NovelToon NovelToon

One More Chance

Lepas

Zahra menatap tajam tanpa expresi dua orang yang berjalan beriringan didepannya. Entah ini yang keberapa kalinya Zahra melihat mereka berdua. Kali ini bukan gestur mereka yang menunjukkan kemesraan yang dia perdulikan, tetapi tempat yang mereka datangi membuatnya sesak menahan napas.

Dokter kandungan

Mereka berdua baru saja keluar dari ruangan dokter kandungan yang biasa di datangi Zahra, membuat Zahra mulai berfikir negatif karenanya, bahkan sipapun pasti akan berfikir sepertinya.

Beberapa hari yang lalu terakhir dia melihat mereka berdua di moll perutnya tidak terlihat buncit seperti hari ini, mungkin karena memakai hoodie milik suaminya yang kebesaran, Abra. Ya, mereka adalah Abra suami daru Zahra dan cinta pertamanya sepupu Zahra sendiri, Vira.

"Bu Zahra dokter Widia menunggu," seorang perawat kembali memanggil namanya.

Zahra tersenyum mengagguk kembali meneruskan langkahnya yang sempat terhenti memasuki ruangan dokter kandungan, "selamat pagi dokter" sapanya dengan senyum dibibir mencoba menutupi kegundagan hatinya.

Harus sabar ...

Sabar ...

Sabar Zahra ...

Zahra mensugestikan dirinya dengan kata Sabar berulang-ulang secara terus menerus. Mencoba mempertahankan senyum sebisa mungkin dia harus teelihat kuat bukan?.

"Hai Zahra selamat pagi" balas dokter Widia ramah, "Sudah lama loh ya tidak bertemu, padahal awal-awal menikah kamu selalu kesini" Dokter Widia terlihat begitu ramah seperti biasa, dia teman kakak Zahra kala SMP dulu, jadi mereka cukup dekat. "Periksa diem-diem dari suami lagi?" Tebaknya dengan senyum khasnya.

Zahra tersenyum kecil "iya" jawab Zahra lirih sambil menundukkan kepala malu, tidak sengaja ekor matanya melihat benda yang tidak asing tergeletak di atas meja Dokter Widia, membuatnya memberanikan diri bertanya meski dadanya mulai sesak, "boleh tanya sesuatu gak dok?" Suaranya lirih.

"Apa?."

"Tadi yang keluar sebelum saya masuk siap?," Tanya Zahra semakin terdengar serak namaun dia tutupi dengan senyum yang dia pertahankan.

"Kenapa kenalan kamu?" Tanya dokter widia sambil membuka buku disampingnya.

Kepala Zahra mengguk lemah "sepertinya kakak sepupu saya," dia tidak berbohong karena Vira memang sepupunya.

"Tunggu sebentar saya coba cek" ucap Dokter Widia mendapat anggukan dari Zahra. "Em...." Doktor Widia beralih membuka map didepannya. "Mereka cek kesehatan bayi mereka, namanya ibu Savira dan bapak Abraham, benar sepupu kamu?."

Zahra mengulum bibirnya menahan diri, dia tidak boleh menangis, dia harus sabar dan kuat. "Ya" jawabnya begitu lirih.

"Oh beneran sepupu kamu ya?, pasangan itu tiap dua minggu sekali periksa kesini, suaminya perhatian banget sama istrinya. Sebenarnya suaminya mewajibkan periksa tiap minggu, tapi Bu Savira gak mau kerjaan suaminya ditinggal terus lagi pula dia itu ...."

Wajah Zahra berubah mendung, tatapannya kosong, dia bahkan tidak mendengarkan apa yang dikataan dokter Widia selanjutnya. Perlahan dia mengangkat wajahnya kembali memberanikan diri bertanya, "berapa kali mereka periksa ke kakak?" Lalu melirik pada handphone diatas meja didepannya, itu Hp Abra.

"Em ... sekitar empat sampai lima kali."

"Berapa bulan kandungannya?," Tanya Zahra lagi meremas kedua tangannya diam-diam.

"Sudah memasuki minggu ke dua puluh tujuh, enam bulan."

Tangan Zahra mengepal seketika, dia berdiri dan keluar dari ruangan dokter Widia tanpa pamit dengan membawa hp diatas meja tadi.

Selama ini Abra tidak pernah melepaskan hpnya dari genggaman tangannya, apalagi sampai lupa dan meninggalkan hpnya begitu saja. Apa mungkin karena dia merasa bahagia sehingga lupa bada benda yang begitu penting baginya selama ini?.

Langkah Zahra begitu lebar, wajahnya sudah memerah menahan segala perasaan yang berkecamuk didada. Semua apa yang terjadi pada mereka tiga bulan terakhir terjawab sudah.

Sesekali Zahra tersenyum sinis mengingat segalanya, mangingat kala Abra selalu pulang malam akhir-akhir ini, beberapa kali lupa membawa bekal makan siangnya dan saat Zahra mengantarkannya kekantor Abra tidak pernah ada dikantor. Bahkan beberapa minggu lalu dia melihat mobil Abi memasuki KUA di dekat rumah Opa dan Oma Abra.

Meski dia melihat mereka di KUA, Zahra tidak mau berfikir negatif dan bertanya pada Abra, tetapi tanpa bertanyapun semua terjawab.

Gerimis tidak dia hiraukan, dia sudah tidak bisa bersabar lagi. Zahra meneruskan langkanya menerobos gerimis menuju mobil putih Abra yang masih terparkir diparkiran rumah sakit.

Tinggal beberapa langkah lagi, Abra tiba-tiba keluar dari mobilnya, tepat kala dia berbalik badan Zahra sudah berdiri di depannya sambil menyodorkan hp Abra tersenyum lebar.

"Za...." Gumam Abra.

Tangan kanan Abra mengambil Hpnya, sedangkan tangan kirinya hendak menyentuk lengan Zahra namun Zahra melangkah mundur menjauh menepis tangan Abra.

Zahra tersenyum lebar. "Zah?, not Ara anymore," bibirnya semakin tersenyum lebar namun tatapan matanya menunjukkan segala yang dia rasakan kali ini tanpa bisa di tutupi seperti sebelum-sebelumnya. "Aku cek dan konsultasi kesuburan, biasanya tiap minggu periksa sendiri, tapi lima bualan terakhir sudah tidak pernah lagi" suara Zahra mulak serak.

"Gerimis, masuk dulu" Abra melangkah mendekati Zahra kembali akan menyentuh lengannya untuk mengajak Zahra masuk kedalam mobil.

Zara menyentak tanganya dari sentuhan Abra, raut wajahnya berubah, mereka saling menatap dalam. "Apa sudah berkahir?, sejak kapan?, kenapa tidak memberi tahuku?."

Abra menggelengkan kepala hendak mengatakan sesutu namun Zara memotongnya. "Apa aku yang kurang peka?, atau kurang perhatian?, oh... tidak sepertinya aku yang terlalu pencaya diri hingga lupa diri Where is my position from the first time we started this bulshit."

"Ara."

"Zahra."

Mereka bersamaan memanggil nama Zahra, Vira dan Abra memanggil namanya bersamaan membuat Zahra terkekeh kecil.

Senyum lebar Zahra berumah menjadi senyum menyeringai, menatap Abra sehingga tatapan mata mereka saling bertautan.

"Please masuk Ara, grimisnya makin gede. I will explain anything" bujuk Abra, "masuk dulu ok!."

"I don't need," ucapnya dengan suara serak. "Semua yang terjadi selama tiga bulan terakhir sudah terjawab. Bahkan pertanyaan dalam otakku tiga minggu lalu kenapa kamu ke KUA sudah terjawab." Bibir Zahra kembali mengukir senyu lebarnya.

Niat Zahra ingin menoleh mengatakan sesuatu pada Vira, namun tenggorokannya tercekat kala melihat sesuatu melingkar dijari manis Vera yang sedang memegang atap mobil. Zahra tersenyum semakin lebar bahkan terkekeh kecil, meski tidak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit.

Kembali dia memaksakan diri menatap Abra, mengangkat tangan kirinya menunjukkan cincin yang sama. "Waw sama!" Serunya.

Tangan Zahra melepas cincin dijarinya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Abra yang memerah. Membuat Abra panik menyentuh lengan Zahra untuk menceganya melepas cincin pernikahan mereka.

"Ah...." Zahra meringis menepis tangan Abra kasar.

"Lengan kamu kenapa? " Abra panik memaksa menarik lengan tangan Zahra lalu menyingkap lengan bajunya. "Kenapa?" Tanya Abra dengan mata memancarkan kekhawatiran.

Kali ini Zahra tertawa keras "aku yakin waktu lenganku tersiram air panas Mak Isa sudah memberi tahumu. waw...." raut wajah Zahra berubah datar. "Thanks, for everything, wish you luck."

"ARA!" bentak Abra mengerti kemana arah pembicaraan Zahra.

"GO AWEY!."

Seru Zahra lantang, menyentak tangannya dan berlari begitu saja meninggalkan mereka berdua.

Dia cukup sabar, dia cukup sudah menjadi orang bodoh, mencoba berusaha mempertahankan semuanya.

Bukan dia yang meminta hidup dalam ikatan rumah tangga ini. Abra yang memulainya, Abra yang memaksanya yakin atas dirinya dan cintanya, Abra yang memberi surat Pra-Nikah membuktikan jika dia bersungguh-sunggu ingin membangun rumah tangga dengannya, bahkan Abra pula yang meyakinkan semua orang jika dia mencintai Zahra bukan Vira.

Zahra tidak lagi menoleh kebelakang, dia memasuki taxi yang baru saja menurunkan penumpang didepan rumahnsakit. Satu yang terbesit, dia akan melakukan apa yang telah tertulis di dalam perjanjian pra-nikah mereka. PERGI...

*-*

.

Hai Readers... 🙌

Jangan lupa tinggalkan jejak

🌟Rate🔖Vote 🎁Hadiah

👍Like and 💬 Comment

Untuk mendukung Author dan menyemangati Author untuk terus berkarya 😇

Love you 😙

Unik Muaaa

17 Sept 2021

Impiannya

Zahra benar-benar menghilang setelah kejadian itu. Sudah cukup dia bersabar, ini adalah yang dia takutkan, mengapa sejak awal dia ragu menerima lamaran Abra.

.

.

.

Beberapa Tahun kemudian

"Lalu Hafiz masuk juara berapa?"

Suara seorang wanita yang sedang menelfon terdengar suara nyaring karena diruangan itundia juga sedang memexir adonan kue.

"Alhamdulillah kalau begitu... Arz pulang kapan?... iya Bunda sudah kangen teman-teman kamu juga... seperti biasa mereka membantu Bunda kalau kamu gak ada... iya lagi ramai... ya sudah jaga kesehatan sayang...."

Ting ...

Pertanda kue yang dioven matang.

Aroma lezat menguar memenuhi ruangan kala oven dibuka. Arzah's Bakery hari ini cukup sibuk, ada pesanan kue dua ratus kotak yang akan diantar sore nanti.

"Bunda kuenya sudah matang ya?" Terdengar teriakan dari luar.

"Mila jangan teriak-teriak, bawa Gana kesini minta tolong bantu bawa yang sudah masak."

Dua remaja memasuki dapur yang penuh dengan loyang dan kue yang baru dikeluarkan dari oven, Mila dan Gana datang.

"Bunda Zahra, Hafiz menang gak?," Tanya Mila sambil mencicipi sisa adonan kue di mangkok.

"Gak tau, tapi kata Arz dia berhasil masuk babak final."

"ah ... andai Zoro ikut pasti menang." keluh Gana.

Plak...

Mila menggeplak kepala Gana sambil melototinya tajam. "Memangnya Arz super hero kamu panggil Zoro?."

"Lah emang dia super hero di sekolah kita, salahin Bunda Zahra yang kasih nama kenapa mudah bisa dipelesetin."

Zahra, ya ...

Dia adalah Zahra yang menghilang belasan tahun lalu setelah kejadian dirumah sakit itu. Gana, Mila dan Rio bukan anak kandungnya tetapi teman anaknya yang dia oanggil Arz.

*-*

Seorang pemuda duduk di pinggir lapangan menatap para atlit muda yang memenuhi Gedung Olah Raga. Hari ini final lomba karate Pulau Jawa. Gedung olah raga tempat menyelenggarakan lomba terasa penuh hari ini, karena hari ini hari terakhir sekaligus pemberian medali bagi para juara.

Ini kali pertama dia duduk menjadi penonton, karena selama bertahun-tahun dia selalu menjadi salah satu peserta yang masuk dalam final.

Karena tahun ini dia sudah kelas akhir, jadi dia tidak diperbolehkan untuk mengikuti lomba, namun sang pelatih dan siswa perwakilan sekolah memintanya untuk menemani dan memberi masukan agar sekolah mereka kembali menang lagi tahun ini.

"Permisi."

Pemuda itu menoleh kesamping, ternyata seorang Pria berumur duduk diatas kursi roda sedang menatapnya dalam dengan senyum dibibirnya.

Pemuda itu berdiri menghampiri beliau. "Ada yang bisa saya bantu kek?" Tanyanya dengan sopan sstelah menekuk lututnya menyamanakn tinggi mereka.

Senyum terukir diwajah pria berumur itu, "Kakek" gumamnya lirih. "Seharusnya kamu memanggil saya buyut karena saya sudah cukup tua. Tetapi tidak apa-apa, saya jadi merasa sedikit muda wahhahaa...." Pria itu tertawa kecil bahagia. "Nama Saya Arya Ganendra." Kakek Arya menjulurkan tangan.

"Saya Adam Regan," Regan menerima uluran tangan Kakek Arya sambil tersenyum simpul.

Kakek Arya menepuk punggung tangan Regan beberapa kali "hanya Adam Regan?" Tanyanya measih dengan tatapan meta yang menatap Regan dalam.

Kepala Regan menggeleng sambil tersenyum "Adam Regan Zeroun" Regan menyebut nama lengkapnya.

"Lalu?."

"Apa?" Regan bertanya balik tak mengerti.

Membuat Kakek Arya menghela nafas pelan pasrah, "kamu yang waktu itu menang Lomba sains di Surabaya kan?."

Regan mengguk dengan sopan.

"Tahun lalu sepertinya kamu juga ikut lomba karate di Semarang."

Kali ini Rengan mengangguk lagi sambil melirik kelain arah karena malu.

"Ah ... tidak," seru Kakek Arya sambil meremas lembut tangan Regan yang masih dipegangnya hingga Regan menatapnya lagi. "Kamu pemenang lomba karate dua tahun lalu juga" Kakek Arya mengatakanya dengan suara girang membuat Regan semakin malu.

"Jangan malu, kamu jiga harus bangga pada apa yang telah kamu capai sendiri."

Regan menggukkan kepala canggung, meski banyak orang yang memujinya, tetapi kali ini seerasa berbeda bagi Regan.

"Perusahaan kakek selalu mensponsori lomba-lomba untuk para pelajar berprestasi Indonesia, tetapi yang selalu memberi piala dan menghadiri acara cucu kakek, kakek hanya menonton dibalik layar dan membaca laporan akhir setiap hal yang kami sponsori."

Mata Regan menatap penuh kagum pada pria didepannya. "Nama, foto dan dalam Video yang kirim panitia sering muncul kamu. Jadi kemarin saat melihat siaran direkaman yang dikirim panitia pada kami Kakek lihat ada kamu, jadi kakek memaksa pada cucu kakek untuk ikut biar bisa bertemu kamu."

"Cucu kakek sekarang dimana?, nanti beliau mencari kakek, biar Regan antar ya?."

Senyum di bibir Kalek Arya kembali merekah. "Dia di atas panggung yang sedang pegang hp itu" tunjuk Kakek Arya kearah panggung, "wahhahaa.... pasti dia sekarang sedang mencari kakek."

Mendengar tawa lepas Kakek Arya, Regan ikut tertawa pelan, perlahan dia mendorong kursi roda beliau mendekati panggung sambil mengobrol.

Sejak Regan mulai mendorong kursi roda Kakek, tangan Kakek Arya terus saja menyentuh punggung tangannya, terkadang menepuk punggung tangan Regan juga.

"Bra ..." Panggil Kakek Arya dengn suara seraknya.

Regan membungkukkan tubuhnya disamping Kakek Arya. "Nama cucu Kakek siapa?, biar Regan yang panggil."

"Abraham, nama cucu kakek Abraham" ucap Kakek Arya dengan bangga menyebutkan namanya

Regan mengangguk paham, dia kembali mendorong kursi roda kakek Arya hingga begitu dekat dengan panggung. Mulut Regan terbuka hendak memanggil nama cucu Kakek, namun Pria itu sudah terlebih dahulu menoleh dan berjalan dengan cepat menghampiri mereka berdua.

Regan menatap pada pria didepannya, Abraham dan kakek Arya sedang berbicara sesuatu yang memang sengaja Regan tidak mau dengar. Dia fokus menatap pada jari yang dilingkari cincin pernikahan.

"Regan" panggil kakek Arya membuat perhatian Regan teralih. "Ini cucu kakek namanya Abraham Ganendra, ini anak yang Kakek ceritakan kemarin, Adam Regan Zeroun ..." nada suara Kakek Arya mengambang diakhir kalimat.

"Hanya Adam Regan Zeroun" timpal Regan mendengar suara Kakek Arya yang masih menggantung.

"Oh... salam kenal saya Abraham Ganendra," Abraham menjulurkan tangannya dan Regan menyambutnya, tangan mereka saling menjabat. "Kamu anak yang cukup berprestasi, saya cukup salut ada anak dari pulau dan berprestasi seperti kamu."

"Tidak hanya cukup, tapi sangat Abra." Koreksi Kakek Arya tak terima "panggil Ibnu berikan mapnya pada Regan."

"Opa."

"Ini sudah keputusanku no coment."

Abra hanya menghela nafas, menepuk pundak Regan beberpaa kali dan pergi kembali menaiki panggung.

"Kakek tidak mau naik panggung?" Tanya Regan sopan, "nanti Regan yang bantu."

Kakek Arya tertawa lirih. "Tidak kakek takut yang mau turun nanti, duduk disana saja ya ... temani Kakek" tunjuknya pada sofa disamping panggung.

Regan ikut tertawa kembali mendorong kursi kakek menuju sofa dipinggrir panggung.

Dengan telaten dia membantu kakek Arya duduk di sofa, memastikan kenyamanan punggung beliau lalu berdiri disampingnya.

Abra yang sejak tadi menatap interaksi mereka tersenyum melihatnya, dia duduk dikursi tunggal setelah meletakkan amplop coklat diatas meja. "Duduk sebentar saya ingin mengatakan sesuatu," perintah Abra dengan nada serius.

Dengan sopan Regan duduk di kursi tunggal di samping Abra, dia melirik pada amplop coklat bertulisan GG Company.

"Karena kamu anak yang cukup berprestas ...."

"Sangat!" Kembali Kakek Arya mengoreksi degan suara seraknya.

"Iya sangat" Regan menahan senyum mendengar nada bicara Abra yang penuh penekanan. "Kami ... tidak bapak Arya memberikan kamu beasiswa untuk kuliah di Oxford, dengan syarat kamu harus masuk jurusan bisnis, setelah lulus harus bekerja diperusahaan kami minimal lima tahun."

Regan terdiam menatap amplop didepannya, tidak mengatakan apapun. Dia hanya bisa diam tak tahu merespon apa sekarang.

"Kami memberikan beasiswa setiap tahunnya pada siswa yang berprestasi." Kakek Arya mendorong amplop tersebut kearah Regan. "Ada beberapa syarat dan peraturan didalam, kamu bisa bawa itu pulang dan membacanya di rumah, bawa pulang dan pertimbangkan bersama Ibumu."

Tangan Kakek Arya meraba kantong jas Abra dan mengambil kartu nama Abra tanpa izin. "Jika ada yang mau dipertanyakan silahkan hubungi nomor Pak Abra, kalau nomor kakek sudah kakek taruh di dalam amplop hehehe...."

Mata Regan masih saja tidak bisa lepas pada amplop didepannya. Beasiswa keluar negri memang impian Bundanya selama ini, namun tidak pernah sekalipun Regan menginginkannya begitu muda.

*-*

Jangan lupa ...

Selalu tinggalkan jejak 😇

🌟Rate 🔖Vote 🎁Hadiah

👍Like and 💬Comment

Demi mendukung karya Author dan menyemangati Author 😍

Love You 😘

Unik Muaaa

Semenep

Yakin

"Apa Bunda bilang kamu bisakan?."

Regan menatap Bundanya datar.

Dia baru turun dari mobil Pak Malvin yang mengantarnya sampai depan rumah, Bundanya sudah menyambutnya dengan pertanyaan seputar beasiswa yang dia ceritakan di telfon secara singkat.

Kakinya melangkah memeluk Bundanya erat "kurang lima bulan lagi Arz pergi kalau Bunda menyetujui itu," gumanya lirih.

"Yapz."

Kesal mendengar jawaban Bundanya yang penuh semangat, Regan melepas pelukannya "Bunda bahagia banget sih" tegur Regan kesal.

Apa Bundanya tidak merasa sedih akan berpisah jauh darinya?.

"Ya Bunda banggalah sayang, anak bunda dapat beasiswa keluar negri. Nanti satu kampung bakalan bilang anak Bu Zahra kuliah diluar negri, Bu Zahra hebat. Kan begitu."

Ya Bundanya memimpikan dirinya bisa kuliah keluar negri, bahkan dia yakin jika dirinya pasti akan kuliah keluar negri suatu saat.

Regan menghela nafas, mencium pipi Bundanya dan masuk kamar untuk istirahat.

Sejak Kakek Arya dan pak Abra memberikannya amplop coklat itu Regan menceritakan secara singkat pada Bundanya jika ada yang menawarkan beasiswa keluar Negri.

Regan mengeluarkan amplop coklat pemberian Kakek Arya, menatapnya lama penuh pertimbangan. Perlahan dia membuka dan mulai membacak kalimat demi kalimat.

Ganendra Group Company

*-*

Jika sudah jam istirahan jangan ditanyakan bagaimana keramaian kantin sekolah yang dipenuhi oleh siswa siswi. Teriakan, candaan bahkan tawapun menggema menjadi satu.

Gana, Mila dan Rio duduk di pojok kantin tempat biasa mereka duduk jika jam istirahat, menunggu Regan yang kali ini bertugas memesan makanan dan minuman mereka berempat.

Regan datang hanya membawa dua gelas es teh dikedua tangannya, dibelakangnya dua siswi adik tingkat mereka membawa nampan berisi tiga mangkok bakso, segelas es teh Jumbo dan beberapa cemilan.

Melihat hal itu Gana langsung berseru heboh. "Sang Raja kecil telah datang bersama dayangnya teng teng tereng... teng teng tereng...." kehebohan Gana menarik semua perhatian para siswa dikantin.

Kebiasaan Regan jika sedang giliran memesan makanan, pasti ada dua adik tingkat yang selalu dengan senang hanti membantunya, lain halnya dengan dirinya dan Rio yang harus bolak balik membawa semua pesanan mereka.

Regan dengan cueknya hanya duduk di kursi diantara mereka yang sudah mereka sediakan untuknya. "Terima kasih" datar namun membuat kedua siswi itu tersenyum malu dan pergi dengan hati berbunga-bunga.

"Halah...." Gana kembali heboh sendiri.

Ketiga temannya saling tatap

"TERIMA KASIH!!!" Mila, Gana dan Rio meniru nada bicara Regan bersamaan lalu tertawa terbahak-bahak.

Bukan merasa terganggu, Regan hanya diam menikmati segelas es teh jumbonya. Berteman dengan mereka yang selalu urakan dan hidup seakan tanpa beban membuatnya tak ambil pusing dan menikmati segla hal yang terjadi.

"Kamu gak capek baru sampek semalem langsung sekolah?." Rio mulai mengaduk baksonya sambil melirik Regan.

"Gak masuk juga gak papa Re, Hafiz dan pak Avin aja gak masuk." Gana yang selalu cuek membuka sneck yang Regan beli untuk mereka.

Bahkan Mila yang selalu nyerobot minuman dan makanan Regan mulai beraksi menarik es teh Regan, Ini salah satu kenapa Regan selalu membeli minuman dan makanan extra. Karena apapun yang berada di tengah-tengah mereka akan menjadi milik bersama.

"Ah ..." seru Mila setelah meminum es teh Regan hampir setegah gelas "Mau pulang sekarang pasti di izini."

"Ya iyalah dia anak emas sekolah."

"Kalau kita mah ke uks aja ditanya kayak orang mau sidang," gerutu Gana yang mendapat suara tawa dari Mila dan Rio. "Pertanyaan dari A sampai Z semua dibaca, kalau pusing keburu pingsan dikelas."

Mila melempar kulit kacang kearah Gana, membuat mereka mulai perang adu lempar kulit kacang sejenak sambil mengejek satu sama lain.

Tangan Rio mulai membuka hpnya, kebiasaan setelah makan, bermain game atau chetingan dengan para cewek-cewek di dunia maya.

"Hotsport Yo," pinta Regan dan mendapat acungan jempol dari Rio.

"Gan mangkoknya balikin gih, gelasnya biar aku yang bawa nanti." Mila juga ikutan membuka Hp nimbrung hotsport pada Rio.

Hampir empat tahun mereka bersama selalu membagi makan, minuman, jawaban soal pelajaran, bahkan data paket internetpun juga.

Bertengkar?, tentu. Meski mereka berkali-kali bahkan beribu kali bertengkar tidak sampai satu hari mereka akan kembali baikan seperti semula.

Mila, Rio dan Gana muali memainkan game yang sama, tetapi Regan mencari sesuatu di internet yang sejak tadi pagi mengganggunya.

Sebelum berangkat sekolah dia membereskan meja belajarnya, tidak sengaja melihat foto-foto para siswa yang telah menerima beasiswa dari mereka sejak tiga belas tahun lalu. Yang mengganggunya bukanlah foto tersebut namun nama Abraham G yang tertulis di bawa foto yg terus membuatnya terganggu.

Meski dia tahu jika G yang dimaksud adalah singkatan dari Ganendra tetap saja dia merasakan ada sesuatu yang lain dari huruf G itu, namun dia tidak tau apa.

"Bunda kayaknya tadi seneng banget deh Regan" celetuk Mila disela-sela pemainannya.

Tepat saat itu muncul dilayar hpnya apa yang dia cari berita berjudul Abraham Ganendra pewaris Ganendra Group Company atau GG Com berhasil... Regan memperbesar foto Abra, akhirnya dia teringat akan sesuatu.

Yakin kali ini dia benar, Regan berdiri mengambil kunci motor Rio di saku baju Rio tanpa izindan berlari begitu saja tanpa mengatakan apapun pada ketiga temannya.

*-*

Bau obat-obatan sangat mengganggu indra penciumannya, dia menatap pada Ibnu yang setia menemaninya sejak dia masuk rumah sakit beberapa hari lalu.

Ibnu dulu adalah sekretarisnya, meski setelah dia menyerahkan perusahaan pada Abra lima belas tahun lalu, Ibnu selalu menemaninya jika Abra bisa dibantu oleh sekretaris lainnya.

"sudah di cek sama Malvin bagaimana perkembangannya?" Tanyanya lirih.

Ibnu mengangguk. "Ya, tetapi masih tidak ada berita apapun."

"Jika aku yang menghubunginya dulu bagaimana?," Usul Kakek Arya melirik Ibnu.

"Ini baru dua minggu, bersabarlah. Serahkan semua pada Malvin, atau jika anda sudah tidak sabar, anda bisa mempertemukan mereka."

Kakek Arya tersenyum. "Ya, lebih cepat lebih baik" gumanya. "Aku takut mati duluan dan mereka masih belum bertemu, bagaimana nasib cicitku?."

Ibnu menggenggam tangan Kakek Arya menenangkan beliau. "Anda harus yakin, semua pasti akan bahagia. selalu sehat agar merasakan bahagian ditengah-tengah mereka, jangan gegabah jika tidak mau mereka menghilang lagi."

Kakek Arya terkekeh "Ya, Tuhan pasti memberiku waktu yang panjang."

"pasti."

Jawaban yang begitu meyakinkan dari Ibnu kembali menunbuhkan kepercaya diri Kakek Abra yang sempat redup.

Sudah cukup dia menyembunyikan segala hal dari cucunya, kali ini dia harus pasrah dan Yakin pada Tuhan dan cucunya. Semoga anak itu tidak melakukan hal bodoh lagi. Hanya itu harapannya kali ini.

*-*

.

.

.

Unik Muaaa

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!