Suara teriakan dari dalam Istana Xingyue membuat beberapa kasim dan pelayan terkejut. Teriakan itu seperti teriakan seorang perempuan yang sedang melahirkan. Beberapa suara lainnya juga terdengar membaur bersama teriakan itu. Tidak lama kemudian, seorang wanita berpakaian merah muda berlari keluar dari Istana Xingyue diikuti seorang pelayan wanita dan seorang kasim.
“Berhenti mengikutiku!” teriak wanita itu kepada dua orang yang sedang mengejarnya.
“Niang-niang, jangan berlari!”
Ketiga orang itu saling berkejaran di halaman Istana Xingyue. Lama kelamaan, wanita yang disebut niang-niang itu berhenti di bawah sebuah pohon persik yang berdiri congkak di bawah cahaya bulan. Bunga-bunganya bermekaran indah.
“Tunggu! Aku tidak punya apapun!”
Wanita itu menyenderkan tangannya ke batang pohon persik. Sebelah tangannya memegang pinggang. Napas wanita itu dan napas kedua orang yang mengikutinya tersengal-sengal setelah berputar-putar mengelilingi Istana Xingyue.
“Niang-niang, kembalilah ke dalam!” pinta kasim yang berpakaian merah tua.
“Nyonya, mengapa Anda berlari?” tanya si pelayan wanita.
Wanita itu masih berusaha menenangkan detak jantungnya. Keanehan di sini benar-benar membuatnya gila. Kedua orang di belakangnya juga masih tidak menyerah untuk mengejarnya. Apa ini sebuah penculikan? Jika memang benar, apa yang mereka harapkan dari dirinya?
“Di mana bos kalian? Biarkan aku berbicara dengannya!”
Kedua orang itu saling bertatapan. Keduanya sama sekali tidak mengerti perkataan yang diucapkan nyonya mereka.
“Nyonya, bos itu apa?”
Sekarang, giliran wanita itu yang kebingungan. Wanita itu memandang sekilas pakaian yang dikenakan oleh dua orang di belakangnya. Aneh, pikirnya. Inikah cara penculik menarik perhatian korbannya? Alih-alih berpakaian serba hitam, para penculik ini malah berpakaian seperti seorang kasim dan pelayan. Ditambah lagi, perkataan mereka menggunakan frasa kuno yang sangat asing di telinganya.
Astaga, penculik ini benar-benar professional!
Seluruh tubuh wanita itu terasa nyeri. Ia baru ingat bahwa dirinya baru saja mengalami kecelakaan. Tapi, setelah ia memperhatikan lagi, tidak ada satu pun luka di tubuhnya. Wanita itu melirik pakaian yang dikenakannya. Aneh, ia juga memakai pakaian yang hampir serupa dengan pelayan itu.
Apakah para penculik itu yang menggantinya?
Wanita itu merasakan sakit di kepalanya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya limbung ke tanah yang kering. Wanita itu hanya dapat mendengar suara teriakan panik dari dua orang di belakangnya. Setelah itu, ia tidak dapat mengingat apapun. Semua dunianya terasa gelap tanpa cahaya.
Beberapa jam yang lalu….
Li Anlan menghembuskan napas lelahnya ketika ia sampai di bawah sebuah pohon yang besar dan rimbun. Wanita itu melihat ke belakang, memastikan bahwa teman-temannya masih berjalan mengikutinya. Li Anlan terkejut karena ia tak melihat siapapun di bawah sana. Li Anlan hanya melihat jejak kakinya sendiri di atas batu-batu dan tanah yang licin.
Ia mendudukkan pantatnya di bawah akar pohon yang besar. Ada baiknya jika ia menunggu sebentar sampai teman-temannya berhasil menyusulnya. Wanita itu menenggak air mineral dari botol minumnya. Rasa hausnya langsung hilang begitu air dingin itu menyentuh tenggorokannya.
“Kalian masih di bawah?” teriak Li Anlan dengan suara sekeras mungkin.
“Ya.”
Li Anlan mendengar jawaban dari bawah sana. Ia mungkin akan menunggu sebentar lagi. Sebagai pemimpin grup, Li Anlan tidak bisa mengabaikan tanggungjawabnya kepada para anggotanya. Sambil menunggu, Li Anlan membuka camilan kentangnya. Setelah habis, ia membuang cangkang camilan itu sembarangan.
Beberapa saat kemudian, teman-teman Li Anlan berhasil menyusulnya. Mereka kemudan duduk di dekat Li Anlan sambil menenggak air minum masing-masing. Li Anlan menghitung jumlah mereka dan memastikan semua teman-temannya sudah naik.
Pendakian kali ini mengharuskan mereka menghabiskan waktu hampir satu hari penuh untuk sampai di puncak gunung. Li Anlan yang sudah berkecimpung selama lebih dari lima tahun dalam dunia pendakian ditunjuk menjadi ketua regu karena ia yang paling hafal dengan hal-hal seperti ini. Bagi Li Anlan, pendakian gunung kali ini adalah pendakian yang paling menantang. Jalur yang ia lewati adalah jalur paling berbahaya.
Teman-teman Li Anlan berdiri untuk melanjutkan pendakian. Merasa dirinya mampu menyusul, Li Anlan sengaja membuat dirinya berada di barisan belakang. Ransel gunung berisi seluruh peralatan pendakian yang digendongnya membuat punggungnya sedikit bungkuk. Li Anlan mengeluarkan kompasnya untuk mengetahui sedang berada di arah mana ia sekarang.
“Apa baterainya habis?”
Li Anlan memukul-mukul kompasnya. Jarum kompas itu tidak menunjuk pada arah manapun ketika ia memutar-mutarnya. Wanita itu lalu melihat ke atas gunung, memastikan posisi matahari sedang berada di mana. Ah, matahari sedang tertutup awan hingga Li Anlan tidak dapat memastikan di arah mana ia berada.
Li Anlan tidak memperhatikan tempatnya berpijak. Kaki wanita itu tersandung akar pohon dan membuatnya terjatuh. Tubuh Li Anlan berguling menabrak batu-batu dari atas gunung. Li Anlan berteriak meminta tolong. Raungannya terbang terbawa angin tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya.
Sakit. Li Anlan merasakan seluruh tubuhnya seperti dicincang dengan pisau daging. Ia merasa seperti dilemparkan dan dipukuli berkali-kali. Batu-batu dari atas jalur pendakian secara tiba-tiba ikut meluncur menyusul dirinya. Li Anlan merasa takut. Di dasar jurang, tubuhnya yang sudah dipenuhi luka tekapar tak berdaya. Darah dari luka-lukanya membasahi seluruh pakaian gunungnya. Daun-daun pohon yang terjatuh menutupi seluruh tubuhnya. Li Anlan masih dapat mendengar suara batu-batu yang mungkin beberapa saat lagi akan menghancurkan tubuh kecilnya.
Apakah seperti ini rasanya kematian?
Aneh. Di ambang kematian, Li Anlan masih dapat mendengar seseorang berteriak memanggil namanya sambil menangis. Ia juga mendengar suara lain yang sangat asing. Ketika ia membuka mata, Li Anlan menyadari bahwa ia sudah berada di sini, di tempat yang sama sekali tidak dia kenali. Li Anlan termenung sesaat untuk mencerna segalanya. Sesaat kemudian, ia berteriak keras hingga membuat dua orang aneh di depannya tekejut setengah mati.
“Nyonya, Anda masih hidup!”
Li Anlan menatap dua orang aneh itu. Nyonya? Siapa yang dia panggil nyonya? Tunggu! Ada apa dengan pemandangan anakronistik ini? Li Anlan memejamkan mata. Ini adalah mimpi. Apakah ia berada di surga? Tidak. Itu tidak masuk akal. Li Anlan tidak akan mati semudah itu. Dia tidak pernah melakukan hal buruk, tapi juga tidak pernah melakukan hal baik.
Dua orang di hadapan Li Anlan menatapnya dengan bingung. Li Anlan memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Gerakannya diikuti oleh dua orang di depannya. Li Anlan menyentuh pipi seorang perempuan yang tampak dua tahun lebih tua darinya. Kemudian, wanita itu menyentuh pipi laki-laki di pinggir perempuan itu.
“Kalian manusia?”
“Nyonya, ada apa denganmu?”
Li Anlan mencubit pipinya sendiri. Sakit. Ini bukan surga. Dia juga bukan berada di dalam mimpi. Sesaat kemudian, Li Anlan berteriak kembali dan langsung berlari keluar dari ruangan aneh itu. Dua orang itu ikut berlari mengejarnya hingga membuat Li Anlan semakin panik.
Sambil berlari, wanita itu memperhatikan pemandangan di sekelilingnya. Di mana dia? Bangunan ini tampak aneh tapi tidak asing. Li Anlan baru ingat bahwa bangunan seperti ini pernah ia lihat di dalam lukisan di Museum Nasional ketika ia berkunjung saat sekolah dasar. Ya, bangunan seperti ini sangat mirip dengan bangunan di lukisan itu. Li Anlan berlari berputa-putar diikuti dua orang tadi hingga kesadarannya menurun.
...***...
Surat Cinta dari Author: Selamat datang di negeri ajaib Li Anlan! Berikan kritik & saran kalian di bawah untuk kualitas karya yang lebih baik lagi! :) Terima kasih, salam hangat dari pejuang kata!
“Jadi, aku adalah seorang selir?”
Pelayan wanita bernama Xie Roulan menganggukkan kepalanya. Li Anlan menatap Xie Roulan dengan tajam. Wanita itu masih tidak bisa mempercayai siapapun di sini. Tidak ada satu orang pun yang dia kenal. Meskipun Li Anlan bukan seorang psikolog, dia tahu bahwa Xie Roulan tidak berbohong. Gadis pelayan itu mengatakan hal yang sebenarnya.
Li Anlan mengibur dirinya sendiri dengan gagasan bahwa ia melakukan perjalanan waktu dan terlahir kembali. Tapi, mengapa ia harus terlahir menjadi seorang selir? Apalagi ia adalah seorang selir yang tidak pernah dipandang. Bahkan, menurut cerita Xie Roulan, dirinya tidak pernah bertemu dengan raja sejak kedatangannya ke istana ini dua tahun lalu. Ia benar-benar berada dalam situasi abandonemen!
Wanita itu selalu berpikir jika dirinya terlahir kembali, ia akan menjadi seorang presiden direktur sebuah perusahaan atau anak kesayangan konglomerat hingga dirinya tidak perlu bersusah payah bekerja dan dapat bermalas-malasan sepanjang waktu. Tampaknya, harapan itu sudah pupus.
“Ckck… Selir ini benar-benar hidup kesepian.”
“Nyonya, apa Nyonya mengatai diri sendiri?”
Pelayan ini terlalu banyak berbicara. Li Anlan belum dapat menerima kenyataan bahwa ia terdampar di sebuah negeri antah berantah di zaman kuno. Li Anlan tidak dapat membayangkan betapa sulitnya hidup di zaman seperti ini. Apalagi statusnya adalah seorang selir tingkat rendah yang tidak pernah dipandang. Bahkan mungkin keberadaannya pun tidak banyak diketahui.
Li Anlan sering membaca novel fiksi sejarah dan drama zaman kerajaan. Alur yang hampir sama dengan setting yang berbeda sudah dihafal Li Anlan di luar kepala. Jika seorang selir tidak mati di tangan selir lain, maka ia mati di tangan rajanya sendiri. Segala tindak-tanduknya selalu berada dalam pengawasan mata orang lain. Li Anlan khawatir nasib buruk selir-selir dalam novel dan drama itu menimpa dirinya. Li Anlan tidak mau mati lagi
“Katakan, kenapa aku sudah mati?”
“Nyonya tenggelam di Danau Houchi ketika sedang memetik bunga lotus.”
Jatuh tenggelam karena kesalahan sendiri adalah cara kematian paling konyol di dunia. Li Anlan di masa lalu benar-benar bodoh! Bagaimana bisa seorang gadis modern pemberani yang sudah menaklukan puluhan gunung dan perbukitan menjadi seorang selir yang bahkan tidak bisa berhati-hati pada keselamatan dirinya sendiri.
“Siapa yang menemukanku?”
“Para penjaga istana yang kebetulan sedang lewat, Nyonya. Mereka langsung mengangkatmu keluar dari danau itu.”
“Apa aku membawa sesuatu?”
Xie Roulan menggelengkan kepalanya.
“Tabib Tao berkata bahwa denyut nadimu hilang dan kau dinyatakan meninggal. Tapi secara ajaib kau bangun kembali. Aku benar-benar senang!”
Li Anlan menahan tubuh Xie Roulan yang hendak memeluknya. Li Anlan lalu menyuruhnya keluar dari dalam kamarnya. Pelayan itu menurut tanpa mengatakan apapun lagi. Setelah Xie Roulan tidak ada, Li Anlan membaringkan tubuhnya di ranjang yang ditutupi kelambu berwarna biru muda.
Otaknya berputar keras. Jika ia datang dari danau, maka seharusnya ransel gunungnya juga masih ada di sana. Xie Roulan berkata bahwa saat itu dirinya ditemukan sudah mengapung di permukaan air dengan bibir membiru dan wajah pias. Li Anlan yakin bahwa jiwanya tidak merasuki atau bertukar tubuh dengan Li Anlan di dunia ini. Ia yakin dirinya datang dengan tubuh utuh bersama barang bawaannya.
Li Anlan menyelinap keluar dari Istana Xingyue. Halaman istana yang tidak cukup luas ini menjadi sepi di malam hari. Li Anlan mengendap-endap menuju pintu gerbang. Di sana, ia melihat dua orang prajurit sedang berjaga. Nyalinya menciut melihat tombak yang dipegang dua penjaga itu.
Li Anlan berteriak kaget ketika seseorang menepuk bahunya. Saat ia menoleh, Xie Roulan berdiri sambil menggesek matanya dengan jari tangan.
“Nyonya mau ke mana?”
“Aku… Aku ingin jalan-jalan ke danau istana.”
“Oh. Mari aku antar.”
Tanpa diperintah atau menunggu persetujuan, Xie Roulan berjalan mendahului Li Anlan. Ketika dua penjaga gerbang itu bertanya, Xie Roulan berkata bahwa nyonyanya ingin berjalan-jalan. Kedua penjaga itu lalu mempersilahkan Li Anlan dan Xie Roulan pergi.
Li Anlan menyusuri pelataran istana yang dihiasi bunga-bunga dan batu-batu kecil. Li Anlan tidak tahu ia berjalan ke arah mana sekarang. Li Anlan hanya harus mengikuti Xie Roulan jika ia tidak ingin tersesat. Li Anlan sekilas seperti seorang budak yang mengikuti majikannya. Jika ada orang lain yang melihatnya, Li Anlan mungkin sudah menjadi bahan tertawaan.
Sebuah danau yang indah ditumbuhi teratai menyapu pandangan mata Li Anlan. Di seberang danau ini, sebuah bangunan yang lebih megah dari istananya berdiri dengan koko di bawah cahaya bulan. Bangunan itu begitu bersinar dengan gemerlap keemasan yang terpantul dari atas permukaan air.
“Itu apa?” tanyanya sambil menunjuk bangunan megah itu.
“Nyonya, Anda lupa? Itu adalah Istana Hongwu, kediaman pribadi Yang Mulia Raja.”
Li Anlan hendak bertanya siapakah nama rajanya. Tapi, pertanyaan itu urung ia lontarkan karena ia tahu di zaman kerajaan seperti ini, menyebutkan nama raja adalah hal terlarang dan siapapun yang berani melanggar akan dihukum. Larangan tersebut berlaku untuk semua orang, tidak terkecuali keluarga kerajaan sendiri, termasuk ibu dan ayah kandung raja sendiri.
Lupakan soal siapa rajanya. Li Anlan perlu menyelam ke dalam air untuk menemukan barang-barangnya yang hilang. Melihat danau yang begitu luas ini, nyali Li Anlan sedikit menciut. Dengan pakaian yang dikenakannya sekarang, dia akan sulit bergerak di dalam air. Terlebih lagi, Xie Roulan terus menerus mengawasinya dari samping. Pelayan itu pasti tidak akan membiarkannya jatuh ke air.
Untuk mengusir Xie Roulan, Li Anlan memerlukan sebuah alasan. Wanita itu lalu menyuruhnya pergi dengan alasan bahwa dirinya ingin menikmati waktu seorang diri. Xie Roulan tampak keberatan. Li Anlan meyakinkan gadis pelayan itu sekali lagi. Akhirnya, Xie Roulan meninggalkan Li Anlan sendirian
Li Anlan melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada siapapun yang lewat atau mengawasinya. Ia melepaskan pakaiannya hingga tersisa pakaian pembungkus tubuh berwarna putih yang tipis. Li Anlan dapat merasakan hawa dingin menembus kulitnya. Tapi, itu tidaklah penting. Sebagai seorang pendaki, ia tidak perlu khawatir akan sakit hanya karena pakaian tipis seperti itu.
Byurr….
Di dalam danau, Li Anlan menyelam semakin ke dalam. Dia tidak bisa melihat dengan jelas semua objek di sekitarnya karena sangat gelap. Tanpa sengaja, kepalanya terantuk batu di dasar danau dan berdarah. Darah segar itu berbaur dengan air hingga Li Anlan tidak menyadari jika dirinya terluka.
Mata Li Anlan mengerjap ketika melihat kedipan cahaya kecil di sebuah sudut yang terhimpit batu-batu. Li Anlan segera menghampiri kedipan cahaya kecil itu karena ia yakin ransel gunungnya ada di sana. Benar saja! Ranselnya terselip di antara himpitan batu. Li Anlan bekerja keras menarik ranselnya dengan sekuat tenaga. Setelah berjuang cukup lama, ransel itu akhirnya berhasil ia tarik. Li Anlan lalu menggendong ransel itu dan segera berenang ke atas karena ia mulai kehabisan napas.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat seseorang berdiri menatapnya dari atas jembatan penghubung ketika kepalanya menyembul ke permukaan air. Melihat pakaian yang dikenakan orang itu persis sama seperti orang yang mengejarnya sore tadi, Li Anlan menebak orang itu adalah seorang kasim.
Kasim yang tampan, bisiknya dalam hati.
Li Anlan lupa bahwa dia hanya mengenakan pakaian dalam. Seluruh lekuk tubuhnya tercetak karena basah. Tatapan mata orang itu semakin tajam seolah hendak membunuh. Orang itu menautkan kedua alisnya ketika melihat darah yang mengucur dari kening Li Anlan.
“Kau.. terluka?” tanya orang itu. Orang itu lalu menunjuk kening dengan jarinya. Li Anlan menyentuh keningnya dan mendapati cairan merah itu mengalir dengan deras.
“Kakak tampan, bisa kau lemparkan baju itu?”
Orang itu melirik kain merah muda yang teronggok di atas batu pijakan jembatan. Ketika pakaian itu hendak ia lemparkan ke danau, Li Anlan berteriak mencegahnya.
“Letakkan di pinggir danau saja.”
Li Anlan mengutuk orang itu. Apa dia benar-benar bodoh? Jika pakaiannya dilempar ke danau, bukankah sama saja dengan telanjang? Tidak ada gunanya memakai pakaian basah karena seluruh lekuk tubuhnya tetap akan terlihat.
“Lukamu?”
“Aku puya betadine. Nanti kuobati sendiri.”
“Betadine?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Kata ini baru pertama kali ia dengar.
“Ah, itu semacam obat untuk luka.”
Wanita itu menyampirkan pakaian luarnya untuk menutupi tubuhnya yang basah. Malam sepertinya semakin larut. Dia tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Dia harus segera pergi sebelum para penjaga itu mencarinya.
Li Anlan mengutuk dirinya sendiri ketika ia lupa jalan mana yang ia lalui tadi. Pelataran ini terlalu luas hingga Li Anlan tidak tahu jalan mana yang bisa membawanya kembali ke Istana Xingyue. Wanita itu melirik seseorang di seberangnya. Ide cemerlang muncul di kepalanya.
“Kakak tampan, bisakah kau membantuku menunjukkan jalan ke Istana Xingyue? Kepalaku terluka, ingatanku hilang sebagian.”
Li Anlan membiarkan orang itu memimpin jalan di depannya. Keduanya melangkah tanpa suara. Angin berhembus kembali. Li Anlan memeluk tubuhnya yang basah. Wanita itu belum bisa beradaptasi dengan udara di sini. Keasingan di negeri ini terlalu besar hingga membuatnya sulit menyesuaikan diri.
Ketika sampai di depan Istana Xingyue, dua penjaga menunduk memberi hormat. Li Anlan berlari masuk ke dalam Istana Xingyue tanpa mengucapkan terima kasih pada orang itu. Dia tidak peduli ke mana perginya kasim yang ‘membantunya’ tadi. Wanita itu langsung menghilang di balik pintu istana.
Orang itu mengerutkan dahi. Pada malam yang sangat larut ini, mengapa seorang wanita istana berada di luar? Peraturan di sini mengatakan bahwa wanita tidak boleh meninggalkan istana tempat tinggalnya setelah jam malam lewat, kecuali jika wanita itu dipanggil keluar oleh raja atau ibu raja. Wanita itu, tanpa pengawasan dan tanpa ditemani pelayan berkeliaran seorang diri di danau, bahkan muncul dari dalam air dengan kepala terluka.
“Perketat penjagaan kalian. Jika sampai Yang Mulia tahu wanitanya keluar seorang diri seperti itu lagi, dia tidak akan mengampuni kalian!”
Dua penjaga yang merasakan aura kemarahan dari seorang kasim di depannya hanya mengangguk. Sungguh, dua penjaga itu tidak tahu jika selir raja yang mereka jaga akan kembali seorang diri dalam keadaan kacau dan terluka. Jika sampai raja tahu salah satu selirnya dalam bahaya, kepala mereka memang benar-benar tidak akan aman.
Orang itu berjalan pergi meninggalkan Istana Xingyue dengan wajah kesal.
...***...
Abandonemen: keadaan tertinggal.
Surat cinta dari Author: Berikan kritik & saran kalian di bawah untuk kualitas karya yang lebih baik lagi! :) Terima kasih, salam hangat dari pejuang kata!
Di negeri yang tidak tercatat dalam sejarah ini, Li Anlan hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup. Karena Li Anlan di dunia ini adalah seorang selir yang tidak dikenali, maka ia memutuskan untuk meneruskan peran itu.
Baginya, menjadi terasing lebih aman dan lebih menyenangkan. Dia hanya perlu menjadi seorang selir pajangan yang setiap bulan menerima gaji dan tunjangan untuk mempertahankan hidupnya.
Li Anlan tidak akan bersaing dengan selir lain. Dia akan berusaha agar ia tak pernah berjumpa apalagi menjadi kesayangan raja. Bagi Li Anlan, menjadi kesayangan adalah sebuah bencana besar. Kebahagiaan Li Anlan bukan berasal dari kasih sayang, tapi dari uang yang ia dapat. Li Anlan tidak akan mengemis cinta pada siapapun, terlebih kepada raja, suami yang belum pernah ditemuinya.
Wanita itu mengeluarkan seluruh isi ranselnya di lantai. Untung saja ranselnya tahan air hingga barang-barangnya tidak basah ketika berada di dasar danau. Ransel mahal itu ia beli dengan uang tabungannya selama setahun. Harganya melebihi harga sebuah ponsel.
Jadi, Li Anlan tidak bisa membiarkan ransel itu hilang begitu saja. Ransel besar itu menjadi kempis saat semua isinya keluar. Semua barang-barangnya masih utuh. Li Anlan mengambil sebuah benda kecil berbentuk bulat yang tertutup. Tutup benda itu lalu dibuka.
“Kemarin benda ini mati. Sekarang kenapa bisa hidup lagi?”
Li Anlan menutup kembali kompasnya. Aneh, kompas itu hidup lagi. Jarumnya bergerak-gerak ketika ia memutar-mutar kompas itu ke segala arah. Saat ia berada di jalur pendakian, kompas itu mati. Sekarang, secara ajaib hidup lagi, bersamaan dengan hidupnya dirinya di dunia aneh ini.
Wanita itu mengambil mie instan yang selalu ia bawa setiap kali mendaki dan menyeduhnya dengan air panas yang ia bawa dalam sebuah termos kecil. Perutnya sudah keroncongan sedari malam kemarin. Pelayan dan kasim di dalam Istana Xingyue ini tidak memberinya makanan apapun selain air teh yang hambar. Mereka bilang, Li Anlan harus berdiet agar tubuhnya menjadi kurus sehingga raja bisa tertarik padanya. Jika raja tertarik, maka Li Anlan akan menjadi beruntung.
Hah! Beruntung? Bukan beruntung, tapi buntung!
Sambil menikmati mie instannya, Li Anlan mengamati setiap bentuk tubuhnya di cermin besar. Meskipun tubuhnya adalah tubuh asli, tapi di sini, ia memang sedikit gemuk. Karakter Li Anlan di dunia ini sepertinya sangat suka makan hingga tidak menyadari perubahan dari bentuk tubuhnya. Pantas saja pelayan dan kasim itu menyuruhnya untuk berdiet. Di dunia modern, Li Anlan selalu bebas menikmati makanan apapun. Ia bisa makan hingga lima kali sehari ketika ia mau. Porsi makannya juga sangat besar, tapi tubuhnya tetap ramping karena ia rajin berolah raga dan melatih fisiknya.
“Nyonya, apa cacing aneh apa yang kau makan?”
Xie Roulan masuk membawa jatah makan Li Anlan.
“Ah kebetulan kau datang. Bawakan aku makanan itu.”
Li Anlan melihat dua buah mangkuk kecil berisi nasi putih dan sayur. Porsi kecil seperti ini hanya mampu mengganjal perutnya selama seperempat jam. Li Anlan memasukkan nasi putih itu ke dalam mie instan yang sudah ia seduh. Sekarang, porsi mie instan itu bertambah menjadi dua kali lipat lebih banyak.
“Nyonya, ada apa dengan keningmu?”
Xie Roulan menunjuk dahi majikannya yang terbungkus kapas dan plester. Saat Li Anlan kembali dari danau tengah malam tadi, darah di keningnya sudah membeku. Wanita itu segera mengeluarkan kotak P3K yang selalu ia bawa setiap kali pergi mendaki, karena ia tahu kecelakaan tidak pernah bisa diprediksi. Li Anlan membersihkan lukanya dengan alkohol, lalu meneteskan cairan betadine dan menutupnya dengan kapas. Teknik pengobatan luka seperti ini sangat mudah dan siapapun bisa melakukannya.
“Bukan apa-apa. Roulan, berapa banyak gaji yang kupunya setiap bulannya?”
“Gaji setiap selir berbeda tergantung tingkatannya. Karena Nyonya adalah selir tingkat rendah yang hanya memiliki gelar selir, gajimu hanya sekitar seratus lima puluh tael perak perbulan. Tunjangannya sekitar dua puluh lima tael, jadi totalnya seratus tujuh puluh lima tael.”
Li Anlan mengeluh. Di dunia ini, dia berubah menjadi seorang selir yang sangat miskin. Seratus tujuh puluh lima tael perak hanya cukup untuk makan selama dua minggu saja. Meskipun makanan di sini gratis, tapi Li Anlan akan mati kebosanan karena menu yang itu-itu saja. Persediaan makanan di dalam ransel gunungnya hanya sedikit dan ia tidak bisa memberitahu atau membaginya dengan siapapun.
“Bagaimana dengan uang keluargaku?”
“Nyonya benar-benar lupa? Nyonya adalah putri dari Bangsawan Li Han. Semenjak kau masuk istana dan orang tuamu meninggal, tidak ada yang memberimu uang lagi.”
Li Anlan kembali mengeluh. Li Anlan di dalam dunia ini sungguh seorang selir yang sangat malang. Menjadi seorang yatim piatu dan selir termiskin adalah kesialannya di masa hidupnya. Li Anlan menatap barang-barang di dalam ruangannya. Tidak ada barang mewah yang menyilaukan mata, tidak ada barang antik yang berharga.
“Nyonya tidak memiliki bakat apapun hingga tidak ada satu orang pemuda pun yang datang melamarmu. Demi menyelamatkan reputasimu dan reputasi keluarga, Tuan Bangsawan Li Han mengirimmu ke istana sebagai selir raja.”
Apa pelayan ini sedang memuji? Atau menghina? Mengapa Li Anlan merasa bahwa pelayan pribadinya ini sedang mengungkapkan kesialan dan kemalangan yang terjadi pada dirinya?
Li Anlan muak mendengar semua cerita buruk tentang kisah hidupnya di dunia ini. Tidak ada satu bagianpun yang membuatnya merasa terhibur karena ia menjadi seorang Li Anlan. Wanita itu menyuruh Xie Roulan untuk berhenti berbicara. Li Anlan bahkan mendorongnya keluar dan mengusirnya pergi.
Saat tidak ada siapapun yang mengawasinya, Li Anlan membuka sebuah kotak berisi ponsel dan headset. Ponsel itu juga tahan air. Harganya tiga kali lipat dari harga ranselnya. Li Anlan melompat-lompat begitu suara musik kesukaannya terdengar. Seperti ini juga lumayan, katanya dalam hati.
Tanpa ia sadari, seseorang sedang mengawasinya dari atas atap. Orang itu berpakaian serba hitam dengan wajah juga tertutup kain hitam. Kemampuan menyembunyikan diri orang itu sangat hebat hingga tidak seorang pun bisa melihatnya. Keberuntungan orang itu bertambah karena pelayan dan kasim di Istana Xingyue ini sangat sedikit.
Merasa sudah mendapatkan informasi, orang berpakaian serba hitam itu lalu melompat dari atap tanpa suara dan berlari secepat kilat untuk melaporkan sesuatu yang didapatnya pada seseorang yang memerintahnya. Orang itu menghilang di balik rimbunnya pepohonan di belakang Istana Xingyue.
Tidak lama setelah kepergian orang berbaju serba hitam itu, datanglah orang berpakaian serba putih. Saking putihnya, air susu saja kalah warnanya. Orang putih itu juga hinggap di atas atap Istana Xingyue untuk meminum arak sambil mengawasi orang-orang di bawahnya. Botol arak yang sudah kosong dilemparkan orang putih itu ke halaman Istana Xingyue hingga menimbulkan suara.
Meskipun suara itu cukup keras, tetap tidak ada orang yang mendengar atau memperhatikannya. Orang putih itu lalu menggelengkan kepalanya. Wajah orang putih itu memerah karena mabuk. Keseimbangannya hilang hingga ia berguling menyapa genteng-genteng cokelat dari tanah liat yang menutupi Istana Xingyue. Tubuh orang putih itu jatuh tepat di dekat pecahan botol arak yang dilemparkan tadi, disusul sebuah suara teriakan kaget dari seorang wanita.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!