar rela melepasmu pergi sejauh itu? " Ucapnya yang dengan seksama kudengarkan dengan selingan getar suara yang berubah.

Tunggu dulu, dia menangis?

" Hei, ada apa? ada masalah di kampus atau Nyonya atau Tuan memarahimu Kak?" Tanyaku dengan panggilan yang sering ku lontarkan saat dalam suasana hati yang baik.

Tiba-tiba...., Di.... dia memelukku lalu menyembunyikan kepalanya di ceruk leherku lalu berucap dengan suaranya yang bergetar dan serak. " Bisakah, sebelum aku pergi kamu berada di sebelahku menemaniku dan menjadi orang spesial di hatiku?"

Sungguh sakit. Sebenarnya, jika saja status dan strata kita sama, tentu saja tak akan ada penolakan yang terlontar dari bibirku. Tapi kita? kita sangat berbeda Jackie... apa kau tau itu?

Aku hanya bisa membalas pelukannya dengan semakin mengeratkan dan mengusap punggungnya perlahan. Tanpa kusadari, tanganku membelai lembut rambutnya. " Jangan seperti ini Kak, aku jadi ikut sedih. " Aku menangkup wajahnya yang terus tertunduk " Bukankah kita memang berstatus pacaran? Ya, meski hanya pura-pura saja saat di kampus. " Kataku yang semata-mata agar dia merasa lebih baik.

" Aku ingin sesuatu yang nyata Ay... Tahukah kamu sulit bagiku untuk jatuh hati kepada yang lain?" Suaranya masih bergetar dan serak dengan pelupuk mata yang sudah basah. Itu semua menggertakan hatiku.

Harus ku terima atau tidak? Jika aku menolaknya apakah aku tergolong sebagai orang yang tidak tau balas Budi?

Tapi jika menerimanya aku akan tergolong sebagai orang yang tidak tau diri.

" Di sini... hanya ada kamu. Ay...." Dia memohon dan menatapku. Tatapan tulus yang berhasil menembus kalbuku.

Aku mengangguk perlahan dan ikut menitikkan air mataku. Rasa yang bercampur aduk kini kurasakan. Antara tak tau balas Budi atau tak tau diri. Terserahlah bagaimana nanti.

" Sungguh? Kamu sungguh mau?..." Dia mengguncang pundakku seolah tak yakin. Tatapannya kembali berbinar dan membulat membuatku membalasnya dengan seulas senyum manis.

" Iya.... Aku tak tau setelah ini aku akan menjadi apa. Mungkin Dimata mereka nanti aku akan tergolong sebagai orang yang tidak tau diri karena berani menjalin hubungan dengan anak majikan." Ucapku mengutarakan ganjalan dihatiku.

Dia mencium bibirku sekilas lalu memamerkan gigi kelincinya. " Jangan takut akan opini orang lain. Takutlah jika kamu tak bahagia meski kamu terlihat baik-baik saja Dimata mereka. " Dia merapikan anak rambutku dan kecupannya masih membuatku membeku.

" Curang! " Kataku yang menatapnya tak suka " Aku balas ya! " Kataku yang kemudian balas mengecupnya dan membuatnya kembali membulatkan matanya dan membuatku merasa gemas.

Dia menguyel kedua pipiku. " Kamu berani? " Lagi, dia menatapku dengan intens seolah memindai sesuatu dari air mukaku. " Kenapa di kembalikan? tidak suka? "

" Em... em..." Aku menggeleng cepat. " Aku hanya kaget saja, kamu mencuri ciuman pertamaku. "

Dia tertawa renyah dan kembali mendekapku. Kini aku berada dalam dekapan hangat anak majikanku. Sungguh aku adalah anak babu yang tak tau malu. Setelah pernyataannya, aku luluh. Ketulusannya menembus pertahanan terakhirku.

Pernyataannya yang mungkin akan membuatku terbuang setelah ini.

" Lalu kamu membalasnya biar impas? berarti jika aku..."

Pletak!

Kujitak kepalanya yang mulai berpikir kotor. " Awas saja kalau kamu berani Jackie!" Ancamku dengan mata yang menatapnya tajam.

Dia takut?

Oh, tentu tidak. Dia malah menghujani wajahku dengan ciuman. " Ayo balas! " Harapnya dengan wajah meledek. " Ayo... Ay....!" Rengeknya yang kambuh lagi menjadi bayi besar.

" Tidak! " Aku melengos dan berbicara dengan nada ketus.

" Kenapa? "

" Kesenangan kamu nanti. Tidak ah!" Ku lepaskan pelukannya lalu kembali menuju ke sepedaku.

Dia membuntutiku dan menarik kerah bajuku. Aku mirip anak kucing sekarang. " Kamu marah? Ekspresi wajahnya sungguh lucu ketika khawatir seperti ini.

" Tidak, siapa yang marah? Masa iya baru jadian sudah marah. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah Jackie..." penekanan kataku pada namanya membuatnya menautkan kedua alisnya.

" Jangan panggil Jackie. Panggil Sayang. " Pintanya.

Geli sumpah ini menggelikan " Sayang?" ulangku yang tak yakin.

Dia mengangguk antusias dan menunggu pengulanganku. " Aneh ah.. Kalau kamu tidak menyebalkan maka akan ku panggil Sayang. Tapi kalau menyebalkan ya Jackie."

Raut kecewa kembali muncul. " Tak semudah yang kubayangkan." Gumamnya perlahan.

" Sudah sana pulang! " Aku memutar badannya untuk kembali ke rumah besarnya.

" Kitakan sudah jadian, aku mau apel kerumah kamu ah..." Dia berlari kecil lalu mengambil alih sepedaku dan menepuk bagian belakang sadel.

" Ayo! Paman sudah menunggu. Lihat dia menghubungiku!" Dia menunjukkan ponselnya yang menyala tanda panggilan masuk dari ayahku.

Dimana-mana dia anak emas. tidak di rumahnya atau di rumahku. Jika sudah ada dia di rumah, maka aku akan menjadi anak tiri.

Kami pulang bersama dan pernyataan darinya membuatku sadar bahwa selama ini, yang ku rasakan padanya adalah cinta bukan rasa sebatas adik dan kakak yang saling menjaga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!