NovelToon NovelToon

Dia Bimaku

Pengenalan tokoh

Maudy Ambar sari. Seorang gadis berkulit putih bersih, tinggi hidung mancung. Tetapi tidak suka berdandan, ia sedikit tomboy. Cantiknya natural tanpa make up, termasuk lipstik sekali pun. Berasal dari keluarga sederhana yang tidak kekurangan. Ayahnya adalah seorang PNS, dan ibunya hanya ibu rumah tangga. Maudy adalah anak pertama dari dua bersaudara.

Bima Adi Nugroho. Putra dari bapak Adi Nugroho, pemilik perusahaan di berbagai negara. Bima adalah anak kedua dari dua bersaudara. Bima seorang lelaki tampan yang nyaris sempurna, tetapi hatinya lembut, pendiam dan sangat pemalu. Berbeda dengan anak orang kaya lainnya. Bima adalah kekasih dari Maudy Ambar sari.

Pagi ini, sebelum bel sekolah berbunyi.

"Sayang, kamu udah sarapan tadi? Aku bawa roti nih." Duduk di kursi yang ada di bawah pohon di area sekolah.

"Udah kok Bim. Ibu tadi buatkan nasi goreng."

"Huh aku cariin ternyata disini ya kalian."

Kiki, ya itu adalah sahabat dekat Maudy, dan tentunya sahabat juga dengan Bima. Hanya dengan Kiki lah Bima mau berinteraksi seperti biasa. Mungkin karena sifatnya yang cenderung pendiam jadi tidak terlalu banyak dekat dengan orang lain.

Bima berpacaran dengan Maudy juga karena sebelumnya sudah mengenal, yakni satu kelas sewaktu masih SD. Selain Maudy anak yang periang juga banyak teman, banyak menyukai, hal ini sangat berbanding terbalik oleh sifat Bima. Bima yang buncin akut, sangat cemburuan. Tetapi Maudy tidak keberatan dengan itu semua, bahkan ia merasa senang kalau tiap hari Bima harus cemberut ketika teman lelaki yang lain menyapa Maudy.

"Bel sebentar lagi berbunyi, kita ke kelas aja lah, ayo?" Berdiri menunggu dua pasangan ini duduk dengan santainya.

"Bentar lagi lah Ki, aku masih makan roti." Bima melahap roti coklat yang di bawakan mamanya.

"Hei, Hem Maudy nanti kita ada rapat OSIS ya, soalnya kita harus menyusun anggota OSIS yang baru, dan melepas jabatan kita."

Andi, keren tampan. Dan menyukai Maudy tentunya, seorang ketua OSIS disekolah, dan Maudy sebagai bendaharanya. Karena saat ini mereka baru saja naik ke kelas 3 SMA. Maka harus berganti jabatan pengurus OSIS dengan yang baru.

"Iya siap. Selesai istirahat atau gimana?" Masih setia duduk di sebelah Bima. Bima hanya menunduk mengunyah roti miliknya.

"Belum tau sih. Nanti aku kabarin deh ya."

"Ok." Dan melirik ke arah Bima. Setelah Andi pergi barulah Bima mendongakkan wajahnya.

"Senang banget kelihatannya si Andi kalau udah mau rapat OSIS. Pasti karena ada Maudy." Kiki mulai mengompori.

"Mulut kamu mau aku sumpal pake roti ini Ki?"

"Becanda lah Bim ah." Maudy hanya tersenyum dan geleng-geleng. "Tuh bel udah bunyi, ayo ah masuk." Menarik tangan Maudy dan meninggalkan Bima yang juga belum selesai mengunyah roti.

"Sayang." Mendengus karena di tinggal.

Pelajaran di mulai. Seperti biasa, Maudy menjawab semua pernyataan yang bagi siswa lain sulit, kalau baginya mah kecil.

"Kenapa?" Melihat Bima yang dari tadi menunjukan wajah dinginnya.

Marah sama kamu!! Dalam hati tentunya.

"Ya udah kalau enggak mau jawab."

"Ah sayang! Kenapa tadi ninggalin aku sih." Akhirnya tak tahan mendiamkan Maudy.

"Ya ampun sayang. Kan bisa ngejar tadi!!"

"Au ah!!" Kembali menulis.

Maafkan aku ya Bima sayang. Apa aku harus mohon begitu? Baiklah.

"Maaf ya sayang ya. Jangan cemberut nanti hilang deh gantengnya." Merayu, agar Bima kembali tersenyum.

Satu, dua, tiga. Benar saja sang pujaan hati menoleh.

"Enggak mau di tinggal lagi."

"Iya iya. Sekarang belajar yang fokus, kita hanya sebentar lagi ada di bangku sekolah ini."

Bahkan ya Bima aja duduk enggak mau pisah dengan Maudy. Tapi ya maklum, yang lain juga sudah tau kalau mereka pacaran. Hanya Kiki kadang yang merasa terusik karena hanya menjadi obat nyamuk di antara mereka.

Pelajaran berakhir, waktu mereka mengisi perut dengan jajanan kantin. Kantinnya mewah loh, maklum juga ya sekolah elit. Walau keluarga Maudy tidak sekaya sepeti teman yang lain, termasuk Bima. Tapi Alhamdulillah, ayah dan ibunya mampu untuk menyekolahkan anaknya di tempat ini, itu juga terbantu dengan beasiswa yang selalu Maudy dapatkan. Belajar dan belajar selalu ia lakukan, tak lupa juga dengan pacaran.

"Maudy, setelah ini kita rapat di aula ya, kamu enggak perlu masuk ke kelas lagi." Andi datang bersama teman-temannya.

Sok ngatur kayak guru! Protes Bima dalam hati.

"Oh gitu ya udah." Memberi senyum termanisnya.

"jangan senyum!" Bisik Bima.

"Duluan ya Dy, Ki, Bim." Andi and teh Genk pamit.

"Iya ketua." Kiki menjawab.

"Iya ndi." Maudy melambaikan tangan.

"Hem." Dan apa? Bima hanya berdehem dengan sewotnya.

"Ngapain sih mesti senyum segala." Menggerutu enggak jelas.

"Mulai deh kan."

"Tau, napa sih Bim. Syirik amat, itu tandanya Maudy ramah."

"Ya ya ya ya." Kembali menyantap mie goreng miliknya.

Maudy bersiap akan ke aula. Maudy berpesan pada Kiki untuk memantau Bima, agar dia belajar dengan serius.

"Jangan senyum sama yang lain, ingat. Duduknya harus jauh sama laki-laki." Kembali memulai bucinnya.

"Udah ayo masuk jangan lebay!" Menarik tangan Bima. "Dan kamu Maudy, cepat ke aula." Mencoba berakting seperti guru.

"Iya bu siap. Oh iya, nanti pulang sekolah kerumah aku ya. Ibu ku masak enak." Berjalan pergi meninggalkan Bima dengan beribu kekhawatiran.

"Setelah lulus kamu kuliah dimana Bim?" Sambil berjalan menuju kelas.

"Entah lah, aku sih malas Ki bilang mau kuliah disana, disitu, atau dimana. Toh ujung-ujungnya orang tuaku yang nentuin."

"Protes lah Bim. Kamu kan bukan anak kecil lagi."

"Males!!" Meninggalkan Kiki dan lebih dulu masuk ke kelas.

"Eh Bim. Maudy mana?" Salah seorang siswi centil bertanya.

"Lagi rapat OSIS." Tak mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Boleh duduk Bim?" Diam tak menjawab.

Tanpa menunggu Nina duduk di bangku Maudy.

Hanya melirik dan kembali memainkan ponselnya.

"Bim?"

"Hem?"

"Kamu udah lama ya pacaran sama Maudy?"

Mencoba bertanya.

"Udah." Garuk-garuk kepala karena kalah memainkan permainan.

"Jadi udah ngapain aja?" Memandang Bima.

Apasih yang dibicarakan dia. Batinnya.

"Banyak lah." Kembali memulai permainan di ponsel.

"Ha? Banyak? Apa termasuk itu juga, gila ya Bima. Enggak nyangka padahal kamu pendiam loh!" Nina berteriak dan pandangan seisi kelas tertuju padanya.

"Ups.." Menutup mulutnya dengan tangan.

"Kamu ngapain disitu nin?" Tegur Kiki yang baru saja masuk kedalam kelas.

"Ini loh Ki, Bima katanya udah banyak ngelakuin hal, sama Maudy. Termasuk itu tuh, enggak nyangka ah." Memprovokasi Kiki.

"Ya memang banyak lah."

"Ha? Jadi kamu juga tau?" Kaget yang kedua kali.

Bima cuek aja, tak mendengarkan dan melihatnya.

"Udah sana, mau tau aja urusan orang lain. Sana kamu pacaran aja sama Edi tuh. Kasian dia enggak punya pacar." Menunjuk lelaki berkaca mata dengan rambut klimis seperti pakai minyak goreng.

"Kayak kamu enggak jomblo aja."

"Udah sana, nanti kalau Maudy tau kamu deketin Bima, uwih bisa di tonjok kamu. Apa aku kasih tau aja ya?" Berpura-pura memikir.

"Eh jangan iya iya aku pergi." Takut loh dia, takut sama Maudy. Haha.

"Akhirnya pergi juga nenek sihir."

Menoleh ke arah Kiki.

"Kamu tuh Bim, kalau ada yang deketin jangan diam aja. Usir kek, atau apa kek."

"Malu aku ah mau ngomongnya, segan juga. Jadi aku diamkan aja."

"Simpan ponsel kamu, ada guru datang tuh. Mau aku laporin sama Maudy?"

"Iya, bawel amat sih."

Berpura-pura fokus belajar dan mendengar kan. Padahal sebenarnya di dalam benaknya hanya ada Maudy, Maudy dan Maudy.

Lama banget sih Maudy ih.

Ngapain aja sih rapat aja lama sekali. Apa udah selesai cuma Maudy lagi kumpul sama teman-temannya ya? Semua pertanyaan itu muncul dalam benaknya.

Apa aku permisi aja ya bilang mau ke toilet, biar bisa lihat Maudy, ah tapi aku malu mau bilangnya ke guru.

"Kenapa sih Bim?" Melihat Bima yang gelisah.

"Mau permisi ke toilet, tapi enggak berani." Berbalik badan berbicara dengan Kiki.

"Bima kenapa?" Tegur bu Widya.

"Ah enggak Bu." Menunduk malu menjadi pusat perhatian.

"Mau ke toilet bu, tapi takut dia ngomongnya. Udah kebelet katanya." Seisi kelas tertawa mendengar ucapan Kiki. Begitu juga dengan bu Widya.

"Ya udah Bima kalau kamu mau ke toilet."

"Iya bu." Berdiri dan melirik Kiki dengan tajam.

"Wih serem." Mengejek Bima yang wajahnya memerah.

Bima berjalan dengan santainya sebelum berjumpa dengan orang lain, jelas saat ini sepi karena memang jam pelajaran masih berlangsung.

Clingak-clinguk melihat situasi, Bagas mengintip dari jendela aula, melihat dimana Maudy duduk saat ini.

Ih kok duduknya sebelahan sama Andi sih? Padahal tadi udah di bilang jangan dekat-dekat. Sebal sendiri sampai kepalanya terpentok jendela, sontak satu isi aula melihat ke arah jendela. Bima yang kikuk langsung berjongkok, ia merutuki kebodohannya sendiri.

"Biar aku liat, siapa yang ada disana." Andi berdiri dari duduknya.

"Mungkin orang iseng, udah lanjutkan aja lah rapatnya biar cepat selesai." Maudy melarangnya.

"Oh iya juga. Ya udah kita lanjut ya."

Secepat mungkin Bima berlari untuk kembali ke kelas. Semua tatapan tertuju padanya saat sampai di depan kelas.

"Bima kenapa lama sekali?" Tegur bu Widya.

"Maaf bu." Tidak memberi alasan dan langsung masuk kemudian duduk di bangku, dengan wajah yang sulit di artikan.

Tambah enggak tenang aja aku belajar ah!!!

Tak terasa bel sudah berbunyi, waktunya pulang. Kembali ke rumah masing-masing. Suara ricuh dari setiap siswa dan siswi yang berada di kelas sudah biasa, karena memang begitulah jika sudah waktunya pulang. Ada kegembiraan tersendiri bagi mereka. Tapi tunggu, Maudy juga belum selesai dengan rapat nya.

"Bim, tunggu. Maudy mana?" Berjalan sambil memakai tas gendongnya.

"Apa? Enggak tau, belum siap mungkin." Cuek.

Kalau enggak mikir kamu pacarnya Maudy aja Uda aku getok pake buku. Batin Kiki dengan sebalnya.

"Kita tunggu di depan aja, tadi kan dia ngajak kita main kerumahnya." Manut tanpa menjawab. Duduk dekat pos satpam. Banyaknya siswa lalu-lalang membuat mereka kesulitan melihat Maudy.

Setelah sepi baru lah nampak Maudy berjalan bersama Andi, tertawa kecil, sesekali memukul lengan Andi. Jelas, sangat jelas Bima yang melihat sudah kepanasan.

Masalahnya, sudah cemburuan tapi pemalu, jadi ya bebas aja laki-laki gangguin pacarnya. Coba aja galak sedikit, pasti pada takut dah tuh.

"Lama ya nunggu nya? Ayo kita berangkat sekarang." Kiki melirik Bima yang masih mengalihkan pandangannya.

"Ya udah ayo."

Masih saja Maudy merasa tidak bersalah. Sudah menunggu, eh malah Bima nya di cuekin.

"Kita naik mobil aku aja ya, tuh supir udah jemput." Setuju saja dengan usulnya, ya begitu lah pikiran Maudy saat ini, karena memang sudah lapar.

Lalu Bima? Kenapa dia tidak protes.

"Bim?" Panggilan yang lembut. "Kamu ikut kan kerumah ku?" Masih belum menjawab. Asik bermain ponsel, padahal tidak ada yang di ketik.

"Malu sama ibumu."

"Ya udah kalau enggak mau. Aku duluan ya."

Melangkah memasuki mobil Kiki.

"Ikut." Maudy sudah paham, pasti dia mau sebelum di ancam juga pasti bakal mau.

Hari ini hari pertama, dimana Bima harus berkunjung ke rumah calon mertuanya. Entah lah sikap seperti apa yang akan ia tujukan, mungkin akan puasa ngomong sampai pulang. Selama 2 tahun lebih menjalin hubungan dengan Maudy, Bima memang belum pernah datang kerumah Maudy, dengan alasan masih sama-sama di kasih batasan.

Kalau orang tua Maudy sih, ngasih buat Maudy dekat dengan siapapun, tapi kalau untuk pacaran dan harus ngapel kerumah setiap malam tertentu, oh no itu belum bisa di kabulkan.

Tapi hari ini Maudy sendiri yang mengajak mereka untuk datang, biasanya juga hanya Kiki yang di ajak.

Oh God, tangan ku mulai berkeringat. Sungguh aku sangat ingin pulang kerumahku saja.

Sedari tadi Maudy melirik Bima yang memang nampak gelisah.

Ting.. Suara ponsel milik Kiki berbunyi, Bima? Batinnya. Langsung membuka pesan Whatsapp. Haha Kiki tertawa dengan kencang, hingga supir dan Maudy nampak bingung, tapi Bima? Jelas dia tau kalau Kiki menertawakannya.

Ini pesan:

"Ki, aku turun aja ya. Aku malu."

"Kenapa sih Ki?" Yang penasaran dengan tawanya bertanya.

"Eh itu Dy, si Bima mau pulang aja. Malu katanya?" Tak menjawab langsung beralih menghadap Bima.

"Kamu mau pulang? Ya udah. Pulang aja. Tapi lain kali jangan pernah datang kerumah ya." Menggertakan giginya.

Sayang serius, kamu hari ini nyebelin banget, banget!!

"Apa?" Ketika Bima membalas tatapannya.

"Sudah sampai non."

Kiki dan Maudy turun lebih dulu. Dan Bima, ia lemas bahkan kakinya bergetar. Supir menegurnya dan bertanya kenapa tidak turun? Langsung Bima dengan sigap turun dari mobil.

Besok aku bakal bawa mobil sendiri! Nyesel juga selalu menolak tawaran mama dan papa yang ingin aku sekolah bawa mobil. Ah, kalau begini mana bisa kabur lagi. Seperti apa ya ibu dan ayahnya Maudy.

Berpikir dan berpikir.

"Eh Maudy udah pulang? Bawa sapa tuh?" Tegur tetangganya, wajahnya tidak tampan, tapi manis juga sih.

"Teman bang."

"Nanti kesini ya, kita main gitar. Kalau teman kamu udah pulang."

Aku bersumpah setelah pulang, akan menyuruh Maudy untuk tidur! Bima.

 

---

Kunjungan pertama

Rumah bergaya minimalis, tidak terlalu besar. Halaman tampak bersih, bunga tersusun dengan rapih. Sangat bisa di baca kalau sang pemilik rumah sangat rajin. Teras yang unik, di bawahnya terdapat kolam ikan, walau pun Bima anak orang kaya raya, tetapi ia juga takjub melihat rumah Maudy. Berbeda dengan rumah lainnya.

Pasti ibunya galak!

"Bim, ayo?" Ajak Kiki yang melihat Bima melamun. Maudy lebih dulu masuk kerumahnya dan memberi tau ibunya kalau teman-temannya sudah datang.

"Kita balik aja yuk. Aku malu!"

"Bim, gila kamu ya!" Setengah berbisik.

"Kalian nunggu apa? Ayo masuk." Maudy berdiri dengan tangan yang bertengger di pinggang.

Nah kan, anaknya aja galak pasti ibunya juga. Bergumam sendiri.

"Assalamu'alaikum." Dengan kompak mengucap salam.

"Walaikumsalam. Kiki, apa kabar?" Menyambut kedatangan Kiki. Lalu Bima? Ya jelas hanya nunduk.

"Sehat, Tante sediri gimana?"

"Alhamdulillah, sehat juga. Tante udah buat cemilan buat kalian, ayo di makan." Tawarnya ramah.

"Makasih banyak Tante, repot-repot segala." Mencoba jaim.

Jelas kan, aku di kacangin. Mau ngomong juga bingung, mau ngomong apa coba?

"Tante tinggal ke belakang dulu ya." Pamit, dan tersenyum ramah.

Maudy mengganti bajunya terlebih dahulu. Dengan memakai celana Jogger selutut, kaus lengan tiga perempat. Dan rambut ia kuncir tinggi. Menampakan leher jenjangnya yang putih dan mulus.

"Bu, masak apa? Biar mereka juga ikut makan, lagian laper belum pada makan pulang sekolah."

"Ini masak daging rendang, sama tauco udang. Sebentar lagi matang, sengaja ibu masaknya agak siang, supaya bisa menyantap pas lagi hangat." Mengaduk masakan yang sudah hampir matang.

"Wah, mantap." Mengacungkan kedua jempol nya.

Kini Maudy yang sibuk dengan membuat es serut untuk di hidangkan kepada tamu, eh pada pacar yang baru sekali ini datang kerumah tentunya.

"Sst. Maudy!" Melirik ke arah depan, berharap temannya tidak mendengar.

"Apasih bu?"

"Itu siapa? Laki-laki yang ikut datang." Tanya ibunya penasaran.

"Oh itu, Bima bu. Bima anaknya Adi Nugroho, yang punya mall dan perusahaan terbesar di kota dan negeri ini." Menjawab dengan santai, dan mengaduk es yang siap di hidangkan.

"Apa? Masak sih? Kok nunduk mulu? Emang ibu seram ya?" Memegang wajahnya yang masih mulus walau di usia 40 tahun.

"Haha, enggak lah bu. Ibu cantik, enggak seram kok, cuma galak." Ibunya bersiap melempar bawang. "Dia pemalu bu orangnya, dan dia pacar Maudy loh." Berbisik lalu pergi meninggalkan ibunya, dengan mulut terbuka. Tak percaya dengan perkataan anaknya.

"Maudy jangan macam-macam. Nanti ayah kamu tau, bisa di pasung kamu."

Maudy hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya.

Maudy berdehem karena kedatangannya tak disadari oleh dua manusia yang asik dengan ponselnya masing-masing.

"Ehem."

Melirik ke arah Bima. Mencoba melihat sang pujaan hati lagi melihat apa di ponselnya.

"Eh, tuan rumah udah datang. Wah ada es serut." Kiki bersemangat.

"Norak orang kaya lihat es serut aja udah girang."

"Ya ampun Dy, wajar lah. Kalau di rumah mana mungkin boleh minum begini sama papa aku." Langsung menuangkan satu gelas penuh untuknya.

Maudy juga menuangkan ke gelas untuk Bima.

"Bim?" Panggilnya melihat Bima yang masih acuh.

"Di minum dulu ini. Apa kamu enggak haus akan di interogasi ibu nanti." Melirik Kiki yang tersenyum sambil meneguk minumannya.

"Sayang, jangan gitu aku gerogi."

"Sayang? Siapa yang namanya sayang?" Ibu Irma datang membawa mangkuk berisi daging rendang dan tauco. Masih mengepul asap tanda bahwa makanan baru matang.

Ha? Bagaimana ini.

"Hehe, enggak bu." Bima yang nafasnya naik turun tidak teratur.

Ikut duduk dengan anak remaja. Tepatnya duduk di samping Maudy yang berhadapan langsung oleh Bima.

"Cie manggilnya udah ibu." Kiki mulai dengan jurus kompornya.

Maudy membulatkan matanya dan menatap Kiki. Karena ia tau, Bima mulai berkeringat dingin.

"Ya udah ayo makan." Mengalihkan perhatian, agar ibunya tidak membahas lagi.

"Nama kamu siapa?" Ternyata salah, bahkan ibu sudah tau, tapi masih bertanya.

"Saya ya bu? Eh Tante." Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Enggak apa-apa kalau mau panggil ibu, biar lebih akrab dan romantis." Tersenyum.

Ibu ngomong apa sih. Batin Maudy.

"Saya Bima bu."

"Kata Maudy kamu anaknya pak Adi Nugroho ya? Yang punya mall dan perusahaan otomotif dan rokok?"

Ya ampun sayang, sebenarnya kamu bilang apa sih ke ibu kamu.

"Iya bu."

"Oh. Kenapa mau bergaul dengan Maudy yang hanya anak seorang PNS?" Masih lanjut sesi tanya jawab. Keburu makanannya dingin toh bu.

Kiki dan Maudy hanya saling lirik.

"Aku enggak pernah memandang itu semua bu. Bagiku selama temannya menyenangkan kenapa tidak?" Kali ini ia menjawab dengan santai.

"Teman? Tapi kata Maudy kamu pacarnya?"

Kiki, Maudy, dan Bima kaget. Bima menarik nafasnya, dadanya mulai sesak.

"Bu, udah lah. Ayo kita makan." Maudy mencoba untuk menegur ibunya dengan mengalihkan pembicaraan.

"Ya udah. Eh iya piringnya belum di bawa. Ibu ambil dulu ya." Berdiri meninggalkan mereka.

Ting..

Bunyi pesan di ponsel Maudy.

"Kamu nyebelin hari ini, nyebelin banget."

Ternyata Bima yang mengirim pesan.

"Kamu suka kan?" Maudy membalas, menggunakan emoticon cium di ujung kalimat.

"Iya aku suka! Sangking sukanya, aku enggak suka ada yang deketin kamu, pertama Andi, lalu abang-abang tadi yang didepan rumah kamu. Ah nyebelin!! Mau cium."

Mengirim lagi.

"Nanti aku cium di depan ibu ya." Membalas lagi.

Terus saja sampai ibunya kembali dengan membawa nasi dan piring. Barulah mereka meletakkan ponselnya.

Memakan dengan hening, ada yang jaim? Siapa? Bima lah. Makannya sedikit banget, baru sekali suap, minum, begitu seterusnya. Maudy tau kalau masakan ibu ini pedas, makannya Bima lebih dulu mengabiskan air dari pada nasinya. Untungnya bersikap sok jaim, kalau ngambil banyak bisa keluar api telinga Bima.

"Bima kenapa? Masakan ibu pedas ya?" Tanya ibu Irma.

"Hehe, iya bu. Bima suka pedas kok bu."

Bohong dia Bu!

Kembali melanjutkan makannya. Setelah selesai Kiki membantu membereskan piring, dan segera mencucinya. Bersama Maudy mereka berjalan ke belakang, meninggalkan ibu dan Bima.

"Bima?" Panggil ibunya Maudy.

"Eh iya bu." Masih tersenyum dengan wajah yang memerah.

"Kamu memang dekat dengan Maudy?" Masih diam, dan menunduk.

"Ibu enggak apa kok. Asalkan kalian tau batasan, sebenarnya Maudy itu belum boleh pacaran, tapi nyatanya ia juga tetap fokus belajar. Jadi ibu enggak masalah. Lagian kalau kamu siap dengan Maudy, berarti kamu juga harus siap di tinggal nantinya." Mencoba menjelaskan dengan nada selembut mungkin.

"Ditinggal, maksud ibu? Maaf bu aku lancang bertanya."

"Hem, iya. Adik ibu yang paling kecil kan ada di luar negeri, disana kehidupannya lumayan, dia punya usaha. Dan sejak SMP om nya sudah berjanji akan membiayai kuliah Maudy, tapi dengan syarat Maudy harus tinggal disana, sekalian bantu-bantu usaha restorannya. Karena Maudy juga tidak menolak, tentu kami mendukung. Lagian, kalian juga kan masih muda, perjalanan juga masih panjang."

Bima sangat syok mendengarnya.

"Iya bu aku ngerti kok."

"Kamu kalau mau main kesini enggak apa lagi, anggap aja ibu seperti ibu mu. Dulu, ibu juga pernah bekerja di kantor papa kamu, tapi karena ibu mulai hamil adiknya Maudy, ibu mengundurkan diri, itu juga kemauan ayahnya."

"Wah, jadi ibu pernah bekerja disana?" Ibu Irma mengangguk dan tersenyum.

Entah apa yang mengubah Bima dalam hitungan menit ini, ia merasa nyaman berbicara dengan bu Irma. Seperti bicara dengan mamanya sendiri. Banyak pembahasan yang ia bicarakan, mulai dari papanya yang suka ngatur, yang begini yang begitu, sehingga sulit untuk Bima menemukan teman yang tepat. Sejak SD setiap pulang sekolah harus di jemput supir, langsung pulang ke rumah belajar. Tidak ada kata bermain seperti yang lain. Setelah menginjak SMA barulah ia berani berontak, tidak ada supir yang mengantar.

Karena ia juga enggak mau, siswa yang lain tau kalau dia adalah anak dari Adi Nugroho.

Setiap pulang sekolah, sampai saat ini. Selalu di larang kemana pun. Dan hari ini, Bima akan menanggung resiko akan di marahi lagi. Tapi dia berdoa semoga papanya tidak makan siang di rumah. Jadi enggak tau kalau Bima pulang telat.

"Jadi begitu, pantas saja kamu susah bergaul, pemalu." Manggut-manggut setelah tau kenyataan yang di ceritakan oleh Bima.

"Kalau sifat ku yang pemalu sih katanya nurun mama bu."

"Cie yang ngobrol sama calon." Ternyata Kiki dan Maudy telah kembali dari dapur.

"Eh iya. Ya udah ibu mau keluar ya sebentar, ada yang mau di beli. Kalian nanti aja pulangnya." Pamit untuk pergi ke pasar.

"Hati-hati Tante." Kiki melambaikan tangan.

"Heh Bim, masak enggak bilang hati-hati sih ke calon." Ejeknya.

"Apaan sih Ki." Mereka berbincang, membahas guru dan murid yang ada di sekolah, mana yang menurut mereka baik dan mana yang tak baik.

Bima hanya diam, tak ikut berkomentar, wajahnya sendu.

"Kamu kenapa sih Bim?" Maudy menegur.

"Enggak apa kok. Oh iya Ki, kamu masih lama disini? Aku balik duluan ya?" Maudy menatap tidak suka.

"Dasar anak mama!" Celetuk Kiki.

"Kamu kan tau Ki, keluarga aku gimana!" Tak terima di ejek dengan sebutan itu.

"Aku pamit ya, nanti sampaikan salam ku sama ibu." Berdiri dan mengambil tasnya. Berjalan keluar dan kembali menggunakan sepatu sekolahnya.

"Bim tunggu." Menarik tangan Bima.

"Apa ibuku ada ngomong sesuatu yang nyakitin kamu ya? Maaf ya, ibu memang begitu, tapi hatinya baik kok." Raut wajah khawatir jelas terpancar dari wajah Maudy.

"Enggak ada kok, udah. Nanti kamu jangan keluar lagi ya, langsung istirahat aja di dalam. Jangan ikut gabung sama mereka yang disana." Menunjuk sekumpulan anak lajang yang bermain gitar.

"Iya,iya. Tapi Bim. Tunggu lah sebentar lagi!!" Merengek dan menggoyangkan lengan Bima.

"Woy Bim. Kamu mau pulang naik apa? Enggak asik banget sih, nanti aku antar kamu pulang lah. Sebentar lagi supir aku jemput." Kiki berdiri di depan pintu.

Bima terdiam nampak menimang permintaan orang yang di sayang dan teman yang di sayang.

Tanpa menjawab kembali membuka sepatunya dan masuk ke dalam. Meninggalkan Maudy dan Kiki yang masih terdiam.

"Kenapa?" Tanya Kiki tanpa bersuara, hanya mengode dengan mulutnya.

Maudy menggelengkan kepalanya.

Jam menunjukan pukul setengah 2 siang. Mereka yang menguap karena mengantuk, sehabis makan, belum lagi cemilan yang di sediakan.

Maudy berinisiatif mengambil bantal sofa, dan melemparnya untuk mereka kenakan mengganjal kepala. Sama-sama terdiam dan berbaring sesuka hati, di karpet lembut milik Maudy. Kipas angin sengaja ia arahkan dan tak di putar, membuat mata semakin menutup dengan rapat.

Dua jam kemudian ibu pulang dari pasar membawa dua plastik penuh berisi sayur dan kebutuhan dapur lainnya.

"Ya ampun. Pada tidur ternyata." Kembali berjalan masuk dan ke dapur menyusun belanjaannya.

Sungguh nyenyak yang tidur. Sampai sore belum bangun juga.

"Bu, ayah pulang." Ucap ayahnya yang baru saja hendak masuk ke dalam. Setelah beberapa langkah masuk.

"Ya ampun, anak siapa ini pada terlantar disini." Masuk dan mencari keberadaan istrinya.

"Bu, itu siapa yang tidur? Kok ada laki-laki juga?" Tanyanya. Menyerahkan tas kerjanya kepada istri tercinta.

"Sstt. Ayah, sini deh." Ibu mulai menceritakan siapa Bima dan tentunya hubungannya dengan anaknya, awalnya ayahnya merasa risau kalau Maudy sudah mulai berani pacaran. Tapi ibu mengingatkan bahwa tak sampai setahun lagi Maudy akan berangkat keluar negeri.

"Jadi dia anak bapak Adi Nugroho?" Masih tidak percaya.

"Iya yah."

"Peringatkan sama Maudy bu. Jangan terlalu dekat, masih sekolah."

Berjalan memasuki kamar mandi, untuk membersihkan diri.

Mereka yang tertidur menggeliat, mencium aroma masakan yang sedang di masak oleh ibu Irma.

Bima terbangun dan melihat jam di ponselnya. Tapi, pandangannya teralih dengan beberapa panggilan tak terjawab. Ternyata ibunya sudah menelfon sebanyak 20 kali. Dan begitu banyak pesan yang masuk, mulai dari bertanya kenapa belum pulang? Bima dimana? Dan seterusnya yang berujung dengan kekhawatiran. Tentu Bima tak mendengar karena ponselnya masih ia silent kan.

Ya ampun, udah jam 4?

Kaget dan langsung terduduk.

"Ki, bangun Ki!!" Masih menggeliat.

"Ki, udah Maghrib!!" Spontan Kiki membuka matanya.

"Jam berapa Bim?" Mengucek matanya yang belum sempurna untuk melihat.

"Jam 4." Ucapnya datar.

Kiki kembali memejamkan matanya.

"Ki bangunlah. Mama aku udah nyariin!!"

Ibu dan ayah Maudy mendengar kalau mereka sudah bangun langsung bergegas untuk melihat.

"Sudah bangun?" Ucap ibu dengan santai. Dan di iringi ayah Maudy berdiri di samping ibu Irma.

Kiki langsung membuka mata. Menatap Bima lalu menatap ibu Irma.

"Eh om." Langsung duduk. "Om udah pulang? Maaf ya Tante om, keenakan tidur disini." Malu, segan, ya itu lah yang mereka rasakan saat ini.

"Enggak apa-apa. Tapi orang tua kalian apa enggak nyariin?" Ucap Subiyanto, ayah Maudy.

Bima dan Kiki saling pandang.

"Enggak om. Tadi udah pamitan." Kiki yang mewakili karena tau Bima akan sangat canggung berada di posisi ini. Lebih baik berbohong, pikirnya.

Maudy juga terbangun setelah mendengar suara ayahnya.

"Ini dia ketuanya udah bangun." Ucap sang ayah dan melipat kedua tangannya di dada.

"Ayah, ayah udah pulang." Mencoba mengambil kesadaran nya kembali setelah beberapa jam tertidur.

Mereka sudah siap untuk pamit pulang. Karena hari sudah sore, bahkan orang tua di rumah pun sudah menunggu anaknya pulang.

"Om pamit ya." Menyalim tangan ayah Maudy.

"Tante, Kiki pulang ya. Makasih udah di masakin yang enak."

"Iya, sering main kesini ya." Mengulurkan tangannya.

Kini giliran Bima yang harus pamit. Jelas tangannya bergetar.

"Om pamit ya." Ikut menyalim tangan seperti yang di lakukan Kiki.

"Bu, aku pulang. Makasih ya bu."

Ibu Irma mengangguk.

"Jangan kapok ya main kesini." Bima mengangguk dan tak berani menatap ayah Maudy yang sedari tadi menatapnya.

Maudy hanya diam melihat Bima.

"Dy, kami balik ya." Melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil.

Maudy berdiri memandang hingga mobil hilang setelah memasuki jalan raya.

"Dy, sini ayah mau ngomong."

Pasti ibu sudah cerita, ah enggak asik. Pasti bakal di sidang.

"Iya yah."

Menurut dan duduk di hadapan ayahnya.

"Benar yang di katakan ibumu?"

Apa! Benarkan, ibu!!

Melirik ke arah ibunya yang merasa tidak bersalah. Hanya tersenyum dan memainkan kedua alisnya.

"Iya ayah. Tapi Maudy janji akan tetap fokus belajar kok."

"Bisa di pegang janji kamu?"

"Iya yah. Janji."

Ayahnya berdiri meninggalkan ibu dan anak yang masih terduduk.

"Pasti ibu kan?"

Ibu hanya mengangkat bahu dan ikut pergi bersama ayahnya.

___

Keegoisan papa

Bima sampai di rumah sudah jam 5 sore. Ia sengaja meminta turun di persimpangan, malas pasti bakal banyak pertanyaan nantinya.

Sesampainya di gerbang. Satpam dan bodyguard sudah menyambutnya. Pasti papa udah pulang, pikirnya. Tersenyum ramah lalu masuk kedalam rumah. Rumah yang paling megah dan mewah di antara rumah yang lain di daerahnya.

Tap.. tap.. Suara langkah kakinya terdengar jelas, hening seperti tidak ada orang.

"Dari mana kamu!!" Bentak sang papa. Ternyata tanpa Bima sadari papa dan mamanya sudah menunggunya di sofa, tapi Bima tidak melihatnya.

"Dari rumah temen pa, belajar kelompok." Terpaksa berbohong, dari pada tidak selamat.

"Belajar kelompok ya? Sampai sesore ini?"

Menunduk, tidak berani menatap papanya.

"Lalu kenapa mama kamu telfon tidak kamu angkat?" Berdiri di hadapan Bima, dan melipat kedua tangannya.

"Tadi ponsel aku silent kan pa. Kan lagi belajar, jadi aku enggak tau."

"Bima. Dengar papa, mulai sekarang kamu harus kembali di antar jemput oleh supir, tidak ada alasan! Pilih di antar supir, atau homeschooling?"

"Pa." Mamanya mencoba membela Bima.

"Ma, jangan terus-terusan membela Bima. Liat, ini semua karena mama yang mau kan, bebasin Bima. Taunya apa? Dia ngelunjak ma!! Papa enggak mau dia salah bergaul nantinya." Masih terus menyudutkan Bima.

"Terserah papa!" Berlari menuju kamarnya. Dan mencampakkan tasnya secara asal.

Berdiri di balkon kamarnya, menatap langit senja.

Andai, andai aku terlahir dari keluarga biasa, seperti Maudy, aku rasa lebih asik. Aku hidup bergelimang harta, meski itu harta orang tuaku. Tapi aku tersiksa, tidak boleh bergaul, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Semua, semua harus di atur. Kapan sih, aku bisa ngerasain seperti yang lain. Sepertinya papa enggak berlaku begitu sama mas Rio.

Bima menjadi anak yang serba salah. Berbeda dengan anak orang kaya yang lain, papanya mau semua permintaan nya di ikutin.

"Bima?" Pintu kamarnya terbuka, ia tau pasti mamanya lah yang akan mengejarnya ke kamar.

"Mama tau kamu juga ingin bermain, tapi Bim, kamu kan tau papa kamu gimana? Begini saja, jika kamu mau belajar kelompok, atau merasa sepi. Kamu boleh bawa teman kamu kesini, belajar disini." Bima langsung menoleh.

"Mama serius?"

Mengangguk dan tersenyum.

"Tapi ma, papa gimana?" Kembali murung.

"Nanti mama yang bilang. Ya udah, sekarang kamu mandi, nanti turun ya kita makan malam di bawah."

Hari-hari yang membosankan menurut Bima. Belajar, makan, tidur. Walaupun semua fasilitas lengkap, kolam renang juga ada, tapi tanpa teman bukankah itu juga akan terasa sunyi?

Ponselnya berdering, ia melihatnya setelah selesai mandi.

Maudy?

Bima mengurungkan niatnya untuk menjawab. Sungguh, setelah ibunya bilang kalau Maudy akan keluar negeri setelah tamat dari SMA, ada sedikit niatan Bima untuk menjauh. Tapi, jujur rasa sayangnya ini tak bisa di bohongi, walaupun masih di bilang cinta monyet, tapi menurut Bima tidak, dia tulus menyayangi Maudy.

Bima kembali meletakkan ponselnya, dan turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga.

Di rumah ini, Bima akrab dengan mas nya, yaitu Rio Senta Nugroho. Umur mereka berjarak delapan tahun, dulu sebelum Rio memegang perusahaan papanya seperti saat ini. Bima masih merasa di rumah ini tidak terlalu membosankan, karena masih ada masnya. Tetapi, setelah Rio sudah fokus dan memegang salah satu perusahaan papanya, untuk berbicara juga tidak sempat lagi. Rio selalu pulang larut malam, dan kembali bekerja pagi hari. Tentu itu semua kemauan papanya.

"Mas? Papa mana?" Bertanya pada Rio yang sedang fokus melihat laptop. Ya itulah, melanjutkan pekerjaannya di rumah. Bima yang bayangin aja udah pusing.

"Di ruang kerja, kenapa?"

Duduk di samping Rio.

"Kamu habis di marahin papa ya?" Tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

Bima memainkan pipinya, menggelembung kan dan mengempiskan.

Rio tau kalau Bima saat ini mencari perhatian, agar ia mau mendengarkan Bima cerita.

"Kenapa?" Akhirnya mengalihkan pandangannya, kini menatap Bima yang duduk di sampingnya.

"Mas, salah enggak sih kalau aku itu ingin bergaul dan tau dunia luar?"

Nah kan bener, baru mau bicara dia.

"Enggak sih, tapi kan kamu tau papa gimana."

Selalu aja bela papa! Kembali diam.

"Mas, aku ada suka sama cewek."

"Jangan pacaran dulu Bima!"

Nah kan, sama aja sama papa!

"Mas sibuk terus ya, udah enggak ada waktu lagi buat Bima ajak cerita." Berdiri dan melangkah meninggalkan Rio yang berkutat dengan pekerjaannya.

"Bima!" Panggilnya.

"Bima!" Panggilan kedua.

"Ini mas udah Selesai, ya udah sini kalau mau cerita." Yang ketiga. Jelas senyum mengembang di wajah Bima.

"Hehe."

"Jangan senyam-senyum. Mau cerita apa? Jangan bilang kalau kamu udah punya pacar?" Mengangguk.

"Bima? Mas aja belum punya, masak kamu duluan sih?"

"Mas, jangan kencang-kencang, nanti kedengaran papa!" Melihat ke kanan dan ke kiri.

"Terus, siapa pacar kamu?" Berbicara dengan suara pelan.

"Satu kelas aku mas, cantik anaknya, pinter lagi. Cuma buat semangat belajar aja, tapi aku beneran sayang sih."

"Coba mas mau lihat." Masih berbisik.

"Handphone aku di kamar mas. Gimana kalau besok aku ajak teman aku kesini? Kata mama boleh kan, nah nanti aku kasih tau yang mana orangnya. Mas kan kalau sabtu pulang cepat."

Rio tampak berpikir.

"Ok. Ada enggak temannya yang cantik?"

"Ada kok mas, nanti aku kenalin ya. Pasti dia bakal ikut."

Rio mengangguk setuju.

"Kalian ngapain bicara sambil bisik-bisik?" Suara yang sangat mengagetkan. Sontak Bima dan Rio menoleh, benar saja papanya sudah berdiri di belakang mereka. Sejak kapan kah papanya disana? Apa dia nguping? Ah enggak asik ni pak Adi.

"Enggak kok pa, lagi ngajarin Bima tentang bekerja di perusahaan."

"Untuk apa? Dia itu pemalu, apa bisa jadi pemimpin, tegas juga enggak. Dia bakal jadi sekertaris kamu nanti Rio. Biar belajar sama kamu, kalau udah bisa dia bakal pimpin perusahaan yang lain."

Jleb. Sakit hati Bima mendengarnya. Bukan masalah jabatan, terserah mau di jadiin tukang sapu jalan juga terserah, tapi jangan di jengkali begitu, pikir Bima.

Bakal aku buktikan pa! Aku begini kan karena papa sejak dulu tidak memperbolehkan aku keluar rumah, alhasil aku malu untuk berorganisasi seperti orang pada umumnya. Tapi aku bakal buktiin sama papa kalau aku bisa.

"Udah ke meja makan sekarang! Mama kalian udah nunggu disana. Kamu Rio, udah siap meriksa email yang papa kirim?"

"Sudah kok pa, ini tuh semua udah aku periksa ya, tinggal papa ACC aja, udah bener belum."

Dan pembahasan panjang kembali terdengar di telinga Bima. Bosan, jelas lah jangan di tanya.

Bima langsung pergi lebih dulu meninggalkan papanya dan juga Rio.

"Ma."

"Iya sayang, kenapa?"

"Tadi mama bilang kan, kalau aku boleh bawa teman kesini?" Mamanya mengangguk.

"Tapi teman Bima cewek ma, yang laki-laki enggak ada. Apa boleh ma? Kalau boleh Bima besok ajak mereka kesini."

"Boleh kok sayang. Tapi beneran cewek semua? Enggak ada yang laki-laki?"

Masih heran, takut mungkin kalau anaknya enggak normal, enggak tau aja kalau cewek itu adalah pacarnya.

"Nanti Bima ajak deh yang lain ma."

"Iya udah. Papa mana sih kok lama?"

"Masih ba-"

"Nah itu papa, kenapa lama sih pa? Tadi katanya lapar."

"Iya bahas kerjaan sedikit sama Rio."

Seharusnya aku yang di manja bukan Rio! Huh!

Meja makan terasa hening, memang begitu lah peraturan di rumah ini, ketika makan di larang berbicara, setelah selesai baru lah boleh, meskipun itu hal penting sekalipun. Karena bagi papanya, ketika makan waktunya perut mencerna dengan baik, jangan di gabungkan untuk berpikir, itu akan berpengaruh pada kesehatan, salah satunya kehilangan ***** makan.

"Ma, Bima duluan ya." Pamit setelah menghabiskan makanannya.

"Duduk dulu!" Ucap papanya dingin.

Mau apa lagi sih, batinnya.

"Udah kamu pikirkan tawaran papa tadi?" Menatap Bima dengan serius.

Itu bukan pilihan, bukan tawaran. Tapi kenyataan, apa sih, seharusnya bertanya tuh begini, Bima apa kamu siap nerima kenyataan? Itu baru benar. Masih berbicara dalam hati. Mana mungkin ia berani bicara langsung.

"Bima papa bicara sama kamu, kamu enggak bisa jawab?"

"Bima mau, tapi kalau belajar kelompoknya disini boleh kan pa?" Tawar menawar di mulai.

Rio merasa tidak percaya kalau Bima mulai berani melakukan hal itu. Sontak ia menatap Bima.

"Terserah, asal memang niatnya belajar."

Yes yes!!

"Beneran pa?" Untuk pertama kalinya keinginannya di dengar oleh papanya.

Papanya mengangguk. Mamanya pun tersenyum.

Jelas, padahal hal ini sudah lebih dulu mamanya bicarakan, tentu tak semudah saat Bima meminta ijin, masih ada sedikit perdebatan. Tapi mamanya mengancam kalau tidak di ijinkan ia akan membiarkan Bima untuk keluar rumah. Tentu papanya lebih tidak setuju, dan akhirnya memilih pilihan yang pertama.

Bima langsung berlari ke kamarnya, suasana hatinya sudah tidak mendung. Dengan cepat ia mengetik pesan, dan mengajak Kiki juga Maudy ke rumahnya besok, setelah pulang sekolah.

"Tapi ajak teman laki-laki ya, terserah kalian, asal jangan yang urak-urakan." Pesan terkirim.

Bima berbaring di tempat tidurnya, tangannya ia selipkan di atas kepala, sebagai pengganti bantal, semetara ponsel ia letakan di dada.

Ting. Tanda pesan masuk.

"Bim, aku mau bicara sama kamu."

Pesan singkat yang di kirim Maudy.

Panggilan masuk langsung Bima terima. Karena suasana hatinya saat ini sedang gembira, bahkan ia melupakan niatnya, yang sempat ingin menjauhi Maudy.

"Iya?" Memiringkan posisi tubuhnya.

"Kamu kenapa sih Bim? Semenjak bicara sama ibu kamu jadi beda."

Langsung ke intinya loh Maudy kalau bicara.

"Enggak, perasan kamu aja mungkin."

Mengelak lagi.

"Hem. Kamu udah makan?"

"Udah kok baru aja, kamu sendiri?"

Kok enggak manggil sayang sih. Batin Maudy di sebrang telfon.

Tapi Maudy mencoba mengesampingkan semua itu, saat ini selagi Bima masih mau bicara dengannya berarti tidak ada masalah. Toh, sebenarnya bukan hanya Bima yang terlalu cinta, Maudy juga, hanya saja perlakuannya berbeda, Maudy lebih sering menutupi rasa cemburunya, nah kalau Bima, jangan di tanya.

Obrolan berlanjut hingga larut, dan masing-masing dari mereka sudah menyatakan bahwa sudah mengantuk.

--

Keesokan paginya Bima berangkat benar-benar di antar oleh supir. Tentu itu mengundang tatapan dari para siswa yang lain, bahkan mobilnya jauh lebih mewah dari mobil yang sering di pakai siswa dan siswi di sekolah ini.

"Di antar supir sekarang Bim?" Bima menoleh, ternyata Andi yang menegurnya.

"Iya." Masih terus berjalan, Andi mencoba mensejajarkan langkahnya.

"Bim, kamu sayang enggak sama Maudy?" Langkahnya langsung terhenti, melirik Andi dengan tajam.

"Aku hanya bertanya kok Bim, kalau kamu keberatan menjawab yang enggak masalah. Soalnya aku juga suka sama Maudy, sejak lama!" Menggunakan nada penekanan di akhir kalimat. Ini yang membuat Bima malas untuk berinteraksi ke sembarang orang, hanya membuat sakit hati.

Kali ini, Bima yang terdiam dan Andi meninggalkan Bima yang mematung. Andi tersenyum penuh kemenangan.

Sabar Bim, toh buktinya walaupun dia bilang sejak lama, tetap kamu yang menang. Berbicara pada dirinya sendiri, memberi semangat untuk dirinya sendiri.

"Bim, udah sampai? Kok cepat, biasanya lama?" Tegur Kiki yang melihat Bima duduk sendiri.

"Iya, di antar supir." Menunduk, dan memandang kakinya yang ia ayunkan.

"Wah, naik jabatan dong, kalau gitukan beneran kamu sekarang anaknya pak Adi Nugroho." Tertawa di atas penderitaan Bima pagi ini.

"Enggak lucu lah Ki."

"Hei." Langsung duduk di samping Bima. Tapi Bima hanya melirik sekilas lalu membuang pandangannya.

"Baru sampai?" Tanpa menoleh ia berbicara.

"Iya, kamu dari tadi ya Bim?"

"Enggak juga."

"Aku ke kelas duluan ya Dy, Bim." Kiki pamit, ia merasa tidak enak, dan yakin juga kalau saat ini Bima lagi memendam sesuatu. Dan hanya ingin berbicara berdua bersama Maudy.

"Bima, kenapa sih sayang?" Mencoba berbicara lembut, dengan penekanan di kata 'sayang' agar Bima menoleh.

"Ah Sayang. Kenapa sih semua orang nyebelin." Merengek seperti anak kecil, nah kan padahal baru di panggil sayang.

Bahagia sekali jika punya pasangan seperti ini, kalau marah tinggal di panggil sayang aja udah luluh.

"Siapa sayang?" Sengaja mengulang agar Bima mau cerita.

Akan aku panggil berulang-ulang, supaya Bima mau ngomong sebenarnya dia kenapa. Biar lah, bucin juga enggak apa.

"Ada yang suka sama kamu, tapi kenapa harus ngomongnya sama aku? Supaya apa? Aku cemburu gitu, ah!! Padahal tanpa dia bilang juga aku selalu cemburu." Memanyunkan bibirnya. Dengan geram Maudy menarik ujung bibirnya dan di goyangkan ke kanan ke kiri.

"Siapa sih orangnya? Kok nekat banget."

"Ah enggak mau bilangnya, bikin sakit hati tau enggak."

Harus aku panggil sayang lagi nih kayaknya. Biar mau ngomong.

"Sayang, ayo bilang sama aku, siapa yang bilang begitu?"

Satu, dua, tiga.

"Andi, Andi yang bilang gitu tadi pagi sama aku sayang. Bener ya aku enggak suka loh kamu deket-deket sama dia. Sekarang OSIS udah seluruhnya adik kelas yang megang, jadi enggak ada alasan kamu untuk dekat lagi sama dia, titik! Aku enggak suka, titik!"

Maudy tertawa terpingkal-pingkal.

"Kok ketawa sih?"

Tanpa menjawab perkataan Bima, Maudy langsung berdiri. Siap untuk menghajar Andi. Jangan di tanya, Maudy memang terkenal galak, tomboi lagi. Siap-siap ya Andi.

"Andi mana?" Datang ke kelas Andi dan bertanya dengan salah satu murid yang berdiri disana.

"Tadi udah datang sih, tapi ke toilet deh kayaknya, kenapa Dy?"

"Enggak apa. Ya udah makasih ya."

Bima yang penasaran mengikuti Maudy ke manapun ia melangkah.

Sampai di toilet, memang benar, ada Andi disana, lagi tertawa sama teman-temannya.

"Andi." Tersenyum melambaikan tangan.

Wah, lebih cerah lagi senyum Andi dari pada Maudy, sepertinya ia sangat gembira pagi ini, di sapa duluan lagi sapa pujaan hati. Pujaan hati orang maksudnya.

"Ya Dy, kenapa?" Berjalan mendekat.

Tanpa aba-aba, Maudy langsung menarik kerah baju Andi, memekik lehernya. Andi yang bingung juga gelagapan.

"Kamu bilang apa ke Bima? Maksud kamu apa? Kalau suka sama aku ya suka aja, kenapa kalau suka sama aku bilangnya ke orang lain? Kamu bilang Bima kayak banci, ternyata kamu ya yang banci!!" Mendorong Andi sekuat mungkin hingga ia terjungkal. Temannya langsung menolong, tak berani membalas. Maudy menatap satu persatu teman Andi, dengan tatapan penuh amarah.

Lalu, dimana Bima tadi?

Bima tersenyum dengan senangnya, melihat Andi di perlakukan seperti itu.

Untungnya toilet masih sepi, kalau rame bakal ada yang ngadu ke guru, pasti itu!!

Maudy pergi meninggalkan Andi yang masih terduduk di lantai. Berjalan kembali ke kelas. Dengan cepat Bima juga ikut.

"Sayang." Berlari kecil mengejar Maudy.

"Hem."

"Udah Bim. Kamu diem dulu jangan ngomong, aku lagi netral kan emosiku."

Bima langsung terdiam, tak berani menegur ataupun berbicara, manut saja lah, pikirnya.

Pelajaran berlangsung, hikmat semua murid memulai belajarnya dengan baik. Bel istirahat, dan tak terasa juga bel pulang sekolah berbunyi.

Inilah waktunya Maudy berkunjung ke rumah Bima untuk yang pertama kalinya. Tapi, ia bersikap santai, bahkan kaki dan tangannya tidak bergetar seperti Bima yang akan datang kerumahnya.

Kiki mengajak Maudy ikut bersamanya, karena hari ini Kiki tidak di antar supir. Ia membawa mobilnya sendiri, semetara Bima harus pulang bersama supirnya.

Hanya mereka berdua, tidak ada laki-laki yang di ajak. Yang terpenting sekarang, mereka memikirkan alasan apa yang akan di katakan ketika di tanya, kenapa hanya ada dua wanita yang datang.

 

___

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!