Di tengah keheningan malam seorang wanita cantik nampak membuka kelopak matanya di sela-sela tidur yang tak begitu terasa nyaman.
Surai rambut hitamnya ikut bergelantungan saat ia bangkit dari ranjang empuk tersebut.
Pandangannya kian tertuju ke samping saat melihat ranjang di sebelah nya masih kosong tak terisi.
Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi sang suami masih belum datang juga.
Marisa menghembuskan nafas berat, lagi-lagi kedinginan malam menerpa dirinya.
Sudah delapan tahun ia selalu seperti ini, terikat dengan yang tak pasti.
Tubuh berkulit putih itu tak pernah lagi merasakan sentuhan dan pelukan dari orang terkasih.
Bahkan di saat mereka sudah mempunyai buah hati lelaki itu masih saja mengacuhkan dirinya.
Apa yang salah dari wanita tak berdosa ini? Kesedihan tak pernah surut melanda Marisa.
Ia tahu dirinya memang tak penting bagi sang suami, namun salahkan jika dirinya berharap lebih??
Persahabatan orang tua membuat Marisa tak bisa berbuat apa-apa, wasiat dari mendiang mertuanya selalu membayang bayangi Marisa tatkala dirinya berpikir untuk berpisah.
Sang Putra Devano pun menjadi salah satu alasan penting dirinya terus bertahan.
Perlahan telapak kaki Marisa menyentuh dinginnya keramik lantai, ia bangkit dan berjalan keluar kamar.
Tanpa alas kaki Marisa berjalan menuruni anak tangga hingga ia berhenti tepat di sebuah pintu, yang tak lain adalah kamar Devano.
Jari lentik Marisa mulai memutar handel pintu dan masuk ke dalam ruangan ber cat biru tersebut.
Dilihatnya sang anak yang tengah tidur dengan sangat pulas, membuat Marisa tersenyum dibuatnya.
Marisa duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut Devano, rasa sayang pada lelaki kecil ini membuat Marisa beberapa kali menurunkan ego serta harapannya.
Tak dipungkiri jika suatu saat dirinya memilih untuk berpisah maka Devano juga akan menjadi salah satu hal yang mereka rebutkan.
Ia takut tak bisa bertemu lagi dengan sang buah hati, bagaimana pun Devano adalah harta yang paling berharga dalam hidup Marisa.
"Mamah mencintaimu, nak" Lirih Marisa diiringi dengan sebuah kecupan.
Dengan hati-hati Marisa membaringkan tubuhnya di samping Devano sembari memeluk anak lelakinya.
Malam ini Marisa tidak ingin tidur sendirian, setidaknya tidur bersama sang anak membuat Marisa sedikit melupakan kesedihan.
***
Pukul dua dini hari dimana orang-orang sudah terlelap ke alam mimpi, Galvin justru baru pulang dengan pakaian kerja yang masih melekat rapi di tubuhnya.
Tak ada kantung mata layaknya seseorang yang lembur pada umumnya.
Lelaki itu seolah sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan hingga pagi menjelang, badannya pun masih terlihat segar meski sedikit lesu.
Saat ia membuka pintu kamar Galvin tak mendapati keberadaan Marisa.
Kedua alis pria tersebut mengerut saat merasakan sesuatu yang aneh.
Ia pun masuk dan berjalan ke arah kamar mandi, namun Galvin tetap tak menemukan sesosok yang selalu tertidur kala dirinya pulang.
Galvin lalu kembali keluar dari kamar dan terhenti di kamar Devano.
Sebelum ia membuka pintu tersebut, Galvin sejenak memandang benda itu dan menebak apakah Marisa ada didalam sana atau tidak.
Namun instingnya semakin kuat dan membenarkan jika Marisa ada di kamar sang Putra.
Sepelan mungkin Galvin membuka pintu tersebut, dan saat pintu sudah terbuka netra matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang tengah memeluk Devano dengan nyaman.
Galvin memandang kedua manusia itu dengan wajah datar seperti biasa.
Tak ingin mengganggu kenyamanan mereka Galvin pun menutup pintu dan kembali ke dalam kamar.
Setelah membersihkan diri Galvin tak langsung tertidur di ranjang yang seharusnya sudah dari tadi ia tempati.
Pria berpostur tubuh besar itu justru duduk di kursi yang berada di balkon kamar tanpa merasa kedinginan sedikitpun.
Ia mengeluarkan sebatang rokok dari balik saku celana dan menyalakan nya.
Dihisappnya rokok tersebut dengan pandangan kosong ke arah depan.
Hembusan angin malam yang menerpa tak membuat Galvin ingin beranjak sedikitpun.
Hanya asap rokok yang menemani kesunyian seorang Galvin Emerson.
Beginilah setiap hari yang ia lakukan, menjadi seorang CEO dari sebuah perusahaan otomotif membuat fokusnya selalu tertuju pada perkembangan kantor.
Amanat dari mendiang Ayahnya untuk meneruskan perusahaan itu membuat Galvin seakan tergila-gila untuk membuat perusahaan keluarga melesat hingga ke cabang internasional.
Bahkan tanpa Galvin sadari perbuatannya malah merugikan dua orang manusia yang selalu menunggu kehadirannya.
Jika ditanya soal asmara Galvin tak pernah mau ambil pusing, dari awal ia memang sudah tau akan dijodohkan oleh Marisa, anak sahabat Ayahnya.
Hingga disaat sakit, sang Ayah mempunyai keinginan memiliki seorang cucu, hingga hadirlah Devano dan beberapa minggu setelah lahirnya Devano sang Ayah pun meninggal dunia.
Semenjak itu Galvin tak pernah lagi menoleh pada Marisa, berbicara apalagi menyentuh pun sudah tak pernah Galvin lakukan.
Fokusnya hanya pada perusahaan dan Devano, itu pun hanya sekedar membiayai dan melihat perkembangan sang buah hati tanpa melakukan pengorbanan lebih.
Sampai delapan tahun kemudian kedua pasangan suami istri tersebut sibuk dengan aktivitas nya masing-masing, tanpa memikirkan hubungan mereka ke depannya.
Marisa yang sudah merasa lelah hanya bisa pasrah dan mengikuti alur yang ada, berharap ada secelah kebahagiaan untuk dirinya tanpa melibatkan anak dan sang suami.
Namun meski begitu, Marisa tak pernah melupakan tanggungjawab nya sebagai seorang istri maupun Ibu dalam keluarga kecilnya.
Galvin sendiri masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan, setahunya hidup manusia hanya untuk mengejar cita-cita, menikah, dan memiliki anak untuk masa depan.
Selebihnya Galvin tak pernah memikirkan hal lain.
Hembusan asap rokok semakin menutupi arah pandang Galvin, hingga tanpa terasa batang rokok itu semakin habis dan memendek.
Galvin pun membuang putung rokok tersebut ke dalam asbak lalu masuk ke dalam kamar.
Di rebahkan nya tubuh besar itu di atas kasur empuk berukuran king size.
Tapi mata itu tak kunjung terpejam, Galvin merasakan sesuatu yang tak biasa saat ia membaringkan tubuhnya di ranjang.
Mungkinkah ketiadaan Marisa sudah membuat Galvin tanpa sadar terikat dengan sosok wanita itu.
Kepala Galvin menoleh ke samping, ranjang kosong di sisinya membuat hembusan angin kian menerpa dari kedua sudut kanan dan kiri.
Selama ini Galvin masih tidak tau bagaimana perasaannya terhadap Marisa, pertama kali berhubungan intiim pun Galvin melakukannya karna ingin mewujudkan keinginan orang tua untuk memberinya seorang cucu, itupun Galvin lakukan hanya sekali seumur hidupnya.
Bagusnya Marisa langsung hamil sehingga membuat Galvin berpikir tidak perlu lagi melakukan hubungan seperti itu, padahal hal seperti itu sangat penting dalam sebuah hubungan rumah tangga.
Jika ditanya soal perhatian dari dulu Galvin memang tidak pernah memberi perhatian nya, entah karna canggung atau memang ia tak peduli.
Tetapi ia selalu memenuhi kebutuhan lahir untuk istri dan anaknya.
Entah mau dibawa hubungan mereka ini, tetapi untuk urusan rumah tangga sudah sangat sering Galvin lupakan. Apalagi pada Marisa, Galvin rasa Marisa juga merasakan hal yang sama.
Buktinya, Marisa tidak pernah protes akan kehidupan mereka yang datar datar saja.
•
•
•
•
Hai Para Pencinta Novel 😃 👋
Kaget Gak Nih Mamie Bikin Novel Baru???
Selamat Membaca Karya Mamie Lagi Ya😆
Semoga Kalian Suka dan Setia Menunggu Update Novel Ini😊
Tetap Pantengin Terus Ya, Sobat 😍
Pagi pun menjelang...
Devano dan Galvin terlihat sudah duduk rapi di kursi meja makan, para pembantu sudah menyiapkan beberapa menu hidangan untuk majikannya.
Marisa yang baru saja membersihkan diri nampak menuruni anak tangga dan berjalan menuju meja makan.
Marisa berjalan dengan sangat anggun disertai penampilan Marisa yang selalu tampil modis dan terkesan seksi membuat para wanita yang hendak mendekati Galvin di luaran sana mundur secara perlahan-lahan.
Tetapi secantik dan se elegan apapun Marisa Galvin tetap tak pernah menyadari itu.
"Selamat pagi semua" Sapa Marisa.
"Pagi mamah" Balas Devano dengan riang.
Namun berbeda dengan Galvin yang terlibat acuh dan sibuk untuk mengambil makanannya ke atas piring.
Marisa tersenyum getir melihat sikap Galvin, ia menghela nafas panjang dan memilih duduk di samping Devano.
"Mah Devano ingin daging ayamnya" Tunjuk bocah kecil itu pada salah satu hidangan.
Marisa pun membantu mengambilkan makanan yang diinginkan Devano kemudian barulah Marisa mengambil santapan untuk dirinya sendiri.
Mereka bertiga pun memakan sarapannya dengan tenang dan penuh keheningan, tidak ada yang mengeluarkan suara dari mulut Devano, Marisa maupun Galvin.
Setelah selesai sarapan Marisa kemudian membawa tas sekolah Devano yang sudah ia masukan bekal serta alat-alat belajar.
Pak supir yang mengantar Devano ke sekolah pun sudah siap sedari tadi menunggu bocah kecil itu di halaman rumah.
"Hati-hati sayang, belajar dengan tekun turuti apa yang Ibu dan Bapak guru perintahkan" Ucap Marisa menasihati sang anak.
Devano mengangguk cepat "Baik, mah. Devano berangkat dulu" Tangan mungil itu menggenggam lengan Ibunya dan mengecup lembut di bagian punggung tangan.
Marisa pun mencium pipi kanan dan kiri Devano sebelum akhirnya Devano berangkat ke sekolah. Mereka pun saling melambaikan tangan hingga mobil hitam itu tak lagi terlihat.
Tak lama Galvin pun keluar dari rumah hendak berangkat ke kantor.
Dari jarak yang lumayan dekat Marisa terlihat memandang sang suami dengan tatapan sayu.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Galvin, Marisa terlalu malu untuk mendekat. Bahkan untuk mencium tangan seperti istri pada umumnya saja Marisa seakan tidak sanggup melakukannya.
Bukan karna tak ingin, namun ia merasa tidak pantas. Padahal statusnya adalah istri sah di mata hukum maupun agama. Sungguh ironi!
Lelaki itu masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya tanpa menoleh sedikitpun pada Marisa yang setia berdiri di sana.
Marisa memandang mobil itu dengan rasa sakit yang mendalam.
Meski setiap hari hal ini selalu terjadi entah kenapa rasanya masih tetap perih di hati.
"Sudahlah Marisa, biarkan saja" Ujarnya pada diri sendiri.
Marisa lalu kembali ke dalam rumah untuk mengambil tas dan berangkat ke cafe yang ia miliki di pusat Ibukota.
Bukan hanya sebagai Ibu rumah tangga, Marisa juga rupanya seorang wanita karier yang mempunyai beberapa bisnis salah satunya adalah sebuah cafe yang menyediakan beberapa jenis kue dan roti khas resep buatan Marisa sendiri.
Wanita cantik bertubuh proposional tersebut masuk ke dalam mobil berwarna merah yang baru beberapa tahun ini menemaninya berangkat kemana pun ia pergi.
Dengan mandiri ia menyetir mobil itu tanpa didampingi oleh supir.
Sekitar tiga puluh menit mobil Marisa terparkir di cafe miliknya yang sudah di gandrungi banyak pengunjung.
Langkah kakinya membelah beberapa orang yang berdiri di dalam tempat makan tersebut.
Para pegawai yang melihat kedatangan boss nya lantas menyapa Marisa penuh keramahan.
"Selamat pagi, Nyonya" Sapa beberapa pegawai.
"Selamat pagi juga, bagaimana keadaan cafe hari ini? Apa semuanya baik-baik saja?" Tanya Marisa.
"Semuanya baik-baik saja Nyonya, oh iya Nyonya ingin saya buatkan apa?" Tanya salah satu pegawai yang bernama Karin.
"Tolong buatkan aku teh hangat ya Karin, aku sedikit kurang enak badan pagi ini" Pinta Marisa.
"Baik Nyonya, segera saya siapkan" Marisa mengangguk dan masuk ke dalam ruangan pribadinya.
Di hempaskan nya tubuh Marisa di kursi kerja dengan lesu, padahal ia sama sekali belum beraktivitas tetapi tubuh serta pikirannya justru sudah lelah duluan.
Marisa memijit pelan pelipis yang terasa pening, sudah beberapa hari ini ia kurang fokus pada pekerjaan tetapi untungnya urusan cafe tidak ikut terkena imbas.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Marisa, ia pun menyuruh orang itu untuk masuk.
Karin yang mendapat perintah tersebut lantas masuk ke ruangan boss nya sembari membawa secangkir teh yang dipesan Marisa.
Wanita itu meletakan gelas di atas meja lalu berlalu dari sana.
"Terimakasih, Karin"
"Sama-sama Nyonya, saya permisi keluar dulu"
Marisa mulai meminum teh hangat sedikit demi sedikit, pikirannya ikut menenang seiring air tersebut meluncur di tenggorokannya.
***
Di lain tempat, tepatnya di perusahaan Emerson group Galvin baru saja menyelesaikan meeting dengan para petinggi perusahaan.
Meski meeting tadi berjalan dengan lancar namun ekspresi pria tampan itu tetap datar dan dingin.
Mata elangnya terus mengarah ke depan tanpa peduli jika beberapa pegawai yang melintas sedang memamerkan senyum terindahnya kepada Galvin.
Dari sebrang sana seorang office girl tengah mengepel lantai dengan langkah mundur membelakangi Galvin.
Tanpa sengaja tubuh mereka bertubrukan dan membuat gadis itu hampir jatuh jikalau saja Galvin tak segera menahan tubuhnya.
Brukk....
"Aaaaaaaa......!!!!"
Greppp!!
Dengan sigap Galvin menahan tubuh wanita tersebut membuat keduanya saling padang satu sama lain.
Deg!
Office girl yang diketahui bernama Nirmala itu merasa jantungnya berdegup dengan kencang.
Ia menelan ludah dengan susah payah saat dirinya sekarang tengah berhadap-hadapan dengan seorang pria yang tak lain boss nya sendiri.
Mata tajam Galvin seolah menembus dan membuat tubuh Nirmala tersengat aliran listrik beberapa ribu volt.
Keduanya buru-buru membenarkan posisi mereka.
Nirmala menundukkan kepala tak kuasa menatap Galvin.
"Ma-maaf Tuan, sa-saya tidak sengaja... Maafkan kecerobohan saya" Ucap Nirmala terbata-bata.
Galvin tak menggubris, pandangannya beralih pada air yang tumpah dari ember besar hingga membuat lantai basah berceceran air.
"Lain kali jangan berjalan mundur, mata mu ada di depan bukan di belakang kepala! " Sembur Galvin dengan ucapan tajam.
Setelah itu Galvin berlalu dari sana meninggalkan wanita berpakaian biru yang masih mematung di tempat.
Nirmala merutuki dirinya yang teledor dalam bekerja, padahal baru beberapa bulan ia bekerja disini tetapi dirinya sudah membuat kecerobohan pada boss nya sendiri.
Lantas bagaimana jika ia dipecat???
"Duhh.... Kacau sekali ini, pasti Tuan Galvin marah besar" Ucapnya panik.
Nirmala dengan cepat membersihkan air yang membanjiri keramik lantai, bukannya beres pekerjaannya justru semakin bertambah banyak.
Di dalam ruangan Presdir Galvin kembali melanjutkan pekerjaan yang masih menumpuk di atas meja.
Tak lama setelah Galvin duduk sang Asisten masuk dengan membawa secarik kertas penting.
"Maaf menganggu Tuan, saya hanya ingin meminta tanda tangan Tuan untuk pertemuan kita dengan Presdir Lee dari Korea besok"
Seketika Galvin menghentikan aktivitas nya, ia menoleh pada lelaki yang berdiri tegak di depannya.
"Memangnya besok tanggal berapa? Perasaan baru kemarin aku memintamu untuk merencanakan pertemuan ini"
"Besok tanggal 10 Oktober Tuan, sudah hampir tiga minggu kita membahas pertemuan ini"
Deg!
Seketika bola mata Galvin membola mendengarnya.
10 Oktober??
Itu artinya besok adalah ulang tahun Marisa yang ke 29 tahun!
Kebisuan Galvin membuat sang Asisten kebingungan karna tak mendapatkan respon dari boss nya. Ia pun lantas bertanya.
"Apa ada masalah, Tuan? Jika ada masalah saya bisa meminta pertemuan kita dengan Presdir Lee di undur besok" Ujarnya.
Galvin berpikir sebentar, entah apa yang dia pikirkan sang Asisten pun tidak tahu.
"Tidak, tidak perlu mengundur waktu lagi Martin. Mana berkasnya biar aku tanda tangani"
Martin pun menyerahkan kertas putih tersebut dan langsung Galvin tanda tangani.
Setelah kepergian asisten nya Galvin termenung di sana.
Ia menatap kalender yang berada di atas meja kerja. Besok adalah ulang tahun Marisa, setiap tanggal 10 Oktober Galvin selalu dibuat kebingungan oleh dirinya sendiri.
Di hari ulang tahun istrinya Galvin tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun pada Marisa. Ia terlalu malu meski hanya sekedar mengucapkan selamat, Galvin lebih memilih bekerja dibanding merayakan hari istimewa sang istri.
Namun meski begitu, Galvin selalu merasa tak enak hati dibuatnya.
Biarlah ia pura-pura lupa dengan ulang tahun Marisa, toh di tahun-tahun sebelumnya pun ia tak pernah mengucapkan dan jika besok ia mengucapkan selamat ulang tahun rasanya akan sangat aneh. Pikir Galvin
***
Pukul dua belas malam seperti biasa Marisa sedang berbaring di atas ranjang tanpa tertidur sedetik saja.
Hari ini tepat hari ulang tahunnya, usianya kian bertambah. Seharusnya ia senang tapi Marisa justru merasa hari ulang tahunnya adalah hari-hari yang paling menyedihkan.
Marisa memandang ke arah pintu kamar, berharap dibalik pintu itu sang suami tengah mempersiapkan kejutan untuk Marisa.
Tetapi sayang, harapan itu tak akan pernah terwujudkan.
Marisa tersenyum getir mengingat keinginan konyolnya, mana mungkin Galvin tiba-tiba saja masuk sembari membawa sebuah kue ulang tahun layaknya para suami di luaran sana, mengucapkan saja lelaki itu tak pernah.
Drt.... Drt.... Drt....
Dering ponsel Marisa membuat si empu tersentak kaget, Marisa mengernyitkan alisnya tatkala ia mendapat sebuah telpon di dini hari seperti ini.
Diambilnya benda persegi panjang itu dan tertera nama seorang lelaki yang tak lain adalah rekan bisnis Marisa.
Dahi Marisa kian mengerut, tak ingin membuat dirinya sendiri penasaran Marisa pun akhirnya mengangkat sambungan telepon itu.
"Hallo?"
"Selamat ulang tahun Marisa... Selamat ulang tahun yang ke 29 tahun... Happy birthday" Ucapnya.
"Abrian? Dari mana kau tahu hari ulang tahunku?"
Pria tersebut tak langsung menjawab tetapi panggilan suara itu dialihkan menjadi panggilan video, di balik layar ponsel menampakkan seorang lelaki yang tengah menyalakan lilin di atas kue ulang tahun berbentuk segitiga.
"Hai Marisa... Selamat ulang tahun, aku harap aku yang pertama mengucapkan ini pada mu"
Mata Marisa dibuat berkaca-kaca, bukan karna senang mendapat ucapan dari temannya, Marisa justru merasa sedih.
"Apa aku yang pertama mengucapkannya?"
Marisa mengangguk pelan.
"Iya... Terimakasih Abrian, tapi kau tidak perlu repot-repot membuat ini untukku. Aku jadi tidak enak hati"
"Sama sekali tidak repot, aku justru senang bisa merayakan uang tahun mu. Kecuali jika kau merasa terganggu hahaha.... "
Marisa tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya.
"Terimakasih Abrian, aku cukup terkejut jika kau tahu hari lahir ku"
"Itu bukan hal sulit untukku,
Sekarang waktunya kau membuat harapanmu... Make a wish" Perintah Abrian.
Marisa mengangguk dan mulai menutup matanya.
Abrian pun ikut diam sembari menatap wajah cantik di depannya.
Marisa pun mengatakan seluruh harapannya di dalam hati.
Ya Tuhan... Aku harap di umurku yang ke 29 tahun ini aku bisa menentukan pilihan ku sendiri tanpa halangan apapun...
Aku harap kebahagiaan sebentar lagi datang menjemputku...
Aku harap Devano selalu bahagia jika suatu saat nanti aku sudah memutuskan keinginanku.
Dan....
Aku harap Galvin juga mendapatkan kebahagiaan agar kami bisa tenang di jalan masing-masing.
"Amien.... "
"Sudah??" Tanya Abrian.
"Sudah"
"Karna kau tidak bisa meniup lilinnya, maka aku yang akan meniupnya sebagai pengganti dirimu"
Piuhh....
Air mata Marisa pun lolos seiring padamnya lilin tersebut.
Abrian menatap sendu wajah cantik yang menangis menahan rasa sakit yang sudah tak tertahankan.
Marisa berusaha menghapus air matanya, akan tetapi tangisnya justru semakin deras dan tak bisa dihentikan. Hatinya serasa berdenyut nyeri dan sangat perih.
Marisa mencoba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan hingga ponsel yang ia pegang jatuh di atas kasur, Marisa merasa malu dengan Abrian tetapi ia juga tidak bisa berhenti menangis.
"Hiks..... Hiks.... Kenapa... Sulit... Sekali... Hiks.... "
Abrian mengelus layar ponsel nya yang berwarna hitam, dirinya hanya bisa mendengar suara tangis Marisa tanpa bisa melihat wajah penuh luka itu, sudah hampir setahun dirinya menjadi rekan bisnis Marisa. Ia sudah cukup tau kehidupan wanita ini dari beberapa penyelidikan yang ia lakukan secara diam-diam.
Wanita cantik dan lemah lembut ini berhasil membuat Abrian jatuh cinta tanpa Marisa ketahui, perhatian serta dukungan Abrian tak membuat Marisa goyah untuk berpaling dari Galvin.
Marisa tetap setia menunggu suaminya meski Galvin tak pernah memperhatikan Marisa sedikitpun.
Tangisan Marisa perlahan mulai mereda, ia menghapus sisa-sisa carikan di pelupuk matanya dan kembali memegang ponsel yang masih terhubung panggilan video.
Senyum pun Marisa tampilkan seakan mengatakan jika dirinya baik-baik saja.
"Maaf, aku malah jadi menagis" Ucap Marisa sambil tertawa kecil.
"Tidak apa-apa, aku tidak akan mengejek mu" Balas Abrian, mereka pun tertawa kembali.
"Oh iya, kau ingin hadiah apa dariku?"
"Emm... Apa ya?" Ucap Marisa berpura-pura berpikir.
"Aku ingin perusahaan mu mempromosikan lagi makanan di cafe ku"
Jawaban Marisa membuat Abrian tergelak, abrian memang seorang CEO di perusahaan stasiun televisi. Tahun lalu Marisa mulai mempromosikan produk kue yang ia buat melalui salah satu televisi.
Namun saat kontrak Marisa sudah habis Abrian justru menawarkan kontrak baru dengan syarat cafe Marisa setiap tiga kali dalam seminggu harus mengirimkan beberapa makanan untuk para karyawannya. Bukan tanpa alasan abrian melakukan ini, tentu karna dirinya ingin selalu terikat dengan Marisa.
Sama halnya dengan marisa yang tak menyia-nyiakan hal ini, ia pun menyetujui kontrak itu hingga sekarang.
"Haisss... Kau ini, untuk masalah itu kau tidak perlu khawatir. Kontrak kerjasama seumur hidup pun tak masalah bagiku" Cebik Abrian.
"Aku tidak ingin apa-apa, abrian. Kau membuat kejutan seperti ini saja sudah lebih dari cukup bagiku"
"Syukurlah jika kau senang. Ya sudah kalau begitu istirahat lah ini sudah tengah malam kau seharusnya sudah tidur dari tadi"
"Baiklah, sekali lagi terimakasih Abrian. Aku tidak bisa membalas kebaikan mu, selamat malam"
"Ya, selamat malam juga"
Baru saja Marisa akan mematikan telpon tiba-tiba saja Abrian memanggil namanya.
"Marisa tunggu...!!"
"Iya Abrian, ada apa?"
Abrian tak langsung menjawab, entah kenapa dia sangat sulit mengatakan sesuatu yang sangat ingin ia lontarkan.
Lidahnya mendadak kelu dan tenggorokan nya terasa tercekat.
"Abrian??"
"Hah?? O-oh... T-tidak ada apa-apa. Segera lah matikan telponnya dan tidur"
"Baiklah... "
Marisa pun mengakhiri telpon tersebut, ia pun lantas kembali meletakkan ponsel dan berbaring untuk memulai tidur paginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!