NovelToon NovelToon

Istri Wasiat Tuan Muda

Navia Litha Sarasvati (Prolog)

Navia Litha Sarasvati, seorang mahasiswi tingkat pertama yang mencoba peruntungan dengan memasuki kampus favorit di ibukota, bekal beasiswa yang diterimanya setelah berjibaku dengan semua mata pelajaran selama tiga tahun menjadikannya percaya diri melangkahkan kakinya di kota metropolitan.

Aroma perkotaan yang sebenarnya tidak disukai Litha, penuh debu dan polusi kendaraan, belum lagi polusi suara yang memekakkan telinga di tengah-tengah padatnya hari, ditambah awan biru yang sudah tertutupi asap-asap limbah pabrik, sangat berbanding terbalik dengan asal kota kecil Litha dilahirkan dan di besarkan. Namun, bagaimanapun dia harus bertahan demi hidup yang lebih baik, demi keluarganya.

🍀 flashback on 🍀

"Kamu yakin Nak untuk kuliah di Ibukota?" tanya ibunya meyakinkan lagi ketika Litha meminta izin untuk berkuliah di Ibukota, menatap lekat Litha yang sebenarnya memohon untuk tidak pergi.

"Disini juga ada kampus yang bagus sesuai minatmu, Ibu bisa carikan jalan biayanya kalau alasanmu beasiswa kuliah di Ibukota," lanjut ibunya lagi meremas erat kedua tangan Litha di pangkuannya, ia tidak sanggup menatap mata putri keduanya, ada kobaran semangat disana, tidak tega ia harus memadamkannya.

"Ibu jangan khawatir, Litha akan baik- baik saja, ada paman Tino juga disana." Litha meyakinkan ibunya.

"Husss ... Pamanmu itu kerja di tempat yang sangat susah untuk ijin pribadi kecuali mendesak, menengok kakakmu saja harus merengek. Jangan terlalu berharap Paman akan siap sedia membantumu walaupun ia ingin," sahut Bibi Rima seraya membawa nampan camilan dan teh hangat untuk kudapan sore hari.

"Bibi tenang saja, justru dengan saya di sana, Paman tidak perlu sering ijin untuk menengok kakak, saya yang akan melakukannya, dan Paman tidak perlu mengkhawatirkan saya, saya akan cari kerja sambilan juga," ujar Litha tidak mau kalah.

"Tapi Nak, ibu takut ... " Suara Ibu menggantung, semakin diremasnya kedua tangan putrinya. Litha tersenyum, menatap lekat manik ibunya.

"Doakan Litha saja ya bu, agar Litha bisa merubah nasib kita sepeninggal ayah. Litha akan baik-baik saja, peristiwa yang sudah kejadian akan Litha ambil sebagai pelajaran agar tidak terulang, supaya ibu tidak menangis lagi, supaya Ibu akan tersenyum bahagia, ya Bu ... Litha mohon restunya biar Litha bisa besok berangkat dengan tenang untuk daftar ulang." Litha memohon dan memberinya ibunya pengertian dengan bersimpuh di depan kaki ibunya yang kaku.

🍀 flashback off 🍀

Di sinilah sekarang Litha berada, di depan kampus impiannya, impian banyak siswa untuk menjadi almamaternya. Dia menarik napas dalam-dalam tersenyum.

"Kamu juga Maba ya di jurusan ini?" Tiba-tiba ada yang nyeletuk di sampingnya.

"Eh iya, kamu juga ya? Kenalkan nama saya Litha, Navia Litha Sarasvati," sahut Litha ramah melihat gadis mungil nan cantik rambut sebahu yang mengenakan bando.

"Saya Ninda Kusuma, panggil saja Ninda," balas gadis itu.

Seiring waktu mereka menjadi sahabat sekaligus teman sekamar kost. Menjadi mahasiswa baru yang penuh antusias, bergaul dan penuh drama.

...***...

# Setelah dua semester terlewati #

"Tha, kayaknya Evan gak nyerah ngejar kamu terus lho," ujar Ninda ketika makan siang di kantin kampus.

"Hemmm, terus harus bagaimana? Aku gak ada perasaan sama sekali sama dia," sahut Litha sambil menyeruput es tehnya.

Ninda Kusuma, gadis cantik dan bertubuh mungil, anak bungsu dari tiga bersaudara, dan kedua abangnya menjadi anggota kepolisian. Dibesarkan di tengah keluarga yang hangat dengan penuh kasih sayang diantara kedua orangtua dan kakak lelakinya. Namun ternyata diam-diam ia menyimpan rahasia dari keluarganya.

"Hai Lith ... kamu senggang malam minggu pekan ini? Temani aku yuk ke klub." Evan tiba-tiba datang langsung merangkul pundak Litha. Terlihat Litha tidak nyaman dan perlahan melepas tangan Evan dari pundaknya.

"Maaf Van, sejak kapan aku punya waktu senggang di akhir pekan, kau tahu kan aku punya banyak pekerjaan paruh waktu." Litha menolak halus dengan sedikit memaksa senyuman di wajahnya, Ninda sudah mengalihkan pandangannya sambil mengaduk-aduk es jeruknya.

"Heh ... Kalau kau mau, aku bayar kau Lith, untuk menemaniku, bagaimana? Dua kali lipat dari bayaran part time mu malam ini." bujuk Evan.

"Kau pikir aku wanita bayaran apa, aku masih menahan diri karena kau sepupu Ninda," bathin Litha yang masih tersenyum.

"Terimakasih ajakannya Evan, lain kali saja ya."

Akhirnya Litha menyudahi dengan menepuk bahu Evan dua kali, dan langsung menarik tangan Ninda beranjak pergi.

"Lihat saja Litha, kau akan menjadi milikku," gumam Evan geram.

Evan Dellano Kusuma, mahasiswa satu tingkat dengan sepupunya, Ninda dan juga Litha. Berbeda dengan Ninda yang berasal dari keluarga sederhana, Evan merupakan anak tunggal dari perusahaan franchise kuliner kekinian yang selalu viral setiap mengeluarkan varian menu baru, sebab itulah Evan selalu ingin mendapatkan apa yang dimau dengan uang. Baginya tidak ada yang tidak mungkin jika memiliki uang dan ia memiliki wajah tampan, tubuh atletis, didukung materi yang berlimpah mudah saja ia bisa menggandeng perempuan manapun di universitas tempat belajarnya.

Evan sudah satu semester mengejar Litha yang berperawakan sedang dengan kulit terang. Tapi selalu hanya senyuman yang ia dapati, bukan kencan ataupun kepemilikan hati.

Berbeda dengan Litha, hidupnya tanpa ambisi kecuali lulus kuliah dengan baik, bekerja dengan baik dan mendapatkan penghasilan yang baik untuk Ibu dan kedua saudaranya perempuannya yang masih membutuhkan biaya. Ayahnya yang lebih dulu meninggalkan keluarga mereka memaksa Litha menjadi anak kuat karena di punggungnya terletak beban keluarganya meski keluarganya tidak pernah meminta. Ia hanya merasa bertanggungjawab karena dialah yang paling bisa diharapkan dari semua anggota keluarganya.

Selain menjadi mahasiswa, ia juga bekerja paruh waktu di restoran cepat saji. Ia berhasil meraih impian pendidikannya di kampus terfavorit di ibukota dengan penuh perjuangan, melawan kantuk dan lelah hanya untuk mendapatkan beasiswa.

Litha remaja sudah terbiasa membagi waktunya dengan belajar dan bekerja meski hanya sekedar membantu di warung bibinya, paling tidak dia merasa tidak numpang hidup begitu saja di keluarga pamannya, adik laki-laki ayahnya. Paman dan bibinya sendiri tidak keberatan mereka tinggal satu atap karena selain mereka tidak memiliki keturunan, mereka juga sudah menganggap semua keponakannya seperti anak sendiri.

Litha remaja benar-benar berusaha dan bekerja keras hingga akhirnya bisa menduduki kampus sekarang di tempat ia berada. Tidak ada waktunya untuk sekedar bermain atau bahkan mereguk kisah percintaan ala Cinta dan Rangga, di kepalanya hanya ada keberhasilan pendidikannya, kesembuhan kakaknya dan kaki ibunya juga sekolah adiknya.

Hingga suatu hari perjalanan hidup Litha terombang-ambing arus takdir. Dimulai ketika ia diminta tolong oleh bibinya untuk mengantarkan semur jengkol, masakan kesukaan suaminya ke tempat dimana pamannya bekerja. Hal ini biasa ia lakukan setelah pulang kampung dari kota kelahirannya. Tanpa ia sadari kunjungan ke tempat bekerja Paman Tino kali ini akan mempermainkan hati dan hidupnya.

- Bersambung -

'

Semur Jengkol

Sore itu sehabis hujan, Litha meminjam sepeda motor Ninda untuk mengantarkan masakan Bibi Rima kepada pamannya. Suami Bibi Rima bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga bagian belakang rumah seorang Nyonya Besar. Ya, hanya belakang rumah saja karena bagian ini pun sangat luas, kurang lebih luasnya lima kali dari rumah Paman Tino di kampung, itupun hanya bagian belakangnya saja, bisa dibayangkan kan seberapa luasnya rumah tempat bekerjanya Paman Tino.

Rumah klasik dua lantai yang begitu luas, konon katanya rumah ini adalah rumah terluas di ibukota, dan sudah ada sejak pertengahan tahun 1900an. Itu artinya pemilik rumah ini memang terpandang dan kaya raya sejak jaman dulu, bukan seperti istilah sekarang OKB, Orang Kaya Baru.

Pertama kali Litha ke tempat ini pun membuatnya takjub disertai kebingungan yang memusingkan. Sudah luasnya tidak kira-kira, ditambah dengan penjagaan dari satuan pengamanan yang berlapis. Di pintu gerbang utama setinggi dua meter ada satpam yang memeriksa identitas dan keperluan, berikutnya tidak berupa gerbang namun tanaman yang dibentuk sedemikian menyerupai pagar setinggi satu meter dan terdapat pos lagi untuk di cek lagi keperluannya lebih detail, kali ini dijaga oleh bodyguard-bodyguard yang memiliki kemampuan penjagaan yang mumpuni.

Bagi tamu hanya bisa sampai di pos ini, kecuali bagi pemegang passcard dan tamu yang sudah mendapat persetujuan dari Kepala Pelayan untuk masuk ke dalam rumah utama. Di depan pos dalam gerbang rumah mewah ini terdapat pendopo terbuka yang luasnya seukuran dua kali rumah Paman Tino. Di sisi kanannya tersedia area parkir luas dan sisi kirinya pendopo itu ada taman lengkap dengan kolam ikan yang menyejukkan. Pemandangan yang asri diiringi suara lonceng-lonceng angin dari bambu dan air terjun kolam, membuat siapapun akan terbuai.

Disinilah sekarang Litha berada, di pendopo khusus untuk tamu biasa, menunggu Paman Tino keluar dari rumah rumah utama dengan menenteng food container berisi semur jengkol buatan Bibi Rima.

"Kata Paman, bos besarnya sangat baik hanya saja sangat disiplin kalau masalah pekerjaan."

"Ah ... bagaimana ya rasanya menjadi pemilik rumah inii? Orang kaya yang tidak pernah memikirkan besok makan apa, tinggal dimana dan melakukan apa untuk mendapatkan uang, sampai-sampai uangnya bingung mau dihabiskan kemana."

"Rumah di dalam sebesar apa ya? halaman depan gerbang pertama pun begini luasnya, seperti lapangan sepakbola saja. Harusnya di rumah ini disediakan sepeda atau otopet kek untuk mobilitas, gak bisa bayangin kalau harus bolak balik dapur sampe pendopo ini hanya untuk menyuguhkan minuman, hiiiiii ...."

Litha yang dari tadi bermonolog sendiri seketika bergidik ngeri, membayangkan kalau itu terjadi pada dirinya. Sedetik kemudian dia tergelak sendiri mengingat pertama kali ia bertandang ke rumah ini menemui pamannya.

🍀 flashback on 🍀

"Bisa tunjukkan KTP Nona?"

Suara dingin satpam gerbang utama membuat Litha menelan salivanya. Ada rasa takut menjalar di tubuhnya, dia tidak pernah berhadapan dengan satpam yang begitu dingin tampilan dan suaranya, 'Partono' Litha membaca dalam hati nama satpam itu yang tertera di sebelah dada kanannya.

"Oh, namanya Partono toh, sama namanya dengan mbah Tono di kampung, tapi kalau mbah Tono adem banget kalau ngomong, gak kayak bapak satpam ini," dalam hati Litha bergumam

"Hei Nona kau tidak tuli, kan? Mana KTPmu? Kau tidak bisa masuk tanpa menunjukkan KTP."

Suara Partono mengejutkan Litha yang masih bergumam sendiri.

"Eh, iya-- iya-- Pak, tu-- tunggu sebentar," jawab Litha gugup, agak gemetar sebenarnya.

Litha menunjukkan KTPnya, tidak lama setelah dilihat dan dicocokkan wajahnya dengan foto KTP barulah Litha diperbolehkan masuk dengan meninggalkannya sebagai jaminan.

"Yeee ... Pak, Bapak, gak segitu juga kali mencocokkan muka asli sama foto di KTP. Mentang-mentang di foto buluk banget, gak compare dong kalau dibandingin dengan wajah sekarang yang sekarang udah agak glowing dikit," protes Litha sebal.

"KTP Nona sementara diletakkan di sini dulu, nanti setelah selesai urusan, baru bisa diambil lagi," sahut Partono menyilakan Litha berjalan masuk ke dalam gerbang utama.

Saat itu Litha membayangkan akan langsung menemui pamannya, ternyata oh ternyata... Litha hanya menganga tak percaya dengan apa yang di depan matanya, dengan jarak beberapa ratus meter ke depan masih ada pos lagi dan dia harus melapor lagi dengan penjaga berbadan kekar dan lebih dingin dari Si Partono.

"Kalau tahu rumah tempat Paman bekerja seperti ini aku pinjam sepeda motornya Ninda tadi,"' ucap Litha lemas dengan meringis, belum berjalan kesana saja kakinya terasa sudah lemas.

🍀 flashback off 🍀

"Apa yang kamu tertawakan Litha?" Suara Paman Tino menyadarkan lamunan Litha.

"Oh ... Paman sudah disini. Ah, tidak bukan apa-apa Paman, hanya saja tiap aku kesini, selalu teringat sewaktu pertama kesini, makanya setelah itu kalau saya kesini pasti meminjam sepeda motor Litha hahahahahaha ... Pegelnya itu loh Paman udah bisa saya bayangkan duluan hahahahaha ...." gelak Litha keras sampai penjaga pintu di pos menoleh ke arah Litha dan pamannya.

"Litha ... pelankan suaramu!" Suara Paman Tino mengecil namun penuh penekanan.

"Hihihihi ... iya ... iya ... maaf Paman, Litha lupa kalau ini kediaman anti bising nan damai hihihihi .... Nih Paman, Bibi memasakkan dengan penuh cinta semur jengkol ini, hanya untuk suaminya tercinta." Litha menyodorkan food container ke tangan Paman Tino.

"Ah ya, terima kasih Tha, sudah repot membawanya untuk Paman, bagaimana kabar ibu dan adikmu?" tanya Paman Tino kemudian setelah menerima bawaan Litha.

"Semua baik-baik Paman, Ibu masih belum menunjukkan ke arah kesembuhan, mungkin nanti setelah beberapa kali kemoterapi akan membaik tapi Vania mulai minggu depan sudah mulai masuk asrama." Litha terlihat bersemangat menceritakan adik semata wayangnya.

Ia sengaja memasukkan adiknya di sekolah berasrama supaya Vania lebih fokus belajar dan ia lebih tenang, setidaknya jika di asrama, pergaulan adiknya lebih terjaga ketimbang sekolah yang bukan asrama karena ibunya yang menggunakan kursi roda akan kesulitan untuk mengawasi Vania sedangkan ia kuliah di Ibukota.

Paman Tino adalah adik kandung dari ayahnya, mereka hanya dua bersaudara Sepeninggal ayah, Paman meminta Ibu dan anak-anaknya untuk tinggal di rumah mereka menemani Bibi yang membuka warung camilan di teras rumah, sebab ia bekerja di Ibukota, di rumah pemilik Pradipta Corp., perusahaan terbesar dan multinasional yang telah berkembang ke Asia bahkan Eropa, Australia dan kini Amerika.

"Syukurlah kalau begitu ... maaf Paman tidak bisa lama-lama ngobrol, Kepala Pelayan mengawasi Paman bekerja, jagalah diri baik-baik ya, Nak," ujar Paman Tino, setelahnya ia beranjak melewati pos dan memasuki rumah utama keluarga Pradipta.

"Hmpffffhhhh ... semoga kontrak Paman segera selesai dan usaha mandiri saja di kampung, walau gaji besar tapi kebebasan terkekang, kasihan Paman...," ujarnya pelan memandang tubuh pamannya yang menjauh hilang diantara rimbun tanaman pagar.

Litha menstarter sepeda motor yang ia pinjam, karena Paman Tino menyinggung ibunya, ia jadi ingat wajah ibunya yang kini sudah lama tak dihiasi senyuman. Hanya ada kecemasan di wajah untuk ketiga putrinya, meratapi hidup keluarga yang hancur berantakan sejak peristiwa yang menyakitkan. Litha menarik gas motor maticnya, tak dinyana karena pikirannya masih melayang di wajah ibunya ia terlalu menarik gas dan sayup-sayup dia mendengar

"Awaaaaaaassssss ... !!!"

Seketika Litha tersadar dan membelalakkan kedua bola matanya bersamaan dengan menekan stang rem di kanan kirinya.

"Ciiiittttt ... !!!"

Suara decit ngilu tidak terhindarkan, semua mata yang memandang terlihat kaget luar biasa seolah tidak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata mereka.

Bruakkkhhhhhhhhh......

Litha membanting setir ke arah kiri menghindari seseorang yang tadi dilihatnya di sebelah kanan. Tidak terjadi tabrakan, dia jatuh tertimpa motornya sendiri, namun ia juga tidak kalah kaget melihat orang yang dihindarinya tersungkur iba di tanah.

"A-- a-- apa yang terjadi? apa yang kulakukan?

Hikssssss.... Litha merintih dalam hati, rasa sakit nyeri di kaki dan tangannya tidak sebanding dengan rasa gugup dan takut melihat seseorang yang jatuh tidak jauh dari tempatnya.

"Siapa dia dan kenapa tiba-tiba muncul? aku tidak melihatnya tadi ...."

Litha membathin dengan penuh rasa ketakutan dan cemas.

- Bersambung -

Amarah Sang Cucu

Rasa perih mendera Litha dibawah body motor yang tadi ia kendarai. sengaja dibantingnya setir motor dengan rem mendadak yang membuat kehilangan keseimbangan. Seketika matanya tertuju pada lansia yang terjatuh menyentuh tanah.

"Siapa dia dan kenapa tiba-tiba muncul? aku tidak melihatnya tadi." Litha membathin dengan penuh rasa ketakutan dan cemas.

"Nyonya ... Nyonya ... Anda baik-baik saja?"

"Apa yang terjadi?"

"Nyonya ... bagaimana bisa terjatuh? "

"Nyonya, dimana bagian yang sakit?"

"Cepat panggilkan dr. Baskoro!"

Riuh ramai suasana saat itu, seorang Nyonya Besar terjatuh karena ditabrak sepeda motor, ahhh.... tidak, Nyonya itu kan jatuh sendiri, tapi semua orang melihatnya tidak seperti itu, Nyonya Besar jatuh ya, karena sepeda motor.

"Saya tidak apa, hanya sedikit kaget. Cepat tolong gadis itu, sepertinya dia terluka." Nyonya Besar memegang dadanya lalu mengalihkan perhatian penjaga dan pelayan rumahnya ke Litha untuk membantunya.

"Aaauuuwwww...,"

pekik Litha begitu di papah, ia merasa kakinya keseleo begitu motor yang menimpa dirinya diangkat salah satu penjaga disitu

"Obati dia." Nyonya Besar memberi perintah.

Beberapa saat telah berlalu, Litha diobati dokter keluarga di pendopo, disisinya ada Paman Tino yang air mukanya sudah kacau, antara khawatir dengan keponakannya atau dengan dirinya yang akan dipecat.

Suara gemuruh berasal dari pintu gerbang utama mendekati pendengaran orang-orang yang berada di pendopo. Dua mobil sedan mewah keluaran terbaru memakirkan dirinya dengan tergesa

"Nenek...," seru seorang pria berjas begitu membuka pintu mobilnya, diikuti seseorang di belakangnya.

Postur tubuh yang tinggi, garis wajah yang tegas, kulit yang bersih dan sedikit aroma khas darinya yang menguar membaui indra penciuman Litha.

"Siapa dia? Tampan sekali ...."

Litha berdecak kagum menatap sesaat wajah pria itu, namun langsung ditundukkannya pandangannya, takut begitu melihat air wajahnya yang dingin penuh kecemasan.

"Nenek, apa yang terjadi?" Ada sebuah suara lagi menyahut.

Kali ini Litha hanya melirik dari ekor matanya, "Siapa lagi ini, tidak kalah tampan juga, Ya Tuhan... kayak ngeliat artis-artis aja." Ngalor-ngidul Litha bergumam dalam hati.

Yang dikhawatirkan hanya mengulas senyum, "Tidak apa hanya sedikit kaget saja."

"Sedikit lecet di lutut dan tangan Nyonya Besar, saya sudah mengobatinya. Tidak perlu terlalu dikhawatirkan, hanya saja keterkejutan Nyonya yang harus diperhatikan. Seperti kalian tahu Nyonya memiliki riwayat penyakit jantung, di usianya sekarang tentu resikonya juga makin besar. Semoga kejadian ke depan tidak terjadi, karena bisa saja hal-hal yang membuatnya kaget bisa berakibat fatal." dr. Baskoro menjelaskan rinci kepada kedua pria di depannya.

Keduanya terlihat sangat cemas, namun salah satunya lebih menguasai keadaan agar tidak nampak panik.

"Siapa yang membuat Nyonya Besar seperti ini hahh!!! sudah kubilang untuk menjaganya dengan baik!"

Suara laki-laki itu membahana, tidak ada yang membantah semua menundukkan kepala takut.

"Ray, pelankan suaramu. Nenek baik-baik saja." Suara renta meredam emosi Rayyendra, presdir Pradipta Corp. yang disegani siapapun dalam lingkungan bisnis.

Rayyendra bersimpuh melihat luka-luka di lutut dan tangan neneknya, matanya menyala marah.

"Katakan! Siapa yang bertanggungjawab?" suaranya lebih rendah dari teriakan sebelumnya, tapi justru semakin menambah remang di bulu kuduk, merinding....

Seketika hening tercipta, sangat hening bahkan suara kepak sayap capung menari-nari di antara dedaunan taman begitu jelas di gendang pendengaran.

Tidak ada yang berani bersuara, apalagi Litha, keringat dingin membasahi tubuhnya, tapi makin lama keheningan itu berjalan, makin nampak pula urat-urat di leher Rayyendra, tangannya terkepal kuat dengan mata yang terpejam ia sedang menahan amarahnya.

"Ray, sudahlah, mari kita bicarakan dengan kepala dingin." Sebuah telapak tangan menyentuh pundak Rayyendra, suaranya lebih tenang namun ada ketegasan disana.

Rayyendra mendonggakkan kepala kepada pemilik tangan dengan tatapan tidak suka.

"Kau... masih bisa tenang dengan mendengar apa yang dr. Baskoro katakan tadi. Lihat...! Lihat lutut dan tangan Nenek!"

Tajam ia menatap pria di depannya. Aura pertengkaran yang bisa saja berujung dengan perkelahian akan terjadi, semua masih menundukkan kepala ketakutan.

Nenek menggelengkan kepala, ia mau menengahi kedua cucunya yang akan meledak jika ia tidak hentikan. Tapi belum sempat ia bersuara, sudah didahului Litha.

"Sa-- sa-- saya Tuan ..."

Litha menjawab terbata pelan penuh ketakutan, ia meremas kedua tangannya, tidak berani ia menunjukkan wajahnya. Paman Tino di sampingnya pun seperti mau pingsan saking takut dan gemetarnya, ia tahu tuan mudanya ini memiliki sifat yang dingin, arogan dan kasar juga kejam. Tidak jarang ia mendengar cerita sesama pelayan yang mendapati hukuman fisik karena kesalahan kecil dalam melayani Nyonya Besar, apalagi ini sampai membuat terluka, bukan saja dipecat tapi bisa saja lebih dari itu.

Semua mata mengarah pada gadis polos yang tertunduk ketakutan. Ada sepasang manik menatap tajam ke arahnya, pandangan mata ingin membunuhnya.

"Kau !!!" ujar Ray menarik kerah baju memaksa pandangan mata lawannya untuk menatap mata angkuh miliknya.

Kini mata yang ditatapnya sudah kehilangan pertahanannya, jebol... mengalirkan deras air dari muaranya tanpa suara. Ia tidak berani membuka matanya.

"Ma-- maaf Tuan, sa-- saya tidak melihat Nyonya sewaktu saya mau keluar dari rumah ini." Jawaban Litha makin memperkuat tenaga di tangan Ray.

"Ray ... dia juga tertimpa motornya, sudahlah ...." Suara Nyonya Besar menghentikan cengkraman kuat di leher Litha.

🍀 flasback on 🍀

Suasana sore hari di taman luar, tengah dinikmati seorang renta, Dayyu Amarga Pradipta. Di usianya yang jauh dari kata muda tidak menampakkan sisi lemahnya, di masa mudanya ia aktif membangun perusahaan-perusahaan besar milik keluarganya. Sebelum cucu-cucunya yang memegang kekuasaan, ada tangan dingin yang menggerakkannya. Kini jasmaninya semakin tidak mendukung untuk melakukan semua aktifitasnya seperti dulu. Terlebih sejak serangan jantung yang menyerangnya ketika Rayyendra dan Firza, cucunya yang lainnya, bersiteru hebat.

"Siapa itu yang tertawa keras? sudah lama aku tidak mendengar orang tertawa lepas di rumah ini?" bathinnya mencari arah suara.

Matanya berkeliling sampai berhenti pada sosok gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda sedang bercengkrama dengan salah satu pelayan rumahnya

"Gadis yang menarik, siapa dia?"

Nenek Dayyu begitu penasaran hingga melangkahkan kakinya perlahan melewati parkiran menuju mereka.

Jarak yang cukup jauh mengingat taman luar ini sangat luas, ditambah keadaan tulang tua Nenek yang mengalami pengapuran, mengharuskan ia tertatih-tatih berjalan.

"Awaaassss !!!" Pekikan suara menggema.

Jantungnya serasa mau berhenti, terkejut mendengarnya. Ia kehilangan keseimbangan kakinya yang sudah tidak kuat, jatuh tersungkur di tanah setelah ia coba menahan bobot badannya dengan kedua tangannya.

Bruakhhhhhh.....

Suara benda berat mengikuti gravitasi bumi menghantam tanah di sebelah kanannya, kontan saja kepanikan tercipta menghampiri dirinya, tapi tidak dengan gadis yang sebenarnya kondisinya lebih memprihatinkan darinya.

🍀 flashback off 🍀

Tiba-tiba dihempaskan tubuh kurus Litha dengan kasar ke lantai tanpa memperdulikan luka-luka Litha, arah matanya menangkap sepeda motor, matanya semakin menyala.

Sepasang manik yang teduh menatapnya iba dari agak kejauhan, namun ia tidak berbuat banyak jika menyangkut Nyonya Besar.

Rayyendra meraih helm yang ada di samping Litha, langsung beranjak ke arah motor dan...

Brakhhhh... brakhhhh.... brakhhhh....

Rayyendra membabi buta menendang dan menghantam motor dengan tenaganya, Amarahnya tidak mereda sampai ekor mata Nyonya Besar menginstruksikan, Abyan, sekretaris Rayyendra untuk segera menghentikannya. Pria yang sedari tadi diam hanya mengangguk mengerti.

"Tuan, Tuan Muda, mohon hentikan. "

Asisten Yan menahan tangan Ray yang siap menghancurkan motor di depannya. Dia tidak menggubrisnya, malah semakin menyulut emosinya.

"Tuan, Nyonya Besar melihat Tuan." Spontan Ray berhenti.

"Buang rongsokan ini!" titahnya sambil melempar helm.

Air mata Litha semakin deras. Hatinya sakit diperlakukan seperti pesakitan tanpa mau mendengar penjelasannya terlebih dahulu.

"Itu motor kesayangan Ninda, bagaimana aku akan mengembalikannya dalam keadaan begini?"

Litha masih menangis tanpa suara, ia sangat takut melihat amarah pria di hadapannya, seperti singa yang mengamuk.

"Hmppfhhh ... sudahlah ... Ray. Kau masih belum berubah, cepat sekali marah. Bawa gadis itu ke dalam rumah." Nyonya Besar mau beranjak, dengan sigap pelayan membantunya berdiri.

"Jangan takut, kami memang penyuka daging, tapi bukan daging manusia," ucapnya tersenyum tipis melihat ketakutan Litha dan pamannya.

"Bagaimana aku tidak gemetar ketakutan Nyonya, kalau melihat langsung cucu Anda seperti singa yang siap memangsa mangsanya. Apa aku pura-pura pingsan saja ya?"

Brukhhhhh....

Tanpa berpikir panjang Litha menjatuhkan diri, lebih tepatnya menyelamatkan diri.

- Bersambung -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!