Gibran Eldan Damareno adalah Ketua geng motor dengan nama Dragster. Gibran memiliki sifat dingin dan cuek.
Ia mempunyai saudara kembar bernama Gisela Cindy Damareno. Adiknya itu tinggal bersama sang Mama dan Papa baru mereka.
Sementara Gibran sendiri, ia memilih tinggal sendiri. Tidak ikut Mama ataupun sang Papa. Orang tuanya memang sudah berpisah sejak ia berumur tiga belas tahun.
Kini kedua orang tuanya sudah mempunyai pasangan hidup masing-masing. Kedua keluarga barunya itu menyayangi ia dan Gisela seperti anak kandung mereka.
Maka dari itu ia bahagia ketika orang tuanya bahagia. Meskipun dengan jalan hidup masing-masing.
Usia Gibran masih 17 tahun, tapi ia sudah bisa memimpin perusahaannya sendiri. Ia menjadi CEO diusianya yang masih terlalu muda. Memimpin perusahaan sekaligus memimpin geng motor.
Sekarang ini Gibran sedang menanda tangani berkas-berkas yang ada di meja kantornya. Ini sudah jam makan siang, tapi Gibran masih sibuk dengan urusan pekerjaannya.
Sampai dering ponsel menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah ponselnya. Tertera nama Marcell di layar ponselnya.
Gibran meletakkan penanya, lalu mengambil ponsel tersebut.
"Halo," ucap Gibran yang pertama mengawali pembicaraan tersebut.
"Lo ada di mana?" tanya orang di seberang sana.
"Kantor," jawab Gibran singkat.
Ia memegang ponsel itu dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya kembali menanda tangani berkas itu sambil membacanya dengan teliti.
"Gue ada di Mansion lo sama Kenzo dan Zidan. Lo cepetan ke sini, ada yang mau gue omongin."
"Ngomong di telfon emangnya nggak bisa? Gue lagi sibuk." Ia berbicara tanpa menghentikan kegiatannya.
Terdengar suara decakan dari seberang sana. "Enggak. Ini penting banget, jadi gue minta lo ke sini sekarang juga!"
"Ck. Oke, gue ke sana sekarang."
Tanpa menunggu balasan dari si penelepon. Gibran langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia memasukkan ponselnya ke saku jasnya. Lalu mengambil kunci mobil dan keluar dari ruangannya.
Saat sampai di parkiran mobil, Gibran melepas jas mahalnya. Masuk ke dalam mobil mewah miliknya, meletakkan jas mahalnya di samping kursi pengemudi. Lalu mengambil jaket kulit di jok belakang dan memakainya.
Jaket kulit dengan lambang Naga yang merupakan jaket khusus milik Anggota Dragster.
Setelah siap, ia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan gedung perusahaan besar miliknya.
...***...
Gibran berjalan angkuh menuju ke dalam Mansion megah miliknya.
Gibran duduk di single sofa. Di depannya sudah ada dua orang sebagai anggota inti Dragster, dan dua orang lagi adalah tamu.
"Apa rencana yang akan kita jalankan? Langsung serang Xevior di markasnya atau bagaimana?" tanya salah satu dari mereka. Zidan Verland Anzelo. Wakil ketua Dragster, sekaligus sahabat dekat Gibran.
Gibran tak langsung menjawab, matanya melirik ke sofa kanan di mana seorang pemuda tampan duduk menyesap nikotinnya. Dia adalah Ketua dari Geng Verlix. Marcell Darwino Affegan nama pemuda itu.
Marcell adalah saudara tiri dari Gibran. Dia adalah anak dari Ayah barunya yang menikah dengan mamanya.
"Kenapa lo nanya gua? Yang punya masalah kan dia," jawab Gibran dingin.
Gibran memang sudah tau tujuan ia disuruh ke sini adalah untuk mendiskusikan tentang penyerangan yang akan mereka lakukan. Sebelum ke sini, Zidan mengiriminya pesan bahwa Marcell ingin meminta bantuan untuk menyerang salah satu Geng motor.
"Jadi gimana?" Zidan beralih menatap Marcell.
Marcell mengedikan bahu acuh. "Gue terserah kalian aja. Intinya lo harus bisa hancurin Geng sampah itu!" ucap Marcell dengan penuh dendam.
"Kenapa nggak lo aja yang hancurin mereka? Lo kan punya pasukan," tanya Gibran heran.
"Ck, tetep aja gua butuh bantuan Geng lo, saudara-ku."
Gibran mendengus mendengar kata saudara-ku keluar dari bibir Marcell.
"Sebenarnya lo ada masalah apa si sama Geng Xevior? Setau gue mereka bukan Geng yang suka nyari masalah," sahut Kenzo Nauval Aldinata. Tangan kanan dan orang kepercayaan Gibran setelah Zidan.
"Ya sebenarnya bukan masalah besar si," ucap Marcell santai.
"Terus kenapa lo sampai dendam banget ke mereka?" tanya Zidan.
"Ketua mereka udah malu-maluin gua di depan umum. Gue nggak terima jadi gue pengen kalian hancurin Geng mereka!" Marcell berucap dengan tangan terkepal erat. Dia sangat dendam dengan Ketua Geng Xevior itu.
Mereka mengangguk-angguk paham. "Oke gue paham. Sekarang lo pergi dari sini, biar ini jadi urusan gue sama yang lain," usir Gibran tanpa basa basi.
Marcell berdehem, lalu bangkit diikuti oleh Dimas Risky Sanjaya. Wakil-nya.
"Ya udah gue serahin ini semua ke lo," ujar Marcell menepuk bahu Gibran. Lalu menoleh ke arah Dimas.
"Ayo kita pergi, Dimas."
Dimas mengangguk, lalu pergi mengikuti Marcell.
Beberapa langkah kemudian Marcell berhenti dan berbalik, "oh ya, Gisel pengen ketemu sama lo. Katanya dia kangen," ucap Marcell kepada Gibran.
"Bilang ke Gisel suruh temuin gue di tempat biasanya besok siang," balas Gibran tanpa menatap balik Marcell.
"Oke."
Marcell kembali melangkah pergi dengan Dimas.
"Jadi gimana, Gib?" tanya Kenzo.
"Panggil semua anggota Dragster, suruh kumpul di Markas utama nanti malam. Dan soal rencana biar itu jadi urusan gua," perintah Gibran menyenderkan tubuhnya.
Zidan dan Kenzo mengangguk paham.
...[][][]...
Seorang gadis cantik dengan wajah polos nan menggemaskan sedang menyeret koper besarnya. Di punggungnya ada sebuah tas kecil berwarna pink yang imut. Gadis kecil itu bernama Geisya Aurelia Zibrano. Gadis yang baru genap berumu 13 tahun itu tampaknya sedang mencari alamat.
Terlihat di tangannya ada kertas berisikan sebuah alamat Rumah seseorang.
"Tinggal lewat gang ini, terus sampai deh," gumam Geisya dengan girang.
Ia semakin mempercepat langkahnya. Sedikit kesusahan karena membawa banyak barang selain koper. Yaitu sebuah boneka dengan ukuran besar berbentuk love berwarna merah yang ada di antara apitan lengan kirinya.
Geisya menghentikan langkahnya ketika sudah sampai di depan gerbang sebuah Mansion mewah yang ia cari sejak tadi.
"Akhirnya sampai juga!!" seru Geisya senang dan melepas pegangannya dari gagang koper.
Ia mengangkat boneka love itu. "Tasya, liat nih. Ini rumahnya Geisya loh. Bagus kan!!" pamernya pada boneka yang diberi nama Tasya tersebut.
Ia menggerakkan kepala Tasya seolah boneka itu membalas dengan anggukan kepala. Geisya terkikik sendiri akan tingkahnya.
Lalu ia kembali menyeret kopernya untuk masuk ke dalam sana. "Pak! Bukain gerbang istananya dong!! Princess udah sampai nih!!" teriak Geisya dari luar gerbang.
Pak satpam yang sedang tidur telonjak kaget mendengar teriakan seorang gadis dari luar gerbang. Ia keluar dari posnya lalu berlari menuju gerbang untuk membukakan gerbang tersebut.
"Loh, Neng Geisya kok bisa ada di sini?" tanya satpam itu terkejut.
Geisya menampilkan wajah polos. "Emangnya kenapa? Geisya dari lahir kan udah di sini, bukan di planet Mars," balasnya polos.
"Bukan gitu neng, maksud saya---"
"Geisya masuk dulu ya, Pak! Makasih udah bukain pintunya. Daaa..."
Geisya berlari masuk ke dalam sambil menyeret kopernya dengan susah payah. Ia sudah terlalu rindu kepada semuanya. Apalagi kakaknya.
Sedangkan satpam tadi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah nona mudanya yang masih sama.
"Nggak pernah berubah ternyata. Masih sama lucunya kayak dulu."
Satpam itu terkekeh kecil. Lalu menutup pintu gerbangnya lagi, tak lupa menguncinya juga. Kemudian ia kembali ke dalam posnya untuk melanjutkan acara tidur siangnya.
Bersambung...
Geisya mengetuk pintu bercat putih di depannya. Padahal di sampingnya ada bel, tapi memang dasarnya Geisya itu gadis yang berpikiran terlalu ribet dan aneh. Jadi lebih memilih mengetuk pintu dari pada membunyikan bel rumah.
"Tok, tok, tok." Geisya menirukan bunyi ketukan tangannya di pintu.
"Kenapa lama banget si bukanya?" Dia mulai kesal sekarang.
"Tok, tok, tok. Assalamualaikum!!!" Geisya berteriak dengan keras. Berharap bahwa Mama atau orang yang di dalam mendengar.
Namun, tetap saja pintu itu tak terbuka. Harusnya Geisya sadar, bahwa ini bukanlah Rumah kecil yang tinggal tok, tok, tok orangnya langsung dengar. Tapi ini adalah Mansion yang besarnya nggak main-main!
Mau teriak sekencang mungkin nggak bakal ada yang denger! Ngetuk pintu sekeras apapun juga orang di dalam nggak akan keganggu. Orang mereka nggak denger, kecuali kalau nggak sengaja lewat di depan pintu!
Itu sebabnya para rumah orang kaya selalu ada belnya.
"Masuk aja deh." Geisya membuka pintu itu sedikit. Tapi kemudian berhenti dan kembali menutupnya. "Eh, tapi kalo Geisya langsung masuk sopan apa nggak ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
"Tapi ini kan rumahnya Papa Geisya. Jadi kalo Geisya nerobos masuk itu masih dalam ajaran sopan kan ya?" ucap Geisya polos.
"Dahlah trobos aja. Biasanya juga Geisya suka nerobos masuk rumah orang tapi nggak ngerasa bersalah tuh. Masa nerobos rumah sendiri dibilang nggak sopan? Kan nggak adil namanya," cerocos Geisya membuka pintu dengan kasar dan langsung berlari menuju ke dalam sambil menyeret kopernya.
"BANG VANO!!!"
Dia berteriak memanggil seorang pemuda dengan tubuh atletis yang sedang minum air dingin. Pemuda yang dipanggil Bang Vano, atau dengan nama lengkap Gevano Ananda Zibrano itu terbatuk hebat mendengar teriakan kencang dari Geisya. Matanya menatap tajam Geisya yang menyengir tak bersalah.
"Heheh, sorry, Bang!" Geisya menyengir sambil memberikan tanda peace.
"Dasar mulut toa! Pulang-pulang bukannya ucap salam malah teriak-teriak nggak jelas!" dengus Gevano dengan kesal.
Geisya menunduk dengan raut wajah bersalah. "Maaf, Bang! Lain kali Geisya sering-sering deh teriaknya. Biar Bang Vano kesedak, terus mati. HAHAHAH!!"
"BANGSAT!!"
"ABANG MULUTNYA!!!"
"MAAF, MA!!!"
Gadis itu berlari sambil tertawa. Dia berlari menuju ke arah papanya yang duduk di sofa sambil geleng-geleng kepala.
"Papa, Bang Vano tuh... nakal..." rengek Geisya manja.
Pria paruh baya dengan nama Rey Ardian Zibrano itu menatap anak gadisnya dengan alis terangkat sebelah, "kamu duluan yang mulai." Dia berujar sambil menyesap kopinya dengan tenang.
Geisya cemberut, lalu matanya menatap atensi sang Mama yang sedang berjalan berdampingan dengan seorang gadis cantik bertubuh mungil sambil membawa nampan berisi beberapa makanan ringan dan minuman.
"Mama---"
"Diem!"
Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tak muda lagi itu menyela rengekan putrinya. Dia masih sedikit sebal dengan anak gadisnya itu. Bagaimana bisa gadis itu pulang ke Jakarta sendirian tanpa mengabari satu pun orang di sini?
Geisya mendengus kesal. Dia semakin sebal saja Kenapa tidak ada yang membelanya! Dia ini baru pulang dari Rumah Kakek dan Nenek nya yang berada di Yogyakarta.
Tapi kenapa keluarganya tidak menyambutnya suka cita! Seolah dia ini anak yang tak diharapkan pulang. Geisya ingin menangis.
"Kenapa nggak ada yang belain Geisya sih!" kata Geisya dengan kesal.
"Mana mau Mama belain gadis nakal kayak kamu ini! Pulang ke Jakarta nggak ngasih kabar siapa-siapa! Untung aja Nenek kamu nelfon Mama! Coba kalau enggak?! Bisa beneran jantungan Mama kalau tau kamu tiba-tiba dateng ke sini sendirian tanpa ngasih kabar!" omel wanita berumur tiga puluh enam tahun tersebut.
Wanita yang menjadi Ibu dari dua itu tidak lah marah dengan putrinya. Dia hanya merasa khawatir saja. Bagaimana jika putrinya mengalami sesuatu di jalan? Dirampok misalnya. Siapa yang susah? Tentu saja dia ikut repot.
Ibu mana yang tidak cemas jika terjadi sesuatu pada putrinya. Apalagi Geisya ini masih berumur tiga belas tahun!
"Maaf, Mama," ucap Geisya penuh sesal.
Wanita dengan nama lengkap Kiara Dewi Erdogan itu menghembuskan nafas lelah. Dia menepuk kepala putrinya, "ya udah nggak papa. Yang penting sekarang kamu baik-baik aja Mama udah bersyukur."
Geisya tersenyum ceria menatap wajah cantik sang Mama. Matanya beralih menatap gadis mungil yang duduk anteng sambil meminum tehnya dengan tenang.
"Kak Zila, Bang Arga mana?"
Gadis yang dipanggil Zila atau lebih tepatnya Arzila Kanaya Megantara itu mendongak menatap Geisya. "Dia lagi nganterin ceweknya pulang. Bentar lagi pasti ke sini," jawabnya meletakkan tehnya di atas meja.
Arzila adalah Kakak perempuan dari Arga. Dia langsung ke sini begitu Mama Kiara bilang bahwa Geisya akan datang. Dia begitu merindukan sepupu perempuannya itu.
Zila sudah berumur sembilan belas tahun. Dia merupakan seorang Mahasiswi di Universitas Gunadarma Jakarta Selatan. Namun banyak yang mengira bahwa ia masihlah gadis SMA karena wajah Baby face-nya. Didukung pula dengan tubuhnya yang mungil. Dan tingkahnya yang kadang seperti anak kecil.
Gevano datang dari arah dapur. Dia duduk di samping sang Mama. Mencomot makanan yang disediakan oleh sang Bunda di atas meja.
"Eh, Bang. Katanya Bang Vano udah punya cewek ya?" tanya Geisya antusias. Dia sangat senang saat mendengar Kakak laki-lakinya itu punya kekasih.
Gevano hanya menanggapi dengan anggukan kepala.
"Nanti kenalin ke Geisya dong, Bang!!" pintanya semangat.
Gevano melirik adiknya, "kenapa gue harus kenalin cewek gue ke lo?"
"Ya karena Geisya adek Abang! Geisya juga pengen kenal lebih deket sama calon Kakak Ipar, heheh."
"Hmm. Kapan-kapan gue ajak lo ketemu sama dia."
"Besok aja, Bang! Gimana?!"
"Liat besok aja. Takutnya gue sibuk."
"Sibuk apa'an?"
"Bocil nggak perlu tau!" sarkas Gevano.
"Dih, sok sibuk!" cibir Geisya.
"Dan Geisya bukan bocil! Umur Geisya udah genap tiga belas tahun!" sinis Geisya.
"Tetep aja lo bocil," ejek Gevano.
"Ih bukan!! Dibilangin bukan bocil!!"
"Kalau bukan bocil apa? Bocah?"
"Abang!!!"
"Apa, cil?"
Rey dan Kiara pusing melihat kelakuan kedua anaknya. Selalu seperti ini. Jika tidak bertemu mereka rindu. Tapi giliran ketemu bukannya melepas rindu malah berdebat terus.
Sedangkan Arzila sudah pergi dari sana menuju ke halaman belakang untuk memetik bunga. Dia tidak ingin mendengar perdebatan adik kakak itu. Bisa pengang kupingnya lama-lama di sana. Jadi lebih baik menghindar saja.
Setelah perdebatan singkat itu, Geisya masuk ke dalam kamarnya yang didominasi oleh warna biru muda. Warna favoritnya.
"Huweee akhirnya Geisya bisa tidur di kamar ini lagi... Sungguh Adinda rindu dengan kasur hangat ini," ucapnya dramatis.
Dia memeluk lemari, meja belajar, pintu kamar mandi, bantal, guling, dan satu persatu boneka BT21 yang ia koleksi. Dan yang terakhir ia memeluk selimutnya sambil berguling-guling di atas kasur.
"Uhh, nyamannya."
"Kayaknya tidur siang enak. Hihihi," kikiknya.
"Eh, tapi Geisya belum mandi."
Ia mencium bau badannya sendiri. "Asem."
Geisya meringis jijik merasakan bau badannya yang bercampur keringat.
"Geisya mandi dulu deh. Terus tidur."
Geisya mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Bersambung...
Geisya sekarang ada di kamar Gevano. Ia duduk di ranjang sambil memandang polos sang Kakak yang tengah uring-uringan di kamarnya. Gadis itu tidak tau penyebab sang kakak marah sampai seperti ini. Tapi yang pasti dia sedikit terhibur melihat Gevano uring-uringan, hehe.
"Sialan! Gadis itu emang bikin gua darah tinggi terus!" geram Gevano dengan tangan terkepal.
"Nyam... nyam... nyam..."
Gadis kecil itu sengaja mengunyah makanan dengan suara yang dibuat-buat. Tujuannya supaya ikut meramaikan kamar kakaknya. Jika kakaknya saja sejak tadi sibuk mengomel dan berisik sendiri. Mengapa ia tidak?
Gevano menatap gadis itu tajam. "Bisa diem nggak si lo?!" kesal pemuda itu.
Mata Geisya mengerjap, "Bang Vano ngomong sama Geisya?" tanyanya dengan tampang polos.
Gevano berdecak melihatnya, "emang siapa lagi kalau bukan lo! Dari tadi kan lo makan berisik!" ketus Gevano.
Kepala Geisya mengangguk-angguk. "Geisya kira Bang Vano ngomong sama diri sendiri. Soalnya dari tadi yang aku denger Abang paling berisik. Ngomel-ngomel sendiri kayak orang stres."
Geisya berucap dengan santainya. Bahkan dia sempat-sempatnya tersenyum lugu ke arah sang Kakak yang darahnya sudah mendidih seperti lava.
"Keluar lo!!" bentak Gevano menunjuk ke arah pintu.
"Jangan marah-marah terus, Bang. Entar cepet tua, terus nggak ada yang mau loh sama Bang Vano. Emang mau jadi perjaka tua?" tanya Geisya dengan tampang meledek.
"KELUAR!!"
"HUAAA MAMA!! PAPA!!! SETANNYA BANG VANO UDAH BALIK!! AYO KITA BAWA KE MEKKAH BIAR SETANNYA DIKURUNG!! SEKALIAN SAMA ORANGNYA!!!"
"GEISYAA!!"
"CANTIK JELITA KEMBARANNYA SELENA GEMES!!"
"GOMEZ! BUKAN GEMES!"
"BIAR BEDA DARI YANG LAEN!!"
Setelah berkata begitu Geisya keluar dari kamar Gevano dengan tawa menggelegar. Sedangkan Gevano sendiri mencoba menahan emosinya. Menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan.
"Kenapa gua bisa punya adek otak miring kayak dia si!!"
...***...
Keesokan paginya Gevano turun dengan wajah datar. Aura dingin menguar di tubuhnya. Kiara dan Rey saling berpandangan. Ada apa dengan putra sulung mereka itu?
"Vano, kamu kenapa?" tanya sang Mama dengan lembut begitu Gevano duduk di samping Geisya berhadapan dengan Rey, ayahnya.
"Nggak papa, Ma," jawab Gevano singkat.
Tak ingin bertanya lebih lanjut, Kiara segera menghidangkan makanan untuk suami dan kedua anaknya.
Beberapa saat kemudian Gevano berdiri. "Vano berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Loh, Vano itu sarapan kamu belum habis, Nak!" teriak Kiara langsung bangkit begitu melihat Gevano melenggang pergi.
Dia berteriak tapi Gevano sudah berangkat dengan mobil sportnya. Rey pun menyuruh Kiara untuk duduk.
"Udah lah, biarin aja. Percuma kamu teriak, Gevan udah berangkat."
Kiara menoleh ke arah Rey dengan raut wajah cemas.
"Tapi Rey, Vano cuma makan sedikit."
"Nanti dia pasti makan di kantin, Sayang. Kamu jangan cemas," ucap Rey menenangkan.
"Gimana nggak cemas, Gevano pagi-pagi auranya udah suram aja. Sarapan juga nggak dihabisin. Ya aku sebagai ibunya nggak mungkin nggak cemas, Rey!"
"Iya aku ngerti. Mungkin suasana hatinya sedang buruk."
Kiara terdiam, lalu matanya menatap ke arah sang anak gadisnya. "Kamu semalem ribut sama Abang kamu kan?"
Geisya mendongak menatap sang Mama. Kemudian mengangguk. "Kamu tau kenapa Abang kamu marah? Nggak mungkin kan cuma gara-gara kalian debat?"
Otak Geisya mencoba mengingat sesuatu yang mungkin penyebab aura sang Kakak pagi ini buruk. Setelah mengingatnya kepalanya ia angguk-anggukan.
"Geisya inget, Ma."
"Apa?"
"Apanya yang apa?" tanya Geisya polos.
Rey mendengus. Anak gadisnya ini memang otaknya kadang lemot kadang pintar. Entah keturunan siapa. Padahal IQ-nya sangat lah tinggi. Dan itu diwariskan ke dalam otak Gevano. Tapi kenapa tidak menurun kepada anak gadisnya? Apa ini termasuk gen dari istrinya ya?
Hmm, bisa jadi sih. Soalnya Kiara dulu juga kadang-kadang lemot sewaktu berpacaran dengan dirinya. Ups. Jangan bilang-bilang Kiara ya? Nanti istrinya marah! Terus suruh dia tidur di luar kamar lagi.
"Kamu inget apa, Sayang?" tanya Kiara mencoba sabar.
"Oh itu! Semalem sebelum Geisya sama Bang Vano berantem. Abang marah-marah, Bun. Setau Geisya Bang Vano marah karena pacarnya nggak ngasih kabar ke dia," jelasnya.
Kiara sedang memproses perkataan Geisya. Setelahnya dia mendengus. Hanya karena itu Gevano marah hingga suasana hatinya memburuk?!
Ini mengingatkannya tentang kisahnya bersama Rey. Sifat Gevano sungguh persis seperti Rey! Saat dirinya tidak memberi kabar, Rey pasti marah. Lalu mendatangi rumahnya. Dan menanyakan alasan kenapa tidak menghubungi dirinya.
Hah, kasihan sekali gadis yang menjadi kekasih putranya itu. Pasti sangat tertekan sekarang. Kiara hanya berharap gadis itu kuat menghadapi sifat Gevano yang terlalu berlebihan dan posesif sama seperti ayahnya.
...***...
Gibran berjalan mendekati seorang gadis berambut sebahu yang sedang memandang ke arah danau. Dia duduk di samping gadis itu.
Gadis berambut sebahu itu menoleh lalu tersenyum manis. Gibran membalas senyum gadis itu. Dia merentangkan tangannya memberi kode untuk memeluknya yang disambut dengan senang hati oleh gadis itu.
"Gua kangen sama lo, Eldan!" pekik gadis itu yang tak lain adalah saudari kembar Gibran. Gisela Cindy Damareno.
"Gua juga kangen sama lo, Cindy," balas Gibran mengecup pucuk kepala kembarannya.
Mereka melepas pelukan itu.
"Gimana kabar lo?" tanya Gibran kepada kembarannya itu.
Gisela tersenyum manis. Senyum yang jarang ia tunjukan dihadapan orang asing dan lebih sering memasang wajah dingin nan acuh.
"Kabar gue baik. Kalau lo?"
"Ya seperti yang lo liat sekarang."
Gisela mengangguk paham. Tidak ada percakapan lagi diantara kedua saudara kembar itu. Sampai akhirnya Gibran kembali berucap.
"Kabar Mama gimana?"
"Mama baik."
"Lo nggak mau ketemu, Mama? Dia kangen sama lo, Eldan." Gisela menatap Gibran penuh harap. Dia berharap Gibran mau bertemu Ibu mereka. Karena Wanita itu begitu rindu pada Gibran.
Tapi pemuda itu sulit untuk ditemui. Ibu mereka jadi berpikir bahwa Gibran membencinya. Padahal tidak. Dia hanya sedang sibuk mengurus suatu masalah.
"Kapan-kapan aja."
"Gimana kalau sekarang aja?" tanya Gisela.
"Gua nggak bisa. Gua masih ada urusan. Maaf."
Gisela menghela nafas, dia mengangguk mencoba memahami saudara kembarnya. Dia tersenyum manis ke arah Gibran. "Nggak papa. Gua ngerti, Mama pasti ikut ngerti juga kok."
"Dan gua doain semoga urusan lo bisa cepet selesai! Gua tau kok gimana sibuknya seorang CEO Muda kayak lo," goda Gisela.
Oh, Gibran memang seorang CEO diusianya yang baru memasuki tujuh belas tahun. Dia mengembangkan perusahaan itu sendiri tanpa campur tangan orang lain, termasuk kedua orang tuanya.
Saat itu usianya masih berumur lima belas tahun. Dia sebenarnya tidak terlalu yakin bisa mengembangkan perusahaan itu sendirian. Tapi dengan dukungan dari Gisela. Gibran jadi semangat dan berhasil mengembangkan perusahaan itu di Italia. Perusahaan pertama yang ia bangun.
Gibran berdecak, dia paling tidak suka digoda seperti ini oleh orang lain. Apalagi oleh saudara kembarnya.
"Udah gua bilang, jangan panggil gua kayak gitu! Gua nggak suka, Cindy!"
Melihat raut kesal di wajah Gibran, Gisela malah terkekeh. "Ya udah gua minta maaf deh. Nggak akan gua ulangi lagi!"
Gibran membalas dengan deheman. "Jangan marah, Eldan... Entar gantengnya luntur loh..." rayu Gisela.
"Iya Cindy yang cantik... Eldan nggak marah kok," balas Gibran tersenyum.
Gisela tertawa kecil. Jika dihadapan orang lain maka mereka akan dipanggil Gibran dan Gisela. Jika sedang berdua mereka akan memanggil dengan nama tengah mereka. Karena tidak boleh ada yang memanggil nama itu selain mereka sendiri.
Kedua saudara itu menghabiskan waktu singkat mereka dengan banyak bercerita dan tertawa bersama. Jarang-jarang keduanya bisa tertawa di depan orang lain. Hanya dengan saudara kembarnya lah mereka bisa mengerti satu sama lain dan tertawa bahagia dengan lepas.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!