NovelToon NovelToon

Become A Human In Another World

Prolog: Bab 1 - Keseharianku yang Tenang Berakhir Hari Ini.

Namaku Yami Ayama. Seorang murid SMA yang sangat membosankan. Hobiku hanya membaca, mencari ilmu ilmu yang belum kuketahui, dan tujuanku hanya satu. Memiliki semua ilmu yang ada di dunia. Sifatku? Bisa dibilang aku adalah orang yang serakah, apatis, dan aneh. Jadi lebih baik tidak berurusan denganku apapun yang terjadi.

“He! He!! Yami!! Bukan begitu salam perkenalan yang kuajarkan! Itu memberi kesan seperti bukannya kamu ingin berteman tapi justru memberinya peringatan agar tidak mendekatimu! Ahh! Kau ini! Apa yang harus kulakukan agar kau bisa hidup seperti anak SMA yang wajar?!” teriak seorang laki laki, yang dengan cepat tergetok buku seorang guru.

“Diamlah, Shino! Ini perpustakaan, bukan kantin! Kalau kalian berisik lagi, keluar saja sana!”

“Ahh, Bu Kaila kah? Ayolah bu, apakah ibu tidak prihatin dengan nasib anak didik ibu yang kehidupannya parah tak bisa dibenarkan bagaikan besi yang sudah bengkok? Tidak kasihankah ibu padanya? Lihatlah pancaran matanya yang berisi kekosongan belaka, dan tidak teralihkan dari buku yang seharusnya tidak dia baca?” Shino mulai merangkulku, melihatkan wajah memelasnya pada Bu Kaila, entah untuk tujuan apa.

Suasana menjadi hening sesaat. Aku melirik ke arah Bu Kaila. Sepertinya dia mulai terpengaruh.

Sedangkan Shino, membuat mimik wajahnya menjadi lebih “imut” lagi, yang sebenarnya membuatnya menjadi menjijikkan.

Melihat kami berdua, entah kenapa ibu guru itu menurut. Ahh! Ak jadi harus mengikuti permintaan aneh si Shino.

Shino Kazegane, salah satu orang yang terlihat peduli denganku, entah apa alasan yang mendasari perbuatannya, tapi aku sebenarnya tidak terlalu masalah untuk selalu sendirian. Asalkan ada sesuatu yang bisa kupelajari, aku tidak masalah.

Tapi, hal yang sulit adalah apa yang dapat kupelajari darinya. Bwah! Aku mulai membayangkan hal aneh. Tolong ganti topiknya.

Shino sendiri adalah orang yang cukup terkenal di kelas kami. Yaah, dengan perawakannya dan pembawaannya yang seperti itu, serta kepercayaan diri tingkat tingginya, pastinya dengan mudah dia mendapatkan teman.

Dan dia -sebenarnya semua orang- selalu menyebutku solo player. Apalagi kalau bukan karena aku adalah penyendiri?

Bukannya aku tidak punya teman. Aku hanya melakukan semuanya dengan efisien. Teman? Apakah keuntungannya?

Selama aku bisa mendapatkan ilmu baru, mungkin itu bermanfaat. Tapi menurut pengamatanku, berteman hanya menghabiskan waktu.

Contohnya saja, ketika kalian diajak berpergian, semisal untuk menonton sebuah film di bioskop, apakah pelajaran yang kalian dapat? Mungkin hiburan? Atau mungkin nilai nilai kehidupan?

Setidaknya aku tidak terlalu peduli dengan hal itu. Karena, aku hanya tertarik dengan ilmu pengetahuan, setidaknya untuk saat ini.

Itulah kenapa aku cukup dekat dengan guru ilmu pengetahuan kami, Bu Kaila Erliana.

Kaila Erliana, seorang wali kelas sekaligus guru ilmu pengetahuan di kelasku. Dia masih muda, mungkin berumur sekitar 20 an, hanya saja tubuhnya yang kecil dan pendek membuatnya seperti masih seperti adik kelas kami.

Dia orang yang baik, pengertian terhadap semua muridnya, namun agak ceroboh dan sensitif ketika disinggung tentang umurnya.

Yaah, ketika aku mengatakan 20 an, maksudnya dia umur 26, dan dia menganggap bahwa 26 sudah sangat mendekati umur 30, dan sepertinya pernah kudengar ada beberapa wanita yang takut tidak bisa menikah karena sudah berumur 30 ke atas. Mungkin saja guruku salah satunya.

“Walau bego, temanmu satu ini kali ini benar. Paling tidak, kamu harus membersihkan kepalamu dari buku buku itu,” Bu Kaila tiba tiba menjawab. Suasana hening sesaat.

“Emm, ehh, itu, kalau kamu ga keberatan juga bisa aku temenin nanti hari Minggu, supaya kamu ga kesulitan. Walaupun kerjaanku banyak, tapi yahh, untuk Yami apa sih yang enggak. Kyaa!!!” lanjutnya sambil menggerakkan tangannya dan melirik-lirik ke arahku.

Rasanya aneh, dan aura aneh rasanya tiba tiba mengelingiku.

“Hii! Mampus dah!” aku segera berpaling ke arah Shino sambil mencoba menahan Ibu Kaila yan sudah tampak seperti vampir yang akan menghisap darahku. Shino hanya tersenyum pelan dan tidak melakukan apapun.

Tapi, sepertinya melihat apa yang dilakukan bu Kaila lama kelamaan membuatnya sedikit kaget atau takut. Entah apa yang dipancarkan di wajahnya.

“Tidak tidak! Saya paham yang ibu maksudkan. Saya paham saya paham! Karena merepotkan anda, jadi tidak usah saja. Saya juga tidak mau terus merepotkan anda.” Kataku tiba tiba dengan menggunakan logat formal.

“Oh! Baiklah!” katanya seraya segera menjauh. Aku dan Shino mengambil nafas lega. Aku kembali menoleh ke arah Shino, dan segera tersenyum mengingat apa yang terjadi tadi.

Yaah, mungkin ada untungnya dia selalu mengikutiku. Aku tidak merasa kesepian. Walaupun jika aku merasa sepi, aku bisa membaca beberapa manga, buku sains atau mungkin novel sains fiction untuk menghabiskan waktu.

Lagipula, di perpustakaan ini merupakan tempat terbaik yang pernah ada. Setidaknya bagiku.

Menghela nafas, aku menidurkan badanku ke karpet. Udara dingin melewatiku. AC bekerja dengan cukup baik hingga mampu mendinginkan seluruh ruangan ini. Aku tiba tiba memikirkan sesuatu hal.

“Nah Shino, apakah ada yang salah dengan kehidupanku?” tanyaku tiba-tiba.

“HAHH! KAU BARU TANYA ITU SEKARANG?” Shino tiba tiba berdiri dan mengepalkan tangannya kedepan sambil berteriak sangat keras. Kaget, aku segera menoleh ke arah bangku para guru. Kulihat bu Kaila tidak ada. Hufft. Hah?! Tidak ada?! Jangan bercanda!

Dan tiba tiba, hembusan angin dingin membuatku merinding. Perlahan, aku menoleh ke belakang Shino.

“Ahh! Sepertinya sudah waktunya kami keluar.” Kataku sambil segera bediri.

“Benar juga kamu Yami, aku juga-“

“He he he, kalian tidak perlu repot repot berjalan keluar,” bu Kaila sepertinya dalam attack mode.

“Ugh, sakit.”

“Sudah kubilang jangan berisik!” bu Kaila melemparkan kami berdua keluar, dan BRAKK! Pintu perpustakaan pun tertutup rapat dengan kerasnya, meninggalkan kami berdua di luar.

Itulah Ibu Kaila. Asyik namun tegas pada muridnya. Sayangnya ketika dia marah, dia sama mengerikannya dengan dewa kematian kau tahu?

“Ha ha!” Shino tertawa. Dia mengalihkan pandangan dariku, seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Hei, Yami. Kau mengangap pertemanan kita dan hal lainnya hanya pelajaran hidup belaka kan?"

"Aku mengerti jika kamu tidak “tertarik” untuk mengetahuinya atau mungkin belajar darinya. Hanya saja, di dunia ini ada banyak sekali pelajaran yang sebenarnya tidak boleh kau lewatkan,” dia menepuk pundakku dua kali dan segera berdiri dan berkacak pinggang.

Aku menatap langit, sambil menghela nafas, tidak menjawabnya.

“Pelajaran hidup, kah?” tanyaku pelan.

“Ya! Kamu memang pintar. Kuakui mungkin kamu adalah siswa SMA yang pling pintar yang pernah aku temui. Tapi, di dunia ini bukan hanya ada satu jenis “kecerdasan”."

"Dan kau tahu? Kecerdasan bukan hanya dihitung dari kemampuan akademisnya saja, tapi bagaimana cara dia menyelesaikan masalah. Oleh karena itu ada banyak orang yang menipu dan ditipu. Dan yang pasti, kau adalah orang yang ditipu,” lanjutnya panjang lebar. Aku menunduk.

“Hmm!” aku menggumam pelan. Apapun itu, itulah pandangan Shino. Walaupun benci megakuinya, dia mampu mengamati keadaan seseorang dengan mudah. Atau biasa sering disebut dengan psikolog.

Aku memang tidak punya pengalaman seperti itu, dan semua yang dia katakan benar. Tapi, dengan diriku yang sekarang, apakah aku masih berhak mengharapkannya?

Setelah aku menolaknya, setelah aku berpaling darinya, apakah aku masih berhak mengharapkannya kembali?

Tidak. Walaupun aku senang dengan kehidupanku, tapi tetap saja, ini juga merupakan hukuman bagiku.

"Kau tahu? Kehidupan adalah game tersulit yang pernah ada. Ini bukanlah manga, film, atau kartun!" dia menarik nafas.

"Hidup ini keras, tapi kau tak pernah tahu karena selalu menolak mengetahuinya. Mungkin kau tahu beberapa, tapi itu hanya secuil dari kebenaran yang ada, kau tahu?" kini dia sedikit menekankan bahasanya.

“Jadi, kapan kamu mau belajar mengenai kerasnya kehidupan?” Shino sepertinya mengulang pertanyaannya.

Angin berhembus cukup kuat, meniup rambutku seakan mendesakku untuk segera mengatakan jawabannya.

Aku berdiri, kembali menatap langit.

“Mungkin, di kehidupan seanjutnya.” Jawabku.

“Ha ha ha! Sudah kuduga kau akan menjawab seperti itu! Karena kamu adalah orang yang serakah, apatis, dan aneh kan?!” Shino merangkul leherku.

Aku tersenyum pelan. Yah, karena aku hidup juga sih, pastinya hal itu akan kudapatkan perlahan.

“Ilmu kehidupan” ya! Aku pasti mendapatkannya. Walau tidak sekarang, aku tahu kalau itu aku, aku pasti bisa. Apa salahnya memiliki kepercayaan diri tinggi, bukan?

Angin kembali berhembus pelan, menerbangkan daun daun kering. Sepertinya angin ini seperti mengikutiku.

Padahal secara ilmiah, angin adalah udara yang bergerak dikarenakan perbedaan tekanan udara. Tapi rasanya seperti selalu mengikutiku dan mengantarkanku pada benang merah takdir.

“Apa yang kalian lakukan disini?” tanya seseorang. Perempuan, dari suaranya aku kenal.

Yah aku bisa menebak karena tidak banyak perempuan, atau bahkan hampir mustahil ada yang mengenalku-maksudku bukannya aku tidak mengenal mereka tapi memang hanya satu dari mereka yang mengenalku.

“Heii! Apa yang sedang kalian lakukan hah?!” kali ini nadanya meninggi. Langkah kakinya terdengar berjalan, namun dia mempercepat jalannya.

“Ahh, dalam 2 detik lagi, dia akan sampai tepat di depan kami.” Batinku. Shina Kazegane, adik kembar Shino.

Yaahh, itulah yang meyebabkan nama mereka mirip, serta hari kelahiran mereka sama. hanya saja, Shina lahir lebih lambat dari Shino.

Dia adalah orang kedua, mungkin tidak bisa disebut demikian karena sejatinya Shino dan Shina bisa dibilang 1-karena mereka kembar dan tidak bisa dibilang orang yang berbeda.

Dia orang yang cantik, dengan aura elegan yang selalu melekat padanya apapun yang dia pakai. Rambutnya panjang, dengan warna pirang sama seperti Shino yang menambah kesan manis padanya.

“Oi Yami! Kau baik baik saja?” tanyanya sambil berkacak pinggang, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku hanya diam, menanggapi dengan datar.

Tiba tiba, raut wajahnya berubah, dan dia segera menarik mundur wajahnya. Beberapa detik kemudian, aku merasa canggung.

“Yo Shina! Kami baru saja diusir dari perpustakaan! Bagaimana?” jawab Shino santai.

“Uhh! Pasti ini salahnya kakak kan?” Shina menanggapi dengan ekspresi muka yang dibuat cemberut.

“Tidak tidak! Aku hanya mencoba menolong Yami dari hidupnya sendiri,”

“Memang benar sih, kau terlalu mengabdi kepada ilmu. Kerja bagus kak! Lakukan saja terus sampai dia bisa sadar!”

“Oi oi! Kok?” kini Shina mendukung kakaknya yang aneh itu sambil mengacungkan jempolnya.

Aku menunduk dengan bayang bayang hitam dia atas kepalaku bagaikan kumpulan kekesalanku selama ini. Aku menghela nafas, kini pasrah terhadap apa yang akan mereka lakukan sekarang.

Mereka tampak sedang membicarakan sesuatu. Aku tersenyum, entah kenapa, aku merasa senang ketika mereka memperhatikan ku.

“Yosh! Sudah diputuskan! Sepulang sekolah ini, kita akan pergi jalan ke pusat kota! Kami akan sedkit memeberikan pelajaran tentang “ilmu kehiidupan” kepadamu!” teriaknya senang.

“Baiklah baiklah. Aku hanya tinggal ikut saja kan? Lagipula, aku juga tidak diberi hak untk menolak,” jawabku sedikit terpaksa.

“Baguslah kamu sudah tahu!” kini Shina menimpali.

***

Bel pulang sekolah berbunyi, guru pelajaran kami pun keluar ruangan. Matahari berubah menyorot dari jendala di sebelahku, tepat mengarahku karena sekarang sudah sekitar pukul 3 sore.

Shina segera menghampiri mejaku, menyeretku hingga tidak menyisakan waktu atau tempat bagiku untuk pergi. Atau mungkin memang itu maksudnya.

Aku hanya berjalan dengan malas, mengikuti Shino dan berjalan bersebelahan dengan Shina.

“Kita mau kemana?” tanyaku.

“Hmm, bagaimana kalau kita nonton bioskop? Sudah lama kita tida nonton bersama, bertiga.” Shino langsung menjawab dengan antusias. Eh? Sudah lama? Oh ya aku memang pernah melakukan hal ini sebelumnya. Aku hanya menurut.

***

“Film nya ga bisa ditebak banget! Ga ku sangka si heroine nya menghianati tokoh utamanya! Tapi akhirnya dia ternyata melakukan itu demi protagonisnya juga ya! Tapi aku puas juga sih, masalahnya happy ending!” teriak Shina yang memang sangat suka menonton film.

Aku mengkuti di belakangnya sambil mengingat film tadi. Apa yang bisa kupelajari dari film tadi, ya? Mungkin jangan mudah terhasut orang lain? Ya, mungkin. Aku hanya mengangguk pelan.

Setelah itu, kami melanjutkan perjalan kami ke game center. Dan entah apa yang terjadi, mereka menyeretku ke dalam mesin foto, dan mengajakku foto bersama.

“Ya! Sekarang, ayo kta cari tempat makan!” ajak Shino. Acara penyiksaan di game center sudah selesai. Aku menoleh ke sekitar. Kawasan yang cukup, bahkan bisa dibilang ramai.

Tapi bangunannya tidak ada yang kecil. Semuanya minimal berbentuk gedung setinggi 3 lantai. Ada beberapa mall, game center yang tadi, bahkan ada toko perhiasan.

“Ayo kesana!” Shina menunjuk sebuah tempat di atas toko perhiasan yang barusan kulihat. Gedung tiga lantai, namun sepertinya hanya 2 yang terpakai karena antai atasnya gelap.

Angin berhebus, meniup rambutku, bagai membisikkan sesuatu. Aku tidak sempat, atau tidak akan pernah menyadarinya.

Aku sedikit tertegun hingga aku tak bergerak sedikitpun walaupun ditarik Shina. Shina berlari, menarik tangan kami berdua.

“Shina! Hati hati!” tepat setelah Shino diam, dia terjatuh. Aku pun segera tersadar dari lamunanku.

“Apa kamu baik baik saja, Shina? Bagaimana dengan kakimu?” tanyaku. Walau begitu, aku tahu kakinya pasti 90% terkilir. Jika tidak, dia tidak mugkin begitu menahan sakit. Aku sedikit khawatir.

“Tidak tidak. Aku tidak apa apa. Ayo kita naik!” lanjutya.

Kami naik, ke lantai 2, dan dengan segera mengambil tempat duduk dekat dengan jendela.

Cukup nyaman, ketika akhirnya seorang pelayan mendatangi kami. Dan kami bertiga serempak membeli 3 mangkok mie, entah kenapa kami membelinya.

Nuansa sore hari yang indah, bagai aku tak mau melepaskannya. Aku menarik nafas panjang, menikmati ini.

“Hei, bagaimana? Apa kamu belajar sesuatu?” tanya Shino yang duduk di seberangku.

“Ya ya! Bagaimana degan film yang kita tonton?” kini Shina antusias.

“Yahh, aku menikmatinya karena aku sudah membayar cukup banyak untuk itu. Selain itu, aku juga memiliki janji lain…” aku menunduk kebawah, tak sanggup mengatakanya.

Pasti karakterku yang sekarang tidak akan cocok mengatakan hal seperti itu. Gumamku dalam hati hampir tertawa.

“Yahh, selama kamu menikmatinya aku tidak masalah.” Jawab Shino.

“Sudah lama sekali, ya? Sejak terakhir kali kita pergi bersama, bertiga? Terakhir itu kapan ya? 3 tahun lalu kalau tidak salah, ketika kita SMP. Yahh, mau bagaimana lagi. Yami memang terlalu sulit untuk dibujuk keluar. Ha ha ha!” Shino tertawa keras. Aku tersenyum melihat tingkahnya itu.

“Eh, Yami tersenyum!” kata Shina tiba tiba.

“Tidak sopan! Aku juga manusia yang bisa tersenyum, tahu!” teriakku.

“Baiklah baiklah! Kalau begitu, aku pamit untuk ke toilet sebentar ya!” Shina pergi, namun dengan jalan yang agak tertatih tatih. Aku kembali menjadi khawatir padanya.

Setelah dia benar benar meghilang dari pandanganku, aku mengalihkan pandanganku ke jendela, ketika tiba tiba Shino menggebrak meja.

“Nah! Kamu sudah sedikit belajar mengenai kehidupan yang sebenarnya bukan?" dia berteriak cukup keras.

"Ya, tidak seperti yang kamu katakan kemarin, "kehidupan" tidak semengerikan itu. Kataku tetap menghadap jendela.

"Ahh, kalau itu, kau baru melihat sisi baik kehidupan," dia menggaruk garuk pelipisnya menggunakan telunjuk sambil mencoba melihat ke arah lain.

"Bukan itu yang ingin ku bahas! Kini, kita akan membahas yang lebih serius. Kali ini tentang perasaan.” Katanya menggebrak meja, lalu berdiri. Aku hanya diam.

“Maksudmu?”

“Yahh, bagaimana menurutmu adikku? Dia sangat cantik bukan?”

“Y-Ya, dia memang sangat cantik dan anggun.” Jawabku terbata bata. Eh! Kenapa mulutku susah bicara? Aku yakin pasti aku sedang sakit!

“Yah! Itu karena dia memang kembaranku! Ha ha ha!”

“Toong hentikan! Membayangkannya membuatku mual tahu!” aku bergidik.

“Nah, itu semua, kasih sayang itu semua, seperti kamu pada orang tuamu, aku kepada adikku, serta Bu Kaila pada semua muridnya, itu semua dinamakan “cinta” yang semua terhubung pada perasaan seseorang."

"Dan perasaan ini lebih kuat daripada apapun. Semakin kuat perasaan, semakin kuat hati seseorang, maka akan semakin kuat pula orang itu,” dia duduk, kemudian menghadap ke atas, melihat langit langit

“Semakin kuat hatimu, semakin kuat dirimu?” tanyaku pelan sambil memalingkan wajahku melihat ke luar jendela.

Keadaan kota yang tenang, serta hari yang mulai berganti malam membuat suasana semakin serius. Aku menghela nafas.

“Jadi, karena itu. Kapan kamu akan mempelajari tentang perasaan? Kapan kamu akan belajar tentang manusia? Kapan kamu akan belajar menjadi… teman?”

Aku yang masih menghadap jedela sediit tersentak, rasanya kaget, sedih, marah bercampur dalam diriku.

Aku tidak berani menghadap Shino. Serasa air mataku akan menetes. Suasana sedikit canggung menggangguku.

Setelah itu, aku melihat 3 buah mobil van dari kejauhan melaju kencang, yang jalannya tidak beraturan dan berhenti dengan cara yang tidak sopan di depan tempat parkir toko ini.

Salah seorang turun dengan tergesa gesa segera berhenti di depan pertokoan ini, dan mengisyaratkan orang lain untuk mengikutinya. Seketika, beberapa orang segera keluar dari mobil itu, membawa senjata api.

“Eh?!” aku tak percaya apa yang aku lihat ketika seseorang melemparkan benda ke arah kami.

Bisakah kau mempercayainya ketika aku mengatakan bahwa sebuah bola berwana emas meluncur cepat, diarahkan ke kaca sebelahku?

Dan percayakah kalian jika aku mengatakan itu adalah granat tangan?! Jangan bercanda! Seketika waktu seperti melambat dan tapa pikir panjang aku segera berteriak.

“Semuanya! Tiarap!” teriakku seketika dan, DUAARR!!

Ledakkannya cukup, bahkan bisa disebut sangat besar. Aku hampir tidak bisa mendengar apapun, aku juga tidak bisa melihat apapun.

Seluruh ruangan kini penuh dengan asap dan abu bekas ledakan tadi. Pandanganku sedikit kabur, sedangkan telingaku seperti mati rasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?!”

Prolog: Bab 2 - Kekuatan Hati

Satu detik, dua detik, aku masih belum menyadari apapun. Di detik ke tiga, aku mendegar jeritan jeritan orang orang yang ada di sana.

Mereka semua panik, dan berlari behamburan kesana kemari. Bahkan ada yang berlari ke bawah saking paniknya.

Tak sedikit juga yang tetap berlindung di bawah meja dengan wajah ketakutan, tak terkecuali Shino yang memegangi kepalanya sambil menunduk di bawah meja.

Suara tembakan terdengar di bawah, dan juga beberapa jeritan. Semua yang diatas semakin panic.

Mereka yang berlari ke bawah malah meunjukkan bahwa di atas masih ada banyak orang, yang bisa jadi membuat mereka mungkin akan naik ke atas. Tapi apapun yag terjadi, aku tidak bisa menyalahkan mereka.

“Tenanglah tenanglah, berpikirlah logis, apa yang harus kulakukan pada saat saat ini. Menurut ledakan dan kejadian kejadian selanjutnya, tidak salah lagi, ini adalah perampokan. Tapi, kenapa mereka kesini?” aku bertanya, dan aku menyadari sesuatu.

“Ah! Toko perhiasan! Jadi, tujuan mereka ada di lantai satu, dan kemungkinan kami tidak akan di sentuh mereka karena kami di lantai 2 bukanlah tujuan mereka yang sebenarnya. Tapi, jika mereka memiliki niat lain, mereka tidak akan melewatkan kami yang ada di atas sini, contohnya,” aku terbelalak kaget.

“Benar! Anak sekolah! Terakhir kali, aku melihat cukup banyak anak sekolah disini, mungkin untuk sesuatu yang menguntungkan."

Aku membayangkan hal mengerikan, dimana teman temanku yang ada disini dijadikan sandera, serta mambayangkan penyiksaan yang mereka alami jika itu semua sampai terjadi.

"Tidak! Aku tidak bisa membiarkan ini. Aku sudah berjanji, untuk melindungi mereka!” sialan! Setidaknya, berpikirlah bagaimana cara keluar dari keadaan ini?! Aku geram, meninju lantai yang tertutup debu.

“Shino! Shino! Tenanglah!” aku berusaha menenangkan Shino yang masih ketakutan. Bahkan dia tampak semakin memburuk, dengan badan yang bergetar, matanya terbelalak dan tagannya memegangi kepalanya terus menerus, bagai orang yang mengalami depresi berat. Tapi, tak ada cara lain.

“Shino! Shino! Sadarlah!” walaupun aku berteriak berkali kali, dia tetap tidak bisa menguasai tubuhnya.

“Ah!” aku berteriak, memukul wajahnya sekuat tenaga hingga dia terduduk hingga ke tembok, dan sepertinya itu membuatnya sedikit sadar.

Selain itu, pukulaku juga memberikan bekas di wajahnya itu. Dia bergerak, meraba pipinya yang mulai membiru, dan tiba tiba berteriak.

“Apa yang kau lakukan sialan! Situasi ini sudah buruk, jangan memperparah situasi lagi bodoh!” teriaknya.

Aku yang masih terduduk, kaget melihat dia yang sudah bisa berdiri marah marah sambil mengacung acungkan tangannya.

Aku tertawa. Cukup keras hingga mampu mengalahka kepanikan yang ada disana. Semua orang terdiam, kemudian perlaha menoleh ke arahku. Aku menjadi salah tingkah sendiri.

“Jangan panik! Panik tidak mengubah apapun! Pertama tama, kita harus mencoba menghubungi polisi! Dan yang lainnya, bersusahalah untuk tidak panik."

"Aku ingin kalian membantu! Dan kalau tidak bisa membantu, lindungilah nyawa kalian dengan tiarap dan jangan bergerak! Dengan begitu, kemungkinan kalian akan ditembak akan semakin kecil!” aku berteriak yakin.

Kini, suasanya mulai tenang. Seseorang datang kepadaku.

“Letnan dua Hikaru Ahza! Siap membantu!” dia menghormat, lalu duduk. “Jadi, apa yang akan kita lakukan?” lanjutnya. Wahhh!

Betapa beruntungnya aku! Tak kusangka ada seorang tentara disini! Eh, ini bukan waktunya untuk ini!

“Shino! Kamu sebaiknya menghubungi polisi, juga pemadam kebakaran! Kita akan membutuhkan elevator pemadam kebakaran untuk bisa mengakses atap!” aku meghadap Shino.

“Sedangkan kita. Perkiraanku, mereka akan segera sampai di sini sekitar kurang dari 3 menit lagi.

Mereka cukup pintar, namun mereka tidak terlalu pintar untuk mengalahkanku!” aku tersenyum sadis, mengeluarkan sisi gelapku.

***

“Sepertinya, mereka akan mengirim paling banyak 2 orang untuk menuju ke atas sini. Selain itu, salah satu dari mereka pasti mengecek ke kamar mandi. Kita ambil 1 dulu, baru yang satunya lagi, serahkan padaku agar kalian bisa kabur!” kataku tegas, pada seorang letnan dua di depanku.

“Dimengerti. Tapi, seberapa akuratkah itu? Dan apa saja yang harus saya lakukan?”

“Akurat! 95% tepat! Ketika mereka berdua naik, tunggu sampai salah satu dari mereka masuk ke dalam toilet, dan aku akan memancing salah satu dari mereka kesini, dan ketika dia jatuh, lumpuhkan dia dalam sekali serang.” Aku menatap yakin.

“Dimengerti! Maafkan keraguan saya, Kapten!” dia kini menunduk pelan. Eh, apa?! Biarlah! Aku menoleh ke arah Shino, dan dia juga mengangguk mengerti. Aku menggigit bibirku, geram. “Ini harus berhasil, apapun yang terjadi!” aku menggumam pelan.

Tap tap tap. Langkah kaki beberapa orang terdengar menaiki tangga. Aku memejamkan mata, memastikan berapa orang dari suara langkah kakinya. Dua orang? Bagus!

“Kamu periksa toilet! Aku akan periksa yang sini” komando yang salah satunya.

“Baiklah baiklah! Enak banget lu ya! Tinggal nyuruh! Padahal kan gua bos lu! Bos! Lebih kuat dari semua yang ada disini!” salah satu dari mereka sedikit mengeluh, tapi dia tetap melakukannya walah sedikit lemas berjalan.

Aku memulai peranku, untuk memancing salah seorang untuk kemari.

“Setelah dia jatuh, kamu akan menggantikannya, dan bawalah aku mendekati pintu toilet, dengan berkata bahwa aku terlalu berisik supaya bisa mencegat dia yang ada di kamar mandi.” Kataku berbisik walau tidak terlalu pelan. Hikaru menangguk, setidaknya itulah namanya.

“Hei! Apa kalian bisik bisik dari tadi?” teriak seorang penjaga sambil mendekat.

“Setelah aku memancingnya, kalian atasi yang di bawah, tembak kalau bisa jangan membunuhnya. Setelah semua yang ada di bawah lumpuh, beri aba aba untuk polisi yang berjaga di luar untuk masuk,” sambungku.

Tanganku gemetar, tapi aku tahu, sekarang bukan waktunya untuk seperti itu. Aku sudah terlalu jauh untuk mundur.

“Apa yang kalian bicarakan?!” kini dia sedikit berteriak, menggertak.

“Tiga meter, 2 meter, sekarang!” aku menyapu kakinya, menyebabkan senjatanya terbang ke udara, dan dengan segera, aku menendangnya menjauh.

Pak letnan juga bertindak cekatan, dia segera memukul tengkuk orang yang sudah jatuh itu, hingga dengan segera dia pingsan.

“Hmm, tidak buruk.” Kataku pelan

“Kerja bagus, Kapten!” kata Hikaru, sambil mengadukan tinju padaku. Semua orang yang ada di sana mulai berdiri dengan wajah senang. Nampaknya, mereka sudah mulai bisa percaya dan tenang melalui ini.

“Baiklah! Sekarang, kita lihat apa yang dia bawa. Segeralah pakai perlengkapannya! Kamu harus segera membawaku sebagai tahananmu, dan ketika aku lari, kamu bilang saja, kalau yang disini, serahkan saja padaku! Dan juga,” nada bicaraku memelan.

“Bisakah kau berhenti memanggilku Kapten? Bukankah itu kurang cocok karena sebenarnya aku hanyalah seorang bocah SMA biasa.” Kataku mengambil sebuah granat tangan, untuk berjaga jaga.

“Tidak bisa, karena anda yang secara langsung memerintah saya, jadi ini adalah salah satu bentuk penghormatan saya."

"Selain itu, kalau kita bisa menjatuhkan salah satu dari mereka dengan mudah, kenapa tidak kita lumpuhkan saja dia, jadi anda tidak perlu repot repot memancingnya.” Dia mulai mengambil senjata, memasang pelindung badan, dan memakai penutup wajah. Aku menghela nafas.

“Aku tidak mau mengambil resiko. Selain itu, ketika bekerja tanpa ancaman, kamu akan lebih mudah mengerjakannya bukan? Dan juga, keselamatan banyak orang lebih utama dari beberapa orang saja. Selain itu…” aku merasa tidak mampu melanjutkan kata kataku.

“Kenapa, Kapten?”

“Kalau aku tidak salah, maka temanku akan menjadi sanderanya, aku tidak akan bisa memaafkan diriku jika dia terluka karena salahku.” Aku terdiam sesaat.

“Shino! Tolong cari kertas, dan beri pesan pada para polisi, agar ketika Hikaru memberi aba aba, mereka bisa langsung mengerti!” kataku pada Shino.

“Sialan! Kenapa aku bisa berada posisi ini? Kenapa aku ada disini? Kenapa aku berlagak menjadi seorang pahlawan yang bisa menyelamatkan semuanya? Kenapa aku sampai dianggap pemimpin dari seorang letnan?” batinku berteriak, hampir tak sanggup melakukan hal selanjutnya.

“Aku tidak ubahnya seorang bocah SMA yang kebetulan ada disini. Aku pun mengakui, bahwa aku merasa takut. Tapi kenapa aku masih mampu berfikir? Kenapa sampai aku rela melakukan ini semua? Memang benar, kemampuan penghitunganku dan prediksiku sempurna, tapi kalau lawanku senjata, apakah aku bisa menang?” aku terduduk. Rasanya seperti termakan pikiranku sendiri.

“Yami, kau baik baik saja?” Shino berusaha menggapaiku yang tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Kapten?” kini Hikaru menoleh.

Perasaanku seperti terpuruk, mengetahui betapa kecilnya diriku. Tapi aku serasa mendapat dorongan. Aku melihat sekeliling, melihat orang orang yang kesakitan, menahan rasa takut.

Dan sekarang mereka memiliki secercah harapan dariku. Dan dalam diriku, aku tahu bahwa jika aku membiarkan mereka seperti itu, pastinya hatiku terasa sakit.

Aku melihat Hikaru, lalu Shino. Ah! Aku teringat ketika Shino, Shina, dan aku bermain bersama. Bercanda dan tertawa. Dan sewaktu itu, aku sudah berjanji.

“Benar! Aku sudah berjanji!” kataku sambil berdiri, memegang bahu Hikaru.

“Aku sudah berjanji, untuk melindungi mereka, melindungi senyuman mereka!” kini aku mengatakannya dengan jelas.

“Aku pasti, akan menyelamatkan senyuman mereka, berapa kalipun kehidupan menungguku!” kini aku memiliki sebuah alasan, kenapa aku melakukan semua ini. Tiba tiba, aku teringat sesuatu.

“Ya! Semakin kuat hatimu, semakin kuat dirimu! Aku mengerti sekarang, Shino! Ini kan maksud perkataanmu!” batinku, sambil menoleh ke arah Shino.

“Hikaru! Katakan bahwa kau membawaku karena aku sedikit berisik. Dan setelah aku memancingnya ke atas, bagaimanapun caranya, provokasi dia agar mengejarku. Dan aku akan membawa temanku berlari. Karena kemungkinannya dia akan diserahkan ke bawah. Jika dia tidak terprovokasi, aku yakin dia cukup pintar untuk memikirkan itu!” kataku tegas kepada Hikaru.

“Siap! Dimengerti!” Hikaru memasang sikap siap.

“Baiklah! Ke tempat masing masing!” kataku menggema di ruangan itu, membuat yang mendengarnya bertambah semangat.

“Nahh! Ayo kita mulai! Permainannya!” aku tersenyum, merasa sedikit puas. Hikaru dengan segera meraih tangaku, menaruhnya ke belakang, sseperti sedang menawanku. Aku tersenyum puas.

Kami mengambil tempat di sebelah pintu toilet. Terdengar suara tawa yang mengerikan, beserta keluarnya beberapa orang dari pintu itu. Mereka semua segera berlari dan tertunduk di pojok ruangan.

“Hoi hoi coba lihat apa yang kudapat! Aku mendapatkan anak sekolah lo! SMA! Pasti tepat dengan apa yang kita butuhkan!” teriaknya dari dalam. Dia tampak menyeret seseorang wanita, dengan seragam, dan tangannya yang ditariknya tampak sedikit memar.

Mataku terbelalak. Shina!

Aku serasa akan memukulnya. Mulutku bergetar, serta seluruh badanku bergetar.

“Sialan!” aku menggumam pelan. Hikaru menyentuh pundakku secara perlahan. Aku menoleh. Dia tampak menggeleng. Aku pun tersadar.

“Ya! Aku juga dapat satu! Yang ini kelihatannya seperti orang kaya nih!” pasti kita bakal dapet banyak uang dari ini!” Hikaru memulai sandiwaranya.

“Yami!” teriak Shina sambil meronta ronta. “Lepaskan aku! Lepaskan!” Shina memberontak. Aku memalingkan wajah.

Aku merasa benar benar tidak tahan. Kuatur nafasku, dan terus menatap Shina dalam dalam. Dia yang tadinya memberontak, secara perlahan tenang, melihat wajahku dengan seksama. Aku berkedip perlahan.

Semoga dia paham. Setelah beberapa detik, dia tertegun.

Aku berusaha tenang, menghitung. 3, 2, 1. Ya! Aku berteriak, mengarahkan tanganku ke arah orang bodoh yang berani menyentuh Shina.

Kudorong dia hingga ke tembok, kupukul wajahnya, dan kutendang perutnya menggunakan lututku. Beberapa darah keluar dari mulutnya.

Aku tak peduli. Kini, kemarahan sudah benar benar menguasaiku. Aku segera menarik tangan Shina, mengajaknya lari. Beberapa detik kemudian, orang yang berada di sebelah Hikaru sadar apa yang terjadi dengannya.

“Cih! Bocah tak tahu diuntung! Kemana perginya yang cewek? Aku harus membawanya dulu ke bawah!” katanya sambil melihat ke sekelilingnya.

Aku mendengarnya, dan melihat Hikaru sedikit terkejut, namun aku tahu di balik topengnya itu dia sedang tersenyum.

“Dia dibawa pemuda sialan itu ke atas! Kejar saja dia, serahkan saja disini padaku!” Hikaru berteriak, sedikit mendorong orang di sebelahnya.

“Bagus sekali, Hikaru!” kataku ketika mencapai lantai 3. Aku segera membuka pintunya. Beruntungnya, pintu itu harus dikunci dari dalam dan belum dikunci.

“Hah perkantoran?” aku terhenti sesaat sambil melihat ke seluruh ruangan.

“Masih sekitar 30 detik sebelum dia bisa mencapai sini. Aku akan sedikit mengulur waktu. Shina! Kamu pergilah duluan ke atas atap! Eh?” aku segera menarik beberapa meja, dan kujatuhkan ke depan pintu.

Bahkan beberapa lemari ringan juga menjadi sasaran empukku. Tapi, ketika aku melihat kea rah Shina, dia sedang terduduk, memegang kakinya.

“Ah iya! Bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana keadaan kakimu Shina?” aku segera mendekatinya, dan melepas sepatunya. Aku terkejut. Kakinya bengkak, memar dan aku yakin pasti sakit jika sedikit saja digerakkan.

“Kamu tidak bisa berjalan lagi, ya?” tanyaku pelan. Dia hanya menunduk. Aku berfikir ulang. Dengan adanya kejadian tak terduga seperti ini, waktu yang dibutuhkan bertambah, dan aku harus menutup kekurangan waktu yang ada.

Aku menambah beban di pintu, dari mulai lemari, meja, bahkan kursi kutaruh untuk menghalangi jalan.

“Yami, tinggalkan saja aku. Aku hanyalah beban buatmu. Kamu pasti punya rencana sendiri kan?” katanya pelan. Aku menunduk.

“Justru karenamu lah aku sampai seperti ini!” kataku tegas. Shina terkejut. Dia memalingkan wajah ke bawah. Wajahnya merah padam.

“Maksudku kalian! Kalian berdua!” aku segera membenarkan perkataanku. Detik 45! Hitunganku mencapai batas. Aku segera menoleh ke arah pintu.

BRAK! Pintu berusaha didobrak dari luar. Sedangkan kini raut wajah Shina tampak berubah takut. Dia sudah sampai disini. Tepat seperti perhitunganku. Aku menarik nafas.

“Sepertinya ini akan menjadi last battle untukku,”

Prolog: Bab 3 - Last Battle

Aku sudah berusaha mengulur waktu selama mungkin, tapi dia tetap mengejar kami sesuai dengan perhitunganku.

Ditambah luka Shina, dia datang entah kenapa sangat tepat dengan yang kuperitungkan tadi. Apa dia sengaja? Tidak mungkin!

“Hahhh! Aku senang perhitunganku tepat, tapi aku sangat berharap di saat seperti ini bahwa hitunganku terlalu cepat.” Kataku pelan, cukup putus asa mungkin.

“Ayo kugendong!” Kataku sambil berjongkok, bersiap.

“A-a-apa maksudmu?”

“Apa boleh buat bukan?! Aku juga tidak mau meninggalkanmu disini!”

“A-a-apa b-boleh buat kan? Ingat ya! Aku terpaksa!” katanya setengah cemberut. Aku tersenyum.

“Baiklah baiklah! Cepat!” kataku menoleh ke belakang. Segera kuangkat dia dengan sekuat tenaga. Berat!

“Ha ha! Aku kurang olah raga! Serius! Di kehidupan selanjutnya aku bakalan rajin rajin olahraga dah!” batinku.

Segera aku berlari ke tangga. Tangga tersebut bagaikan ujian kematian bagiku. Aku merintih perlahan, sedangkan Shina hanya diam, tak bergerak sama sekali.

Langkahku mulai memelan ketika memasuki setengah banyaknya anak tangga yang harus aku daki.

“Kamu tidak apa, Shina?” tanyaku khawatir karena dia yang sedari tadi hanya diam saja. Dia sedikit menitikkan air mata.

“Hmm, aku baik. Baik baik saja. Umm, apa aku berat? Turunkan saja aku!” katanya tegas. Aku hanya diam. Berusaha mengumpulkan tenaga.

Aku berhenti sejenak di pertengahan anak tangga, menghitung tenaga yang tersisa dan perbandingannya dengan banyaknya anak tangga yang harus kudaki serta berat massa di tubuhku.

“Hyaaa!” teriakku segera berlari, menerobos pintu. Aku berhasil! Walaupun dengan badan tertindih Shina.

Sebenarnya, Shina tidak terlalu berat. Hanya saja, aku yang kurang bertenaga.

“Kamu baik bak saja?” tanyaku, ketika mendudukkan Shina. Aku melihat sekeliling, ada beberapa kitchen set dan meja serta kursi.

Ah! Kafe rooftop! Bagus sekali! Ada banyak benda untuk menambah waktu.

“Aku tidak apa…” Bam! Ledakan terdengar dari bawah. Gawat! 30 detik lagi dia pasti bisa menjebol pintu di bawah! Aku segera menutup pintu, menguncinya.

Sebuah kitchen set sekalian kompor kudorong ke pintu, paling tidak dapat menghambatnya untuk sementara.

Selain itu, kompornya juga bisa memberikan efek ledakan. Paling tidak melemahkannya walaupun hanya sedikit.

Aku segera membopong Shina untuk pergi menuju ujung gedung tersebut.

“Mana truk pemadamnya?” aku mulai sedikit panik. Kami hanya punya waktu maksimal 3 menit. Sedangkan truk pemadam belum juga tiba.

“Shina, setelah truk pemadam kebakaran tiba, aku ingin kamu utamakan keselamatan dirimu terlebih dahulu. Aku akan mengulur waktu selama mungkin. Dan aku akan segera menyusulmu.” Kataku menenangkan Shina yang sama paniknya.

Tak lama, aku mendengar suara sirine berserta truk warna merah yang segera menerjang ke tengah jalan dan mempersiapkan beberapa hal.

“Hoii! Kami ada di atas sini!” teriakku. Mereka segera menaikkan crane, ke atas. Tunggu, apa? Crane? Berarti orang yang bisa naik terbatas!

Tapi kalau dipikirkan dengan keadaan Shina sekarang, itu adalah yang terbaik. Seseorang datang mengendalikan crane, atau yang lebih tepat disebut elevator itu.

“Kami dari tim penyelamat! Silahkan naik, hanya saja salah satu dari kalian. Kami akan mengangkut kalian bergantian! Jadi kami akan kembali ketika salah satu dari kalian sudah turun dengan selamat. Kira kira membutuhkan watu 5 menit!” katanya tegas.

Huh! 5 menit katanya? Aku bisa bertahan 2 menit disini saja sudah beruntung!

“Shina, kamu turun saja duluan. Aku menyusul.”

“Tapi, tapi!” Shina tampak enggan.

“Shina! Aku ingin kamu melakukannya untukku! Kamu harus. Harus melakukannya! Berjanjilah, dan kita pasti akan segera bertemu lagi!” kataku, menarik wajahnya mendekati wajahku, menunjukkan betapa seriusnya aku untuk melindunginya.

Dia sedikit tersenyum lalu mengangguk mantap. Keraguannya sedikit berkurang.

“Aku akan menunggumu, Yami!” dan dia pun segera naik, ke elevator yang sudah disediakan. Lagipula, kenapa pihak pemadam kebakaran itu tidak menggunakan tangga sih?

Apa karena teknologi sudah maju? Jadi sudah tidak membutuhkan tangga? Ahhh! Sudahlah! Paling tidak, Shina bisa selamat.

“Ahh! Lagi lagi, aku harus berjuang, kah?” kataku pelan, mengambil ponsel merekam sesuatu. Aku membuang ponselku, ketika urusanku selesai. Aku berjalan pelan, ketika pintu akhirnya meledak.

“Hmm, dua granat sudah hilang, jadi dia hanya punya apa yang ada di tangannya?” tangan dan kakiku gemetar. Jujur saja, aku takut. Ya! Aku sangat takut sekarang.

Tapi, untuk apa aku berjalan sejauh ini? Bukankah mati saja aku sudah tenang?

“Hei bocah! Apa yang kamu lakukan? Dimana bocah yang lainnya?” teriak seseorang, berjalan pelan sambil menodongkan machine gun nya. Aku tertawa keras.

“Apa yang aku lakukan? Apa yang aku lakukan katamu? Aku hanya diam disini, menertawakan kebodohanmu! Dia sudah turun! Kenapa? Kau bingung?"

"Dan juga, sebentar lagi teman temanku akan membebaskan mereka semua yang ada di bawah! Kau tahu? Semua yang kalian rencanakan sudah berakhir! Dan semuanya berada dalam kendaliku! Ya! Semuanya ada di tanganku, orang yang kau katakan bocah ini!” teriakku dengan raut wajah puas. Tanganku masih bergetar.

“Apa! Siapa sebenarnya kau ini?” tanyanya, dengan mata berkilat penuh dengan amarah.

“Aku hanyalah, bocah SMA biasa!” teriakku melemparkan granat. Sialan! Ternyata yang kuambil malah granat asap!

Yah, itu tidak buruk, selama aku mengalihkan tembakannya ke tempat yang acak, membuatnya buta lalu menimbulkan suara di arah yang salah.

Cara yang tepat untuk menghabiskan peluru. Dia terus menembak ke tempat yang salah.

“Bocah sialaaan! Dimana kau!” teriaknya membuang senjata apinya yang kini sudah tak berperluru.

“Aku ini, dari dulu tidak bisa bergaul,” aku berteriak maju, menendangnya yang sudah tanpa senjata.

“Aku ini, dari dulu selalu sendirian,” kupukul perutnya, namun hanya membuat tangan kecil nan lemahku ini sakit.

“Aku, yang selalu mengurung diri di dalam kamar dalam kesendirian!” aku masih berusaha berlari, melemparnya dengan kursi, walaupun itu juga nampaknya tidak berarti apapun.

“Karena aku menganggap teman hanyalah penghalang!”

“Dasar bocah tengik! Dimana kau!” teriaknya, mencakar cakar ke segala arah.

“Tapi, setelah aku bertmu dengannya, dengan mereka,” asap mulai menghilang.

Aku mnyipitkan mataku, bersamaan dangan tubuhku yang lemah ini terlihat olehnya. Dia menyeringai aneh, sekaligus menakutkan.

“Aku mulai banyak belajar,” aku berlari.

“Betapa lemahnya diriku ini!” teriakku maju dengan penuh keyakinan, tapi tentu saja aku langsung dihempaskan ke belakang, menabrak beberapa meja dan kursi.

Beberapanya hancur karena itu. Cukup keras hingga membuatku mengeluarkan sedikit darah dari mulutku.

“Cih! Aku tidak bisa berbuat apa apa, ya? Aku berjanji pasti akan mempelajar bela diri di kehidupan yang selanjurnya!” kataku pelan, mengusap darah yang ada. Sekalian, aku juga ingat bahwa ini bukanlah manga atau novel.

“Ha ha! Sekarang kan terlihat! Aku tidak peduli lagi dengan masalah lain! Kali ini, akan kubunuh kau! Kalau semua tujuanku tidak tercapai, paling tidak aku pasti bisa membunuhmu!” dia berlari, menerjang.

Serius, sakit. Sangat sakit hingga aku ingin menangis. Dengan tenaga yang tersisa, aku berusaha untuk memegang sebuah balok kayu, mencoba menahan serangannya.

Dia datang, dengan sangat cepat hingga aku tak bisa lagi menghindar. Bogem mentah segera datang menuju perutku. Aku tak sanggup lagi menahan darah yang ada di dalam mulutku. Ah!

Sangat sakit! Aku terhempas jauh, dimana dia masih mengejarku bagaikan singa yang gila menginginkan mangsanya. Menarikku dan melemparku ke tembok pengaman pinggir gedung dengan keras.

Aku kaget tidak percaya. Apa apaan dengan kekuatannya itu? Selain itu, suara patahan terdengar di belakangku.

Aku tidak tahu, apaah itu suara tombok di belakangku, atau suara tanganku. Tapi kemungkinan, keduanya.

Aku ingin menangis, tapi sudah tidak ada tenaga lagi untuk melakukannya. Aku jatuh terduduk, berusaha menggerakkan tangan kananku yang kubuat menahan tabrakan tubuhku dengan tembok itu.

?!

Aku tidak bisa menggerakkan tangan kananku, bahkan aku pun tidak bisa merasakannya?!

“Ha ha ha!” aku tertawa keras, menyapu rambutku menggunakan tangan kiri ku yang masih bisa bergerak. Aku berusaha bediri dengan tangan kanan yang sudah tidak mau bergerak lagi.

“Memang hebat! Kekuatanmu itu memang hebat! Tangan kananku patah tulang tahu!” teriakku menunjuk tangan kananku ketika sudah bisa berdiri cukup tegak.

Setelah itu terdengar suara helikopter mendekat, dan aku pun tersenyum puas.

“Kuakui, kau luar biasa. Tidak hanya mampu menghentikan rencanaku, sampai mampu membuatku berada dalam kondisi seperti ini! Ha ha luar biasa!” teriaknya.

“Yahh, tapi di kesempatan ini aku yang menang,” kataku menunjuk ke atas.” Kami berdua terdiam, dia nampak sangat terkejut. Dia hanya berdiri tanpa berkata apapun. Hanya saja, kini ekspresianya terlihat sangat marah.

“Jangan bercanda!” teriaknya melihat beberapa helikopter yang sedang terbang menuju kemari. Aku tertawa pelan. “Aku menang!” batinku. Dia berjalan pelan ke arahku, semakn cepat.

“Yahh, walaupun aku harus babak belur begini tapi..” kata kataku terputus. Dia menerjangku, mendorongku dengan pukulan tangannya.

Tembok yang berada di belakangku entah kenapa bisa hancur, bagai bunga yang berguguran.

“Apa?!” kataku lemah, muntah darah tak menyadari apa yang terjadi dalam beberapa detik ini. Sepersekian detik kemudian, kami berada di udara.

Dia menarik kakiku, dan dengan cepat menghempaskan tubuhku kebawah. Aku terlempar ke bawah, dengan cepat menghantam mobil yang berada di bawahku.

Sesaat, semuanya menjadi lambat. Pecahan kaca berterbangan di sekitarku, seluruh tubuhku bersuara aneh, atap mobil menjadi penyok.

“Ha? Bukannya ini hanyalah perampokan biasa? Kenapa kejadiannya menjadi separah ini? Dia hanya penjahat biasa, bukan?” tanyaku dalam waktu yang rasanya terus melambat.

Kembali, mulutku mengeluarkan darah segar. Entah keberapa kalinya aku muntah darah. Seseorang berteriak, tapi aku hampir tidak bisa mendengarnya.

Semuanya mulai sunyi, suara orang-orang yang memanggilku berangsur angsur menghilang. Aku menoleh ke sekelilingku.

“Shina? Shino? Hikaru?” tanyaku ketika melihat mereka berlari ke arahku. Aku sempat melihat seseorang yang terduduk di atas truk, dengan senyum puas menatap ke arahku.

“Ah, kenapa jadi berlebihan begini? Seperti film anak anak saja! Dramatis!” batinku. Aku ingin segera bangun, tapi sepertinya memang mustahil.

Aku berusaha memeriksa kondisi tubuhku sendiri. Aku tidak bisa mempercayainya. Seluruh tubuhku tidak bisa kugerakkan!

Lagi lagi, apa yang mengalir hangat di punggungku? Aku juga kesulitan bernafas!

“Yami! Yami!” seseorang berteriak, menatapku dengan wajah terbalik. Aku tidak melihatnya dengan jelas. Sudah pasti seluruh indraku mati rasa.

“Yami,” katanya lagi, penuh penyesalan. Menangis, meneteskan air matanya ke dahi ku.

“Aku tahu suara ini. Aku tahu tangan ini,” batinku. Ah! Shina! Aku mengangkat tangan kiriku. Ajaibnya, dia masih bisa bergerak, dan mengelus pipinya, menghapus air matanya.

Namun apapun yang aku lakukan, air matanya tidak bisa berhenti, dan terus menghujani dahiku.

“Ambulans cepat! Panggil ambulans, dokter, pertolongan pertama, atau apapun itu! Apapun! Apapun!” teriak seseorang, dan aku yakin itu Hikaru.

Aku tersenyum, berganti melihat Shino yang tampaknya sibuk menghubungi rumah sakit.

“Nah, Shina! Kenapa kamu menangis?” tanyaku pelan.

“Kamu itu bodoh kah?” jawabnya masih terus menangis.

“Hei! Yang akan pergi aku. Seharusnya, aku yang menangis,” kataku. dia hanya diam, meneruskan tangisannya. Tangannya berpindah, menggenggam erat tanganku.

“Bertahanlah! Sebentar lagi ambulans akan datang! Kumohon, bertahanlah sebentar lagi!” dia masih menangis, kini makin menggenggam erat tangan serta jari jariku dengan kedua tanganya.

Aku terseyum. Sulit bagiku untuk bergerak. Jadi, tersenyum saja sudah cukup membuatku kesakitan.

“Hei, Shina. Kalau kau mau tahu keadaanku. 6 tulang rusukku patah, tulang belakang beberapa retak, tulang kaki remuk, beberapa organ dalamku mungkin tak berbentuk, dan aku sudah tidak bisa lagi merasakan badanku. Kita bisa bercakap cakap saat ini saja sebuah keajaiban. Jadi, kalau melihat keadaanku seperti ini, 99% aku akan mati disini,” kataku menjelaskan keadaanku yang sebenarnya.

“Tidak! Aku percaya! Aku percaya! Aku percaya pdaa 1% itu! Aku berusaha untuk..” Shina tidak melanjutkan perkataannya.

“Tapi, aku tersenyum, bukan?” aku tersenyum bahagia, menatapnya.

“Semua! Beri hormat! Terima kasih atas kerja kerasnya!” teriak Hikaru, menundukkan kepala.

“Ahh, siapa sangka kematianku menjadi acara drama seperti ini? Oi oi! Hentikan! Memalukan tahu!” teriakku dalam hati.

Suasana menjadi sangat tenang. Angin berhembus, seperti berusaha meniup lukaku, menyembuhkanku. Atau mungkin berusaha mengangkat nyawaku segera pergi. Mungkinkah ini perasaan seseorang sebelum meninggal?

“Uhh!” aku batuk, tidak mampu menahan lagi. Bernafas kini pun sulit. Setidaknya, aku harus memastikan teman teman melakukan apa yang aku katakan.

“Hei Shino!” kataku agak keras.

“Ya?!” dia mendekat. Dia tampak ingin menangis, tapi aku tahu dia menahannya.

“Hei, Shino. Tidak, untuk kalian berdua. Shina, Shino,” aku semakin kesulitan berbicara. Nafasku sudah semakin tidak teratur. Sial! Sedikit lagi!

“Tolong,” aku batuk semakin keras. Ahhhh! Tuhan, paling tidak, biarkan aku tersenyum tulus sekali saja! Aku menarik nafas,

“Lakukan permintaan terakhirku, ya!” aku tersenyum bahagia menatap mereka berdua.

Ahh, akhirnya aku bisa tersenyum tulus. Sepertinya sudah cukup untukku berusaha sampai sejauh ini. Pandanganku menggelap.

Aku masih ingin bersama mereka sedikit lebih lama lagi.

Tapi waktu sudah memberikan kebaikannya hingga aku berhasil bertahan sampai sekarang.

Mungkin ini sudah waktunya.

Selamat malam!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!