Riuh gemuruh sorak suara memenuhi lapangan basket sebuah alun-alun kota. Bahkan beberapa penonton sempat melompat dan berlari memasuki lapangan.
Bunyi peluit panjang menandakan lomba telah berakhir dengan kemenangan di tangan kampus Trimadha.
Sorak kemenangan dilengkapi dengan senyum kebanggaan pada seluruh anak kampus. Tapi tidak dengan seorang gadis yang tengah berdiri terpaku di sudut lapangan. Pandangannya terpaku pada sepasang muda-mudi yang
sedang bergandengan tangan. Sangat jelas bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
“Kamu gak papa?” Lilis yang jelas melihat kesedihan di mata temannya.
“Kita samperin, kita samperin!” Andini yang kini sudah mengebu-gebu.
“Tunggu dulu! Perjelas dulu! Jangan langsung main labrak!” Lilis yang selalu bijak
“Perjelas apa lagi? Tuh kan liat?” geram Andini saat melihat sang lelaki mulai merangkul pundak gadis yang berada di sampingnya.
“Ayo ah!” Tantri yang juga mulai gemas melihat aksi perselingkuhan di hadapannya.
Ini tak dapat dibiarkan! Jelas-jelas ini perselingkuhan. Lelaki itu adalah kekasih sahabat mereka, Rindi. Dan sekarang lelaki itu kini bersama gadis lain? Gadis yang jelas sangat mereka kenal. Heh, mengesalkan.
Andini terus menarik tangan Rindi untuk mendekati sepasang kekasih yang masih asik dengan dunianya sendiri. Dibantu Tantri, sementara Lilis ikut berjalan di belakang mereka.
“Fery.” Saat Rindi menyebut nama lelaki yang kini telah berada dihadapan empat sekawan itu.
Sang lelaki berbalik di ikuti oleh sang gadis. Keduanya terperangah, hanya mampu menatap tanpa sepatah katapun.
“Kalian jadian?” Entah pertanyaan itu tepat atau tidak.
Karena tangan sang pria masih setia merangkul pundak sang gadis, seolah menggambarkan bahwa kalimat yang baru saja terdengar itu benar adanya. Dan tanpa ada yang menyangkal seorangpun, baik dari pihak pria maupun
wanita.
“Dasar penghianat!” Andini yang kini tidak mampu menahan geramnya.
“Gak papa kok! Selamat buat kalian!” Rindi yang menyumbangkan senyumannya dihadapan sepasang kekasih selingkuhan.
Ia harus tegar, tak boleh ditindas.
Patah hati? Tak boleh!
Apalagi hanya karena seorang lelaki yang tak setia. Tak sepatutnya ia menangis. Itu justru membuat keadaannya semakin menyedihkan.
Apalagi harus bertengkar dengan teman sendiri karena memperebutkan seorang lelaki. Bagus jika lelaki itu akhirnya memilihnya, jika tidak? Maka bertambahlah porsi malunya.
Setidaknya kali ini mungkin ia harus mengalah.
“Loh kok?” Pekikan dari Andini yang seolah tak terima dengan sikap tenang terlebih lagi di dampingkan dengan ucapan selamat.
Mana ada kata selamat dari seorang kekasih yang telah dihianati?
“Ini adil buat kita. Aku juga punya seorang kekasih, nanti aku kenalin yah kalau ada waktu!” Mungkin tak apa ia sedikit berbohong demi harga diri.
“Hah?” Serentak dari para temannya.
Rindi meninggalkan tempat kejadian perkara di mana ada sepasang selingkuhan dan ketiga temannya yang menatapnya heran.
Apa tadi? Punya kekasih katanya?
Mengapa ide ini tak ia bicarakan dulu pada teman-temannya yang lain hingga membuat mereka juga terpaku mendengar kalimat itu.
Ia terus berjalan menunduk. Tak bisa dipungkiri hatinya kini tengah porak-poranda. Ingin menangis. No! No! Tahan dulu. Ada kamarnya tempat meluapkan segala perasaannya.
Bugk.
“Aww,” ia meringis saat sebuah dada telah berada di hadapannya. Sambil mengelus-elus dahinya.
Apakah orang ini raksasa? Hingga kepalanya hanya mampu mencapai dada orang ini. Bahkan ia harus mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah sang pemilik dada.
Dan astaga. Ia menabarak salah satu pemain yang tadi ia beri dukungan, sebelum pandangannya melihat kekasihnya bersama gadis lain.
Pantas saja tinggi, pemain basket. Batin Rindi.
“Ma-maaf kak.” Ia terseyum canggung dihadapan sang pemain basket.
“Kamu gak papa?” Sambil tersenyum.
Hem ganteng. Ramah. Mungkin bisa diajak kerjasama.
“Kak,” lanjutnya dengan suara melemah.
“Ya, ada apa?”
“Boleh minta bantuan?”
“Apa?”
Rindi tak menjawab, namun langsung menyambar tangan dan berbalik ke arah belakang.
“Aku pulang duluan yah!” Teriak Rindi sambil mengangkat tangan Linggar yang kini telah berada dalam gengamannya.
Linggar
Ia memandang takjub pada salah satu ciptaan Tuhan yang kini telah berada di hadapannya. Dan saat gadis ini tersenyum, nampak gigi ginsul menghiasi menambah kesan manis. Tubuh mini dengan sedikit berisi di lengkapi
dengan pipi chubynya. Emm pasti empuk.
Ia bukan tak tahu siapa gadis ini. Tahu, meskipun hanya sekedar tahu nama dan wujud.
Gadis itu adik tingkatnya. Dan salah satu temannya pernah menyimpan perasaan khusus pada sang gadis, tapi sayang temannya terlambat karena gadis ini rupanya telah memiliki kekasih.
Dan saat sang gadis meminta bantuan, ia hanya bisa menatap heran dan bertanya-tanya pada diri sendiri tentang bantuan apa yang bisa ia berikan saat mereka baru saja bertemu.
Ia terkejut saat Rindi meraih tangannya, menggenggam tangannya lalu berbalik ke arah belakang dengan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi sembari berpamitan pada teman-teman sang gadis, mungkin minta
diantar pulang.
Di sana ia menangkap satu sosok yang diketahuinya sebagai kekasih Rindi sedang menggenggam tangan lain . Hem, dari sini ia mulai mengerti keadaan. Kekasih sang gadis selingkuh.
Dan dirinya kini di jadikan kambing hitam.
Apakah sebutan itu cocok untuknya yang tak mengetahui alur cerita yang dilakoni oleh gadis ini dan langsung menariknya masuk ke dalam cerita ini.
Baiklah, mari bermain gadis!
Ia turut menyumbangkan senyuman ke arah sana dimana mantan sang gadis berdiri dikelilingi oleh gadis-gadis lain yang ia ketahui sebagai teman-teman Rindi.
Ia turut mengoyang-goyangkan gengaman tangan mereka yang terangkat hanya untuk memberi kesan nyata pada permainan yang kini menyeretnya.
“Kita pulang?” Tanyanya pada Rindi yang langsung diangguki.
Mereka berjalan keluar lapangan sambil bergandengan tangan. Otomatis pemandangan itu mampu mencuri perhatian teman-teman dan para pendukung yang masih berada di lapangan.
“Aku bawa motor sendiri.” Ucap Rindi sambil berusaha melepas genggaman tangannya.
Heh, enak saja. Habis manis sepah dibuang. Dan mulai saat ini kita akan tetap bermain entah sampai kapan.
“Mereka masih lihatin kita.” Linggar yang justru semakin mempererat gengaman tangannya.
“Simpan motormu di mana?” Linggar saat mereka telah berada dekat parkir.
“Di sana.” Rindi sambil menunjuk ke sisi kanan alun-alun.
“Kuncimu mana?” Linggar mengulurkan tangan meminta kunci motor Rindi.
Rindi memberi sebuah kunci sesuai permintaan Linggar.
“Arman.” Linggar sambil mengangkat tangannya memanggil seseorang.
“Ada apa?”
“Tolong bawain motornya, aku pulang sama dia.” Setelah memberikan kunci pada seorang pria yang diketahui
sebagai Arman, Linggar menunjuk ke arahnya.
“Tapi aku pulang sama Lilis.” Protes Rindi padanya.
Kunci motor kembali ke tangan Linggar.
“Ya sudah, kita suruh lilis yang bawa motormu pulang.” Linggar menarik tangannya yang masih berada dalam
gengaman kembali ke dalam lapangan.
“Apaan gak jelas banget!” gerutu seseorang yang baru saja mereka tinggalkan.
Menghampiri teman-teman dan kekasih yang baru beberapa menit saja ia putuskan.
“Lilis.” Sapanya yang sebenarnya mencari yang mana sosok Lilis yang dimaksud Rindi diantara sekumpulan
orang-orang.
“Ya,” jawab seorang gadis yang kini ia yakini sebagai Lilis.
“Kamu tolong bawa motor Rindi, biar aku yang antar dia pulang!” ucapnya sembari memberikan kunci motor Rindi.
Tak urung tingkahnya semakin mengerutkan kening mereka yang di sana.
Sementara Rindi terlihat cemberut dengan bibir yang maju berkerucut sambil melirik teman-temannya.
“Ayo.” Linggar yang kembali menarik tangannya yang hingga detik ini sama sekali tak pernah lepas semenjak
Rindi mulai menggenggamnya.
Linggar terus membawanya kembali ke luar lapangan yang juga kembali menjadi bahan tontonan.
Ke arah tempat parkir mobil dan menghampiri sebuah mobil sedan merah. Jadi kita naik mobil nih ceritanya.
Berdua? Dengan laki-laki yang baru ia dekati.
Ahhhh ia seperti gadis murihin yang telah berhasil menggaet seorang lelaki kaya.
“Kak.” Rindi ingin melayangkan protes pada Linggar saat lelaki itu telah membuka pintu mobil dan mendorong
pundaknya untuk masuk ke dalam mobil.
Linggar berputar ke sisi sebelah dan masuk duduk tepat di samping Rindi.
“Aku mau ganti baju dulu, boleh?” Linggar sambil melirik ke arah Rindi.
“Di sini? Sekarang?” pekik Rindi yang seolah protes pada Linggar yang ingin membuka bajunya saat mereka hanya
berdua dalam mobil.
“Kamu bisa tutup mata dulu!” Sambil meraih sebuah tas ransel yang berada di kursi belakang.
“Aku kan bisa pulang sendiri. Kok bawa aku ke mobil kakak. Kakak gak ada maksud apa-apakan?” Rindi yang mulai
sendu.
Bukan sendu mungkin lebih ke rasa takut.
“Apa-apakan apa maksud kamu?” Linggar yang menatapnya bingung.
“Aku Cuma mau bantu kamu pergi dari kekasih kamu itu. Kamu diselingkuhinkan?” Tebaknya mantap.
Rindi hanya mengangguk dengan tatapan ke arah kaki sendiri di lengkapi dengan bibir yang masih saja
mengerucut.
“Ya, sudah aku antar pulang. Tapi tutup mata dulu dong, aku mau ganti baju nih!”
“Aku buka nih, aku buka!” Linggar sambil memegang sisi bawah bajunya.
Ia bukan lelaki yang over pede hingga harus memamerkan tubuhnya pada seorang gadis. Terlebih lagi gadis yang
baru saja akrab dengannya.
Rindi mulai menutup mata dengan kedua tangannya, tak lupa berbalik ke arah jendela mobil membelakangi Linggar.
“Pasang seat belt dulu!” Linggar yang mulia menghidupkan mesin mobil.
“Udah belum?” Rindi ternyata masih menutup matanya.
“Udah, dari tadi. Cuma ganti baju kan?” Linggar tersenyum saat Rindi mulai membuka mata dan melihat kearahnya.
Dan mereka mulai meninggalkan alun-alun kota.
To Be Continue.
Meskipun ini episode awal, tapi mulai sekarang bisa di biasakan buat pencet like, dan merangkai kata di kolom komentar.
Atau sekalian berbagi secangkir kopi dan seikat bunga, dinda gak marah kok. Malah senang gak ketulungan.
Lope-Lope Yu!
Lope-Lope Yu!
Lope-Lope Yu!
Fery
Ia terhentak kaget saat mendengar namanya di sebut oleh seseorang. Dan suara itu sangat ia kenali. Suara Rindi,
sang kekasih.
Padahal tadi siang, ia sempat mengajak Rindi untuk menonton pertandingan sekaligus mendukung team dari kampus mereka. Sayangnya Rindi menolak dengan alasan ingin tidur, dan beristirahat.
Dengan sedikit keraguan ia mulai mengajak Leti salah satu teman Rindi yang sekaligus kekasih gelapnya. Ia merasa aman tanpa Rindi atau teman-temannya yang lain tak dijumpainya di sekitar lapangan.
Dengan berani ia mulai menggenggam tangan Leti. Masih aman, pikirnya. Dan mulai merangkul tubuh gadis
itu. Toh tak ada yang tahu, karena yang lain sedang ber- euphoria. Team andalan mereka menang dan berhasil masuk ke semi final.
Kini ia dihadapkan dengan Rindi yang melihatnya bersama Leti dan merangkul?
Ia seolah tak mampu bergerak. Bahkan hanya untuk menarik tangannya yang masih betah bertengger di bahu Leti.
Ia siap jika Rindi marah atau bahkan menamparnya. Mungkin itu sangat wajar ia dapatkan.
Pasti Rindi sakit, hatinya pasti terluka.
Tapi diluar sangkanya, Rindi sama sekali tak marah atau bahkan menamparnya.
Rindi justru mengatakan ini adil untuk mereka karena ternyata Rindi juga memiliki pria selain dirinya.
Hahaha, Rindi pasti sedang bercanda, atau hanya mengalihkan rasa sakit hati agar tak terlalu terlihat
buruk di hadapannya.
Tapi betapa kagetnya ia ketika Rindi berpamitan sambil bergengaman tangan dengan Linggar?
Acting.
Pasti ini hanya acting.
Namun ia benar-benar tak menyangka saat mereka kembali dengan tetap bergandengan tangan satu sama lain.
Memberikan kunci motor pada Lilis dan pria itu mengatakan akan mengantar Rindi pulang.
Benarkah? Mereka benar-benar pacaran?
Oh Rindi. Kumohon jangan! Namun ia hanya mampu memohon dalam hati. Mustahil untuk mengucapkan.
Hatinya bergemuruh. Rasa cemburu menyelinap masuk ke rongga hatinya. Sakit pastinya. Semua perasaan yang tadi disangkakan akan menimpa Rindi kini beralih padanya. Terlebih lagi pria itu salah satu anggota team basket yang sangat jelas menjadi incaran banyak gadis di kampus.
Linggar. Tampan, tinggi dan berbakat. Terlalu sempurna untuk menjadi saingannya.
Nyalinya ciut.
Jujur ia belum siap untuk kehilangan Rindi. Ia tak siap jika harus putus dengan Rindi saat ini juga.
Leti yang kini berada di sampingnya, memang hanya sebagai sampingan jika Rindi tak bisa menemaninya.
Rindi yang ia kenal sebagai gadis rumahan, yang sering memilih untuk tetap di rumah dan tidak menerima ajakannya. Otomatis ia menginginkan orang lain untuk menemaninya.
Tapi apa yang harus ia lakukan kini? Meminta maaf pada Rindi dan memintanya kembali?
Atau tinggal menerima nasib kehilangan Rindi.
Ternyata dirinyapun berada di posisi pacar sampingan untuk Rindi. Ya ampun, kenapa Rindi begitu tega padanya.
Ke esokan harinya.
Tepat hari sabtu, malam minggu.
Perempat Final bagi team andalan mereka.
Disana turut hadir Rindi yang tadinya memang di paksa untuk ikut untuk menonton dan memberi dukungan.
Berteriak yang sebenarnya membuat sebagian orang untuk melepas sebagian kekesalan yang sesungguhnya sulit untuk dilakukan.
Rindi yang separuh hati untuk ikut tak bisa berbuat banyak ketika dirinya di dorong masuk ke mobil Andini.
Apalagi sekarang ia terkenal sebagai kekasih dari salah satu team yang sedang berjuang di lapangan sana. Hanya karena mereka terlihat berjalan sambil saling bergenggaman tangan, dilanjutkan dengan semobil berdua.
Dalam sehari hidupnya berubah.
Tak urung sebagian orang menyebut namanya mengaitkan dengan nama Linggar. Ini bukan sesuatu yang mudah bagi Rindi. Mengingat Linggar yang ternyata menyita banyak perhatian dari seluruh kampus baik dari kalangan kaum adam ataupun hawa.
Bahkan teman-temannya sendiri tak percaya saat ia mengatakan tak memiliki hubungan apa-apa dengan Linggar.
Dan Rindi bukan hanya mendapat kata selamat karena telah jadian dengan Linggar, tapi juga mendapat banyak
cemoohan.
Ia hampir menangis mendengar kata-kata umpatan yang sebelumnya tak pernah ia dengar sama sekali.
Dirinya tak pantas untuk Linggar.
Bahkan ia sempat mendengar seseorang yang menyebutnya gendut.
Ia memang tak terlalu gendut hanya saja sifat iri mampu merubah sesuatu yang sederhana menjadi besar. Ia
dibully.
Dan saat semua bersorak riuh setelah peliut panjang terdengar, ia masih belum merasa baik-baik saja. Dengan
wajah ditekuk dan bibir yang masih mengerucut.
“Pulang?” Suara itu mengagetkannya.
Ia mengangkat kepala dan pandangannya. Tampaklah sang pembuat masalah kini berada di hadapannya dengan
senyuman yang memukau.
Pembuat masalah? Bukankan ini bermula dari dirinya yang ingin beracting seolah mereka tengah menjalin sebuah
hubungan khusus.
Rindi hanya mengangguk, menatap Linggar yang masih menyapu tubuhnya yang berkeringat dengan sebuah handuk kecil dilengkapi sebuah ransel di sebelah pundaknya.
Beuh, keren oiiii. Ia meleleh.
Wajarlah jika kini banyak gadis yang menatapnya iri. Karena diantara sekian banyak orang di sana, Linggar
memilih mendatangi dan menyapanya.
Rindi mengangguk dan tanpa sadar tersenyum pada Linggar.
“Bawa motor?” Linggar.
“Ngak, tadi nebeng sama Dini.” Rindi sambil menunjuk ke arah Andini.
“Pergi aja, pergi! Mentang-mentang udah ada pangerannya, kita dilupain.” Andini.
“Jadi boleh nih aku culik?” Linggar yang kini beralih menatap teman-temannya.
“Iya boleh-boleh. Culik aja, tapi pulangin dalam keadaan utuh!” Masih Andini.
“Iya, ini juga lansung pulang.” Linggar, “ayo!” Kini mengulurkan tangannya pada Rindi.
Rindi maju tanpa meraih tangan Linggar. “Ayo, tapi langsung pulangkan?” tanyanya.
“Ya, iya. Memang kamu mau kemana?” Linggar meraih tangan Rindi yang sedari tadi hanya berayun di samping.
Mereka kembali bergengaman tangan memecah kerumunan orang-orang yang kini menatap mereka.
“Aku mau ganti baju.” Ucap Linggar saat telah berada di dalam mobil bersama Rindi.
Rindi tahu apa yang harus ia lakukan. Menutup mata sambil berbalik kearah samping.
“Udah.” Linggar.
Rindi mulai memasang seatbelt dan mobil mulai melaju.
“Ko singgah di sini?” Tanya Rindi saat mobil berhenti di sebuah mini market.
“Haus, minumnya tadi habis. Ayo!”
Mendengar kata ayo, Rindipun melepas seatbell dan ikut turun berjalan dibelakang Linggar.
Hanya beli minuman, tapi Linggar terlihat meraih sebuah keranjang berwarna merah?
Minuman isotonic menjadi pilihan Linggar, dan kini pria itu telah beralih ke rak makanan ringan. Mengambil beberapa bungkus kerupuk dengan berbagai varian. Pantas saja ambil keranjang ambil makanan banyak begitu, ternyata oranganya suka ngemil juga.
“Mau beli sesuatu?” Ucap Linggar sambil menatap kearahnya yang hanya mampu menggelengkan kepala.
“Minum?” Linggar
Ah iya, ia bahkan melupakan rasa hausnya.
Minuman botol rasa susu menjadi pilihan Rindi.
Linggar meletakkan kantong kresek berisikan semua belanjaan mereka pada Rindi.
“Kenapa?” Tanya Rindi sedikit heran.
“Buat kamu.”
“Semuanya?” Pekik Rindi, Linggar hanya mengangguk dan mulai menjalankan mesin mobil.
Apakah pria ini berpikir bahwa dirinya memiliki porsi makan banyak? Atau mengatakan dirinya gemuk seperti
orang lain?
Ah sudahlah, nikmati saja!
Rejeki tak boleh disia-siakan. Rindi langsung membuka sebuah bungkusan kerupuk ubi berlabel, dan mulai menikmatinya.
Ia lupa dengan gunjingan yang tadinya terdengar seolah sangat lantang di telinganya yang mengatakan bahwa
dirinya gendut.
Persetan dengan semua itu, pokoknya makan.
To Be Continued!
Sekali lagi jempolnya di goyang!
Episode ke duanya jangan lupa komen and vote.
Sekalian bunga dan kopinya sebagai semangan buat dinda.
Salam sayang buat para reders!
Linggar
Hari terakhir pertandingan.
Setelah kemarin menang di babak semi final menandakan team mereka berhak melangkah ke final.
Dan hari ini penonton semakin ramai jika dibandingkan dengan hari-hari kemarin.
Ia sangat bersemangat. Apalagi saat matanya menangkap sosok Rindi dan teman-temannya di barisan paling depan memberi dukungan pada teamnya.
“Bikin three point ah! Biar tambah keren!” Pikirnya.
Kini ia telah berdiri di three-point line. Saatnya membidik!
Dan shoot! Buk.
Hore! Masuk! Three point!
Itu kata-kata yang terdengar di
telinganya saling sahut menyahut.
“Kak Linggar!” Teriak teman-teman Rindi. Ia hanya tersenyum ke arah sana, lalu kembali melanjutkan permainan.
Semangat seras bertambah hingga beberapa kali.
Meskipun pada akhirnya teamnya tak mampu memburu point yang dicetak oleh team lawan hingga akhir permainan. Menjadikan mereka harus bangga walaupun hanya berada di posisi ke dua.
Ah pasti Rindi merasa kecewa! Diotaknya yang lebih memikirkan perasaan Rindi dibandingkan teman-teman se teamnya dan juga pelatih.
Tak apalah setidaknya ia ingin mengajak Rindi ikut mengangkat piala sambil berpose di depan kamera, berdua.
Pasti terlihat sangat manis.
Mereka pasangan serasi. Pikirnya lagi.
Dan ia terlihat seperti anak ayam kehilangan induknya, saat tak mendapati Rindi tak berada dalam jangkauan matanya.
Arrrkkhh, tak bisakah Rindi menunggunya sebentar saja untuk melihatnya mengangkat piala?
Berlari meninggalkan temannya yang lain ke arah tempat Rindi tadi berdiri.
“Liat Rindi gak?” Tanyanya pada seseorang yang masih di sana. Kemudian kembali melontarkan pertanyaan yang sama pada beberapa orang yang ia ketahui berasal dari kampus yang sama.
“Sudah keluar tadi sama teman-temannya.” Jawab seseorang yang tidak ia ketahui pasti siapa.
Tak peduli siapa itu, tapi terima kasih atas info yang memeng sudah bisa di tebak.
Rindi yang tak terlihat di sana, pastinya sudah pulang. Ia tahu.
Kini ia harus berpacu dengan waktu hanya demi mencari Rindi sebelum gadis itu benar-benar pergi meninggalkan alun-alun.
Ia tak memiliki informasi lebih tentang Rindi. Nomor telpon, jam kuliah atau bahkan motor yang sering digunakan Rindi. Dan ia harus mengetahui tentang semua ini.
"Arrrggg, Rindi."
Kakinya terus berlari menuju ke arah parkiran motor, mencari sosok yang gadis mini nan chuby itu. Mengejar cintanya. Ah bukan-bukan, calon cintanya.
“Rindi!” Teriaknya saat melihat seseorang yang paling mirip dengan postur Rindi. Meskipun tak begitu yakin karena gadis itu telah lengkap dengan helm dikepala.
“Rindi!” Teriaknya kembali, hingga beberapa kali. Dan motor itu berhenti setelah teman yang berada duduk di jok belakang terlihat menepuk pundaknya, mungkin Lilis.
Ia kembali berlari menghampiri kedua gadis yang masih berada di atas motor.
“Ada apa kak?”
Benar gadis itu Rindi. Terlihat saat ia mulai menaikkan kaca helemnya.
“Pulang?” Tanyanya yang masih sibuk mengatur napas. Ini seolah lebih menegangkan dibandingkan saat tadi bertanding.
“Iya, ini juga mau pulang!” gadis ini mulai terlihat cemberut.
“Bareng!” Tangannya mulai terlurur untuk kembali meraih tangan Rindi.
“Tapi motorku!” Rindi yang mencoba menolak untuk pulang bersamanya. Tapi ia harus gigih untuk mengajak gadis itu.
Ini hari terakhir pertandingan, hari terakhir bisa mengajak Rindi untuk pulang bersama. Untuk besok ia tak tahu hari seperti apa lagi yang akan ia lewati.
Meskipun hanya pulang tapi dia ingin setidaknya bisa bersama Rindi terlebih dahulu.
“Titip ke Lilis!” Kini pandangannya beralih pada gadis yang dibelakang. Loh kok bukan Lilis.
“Lilis ke mana?” Tanyanya.
“Ikut Dini naik mobil.” Gadis itu mulai menjawab dengan nada dingin.
“Ya udah minta tolong sama? Siapa sih? Teman kamu itu aja?” Kembali memberikan perintah, sambil menunjuk gadis yang duduk di jok belakang. Gadis itu juga telah cemberut.
Ia tahu ini salah satu teman Rindi yang kemarin ikut menyaksikan acting mereka.
Ia tak peduli, meskipun seribu wajah yang cemberut, asalkan ia pulang bersama Rindi.
“Emang ada apasih kak?” Rindi.
“Gak papa, aku Cuma mau anterin kamu aja!” Ia mulai menarik tangan Rindi, “ayo!” Tak boleh ada penolakan.
“Ya udah ke sana deh, rempong tau.” Tantri yang sedari tadi melihat perselihan antara dua orang dihadapannya.
“Dasar bucin!”
“Katanya gak pacaran, bucinnya minta ampun.” Kalimat itu pasti ditujukan untuknya.
Bucin?
Siapa yang bucin? Dirinyakah?
Terserah mau bilang apa, yang jelas Rindi pulang bersamanya.
“Ya sudah ayo!” Desaknya lagi pada Rindi yang masih betah duduk di atas motor.
Rindipun turun dari motonya meskipun terdengar decakan dari bibir sang gadis yang menandakan ia sedang kesal.
Ia tak boleh membuang waktu, harus cepat membawa Rindi menjauh dari motor itu sebelum berubah pikiran.
Dan alam pikirannya mulai tersadar saat melihat dirinya telah berada di area parkir tanpa membawa perlengkapannya hanya untuk mengejar Rindi. Apa yang sedang terjadi padanya, bahkan iapun bingung.
“Kita ke dalam dulu, ranselku kelupaan gara-gara kejar kamu!” Ia kembali ke dalam dengan menggandeng tangan Rindi.
Sang gadis hanya menurut.
Di motor sana, sebuah mobil berhenti menurunkan seorang penumpang dan beralih naik ke motor. Mungkin itu Lilis yang sedang mengambil alih motor Rindi. Ia tak ingin membahas itu bersama Rindi.
“Dari mana sih?” Tanya Arman sambil menyerahkan tas ranselnya.
“Thanks.” Tangannya terulur mengambil ransel miliknya.
Benar-benar teman sejati.
Menolong disaat genting.
“Pacaran mulu!” Ejek Arman.
Pacaran? Bucin? Heh, kata-kata baru untuknya.
“Pulang?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Yoi, duluan!”
“Ok, sekali lagi thank’s.” Ucapnya lagi sambil mengankat tangan dengan tanda ibu jari.
“Ayo!” Ajaknya lagi pada Rindi. Gadis itu terlihat semakin cemberut. Tak apa, asal bersamanya.
“Aku mau ganti baju!” Ucapnya. Dan seperti biasa, Rindi menutup mata dan berbalik ke arah jendela.
Dan saat Rindi terlihat sedang memainkan ponselnya, ia segera ingat jika belum memilik nomor Rindi.
“Bagi nomor dong!” Ucapnya pada Rindi.
“Buat apa?” Dasar gadis gak peka.
“Ya buat hubungin kamu! Tadi aku cari keliling gak ketemu, mau telpon kamu gak punya nomor. Jadi lari-lari terus. Ya sudah bagi nomor dong!” Ucapnya sambil sesekali melirik pada Rindi.
Rindi tak punya pilihan lain, mereka akhirnya saling bertukar nomor.
Satu kemenangan bagi Linggar. Ia memiliki akses baru untuk bisa terus berbicara dengan Rindi. Hati bersorak.
“Jajan dulu?” Tanpa menunggu jawaban Linggar menepikan mobilnya di depan sebuah minimarket.
“Mau yang mana?” Tanyanya pada Rindi saat mereka telah berdiri di depan rak makanan ringan. Kali ini hanya ingin memberi kesempatan untuk memilih sendiri, sekaligus mencoba melihat apa yang menjadi kegemaran gadis itu.
To Be Continued!
Sekali lagi jempolnya di goyang!
Episode ketiga jangan lupa komen and vote.
Sekalian bunga dan kopinya sebagai semangan buat dinda.
Salam sayang buat para reders!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!