"Tuan Gabriel Emerson, selamat datang. Kami akan mengantar Anda ke kamar Anda."
Pria yang dipanggil Tuan Gabriel Emerson tersebut hanya mengangguk dengan ekspresi wajah datar.
"Apakah ada yang menyewa hotel ini untuk sebuah acara?" tanyanya karena parkir VIP penuh dan dia melihat banyak orang yang datang, bukan orang biasa, mereka semua tampak seperti orang-orang berkelas.
"Owner dari hotel ini mengggadakan resepsi pernikahannya di sini, Tuan," jawab pelayan i
"Siapa ownernya?" Pria itu bertanya lagi karena ini memang pertama kalinya ia masuk ke hotel ini dan itu pun tanpa rencana.
"Amar Degazi, Tuan Gabriel."
"Owner Degazi Corp?"
"Benar, Tuan."
Gabriel hanya mengangguk, setelah sampai di kamarnya dia langsung meminta staff hotel tersebut untuk meninggalkannya. Lalu jika ada yang bertanya tentang keberadaannya, Gabriel memerintahkan agar tak memberi tahu bahwa dia di sana.
Gabriel Emerson, pria berusia 28 tahun itu tak memiliki pilihan dalam hidupnya karena sejak dia lahir, sang ayah telah memutuskan segalanya untuk Gabriel. Dari dimana ia akan tumbuh, akan jadi apa dan lain sebagainya.
Bahkan, ayahnya yang memiliki kerajaan dunia bawah tanah alias dunia kriminal mewariskan hal itu pada Gabriel sebagai putra tunggalnya.
Demi sang ayah, Gabriel mengambil alih kerjaan itu dan menjadi seorang Don yg sangat ditakuti, disegani dan dihormati.
Namun, semua itu harus Gabriel bayar dengan sangat mahal karena demi mempertahankan warisan sang ayah, kekasih hati sekaligus buah hati Gabriel meninggalkannya sendirian. Berkutat dalam gelapnya kehidupan dan tenggelam dalam kesendirian.
Dan ya, tak hanya istri dan anaknya yang meninggalkan Gabriel karena kehidupan yang pria itu miliki, ibunya pun juga meninggalkan Gabriel saat dia berusia 10 tahun dan memutuskan menjadi pewaris kerjaan ayahnya.
Sang ibu terpaksa meninggalkannya karena wanita itu sangat membenci kehidupan suaminya dan dia takkan sanggup jika sesuatu terjadi pada Gabriel karena apa yang mereka jalani.
Itulah sebabnya dia memilih pergi, setidaknya jika putranya meninggal karena di tusuk berkali-kali atau dirundung dengan peluru, dia tak perlu melihatnya.
Sang ibu hanya berpesan pada Gabriel, bahwa dia bisa memilih jalan hidup yang lain. Jika suatu hari Gabriel memilih jalan hidup yang lain tersebut, maka saat itulah ibunya berjanji akan kembali.
"Aku sangat lelah," gumam Gabriel sambil memejamkan mata, menikmati air hangat dalam bathtub.
\~\~\~\~\~
Gabriel hendak pergi dari hotel itu setelah ia merasa cukup beristirahat. Namun, tiba-tiba beberapa orang menyerangnya yang membuat Gabriel harus melawan mereka mati-matian tanpa bantuan siapapun.
Musuh semakin banyak berdatangan dan Gabriel pasti akan habis saat ini. Sebenarnya Gabriel tak peduli akan hal itu, tetapi mengingat di hotel ini sedang ada acara besar, dia tak mau mengacaukannya. Selain itu, Gabriel tak mau berita kematiannya menjadi berita dunia. Gabriel melawan musuh itu sembari bergerak mundur dan berusaha bersembunyi.
Dalam kamus hidup Gabriel tak ada kata menyerah, tetapi jika diperlukan dia hanya harus menunda waktu perang dan baginya itu adalah kebijakan.
Gabriel berusaha keras melumpuhkan sebagian musuhnya seraya memanggil bantuan, kemudian dengan cepat Gabriel menyelinap masuk ke toilet wanita tapi satu musuh berhasil menusuknya di sana, membuat Gabriel tersungkur. Sementara pria yang menusuknya langsung berlari keluar.
"Pengecut!" geram Gabriel sambil menarik pisau yang masih menancap di perutnya, dia mengerang kesakitan saat merasakan pisau itu tertarik. "Argh, sialan!" umpatnya sambil menjatuhkan pisau itu di sisinya.
Hingga tiba-tiba ...
"Argghhh ...." Seorang gadis kecil yang berpenampilan bak bidadari masuk ke toilet, dia tampak sangat terkejut melihat Gabriel yang tersungkur di lantai.
Gabriel sendiri sudah terbiasa membuat orang histeris dan berlari terbirit-terbirit darinya, dia pun menduga gadis kecil ini akan berlari ketakutan dan mungkin akan menangis mengadu kepda ayahnya.
"Om ...!" seru gadis itu sambil berjalan menghampiri Gabriel, tidak tampak ketakutan di wajahnya melainkan kekhawatiran. Membuat Gabriel terkejut dan merasa heran.
Gadis itu berjongkok di depan Gabriel, menatap perut Gabriel dimana kemejanya sudah di penuhi darah.
"Aduh, Om kenapa? Om jatuh? Kok engga berteriak minta tolong? Darahnya banyak lagi," celoteh gadis yang tampak kalang kabut apa lagi saat melihat Gabriel meringis. Bukan hanya karena rasa sakit akibat lukanya, tetapi karena celotehannya yang bahkan mengira dia jatuh.
"Biar Firda panggil bantuan ya, takutnya Om keburu mati kehabisan darah," celetuknya dan hal itu membuat Gabriel tersenyum samar.
"Jadi namanya Firda?" batinnya berkata sementara bibirnya masih menahan senyum samar apa lagi saat Firda mengatakan takut Gabriel keburu mati kehabisan darah "Apa tidak ada kata yang lebih formal dan sopan dari itu?"
"Jangan," cegah Gabriel kemudian dengan lemas. "Aku sudah memanggil bantuan, sebaiknya kamu pergi!" titahnya dengan tegas. Namun Firda tak menghiraukannya sementara darah semakin banyak yang mengalir dari luka Gabril/
Dengan berani, Firda menyingkirkan tangan Gabriel yang sejak tadi menekan perutnya. Membuat Gabriel bingung dengan gadis kecil yang tak takut ini. Firda mengangkat kemeja Gabriel dan pria membiarkannya saja, merasa tertarik dengan keberanian gadis ini.
"Om, lukanya parah. Ya Allah, kasiannya. Sakit ya, Om?" tanya Firda lagi yang kembali membuat Gabriel mengulum senyum di tengah usahanya menahan rasa sakit.
"Bidadari yang sangat tidak pintar!" seru Gabriel dalam hati
"Om, memang Om jatuh bagaimana sampai perutnya luka begini? Aduh, ini mah luka sobekan. Bantuannya mana? Lama amat?"
Gabriel terkekeh pelan mendengar celotehan Firda yang tak ada habisnya. Hatinya bertanya-tanya bagaiamana bisa gadis kecil ini mengatakan 'bagaiamana bisa seseorang jatuh di kamar mandi dan mendapat luka sobekan di peru nya'. Orang terbodoh di dunia pun tak akan berfikir luka itu karena jatuh di toilet.
"Memang siapa yang mengatakan karena terjatuh, Wahai bidadari kecil?" batin Gabriel.
Gabriel mengambil pisau yang ada di sampingnya pelan-pelan agar Firda tetap tak menyadari keberadaan pisau itu, kemudian ia menyembunyikan benda tersebut ke belakang tubuhnya.
Sementara gadis itu tampak memikirkan sesuatu, mencari cara bagaiamana dia menekan luka Gabriel agar tak terus berdarah sampai bantuan datang.
Firda melepaskan pashmina luarnya membuat Gabriel semakin bingung. Tanpa disangka, Firda mengikatkan pashimanya di perut Gabriel untuk menekan luka pria itu.
Gabriel tertegun melihat apa yang di lakukan gadis kecil didepannya ini, selama 28 tahun hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan gadis asing yang sangat baik padanya.
"Om, Firda panggil ambulance aja ya, luka Om makin parah tuh," ucap Firda dan ia melihat kedua tangannya yg juga berlumuran darah pria asing ini, tetapi Firda tak terlihat takut sama sekali, membuat Gabriel berdecak kagum dalam hati.
Hingga tak lama kemdian beberapa orang pria bertubuh besar datang menodongkan pistol pada Firda, tapi Firda tak menyadari kedatangan mereka. Gabriel yang melihat mereka langsung memberi isyarat untuk menurunkan senjata. Mereka pun menurunkan senjatanya tanpa bertanya.
"Bantuan sudah datang." Gabriel memberi isyarat pada Firda agar menoleh.
"Om, lama banget sih datangnya," tegur Firda dengan sedikit membentak pada beberapa pria itu, sontak mereka semua terkejut karena dimarahi gadis kecil, bahkan Gabriel yang melihat itu juga terkejut. "Dia hampir mati kehabisan darah, tahu!" lanjutnya masih dengan nada sewot seperti ibu-ibu yg memarahi anaknya.
"Tidak apa apa, terima kasih bantuannya," ucap Gabriel. Beberapa pria itu langsung membawanya, sedangkan Firda hanya bisa menatap punggung lebar itu dengan nanar sambil menghela napas lega.
.........
......Hai, kalian suka cerita ini?......
...Jangan lupa tap ❤️, kemudian tekan like, tinggalkan comments, dan aku sangat mengharapkan gift serta vote dari kalian ☺️....
...Jangan lupa juga follow SkySal supaya tidak ketinggalan Novel menarik lain nya....
...Aku tunggu jejak nya di setiap episode ya, thank you and I love you, all. 😘...
***GABRIEL EMERSON (28 th)
-DON GABRIEL***
***ZEDA FIRDAUS (18 th)
-FIRDA***
...........
Hai, Reader setia SkySal...
Cerita Lentera Don Gabriel Emerson ini sama sekali tidak ada hubungan nya dengan novel SkySal yg lain ya. Cerita ini berdiri sendiri dan bukan sequel dari novel yg sebelumnya atau berkaitan dengan cerita yg sebelumnya.
Kecuali sebuah fakta bahwa Firda adalah keponakan Asma Azzahra. Namun di sini cerita hanya akan berfokus pada Firda dan Gabriel tanpa embel embel novel yg sebelumnya.
Sekalipun di Calon Makmum ada Firda dan Gabriel, itu hanya promosi. Hehe.
Itu lah cara SkySal promosi cerita baru, di selipkan di cerita yg lain. Biar pada penasaran... Hehe
Semoga kalian suka... 🙏😍😘
"Bagaiamana keadaan Tuan Gabriel, Dok?" tanya John, tangan kanan Gabriel yang bertugas menjaganya, tetapi sayang sekali malam ini dia kecolongan sehingga sang Don mafia terluka.
"Lukanya cukup dalam tapi dia akan baik baik saja. Untuk saat ini, biarkan dia beristirahat dan setelah dia sadar kami akan memeriksanya kembali."
John hanya mengangguk sambil menghela napas berat.
Di depan kamar rawat Gabriel, empat orang pria bertubuh kekar berjaga dengan begitu waspada. Mereka bahkan dilengkapi dengan senjata. John tak mau kecolongan lagi, nyawa Gabriel sedang dalam bahaya sekarang
"Jaga Tuan Gabriel, jangan biarkan siapapun masuk selain Dokter yg tadi" titah John. "Aku akan pergi dan mencari tahu siapa dalang di balik semua ini"
\~\~\~`
Enam bukan kemudian.
"Apa maksudmu bersembunyi?" tanya Gabriel dengan tatapan angkuhnya kepada John. "Seorang Don Gabriel Emerson harus bersembunyi?"
"Hanya untuk sementara, Tuan. Sampai kami tahu siapa musuh dalam selimut yang sebenarnya," jelas John.
"Aku tidak mau, kau pikir aku takut mati?" geram Gabriel lagi sambil memukul meja di depannya, menatap Jhon dengan tajam. Namun, sayangnya John tak terintimidasi sedikit pun.
"Aku tahu kamu tidak takut mati tapi setidaknya pikirkan tentang ibumu. Bukankah kau masih ingin mencarinya? Pikirkan juga bisnis dan kekayaan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh ayahmu. Dan juga, bagaimana dengan putramu?" papar John yang juga mulai emosi.
Gabriel melirik John sekilas, seandainya bukan karena John yang terus menjaganya, Gabriel pasti sudah mati ribuan kali.
John begitu setia menjaga Gabriel dan selalu mengutamakan keselamatan pria itu atas perintah ibu Gabriel 18 tahun yang lalu, sebelum sang ibu memilih pergi.
"Baiklah, ke mana aku harus pergi? Swedia? Polandia? Israel? Jerman atau ke mana?"
"Bukan ke luar negeri, tapi ke sebuah desa"
"DESA?!"
\~\~\~\~
"Whoaammm..."
Firda menguap sambil menggeliat malas, tetapi ia tersenyum saat mengingat mimpinya. "Indahnya mimpi Firda_ Aduh." Baru saja dia merasa senang mengingat mimpinya, sekarang Firda harus meringis dan cemberut saat merasakan pukulan dari sebuah bantal yang mendarat punggungnya.
"Kenyataan lebih indah karena itu sebuah fakta dan fakta nya adalah kamu harus pergi ke pesantren dua minggu lagi. Jadi belajarlah bangun pagi, Zeda Firdaus!" seru sang ibu sambil membuka horden jendela, sehingga matahari menyeruak masuk, menyinari kamar bernuansa pink dan biru itu.
"Firda sudah bangun tadi jam setengah empat, Ummi. Terus sholat tahajud terus tidur lagi, terus bangun lagi terus sholat subuh, terus tidur lagi terus_"
"Terus nanti Ummi cekokin kopi seliter biar melek terus," sungut ibunya dengen jengkel. Sementara Firda hanya cengengesan sambil garuk-garuk kepala yang membuat rambutnya sudah seperti mbak kunti saja. "Berapa rakaat tadi tahajudnya?" tanya ibunya lagi sambil menarik turun Firda dari ranjang, setelah itu dia membersihkan ranjang putri semata wayangnya yang sangat manja tersebut/
"Dua," jawab Firda enteng.
"Cuma dua?" seru sang ibu geleng-geleng kepala. "Pelit sekali kamu ini, Fir. Berdoa pengen dapat jodoh yang romantis seperti Nabi Muhammad Saw, dermawan seperti Sayyidina Abu bakar, tegas seperti Umar, lemah lembut seperti Ustman, cerdas dan pemberani seperti Ali, terus pengen masuk surga Firdaus bersama mereka. Tapi tahajudnya cuma dua rakaat, ngaji cuma satu lembar. Malu sama doa-doa yg kamu tulis itu." hardik sang ibu yang lagi dan lagi membuat Firda hanya cengengesan.
Ah, jangan tanya dari mana ibunya tahu doa dan harapan Firda karena anak gadisnya itu menulis doa-doa tersebut dan menempelkannya di dinding kamar.
"Kan tadi Firda ngantuk, Ummi." Firda masih membela diri, membuat ibunya semakin kesal.
"Ya sudah, nanti kalau di akhirat kamu ditanya kenapa sholatnya pelit sekali, jawab saja kamu ngantuk. Paling cuma dikasih fasilitas bantal, sedangkan penghuni surga yang lain dikasih istana lengkap dengan isi ya. Engga iri kamu?"
Firda meringis, membenarkan apa yang ibunya katakan.
"Jangan lupa duha habis ini. ingat, jangan pelit sama ibadah!" titah umminya sebelum keluar dari kamar Firda.
Setelah ibunya keluar, Firda mengambil kertas memo dan pulpen. Kemudian ia menulis kan apa yg baru saja di ajari ibu nya 'Ingat! jangan pelit sama ibadah, biar pahalanya full dan dapat surga yang terbaik dengan segala isinya yamg sempurna. Biar engga iri sama yang lain!'
\~\~\~\~
"Ini desanya?" tanya Gabriel sambil memperhatikan setiap jalan yang dia lewati. Gabriel melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, kini sudah pukul sembilan, pikirnya. Mereka terbang dari Jakarta tengah malam dan tak ada siapa pun yang tahu.
"Iya, selama ini di sini sebaiknya Tuan jangan menggunakan ponsel, jangan membuka email, pokoknya jauhi Internet supaya tidak terlacak. Tidak ada yang tahu kau di sini selain aku, jadi aku pastikan tempat ini sangat aman."
"Bagaiamana jika aku memerlukan sesuatu? Bagaimana jika aku ingin makan steak? Atau bagaimana jika aku ingin masakan Perancis favoritku?" cecar Gabriel.
John terkekeh mendengar pertanyaan konyol pria itu. "Jika kau masih hidup, kau bisa menikmati semua itu nanti. Aku tidak yakin di sini tidak ada masakan Perancis kecuali kau membuatnya sendiri begitu juga dengan steak"
"Lalu bagaimana dengan perusahaan?"
"Aku dan Emely akan mengurusnya, jangan khawatir. Dan ini ...." John menyerahkan sebuah ponsel jadul pada Gabriel. "Jadikan ponsel ini satu-satunya alat komunikasi kita, ini tidak akan bisa dilacak dan jangan berikan nomor ponsel ini pada siapa pun," tegas John dengan sangat serius.
"Kau seperti kakek-kakek sekarat yang sedang berwasiat," dengus Gabriel datar.
Mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana dan kecil, sangat kecil bagi Gabriel, ada seorang wanita yang menunggu di sana.
John dan Gabriel turun dan wanita itu segera menyambutnya.
"Tuan John," sapa wanita itu.
"Bawakan barang barangnya!" titah John yang langsung dipatuhi wanita itu.
"Dimana kamarku?" tanya Gabriel sambil berjalan masuk seraya memperhatikan setiap sudut rumah.
"Di sini," seru wanita itu menggiring Gabriel ke sebuah kamar.
"Kecil sekali," decak Gabriel tak suka.
"Setidaknya bisa di tempati,"sahut John santai.
Gabriel berjalan masuk, kamar itu baginya kecil, sangat kecil. Gabriel berjalan ke arah jendela, membuka jendela itu lebar-lebar sehingga angin menyeruak masuk dan membelai wajah Gabriel dengan begitu lembut, seolah menyambut kedatangannya.
Dia merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya, perasaan nyaman dan aman. Apalagi cuaca desa yang begitu segar, tak ada polusi berlebih, anginnya juga begitu sejuk.
"Baiklah, aku suka di sini" ucap Gabriel sambil memandang ke luar, dimana masih ada begitu banyak pepohonan dan rumput yang hijau. Masih begitu alami, bumi yang alami. "Sangat menenangkan"
Tbc...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!