"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi segala kebutuhanmu dan menanggung biaya ibumu selama beliau di rawat di rumah sakit. Semua akan aku berikan, namun bukan cinta dan hatiku. Karena itu semua hanya untuk istriku, Annisa" ucap Arka tegas pada Melati. Lalu dia pergi meninggalkan Melati di kamar pengantinnya seorang diri dan membanting pintu kamarnya dengar keras.
Brakk!!
Melati memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya air mata di pipinya. Ada rasa sakit di hati Melati ketika mendengar setiap kalimat yang di ucapkan suaminya. Meskipun mereka terpaksa melakukan perkawinan sirih ini, namun alangkah baiknya jika sang suami juga memperlakukan dia dengan manusiawi.
Karena dia juga terpaksa dan terdesak karena keadaan. Karena sedang membutuhkan biaya rumah sakit untuk sang Ibu yang sedang mengalami koma karena mengalami kecelakaan beberapa waktu yang lalu.
Melati yang saat itu sangat membutuhkan biaya untuk ibunya, bertemu dengan dokter Irawan yang kebetulan menangani sang ibu.
"Dok, apakah rumah sakit ini tak memberikan penangguhan biaya untuk pasien yang kurang mampu? Saya harus mencari kemana uang segitu banyaknya, dok?" Tanya Melati seraya berderai air mata di pipinya. Dia bingung harus mencari kemana biaya yang segitu banyaknya untuk ibunya.
Dokter Irawan itu menggelengkan kepalanya lemah, bertanda tak ada jalan lain untuk itu. Jika saja dia mempunyai banyak uang, bukan hal yang sulit untuk membantu Melati dalam urusan biaya rumah sakit. Karena dia juga pernah merasakan bagaimana sulitnya ketika berada di posisi Melati.
Melati menangis, menutup wajahnya sambil terus terisak dalam tangisnya. Mungkin terbesit di pikirannya untuk menyerah pada takdir dan melepaskan alat yang menopang hidup sang ibu. Dan itu artinya dia harus rela kehilangan sang ibu untuk selamanya.
Mereka saling diam. Dokter Irawan pun hanya menatap Melati yang masih menangis itu. Dia ragu saat akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membantu Melati untuk melewati masalah ini.
"Mel,"
Melati mengalihkan pandangan pada dokter Irawan. Menunggu apa yang akan di katakan dokter itu selanjutnya.
"Ada satu jalan Mel yang mungkin bisa menyelamatkan ibumu. Apa kamu mau mengambil itu sebagai jalan untuk ibumu?"
Sontak Melati menatap tak percaya ke arah dokter muda tersebut, "Apa dok?" Tanya Melati. Ada semburat semangat di mata Melati saat mendengar penuturan dokter Irawan.
"Mau kah kamu menghasilkan anak untuk teman saya?"
"Ma__maksud dokter?!" Ucap Melati tak mengerti dengan apa yang barusan dia dengar.
"Jadilah istri kedua untuk menghasilkan anak untuk sahabat saya,"
Duarr!!!
Bagai di sambar petir rasanya. Dia yang sama sekali tak ada pikiran untuk menikah, harus menikah dengan pria yang tak di kenal. Yang lebih parahnya harus menjadi yang kedua.
Rasanya lututnya lemas seketika, membayangkan saja sudah membuatnya takut dan bagaimana dia bisa menjalani pernikahan konyol ini dan hanya menjadi alat pencetak anak untuk suaminya. Sungguh dia tak sanggup untuk membayangkannya.
Awalnya Melati enggan menjadi gundik penghasil anak, namun karena keadaan yang terus mendesak, akhirnya Melati menyetujui penawaran itu.
Setelah mengucapkan ijab qabul, akhirnya Melati dan Arka telah sah menjadi suami istri. Hanya beberapa orang yang menghadiri pernikahan mereka termasuk dokter Irawan sendiri yang menjadi jalan mereka berdua.
"Silahkan mbak Melati, di cium tangan Mas Arkanya," ucap penghulu pada Melati.
Dengan tangan gemetar Melati meraih tangan suaminya. Ada setitik lara yang keluar dari ekor matanya. Ibu, keluarga satu-satunya yang dia punya sedang tergolek bagai mayat hidup di rumah sakit. Sedangkan pernikahannya yang dia lakukan saat ini bukanlah pernikahan impian yang selama ini dia idamkan. Justru pernikahan ini lah yang mungkin akan membuatnya jatuh ke lubang kenastapaan yang tiada berujung.
Yang lebih parah lagi, dia telah menyakiti hati seorang wanita dengan menikahi suaminya. Wanita mana yang akan menerima semua kedustaan ini. Sesabarnya seorang wanita, dia akan berubah menjadi sosok yang mengerikan jika miliknya di renggut oleh wanita lain. Dan mungkin dia akan pasrah jika istri pertama suaminya akan menolaknya, bahkan bisa saja membunuhnya. Mungkin itulah salah satu resiko menjadi duri dalam daging rumah tangga seseorang.
Melati memejamkan matanya, bukanya dia tak paham. Namun dia berusaha menerima garis tangan yang sudah Tuhan tentukan untuknya. Jika boleh memilih nasibnya sendiri, dia tak akan mau menjalani hidup susah seperti sekarang ini. Namun apa mau di kata, dia hanya bisa berpasrah.
***
Brakk..
Pintu terbanting dengan kerasnya. Membuat Melati yang sudah hampir terlelap berjengkit terkejut. Dia segera beranjak duduk dan melihat sang suami yang berdiri di depan ranjang dalam keadaan berantakan.
"Cepat, buka bajumu!!" perintah Arka dengan tiba-tiba.
"Hah!! U__untuk apa?!" Tanya Melati gugup. Tangannya meremas kancing piyamanya dengan erat.
Arka menatap sinis ke arah Melati.
"Bukankah kita suami istri sekarang? Jadi sudah sewajarnya jika kita melakukannya. Karena kita juga sudah sah di mata agama. Apa kamu lupa, Melati."
Melati segera memundurkan tubuhnya takut ketika Arka mulai mendekatinya.
"Jangan. Aku mohon!!" Ucap Melati dengan gemetar. Ia ketakutan setengah mati ketika melihat Arka yang sudah mulai menanggalkan setiap pakaiannya dam melemparnya ke sembarang arah.
"Apakah aku harus melakukan pemaksaan pada istriku sendiri. Hem??" Tanya Arka dengan pandangan tajamnya.
Dia mendekati Melati yang sudah tidak bisa bergerak lagi. Dengan segera dia meraih dagu wanita itu dan mendekatkan wajahnya.
Cukup lama Arka menatap wajah istri barunya itu dengan dekat. Tapi yang ada hanya kebencian di mata Arka. Benci karena takdir memaksanya untuk menikahi wanita lain untuk bisa melahirkan keturunannya. Karena istri yang sangat di cintainya tak mampu untuk melahirkan buah cintanya.
Arka melahap bibir itu dengan brutal, meskipun beberapa kali Melati menolak ciuman itu, namun Arka mengabaikannya. Tangannya pun tak henti memukul dada Arka untuk melepas pagutan mereka.
"Aakkhh!!!" Pekik melati karena rasa sakit dan perih menghantam inti tubuhnya. Dia mencengkram sprei dengan kuat hingga kukunya berubah memutih.
"Sakiit!!! Hentikan!!" Pinta Melati. Ia merintih kesakitan karena ulah Arka yang tiada kelembutan menjamah tubuhnya.
Namun Arka tak menggubrisnya. Dia masih menggoyangkan tubuhnya di atas tubuh Melati. Tiada kenikmatan yang terasa, hanya rasa terpaksa yang mendominasi hati Arka saat ini.
Wajah cantik Melati pun tak mampu menggoyangkan imannya. Dan hanya wajah Annisa lah yang tergambar jelas di pelupuk matanya saat ini.
"Annisa, aku mencintaimu!!" Erang Arka ketika mencapai puncak kenikmatannya. Tanpa sadar bibirnya berucap demikian.
Hati Melati mencolos, merasakan pilu sang amat sangat karena suaminya menyebut wanita lain ketika bercumbu bersamanya. Tak terasa air matanya tumpah kepermukaan.
Melati dengan cepat menutupi tubuhnya setelah Arka bangkit dari tubuhnya. Dia meringkuk, air matanya deras mengaliri pipinya.
"Kenapa rasanya sesakit ini?" Tanyanya dalam pilu. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya lah menangis, meratapi nasibnya yang entah bagaimana kelanjutannya.
Brukk..
Sebuah handuk dengan sengaja Arka lempar ke arah Melati. "Cepat bersihkan tubuhmu. Aku tak ingin jejak kepemilikanku menempel di tubuhmu," ketus Azka.
Kemudian dia berjalan keluar, menuju dapur lebih tepatnya. Mengisi tenggorokannya yang sudah kering karena pergulatan hambarnya dengan Melati.
"Maafkan aku, Annissa. Aku berdosa sama kamu, aku terpaksa melakukan ini agar aku tak kehilangan dirimu," lirih Arka dengan sorot mata yang penuh dengan penyesalan.
***
Ayo silahkan di baca. Bagi yang sudah baca sebelumnya jangan lupa like dan komen ya....Karena itu membuatku semangat...
Melati segera pergi ke dapur setelah membersihkan tubuhnya. Dia berencana akan membuatkan makanan untuk pria tampan yang baru saja menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dia hanya ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya itu, meskipun dia belum tentu bisa meraih hati sang suami. Melati juga tak berharap terlalu banyak atas cinta Arka untuknya.
Arka mau menanggung pengobatan sang ibu pun Melati sudah sangat merasa bersyukur. Karena baginya kesembuhan ibunya adalah nomer satu. Apapun akan di lakukan Melati agar sang ibu bisa sembuh seperti sedia kala.
Ada rasa perih ketika dia melangkahkan kakinya ke dapur, namun dia sama sekali tak menghiraukan rasa sakit itu. Karena ini adalah sebagai bukti jika Arka sudah menjalankan kewajibannya. Dan oleh sebab itu Melati juga harus melayani sang suami dengan baik sebagai baktinya seorang istri.
"Mas." panggil Melati dengan lirih ketika melihat Arka. "Mas Arka mau makan apa? Biar aku yang masakin untuk mas Arka?" tanya Melati seraya tersenyum manis menatap Arka.
Arka menatap tajam ke arah Melati yang mendekat ke arahnya. Dia sungguh muak melihat sikap Melati yang sok baik terhadapnya. Baginya, tiada wanita sempurna selain sang istri, Annisa.
"Kamu tak perlu bersusah payah memasak untukku, Mel. Aku juga tak sudi memakan masakanmu." ucapnya dingin. Namun tatapan matanya masih tertuju pada Melati dengan tatapan yang sulit di artikan.
Deg..
Melati kontan menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh, menatap wajah Arka yang menatapnya penuh kobaran api kebencian terhadapnya.
"Harusnya kamu tau diri, Melati. Jika saja aku tak membutuhkan rahimmu, tak mungkin juga aku mau tidur denganmu. Kamu juga harus menjaga sikapmu jika kita bertemu di suatu tempat. Anggap saja kita tak saling kenal dan kamu harus berusaha menghindari ku dan jangan pernah ganggu keluargaku," ucap Arka kemudian.
Melati memejamkan matanya, menahan bulir yang ingin tumpah di pipinya. Sungguh kejam ucapan Arka yang sudah menyakiti hatinya. Jika dia malu menikah dengannya, seharusnya dia tak melakukannya. Arka masih bisa berusaha dengan cara lain, bukan menikahinya lalu menganggapnya tak ada.
"Kenapa kamu masih mematung di sana? Duduklah," pinta Arka. Dia menunjuk kursi di depannya dengan dagunya.
Melati pun menurutinya. Dia segera melangkah dan mendudukkan bokongnya di kursi yang di tunjuk Arka. Dia duduk dengan tak nyaman, karena merasa mata tajam Arka terus memindai dirinya dengan lekat.
Melati memilih menundukkan wajahnya agar tak menatap wajah Arka yang tampan namun sangat menyeramkan. Wajah tampan Arka tak mampu membuatnya kegugupannya hilang, malah semakin membuatnya tersiksa karena di dekatnya.
Cukup lama mereka saling membisu, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Melati juga enggan membuka mulutnya terlebih dahulu. Karena dia tak ingin di hina kembali oleh Arka yang bermulut pedas dan menyakitkan.
Terdengar hembusan nafas berat yang keluar dari bibir Arka. Seolah beban berat tengah menghimpitnya dadanya saat ini. Mungkin Arka menyesal telah menikahinya. Namun dia bisa apa, mungkin yang di lakukan saat ini hanyalah pasrah. Karena nyawa sang ibu taruhannya. Dia hanya ingin diam agar Arka tak nekat mencabut biaya rumah sakit sang ibu.
Melati mencoba berbesar hati menerima nasibnya. Mungkin inilah jalan yang harus di laluinya demi sang ibu. Dia tak akan menyesal jika itu untuk kesembuhan wanita yang telah melahirkannya. Apapun akan dia lakukan untuk wanita yang paling berharga di hidupnya.
"Ini untukmu," Arka menyodorkan sebuah kartu sakti di depan Melati. Sehingga membuat lamunan Melati buyar seketika.
Mata Melati menatap benda tersebut. "Apa ini?" tanya Melati polos. Bukannya dia tak tau, namun dia tak mengerti untuk apa itu. Sedangkan dia sudah bekerja dan bisa menghidupi dirinya sendiri jika Arka tak mau menanggung hidupnya.
Arka tersenyum sinis mendengar pertanyaan Melati. Semakin ilfil Arka pada Melati yang sok polos.
"Kamu pura-pura tak tau atau memang kamu bodoh, Mel?" tanya Arka sambil mendekap kedua tangannya.
"Ma\_maksud aku?" Dia segera menunduk takut karena tatapan tajam Arka yang seolah menghunus jantungnya.
"Udah. Jangan sok polos kamu. Ini untuk kebutuhan kamu selama menjadi istriku. Dan ini bukan termasuk biaya rumah sakit ibu kamu. Tenang saja, aku nggak bakalan mengingkari janjiku. Aku akan menanggung semua biaya rumah sakit untuk ibumu. Dan jangan lupa jika kamu juga harus dengan segera mengandung anakku. Karena aku tak sudi jika terus-terusan tidur denganmu dan mengabaikan istriku."
Lagi dan lagi ucapan Arka bagai tombak yang menghunus hatinya. Rasanya sungguh sakit tiada terbanding. Jika Arka menyesal, dia menerima itu. Tapi jangan terus-terusan menghinanya. Karena yang di rugikan di sini bukan hanya Arka, namun juga dirinya dan masa depannya. Mau jadi apa dia besok jika berpisah dengan Arka? Mungkin akan banyak cacian dan gunjingan jika mengetahui masa lalunya yang hanya menjadi pencetak anak untuk suami sirihnya.
"Ba\_baiklah, Mas!!"
Suara Melati bergetar menahan gejolak hatinya.
"Dan satu lagi. Kamu jangan coba-coba dekat dengan pria lain. Karena aku tak ingin anak yang kamu kandung kelak tak jelas nasabnya itu anak siapa."
Duarr..
Melati terkesiap. Dia mendongakkan wajahnya menatap sang suami yang dengan tega kembali melukai harga dirinya.
"Maksud mas Arka apa? Meskipun kita menikah sirih, tapi aku sangat menghargai pernikahanku, mas. Aku akan menjaga pernikahan ini sampai waktunya tiba. Jadi mas Arka tak perlu menyinggung harga diriku. Aku tak serendah yang mas Arka pikirkan." balas Melati dengan tegas. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi dia juga perlu melindungi harga dirinya agar tak selalu menjadi bulan-bulanan suaminya.
"Halah, siapa tau kan kalau kita jauh kamu open BO. Dan bisa meraup uang lebih banyak dariku dengan mengatasnamakan anak di dalam kandunganmu. Padahal Zonk!" cibir Arka.
"Cukup mas!!"
Melati menggebrak meja dengan keras. Dia sudah tak tahan mendengar ucapan pedas yang selalu di lontarkan Arka padanya. Jika terus-terusan begini, mungkin dia akan gila sendiri menghadapi sikap Arka yang keterlaluan.
Lalu dia segera bangkit dari duduknya dan segera berlari menuju kamarnya. Rasa lapar yang tadi menderanya, sudah hilang entah kemana. Yang ada hanya rasa kenyang karena ucapan pedas yang Arka gaungkan terhadapnya.
Sedangkan Arka hanya menatap punggung kecil itu yang semakin menjauh. Tapi tak berniat untuk mengejar dan meminta maaf atas ucapan yang mungkin menyakiti hati istrinya.
Tapi mau bagaimana lagi. Mereka sama-sama dalam keadaan yang salah. Keadaan yang mengharuskan mereka mengambil langkah ini untuk kepentingan masing-masing.
\*\*\*
Maaf readers tersayang, ada kesalahan teknis. Seharusnya yang ini bab dua. Karenanya harus aku tambah kalimatnya karena kurangnya kata dalam satu bab.. Sekali lagi maafkan y..
Melati terbangun ketika matahari mulai merangkak naik. Dia tak ingat menutup matanya jam berapa, yang dia ingat hanya dia menutup matanya kala rasa kantuk yang mendera. Tubuh dan hatinya lelah karena mendengar cacian dari suaminya, hingga membuatnya menangis semalaman dan mengabaikan rasa laparnya.
Dia segera beranjak bangun dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Melati tersenyum nanar ketika melihat bayangan dirinya di cermin yang nampak mengenaskan. Matanya yang bengkak hampir menutup matanya, hidungnya pun masih memerah akibat semalam menangis. Entah bagaimana dia harus menghadapi segala pertanyaan yang akan menanyakan keadaannya nanti setelah sampai di tempat kerja.
Setelah mandi dan berpakaian, dia memoles sedikit bedak pada wajahnya agar tak terlalu pucat di pandang. Setelah semua selesai, dia segera keluar dari kamarnya.
Dia memutar handel pintu dan membukanya, namun dia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Mencari sosok yang sudah membuatnya menangis semalaman. Namun dia tak menemukan di dalam kamarnya. Setelah memastikan jika Arka tak berada di dalam, Melati segera keluar dari kamar.
Melati segera menuju ke dapur untuk membuat sarapan. Tubuhnya terasa bergetar karena menahan rasa lapar yang sangat. Dia meneguk air putih untuk mengganjal perutnya yang terasa melilit.
Dia hanya memasak mie instan, karena yang ada hanya itu untuk mengganjal perutnya. Tak lupa dia pun menambah telur dan sayuran ala kadarnya.
"Ah, kenapa lama sekali sih kamu matangnya wahai mi instan? Aku sudah kelaparan dan mau pingsan." Melati berbicara sendiri untuk menghilangkan rasa sepi karena berada di rumah milik Arka seorang diri.
"Heem, wanginya," Melati terus meracau karena rasa laparnya.
Hingga dia tak menyadari jika Arka sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan tajamnya. Seolah dia siap menerkam Melati saat ini juga.
"Akh!!" Melati memekik kaget karena melihat Arka yang tiba-tiba berada di belakangnya. Dan hampir saja dia menjatuhkan mangkuk yang berisi mie panas itu jika saja dia tak memegang piring yang sebagai tatakan mangkoknya itu dengan erat.
"Mas Arka ngapain tiba-tiba muncul di depan Mela?"
Melati masih berusaha menguasai rasa terkejutnya. Karena dia adalah wanita yang gampang sekali terkejut jika ada suara atau apapun yang bisa membuat jantungnya berpacu lebih kencang.
Arka bersendekap tangan. "Memang kenapa? Ini rumahku. Jadi wajar jika aku berkeliaran di rumahku sendiri." ketus Arka.
Lalu dia melirik mie yang berada di tangan Melati. Dia tersenyum sinis dan mengolok Melati. "Pantas, orang kampung makannya hanya mie instan. Orang susah!" ucapnya dengan seringai di bibirnya.
Melati yang mendengarnya pun memutar mata jengah. Dia sama sekali tak berminat jika pagi-pagi harus berdebat dengan Arka. Dia lebih memilih makan karena rasa laparnya yang sudah merongrong sedari tadi.
Sehingga dengan santainya Melati melewati Arka begitu saja dan menuju ke meja makan.
Sikap Melati yang menghindarinya pun membuat Arka berang seketika. Dia segera menyusul Melati dan menampik mie instan itu hingga berhamburan di lantai.
Praangg...
Melati menutup telinganya kala piring itu menghantam lantai keramik milik Arka.
Melati mengalihkan pandangan menatap Arka yang masih berdiri di samping. Dia segera berdiri dan siap melawan Arka yang sudah membuatnya naik darah.
"Kenapa sih mas Arka tak ada puasnya menganggu hidupku. Aku sudah berusaha sabar mendengarkan semua caci makimu. Aku sudah menuruti kemauanmu. Lalu kenapa sekarang kamu menumpahkan makananku? Apa kamu mau membunuhku sekarang juga?"
Melati meluapkan emosinya pagi ini. Dia menunjuk-nunjuk Arka dengan jari telunjuknya. Dia sudah berusaha menghindari pertengkaran dengar Arka. Namun Arka seolah suka mencari gara-gara dengannya dan membuatnya marah.
Arka tersenyum tipis melihat kemarahan Melati. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia menatap Melati namun sama sekali tak berniat membalas ucapan Melati.
Melati pun geram bukan main. Dia segera mendorong dada Arka dan berniat melangkah pergi. Namun cekalan Arka membuatnya dia mengurungkan langkahnya.
Melati meronta melepaskan diri karena cengkraman Arka di lengannya yang membuat kesakitan.
"Lepas mas, lepas!!!" Teriak Melati. Dia memukul lengan Arka berkali-kali agar segera melepaskan cengkeramannya.
Namun Arka mengabaikannya. Kemudian Arka langsung menarik Melati memasuki kamar tamu dan melemparkan tubuh Melati di ranjang besar besar itu.
Melati gegas duduk dan menggelengkan kepalanya ketakutan. Dia takut jika Arka akan bertindak kasar seperti yang dia lakukan kemaren terhadapnya.
"Jangan, mas. Aku mohon!!" Lirih Melati.
Dia makin beringsut mundur ketika Arka mendekatinya dengan bertelanjang dada.
Arka tersenyum sinis dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Melati, dan Melati dengan cepat menutup matanya dan menunduk agar tak melihat wajah Arka yang berjarak begitu dekat.
Arka segera meraih dagu Melati dan menghadapkan ke wajahnya. Namun Melati masih memejamkan matanya erat.
"Kenapa kamu menunduk, Mel? Bukannya ini yang kamu inginkan?"
Seketika Melati membuka matanya. Dia tak percaya apa yang di ucapkan Arka padanya. Melati menatap lekat netra Arka yang penuh misteri itu.
"Kenapa kamu bingung seperti itu? Bukankah kamu ingin segera hamil dan melahirkan, agar kamu bisa dengan cepat lepas dariku," ucap Arka dengan mengeratkan cengkramannya di dagu Melati.
"Ta_tapi," Melati tak melanjutkan ucapannya karena bibirnya di bungkam dengan bibir Arka. Dengan kasar dia melahap bibir Melati.
Melati mengerang. Bukan karena nikmat, namun rasa sakit yang di bibirnya karena ulah Arka. Dia memberontak dan mendorong dada Arka, namun Arka sama sekali tak bergeming dari tempatnya.
Arka segera meraih kedua tangan Melati yang sedari tadi memukulnya dan mengunci tangan Melati di atas kepalanya. Dengan bebas Arka meraup bibir Melati dengan ***** yang sudah membumbung tinggi.
"Lepas, Mas. Lepas!!!" raung Melati kala mendapati Arka yang sudah melepas sebagian bajunya. Dia tak terima di perlakukan seperti ini, tapi dia sama sekali tak bisa melawan karena kekuatannya lebih kecil di bandingkan Arka.
"Aakh!! Ampun mas!!" pekik Melati ketika Arka berhasil membenamkan miliknya di inti tubuh Melati. Melati memekik kesakitan karena Arka terus menghujamnya dengan kasar bak binatang.
***
Melati menangis ketika Arka meninggalkannya setelah penyatuan keduanya. Dia merasa tak berharga dan bagaikan wanita rendah yang melayani dengan imbalan segepok uang. Dia mencengkram selimut dengan eratnya dan meratapi nasibnya.
Dia merasakan nyeri luar biasa di daerah intinya, karena Arka menyentuhnya seperti binatang buas yang mencengkram musuhnya, tiada rasa cinta di dalamnya.
Dia masih ingat perkataan Arka yang kembali menyakiti hatinya kala telah menumpahkan benihnya di rahim Melati.
"Gue terpaksa melakukan ini. Karena gue cinta istri gue. Gue harap lo bisa di ajak kerja sama dengan baik. Sekali saja lo berhianat, bersiaplah melihat jasad ibumu terbujur kaku di kamar mayat. Karena gue akan mencabut semua biaya untuk ibu lo saat itu juga. Dan satu lagi, cepatlah mengandung, agar gue tak perlu menyentuhmu lagi dan lagi."
Setelah mengatakan kalimat itu, Arka bergegas meninggalkan kamar dan berjalan keluar. Dan tak lama kemudian, dia mendengar mobil Arka yang yang melaju keluar dari gerbang.
"Kamu berengseekk, Arkaaa!!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!