"Tolong jangan lakukan ini. Saya mohon!"
"Diam kamu!"
Kania hanya bisa menahan rasa sakit yang perlahan melemahkan seluruh tenaganya. Air matanya berjatuhan namun tak di pedulikan. Rintihannya yang terdengar pilu tak dihiraukan.
Lelaki yang sedang mabuk itu terus berusaha merenggut apa yang telah dia jaga selama dua puluh tahun hidupnya.
Napas Kania kian sesak. Rasa sakit yang pria itu ciptakan seolah menjalar ke seluruh tubuhnya. Kesadarannya menghilang seiring dengan kepuasan yang pria itu dapatkan.
***
Kania mencoba untuk membuka kedua matanya meskipun rasa pusing di kepalanya membuatnya lebih memilih untuk memejamkan mata sampai beberapa saat lagi.
Tidak hanya kepalanya saja yang terasa sakit. Tapi seluruh tubuhnya juga terasa remuk. Bagaikan kejatuhan cicak beserta atapnya.
Dan yang lebih sakit lagi, bagian bawah sana terasa begitu perih. Bahkan saat Kania mencoba menggerakkan tubuhnya sedikit saja.
Perlahan, Kania mencoba menggerakkan tubuhnya sampai dia terbangun. Alangkah terkejutnya saat dia mendapati keadaanya saat ini. Tubuhnya hanya tertutup selimut tebal.
Seluruh pakaiannya berserakan di atas lantai. Saat itu juga, air mata Kania kembali luruh mengingat apa yang terjadi pada dirinya beberapa jam yang lalu.
Mengumpulkan sisa tenaga yang dia miliki, Kania memunguti pakaiannya dan membersihkan dirinya di dalam kamar mandi. Setelah selesai, Kania mengambil tas dan handphonenya yang tergeletak di atas meja.
Matanya membulat melihat apa yang ada di dalam tasnya. Segepok uang berwarna merah terang sudah ada di dalam tasnya.
"Dia menganggapku wanita bayaran." Kania tertawa sinis.
Dengan air mata yang masih membasahi pipinya, Kania keluar dari kamar tersebut dan meninggalkan tempat laknat itu.
Harusnya dia tidak datang ke club tersebut. Harusnya dia tidak nekat mencari Roni, kekasihnya yang membawa kabur uang hasil penjualan sawah kedua orangtua Roni.
Terbuai dengan air mata sedih ibu Roni, Kania memilih memberanikan dirinya untuk mendatangi satu club malam yang Kania tahu sering di datangi oleh Roni.
Tapi bukannya menemukan Roni, kemalangan justru menimpa dirinya.
Kalau sudah begini, apa yang akan Kania lakukan? Siapa yang bisa Kania salahkan? Kania kehilangan harta berharganya. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia banggakan sebagai seorang wanita.
Mata Kania menatap langit malam kota Surabaya. Sudah jam satu dini hari, tapi Kania masih berada di jalanan. Tertatih meniti langkah demi langkah sambil memikirkan jalan hidupnya.
Kania sadar betul, hidupnya tidak akan baik-baik saja setelah ini.
***
"Baru pulang, Ka?"
Kania mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Dita, teman satu kamarnya di sebuah kos-an dekat dengan kampusnya.
"Ketemu sama Roni?"
Kania menggelengkan kepalanya. "Dia nggak ada di sana."
"Terus kenapa kamu baru pulang?" tanya Dita lagi dengan wajah mengantuknya. Mata Dita yang mengantuk itu di paksa untuk terbuka hanya demi mewawancarai Kania.
Seketika Kania di buat salah tingkah dengan pertanyaan Dita. Tentu saja Dita bertanya kenapa jam dua pagi dia baru pulang. "Aku cari ke tempat yang biasa di datangi Roni."
"Nggak ketemu juga si Roni?" Sekali lagi Kania menggeleng sebagai jawaban.
"Sendirian cari si Roni?" Dita bertanya lagi meskipun sudah menguap berkali-kali.
"Emm - sama Rama," jawab Kania berbohong. Untungnya, Dita percaya begitu saja. "Udah, tidur lagi sana. Masih ngantuk juga sempat-sempatnya wawancara. Aku juga mau tidur, capek," lanjutnya yang langsung di iyakan oleh Dita.
Nyatanya, mata Kania tak bisa terpejam sama sekali. Pikirannya masih tertuju pada lelaki yang telah merenggut kegadisannya. Kania sama sekali tidak mengenal lelaki itu. Tapi dia ingat betul dengan wajahnya.
Satu persatu air matanya berjatuhan. Kania membenamkan wajahnya pada bantal untuk meredam isakannya yang sedikit terdengar. Semakin Kania menahan isakan tersebut, dada Kania kian sesak.
Harapannya hanya satu. Semoga apa yang di miliki pria itu tidak berhasil membuahi telurnya sehingga tidak terjadi kehamilan di bulan depan.
Ya, hanya itu yang bisa di harapkan saat ini.
Untuk kegadisannya yang telah hilang, biarkan hilang. Menyesali dan menangisinya pun tidak akan membuatnya kembali. Air mata tidak akan mengembalikan semuanya seperti semula.
***
Dita dan Kania duduk di salah satu bangku yang ada di kantin kampus. Pagi tadi mereka bangun kesiangan dan belum sempat sarapan. Jadi, di jam sembilan pagi keduanya sudah duduk manis di kantin dengan dua piring nasi goreng di depan mereka.
"Tumben sarapan di kantin. Nggak masak?" Suara Rama terdengar memecah keheningan di antara Dita dan Kania yang sedang menikmati nasi goreng mereka.
Dita melirik Rama yang duduk di sampingnya. Posisi duduk Rama berhadapan dengan Kania. "Tumben juga udah datang. Nggak begadang aja datang telat, apalagi semalam kamu begadang. Rekor nih, jam segini udah di kampus."
"Siapa yang begadang?"
Tubuh Kania menegang mendengar percakapan tersebut. Dia lupa mengatakan pada Rama untuk bersandiwara kalau semalam mereka pergi bersama mencari Roni.
"Semalam kamu nemenin Kania cari si Roni, kan? Jam dua pagi baru pulang. Nggak aneh-aneh kan, kalian?"
Rama menatap Kania. Sedangkan Kania mengedipkan matanya sebagai kode agar Rama mengiyakan ucapan Dita. Untung saja Rama segera paham akan kode yang diberikan pelatihan Kania. Dan Dita juga sedang fokus menikmati sarapannya.
"O - oh, ya nggak macam-macamlah. Laki-laki itu menjaga, bukan merusak." Ucapan Rama seolah menyindir Kania meskipun Rama tidak sadar akan ucapannya.
Kania langsung teringat kejadian semalam. Dirinya telah rusak. Sayangnya, Kania rusak di tangan orang yang tidak dia kenali.
🌼🌼🌼
Byuurrrr!!!
Devan langsung terbangun setelah menerima guyuran satu ember air es. Jangan di tanya lagi siapa yang melakukannya, tentu si nyonya ratu yang lembut dan baik hatinya yang kini telah murka karena kelakuan sang anak lelaki satu-satunya.
"Mama, dingin!" teriak Devan yang sudah terduduk di atas ranjang. Devan langsung memeluk tubuhnya sendiri karena rasa dingin yang dia rasakan. Ingin menarik selimut, namun ternyata sang nyonya ratu lebih dulu melemparnya ke sudut kamarnya.
"Semalam kamu nabrak apalagi, Devan? Mobil sampai penyok seperti itu. Mabuk lagi?"
Di tengah dingin yang dia rasakan, Devan menghela napas panjang. Semalam memang dia menabrak pembatas jalan. Keadaannya yang sedang mabuk membuatnya tak terkendali saat menyetir mobil. Untung saja dia masih selamat. Hanya mobilnya yang rusak parah.
Namun hal itu bukan masalah bagi Devan. Detik ini juga kalau dia mau mengganti mobilnya dengan yang baru, dalam satu jam kemudian mobil itu sudah ada di depan rumahnya.
Hanum, Mama Devan, juga turut menghela napas panjang. Meskipun memiliki hobi mabuk, namun anaknya itu tidak pernah mengecewakan dirinya dan sang suami dalam hal memajukan perusahaan.
IQ Devan yang berada di atas rata-rata selalu memiliki ide dan inovasi baru untuk memajukan perusahaan.
"Mandi sana, lalu ke kantor! Jangan mentang-mentang kamu bos lalu kamu bisa seenaknya saja."
"Iya-iya, Ma."
Dengan malas, juga masih dengan rasa dingin yang dia rasakan, Devan beranjak ke kamar mandi.
Saat dia membuka celananya, alangkah terkejutnya saat melihat abang jagonya terdapat bercak darah. Mencoba mencari barangkali ada yang luka, ternyata tidak ada luka sama sekali.
Setelahnya Devan tersadar akan sesuatu. Dengan frustasi dia mengurut pelipisnya pelan. "Sarang milik siapa yang kamu masuki wahai abang jago?"
🌹🌹🌹
Kita pemanasan, ya. karya ini akan di daftarkan ke event novel wanita. mohon dukungannya. semoga rajin update. 🥰🥰
Dua garis merah.
Dunia seolah berputar saat Kania mendapatkan satu kenyataan baru yang akan mengubah seluruh kehidupannya.
Dua garis merah menyala terang di atas benda kecil berbentuk pipih tersebut. Masih ada tiga jenis yang sama dengan merek berbeda. Kania mencobanya satu persatu, barangkali testpack yang pertama rusak sehingga hasilnya tidak akurat.
Namun tubuh Kania seakan di hantam batu besar saat semua testpack yang dia gunakan menunjukkan hasil yang sama. Positif.
Tubuh Kania luruh ke lantai. Dia benamkan wajahnya pada lututnya yang terlipat. Air matanya berjatuhan, menangisi nasib dirinya.
"Bagaimana kalau bapak dan ibu tahu tentang kehamilan ini? Aku tidak siap menghadapi kemarahan mereka."
"Bagaimana nasib kuliahku kalau aku hamil di luar nikah begini?"
"Dan yang terpenting, pada siapa aku harus meminta pertanggungjawaban atas kehamilan ini?"
Kania tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah kehamilannya terungkap. Tidak selamanya dia bisa menyembunyikannya. Semakin bertambahnya usia kehamilannya, perutnya akan semakin membesar. Dan Kania tidak bisa membayangkan jika hari itu terjadi.
Tangan dingin Kania mengusap perutnya yang rata. Air matanya kembali berjatuhan mengingat kini ada kehidupan baru di dalam dirinya.
"Anak siapa kamu? Siapa ayahmu? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Kania dengan penuh rasa benci. Kania tetap bertanya meskipun tak ada yang bisa memberinya jawaban.
"Aku membencimu." Kania memukuli perutnya menggunakan kedua tangannya. Berharap yang ada di dalam rahimnya itu kesakitan dan keluar dari perutnya. "Pergi kamu dari tubuhku. Aarrrgghhhh...!!!" erangnya frustasi.
***
"Kamu kenapa?" Dita bertanya pada Kania dengan raut wajah khawatir.
Wajah sembab Kania tentu menjadi tanda tanya besar untuk Dita. Tidak biasanya Kania berwajah murung seperti itu.
Pertanyaan Dita hanya di jawab dengan gelengan kepala. Kania enggan menceritakan semuanya kepada siapapun, juga tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Dita.
Untung saja Dita tidak ada di rumah saat Kania melakukan testpack. Jadi tidak ada yang mendengar teriakan demi teriakan yang Kania lontarkan setelah mengetahui adanya janin di dalam perutnya.
Semua testpack yang dia gunakan juga sudah dia cuci dan di simpan di dalam tasnya. Kalau Dita pergi nanti, Kania akan segera membakarnya sebelum Dita mengetahuinya.
Kenapa nasibnya sial begini, itu yang menjadi pertanyaan besar bagi Kania.
Harusnya dia masih bisa berkuliah dengan tenang. Lulus cepat dengan nilai sempurna. Lalu bekerja dan menggapai mimpinya yang tinggi.
Tapi peristiwa malam itu yang menghasilkan janin di dalam perutnya, membuat Kania harus mengubur mimpinya dalam-dalam. Dia hanya tinggal menunggu waktu, kapan kampus akan mengeluarkan dirinya jika ketahuan hamil di luar nikah.
Tak sanggup Kania membayangkan hari itu terjadi. Ingatannya tentang kedua orangtuanya yang bahagia karena Kania bisa di terima di kampus ternama selalu terlintas dalam pikirannya.
Panas hujan tidak mereka hiraukan demi bisa memberikan pendidikan dan kehidupan yang baik untuk Kania dan adiknya. Apa jadinya nanti kalau anak yang dia banggakan justru mencoreng nama baik keluarga?
Hamil di luar nikah. Mending kalau Kania tahu siapa ayahnya. Tapi kali ini Kania sama sekali tidak tahu siapa yang telah menanam benih pada rahimnya.
Ah, sudah pasti orang akan beranggapan yang tidak-tidak tentang dirinya. Pelaku cacat moral, atau bisa jadi di anggap wanita penghibur. Hingga hamil dan tidak tahu siapa ayahnya karena saking banyaknya yang meniduri dirinya.
"Makan, Ka. Aku udah masak sayur sop sama sambal nih." Dita keluar dari dapur dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur sop bakso dan sambal.
Memang terlihat menggoda lidah Kania. Tapi itu dulu. Kalau sekarang...
"Hoeekk!!" Kania segera berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Kania tidak tahan mencium aroma sayur sop yang di masak Dita.
"Hoeekk!"
"Ka, kamu nggak apa-apa?" Dita bertanya dengan khawatir sambil mengetuk pintu kamar mandi.
"Enggak apa-apa, Dit. Emang lagi masuk angin," jawab Kania berbohong.
Sepertinya kemarin-kemarin Kania tidak masalah dengan aroma apapun meskipun kenyataannya dia sudah telat dua minggu lebih. Tapi setelah dia tahu bahwa dirinya tengah hamil, kenapa dia bisa sensitif begini?
"Beneran?" Dita masih memastikan bahwa Kania baik-baik saja. Kini Kania sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah karena Kania membasuhnya dengan air.
"Beneran, Dit." Kania tersebut tipis. Mencoba menutupi semuanya agar dia terlihat baik-baik saja.
"Aku belikan obat dulu, ya."
"Nggak, nggak usah, Dit." Kania segera menahan langkah Dita. "Tiduran bentar juga enakan pasti."
Dita mengangguk pasrah. "Ya sudah kalau gitu. Kalau ngerasa gimana-gimana langsung bilang, ya. Kita ke dokter."
Kania mengangguk pasti. "Iya." Setelahnya, dia langsung merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
🌼🌼🌼
Devan mengerutkan keningnya saat kembali merasakan mual hebat pada perutnya. Sudah seminggu lebih Devan mengalami mual dan pusing tanpa penyebab yang di ketahui.
Belakang ini Devan juga suka makanan yang menurutnya aneh. Bahkan dia menginginkan makanan yang di jual di pinggir jalan yang dia lewati.
Dulu, cilor dan sejenisnya itu menurutnya aneh. Tapi akhir-akhir ini cilor, cilok, telur gulung dan lain sebagainya itu wajib berada di atas meja makan. Entah di rumah maupun di kantor.
Devan juga mendadak menyukai minuman yang manis. Padahal, minumannya adalah air putih. Kalau tidak ya bir atau kopi pahit. Tapi, lagi-lagi Devan dan orang-orang terdekatnya di buat bingung dengan kebiasaan baru Devan.
"Stop, Pit." Tiba-tiba saja Devan menyuruh Apit, sopirnya untuk berhenti di depan sebuah sekolah SD. Dimana, di sana banyak sekali orang-orang yang berjualan makanan yang belakangan ini menjadi favoritnya.
"Ada apa, Pak?" tanya Apit keheranan melihat majikannya.
Devan menyerahkan selembar uang seratus ribu pada Apit. "Belikan makanan-makanan yang ada di sana," ucapnya sambil menunjuk ke arah SD.
"Ha?" Apit hanya bisa melongo heran.
"Kenapa? Nggak mau?"
"Bu - bukan, Pak. Iya, saya belikan."
Apit langsung menerima uang tersebut dan dengan cepat keluar dari mobil. Sebelum tuan mudanya mengamuk karena keinginannya tidak di turuti.
Dengan senyum yang merekah, Devan membawa sendiri jajanan yang di belikan Apit di depan sekolah tadi. Tak peduli dengan tatapan para karyawannya yang heran, bingung, sekaligus merasa lucu dengan kebiasaan baru si bos.
"Apaan, nih?" Nino, sepupu jauhnya sekaligus asisten pribadinya terheran-heran melihat Devan sedang menikmati jajanan itu dengan lahapnya.
"Lagi?" desah Nino pelan. Masih tak habis pikir kenapa Devan mendadak menyukai makanan seperti ini.
"Diam! Mending ikut makan sini kalau lo doyan. Uuhh, ini enak banget, No," ucapnya antusias sambil menusuk cilok pedas dengan tusuk sate, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
Nino bergidik ngeri. Bukan karena dia jijik dengan makanan tersebut tapi ngeri dengan banyaknya yang di makan oleh Devan.
"Lambung aman?"
Devan mengangguk yakin. "Selama ini gue ngerasa aman."
"Lo aneh." Devan tak menghiraukan ucapan Nino. "Kayak orang ngidam," lanjut Nino yang langsung membuat Devan tersedak.
Dengan panik Nino langsung mengulurkan es tea jus yang berwadah plastik. Awalnya kaget, tapi tidak ada air lagi selain es tersebut. Nino sampai geleng kepala. Makanan dan minuman Devan sekarang sangat aneh menurutnya.
Devan mencerna ucapan Nino. Ngidam? Bagaimana bisa?
Ingatannya langsung tertuju pada malam itu. Ya, Devan telah mengingatnya dengan baik. Meskipun dia dalam keadaan mabuk, Devan mengenali wajah cantik gadis yang menangis dan merintih di bawahnya.
Dia masih seorang gadis pada waktu itu. Sama sekali belum tersentuh. Dan Devan-lah yang telah merenggut kegadisannya.
Ah, siapa wanita itu?
Apakah dia tengah hamil sehingga dirinya yang merasakan ngidam?
Tentu Devan paham akan hal seperti itu. Devan belajar dari pengalaman sahabatnya, Mike. Hal yang sama di alami oleh Mike saat istrinya, Olivia tengah hamil muda.
Devan juga tidak pernah melakukan hubungan dengan wanita lain lagi setelah malam itu. Jadi kemungkinan besar, gadis itu hamil.
Lalu bagaimana nasibnya sekarang? Apa dia juga kebingungan sama seperti Devan?
Andai waktu bisa di putar kembali, tentu Devan akan berhenti saat mendengar rintihan gadis itu. Kini sudah terlambat. Kemana dia harus mencari gadis itu?
🌹🌹🌹
Dari kejauhan, Kania menatap kedua orangtuanya yang sedang duduk di depan rumah sambil merapikan bibit tanaman ke sebuah nampan.
Biasanya, bibit-bibit tersebut akan di jual ke para petani lainnya. Dan yang sebagian kecil di tanam sendiri di ladang kecil yang menjadi sumber mata pencaharian mereka selama ini.
Air matanya mulai berjatuhan. Kania kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa menjaga dirinya. Juga mengecewakan kedua orangtuanya.
"Kania? Kamu pulang, Nak? Kenapa berdiri di situ?"
Buru-buru Kania menghapus air matanya saat ibunya memergoki dirinya tengah berdiri di dekat pagar rumahnya.
Kania langsung berjalan cepat dan memeluk ibunya dengan erat. Membuat ibu dan ayahnya saling berpandangan, bingung.
"Kania kangen sama ibu dan bapak."
Wening, ibu dari Kania, langsung tertawa kecil mendengarnya. Memang sudah tiga bulan terakhir Kania tidak pernah pulang ke kampungnya dengan alasan sibuk kuliah.
Wening dan Karno memahami kesibukan Kania.
"Ya sudah, ayo masuk dulu. Kamu nggak bilang kalau mau pulang. Jadi ibumu nggak masak banyak, deh," ucap sang ayah sambil mengusap rambut Kania.
Hati Kania semakin hancur melihat mata berbinar kedua orangtuanya. Pasti mereka bangga anaknya bisa kuliah di kota. Tapi kenyataannya, Kania memupuskan semua harapan kedua orangtuanya.
Kania dan Wening berjalan beriringan memasuki rumah kecil mereka. Sedangkan Karno membereskan pekerjaannya dan segera menyusul anak dan istrinya masuk ke dalam rumah.
Sudah lama sekali mereka tidak makan bersama. Tentu saja mereka rindu akan hadirnya Kania di tengah-tengah mereka.
"Ibu tadi cuma masak sayur lodeh sama ikan asin. Makanan kesukaan kamu, to? Ayo di makan."
Kania tersenyum dan langsung mengambil sepiring nasi dan juga sayur dan lauknya. Masakan ibunya memang selalu menggoda lidahnya. Selalu terasa enak meskipun hanya masakan sederhana.
Dalam hati Kania berdoa, semoga momen makan siang kali ini tidak seperti kemarin saat bersama Dita. Kania mual dan muntah saat makan masakan Dita.
Sesendok demi sesendok Kania memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Beruntung, kali ini aman. Bahkan Kania harus menambah lagi sampai bapak dan ibunya tertawa kecil melihatnya.
"Lapar apa doyan, Nduk?" goda Karno.
"Tumben makannya banyak banget. Nggak diet lagi?" timpal Wening.
Kania tersenyum dan langsung menghentikan tangannya yang tengah menyendok nasi. "Masakan ibu enak banget. Kania udah lama nggak makan masakan ibu. Kangen."
Wening tersipu di puji oleh anaknya sendiri. "Ya sudah, habiskan saja kalau begitu. Nanti ibu masak lagi."
Kania mengangguk dan kembali melanjutkan makannya.
"Di rumah berapa lama, Nduk?"
"Dua hari aja, sih, Pak. Senin udah balik karena siangnya ada kuliah."
"Ya sudah. Habis ini istirahat. Bapak sama ibu mau ke sawah lagi habis ini."
Kania mengangguk. Setelah acara makan siang bersama mereka selesai, Kania langsung masuk ke kamarnya berniat untuk tidur siang.
Rumah begitu sepi setelah kedua orangtua Kania pergi ke sawah. Adik laki-lakinya sedang di karantina untuk mengikuti paskibraka tingkat provinsi.
Bangga dengan pencapaian Tristan.
Tapi sesaat kemudian, Kania tersadar. Sekarang hanya Tristan yang bisa membanggakan kedua orangtuanya. Tidak ada lagi yang bisa di harapkan dari Kania.
Nasib dirinya dan perkuliahannya sudah di ujung tanduk. Tinggal menunggu saat itu datang. Saat di mana semua orang akan tahu bahwa dia tengah hamil, di luar nikah.
Malam harinya, Kania dan kedua orangtuanya berbincang hangat di depan tv. Sambil menonton tv, duduk di atas karpet dan ada tempe mendoan sebagai cemilan mereka.
Kania berusaha menutupi beban di hatinya dengan tawa. Tapi dia masih heran, kenapa makanan yang masuk ke dalam mulutnya tidak ada yang keluar lagi. Tidak ada yang dimuntahkan lagi seperti kemarin-kemarin.
Ada untungnya bagi Kania. Setidaknya, orangtuanya tidak curiga kenapa dia muntah-muntah terus.
"Kuliah lancar, Ka?"
Kania mengangguk pasti. "Lancar, Bu. Ini lagi ujian. Mungkin dua minggu lagi udah liburan."
"Kalau libur berarti di rumah terus, dong?"
"Iya, Pak, sepertinya."
"Wah, nanti ada yang bantu kita di sawah, Bu. Semoga saja nggak takut kulitnya hitam kena sinar matahari, ya, Bu?" ucap Karno di akhiri dengan tawanya.
Wening tertawa keras. "Kalau bantuin nggak apa-apa, Pak. Kalau malah ngerusak bagaimana? Dia kan, nggak pengalaman di sawah, Pak."
Kania mengerucutkan bibirnya mendengar godaan-godaan dari kedua orangtuanya. "Ih, ngeremehin Kania, ya? Kania bisa, timbang tanam seledri doang."
Kedua orangtuanya terkekeh kecil. Melihat anak perempuannya kini tumbuh dewasa dan membanggakan mereka, membuat hati mereka begitu bahagia. Setidaknya, itu yang ada di dalam pikiran mereka saat ini. Entah bagaimana kalau sampai orangtua Kania mengetahui tentang apa yang Kania sembunyikan.
"Tugas Kania dan Tristan hanya belajar. Bapak dan ibu tidak memaksa untuk membantu kami di sawah kalau kalian sedang libur. Yang terpenting, jangan kecewakan kami ya, Nduk. Kamu juga harus bisa jaga diri. Kami tidak bisa setiap saat mengawasi kamu. Jadi tolong kerjasamanya, ya. Semua juga untuk kebaikan kamu sendiri."
Ingin rasanya Kania menangis mendengar ucapan sang ayah. Tapi Kania tidak ingin mereka curiga. Hal seperti itu sudah biasa di ucapkan oleh ayahnya. Akan aneh jadinya kalau tiba-tiba Kania menangis mendengar ucapan yang sudah sering dua dengar.
"Maafkan aku, Pak, Bu. Aku sudah mengecewakan kalian," ucap Kania dalam hatinya.
***
"Duh, anak gadis, kok, kamarnya berantakan begini. Bangun, Kania. Sudah siang." Wening menggerutu sambil membereskan kamar Kania yang berantakan.
Sedangkan pemilik kamar sedang tertidur pulas meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
"Bangun, Nduk."
"Iya, ibu." Kania menggeliatkan tubuhnya. Menjawab pertanyaan ibunya dengan suara khas orang bangun tidur.
Brukk!!
Tak sengaja Wening menjatuhkan tas milik Kania. Membuat isi tasnya keluar dan jatuh ke lantai.
Tubuh Wening menegang saat menemukan benda yang tak asing lagi baginya. Bahkan bukan hanya satu. Ada empat benda dengan nama yang sama meskipun dengan merek yang berbeda.
Tangannya gemetaran mengambil benda tersebut dari atas lantai.
Dalam hati dia begitu ketakutan. Otaknya berpikir buruk akan anak gadisnya.
"Ini milik siapa, Ka?" tanya Wening pelan. Tenggorokannya seperti tercekat, tak mampu berucap.
Kania yang segera tersadar akan benda yang dia sembunyikan. Sebelumnya tadi dia juga mendengar ada sesuatu yang jatuh, tapi belum kepikiran akan testpack yang ada di tasnya.
Benar saja. Saat Kania terbangun, empat testpack yang ada di dalam tasnya sudah berada di tangan ibunya.
Jantung Kania serasa lepas dari tempatnya. Kali ini, habis sudah riwayatnya. "I - it - itu..."
"Milik siapa, Kania?" bentak Wening membuat mata Kania terpejam sempurna. "Jawab!"
Kania menunduk. Air matanya sudah berjatuhan.
"Jangan bilang ini punya kamu, Kania!" ucap Wening dengan penuh harap. Berharap apa yang ada di pikirannya salah. Berharap benda yang dia pegang bukan milik anaknya.
"Jawab, Kania! Kenapa diam saja?" Wening mengguncang tubuh Kania.
Kania semakin terisak. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan bahwa itu miliknya. Kania tidak siap melihat kemarahan kedua orangtuanya. Tapi Kania juga tidak bisa lagi menghindar.
Hari itu kini telah tiba. Hari di mana kedua orangtuanya akan mengetahui perihal kehamilannya.
"I - itu. Itu punyaku, Bu."
"Ya Allah... Astaghfirullahaladzim..."
Tubuh Wening terduduk lemas di pinggiran ranjang Kania. Tangannya mengurut dadanya pelan merasakan nyeri karena kenyataan yang baru saja dia dapatkan.
"Maafkan, Kania, Bu. Kania udah mengecewakan bapak sama ibu."
Kania memegang kedua tangan ibunya, namun dengan cepat Wening menepisnya. Kekecewaannya sudah teramat dalam. Anak yang dia banggakan sudah melakukan kesalahan di luar batas.
"Ada apa, Bu, kenapa ribut-ribut?" Karno baru saja masuk ke kamar Kania. Membuat jantung Kania berdegup lebih kencang.
Melihat kemarahan ibunya saja Kania sudah ketakutan setengah mati. Apalagi di tambah dengan kemarahan ayahnya nanti.
Kania hanya tinggal menunggu detik. Dan akhirnya...
"Kania hamil, Pak," ucap Wening pelan sambil menunjukkan testpack yang ada di tangannya.
Satu, dua, tiga...
"Kurang ajar!!!"
Plak!
Teriakkan penuh amarah di susul dengan tamparan keras mendarat di pipi Kania.
"Maafkan Kania, Pak." Kania segera bersimpuh di kaki Karno. Sakit dan panas di pipinya tak dia hiraukan lagi. Sakit yang di rasakan kedua orangtuanya lebih parah dari tamparan yang di berikan oleh Karno.
"Hamil anak siapa kamu? Jawab!!!"
Kania menggeleng di sela isakannya.
"Apa maksud kamu?"
Dengan napas yang terengah-engah karena tangisannya, Kania mencoba untuk menjawab. "Ka - Kania tidak tahu, Pak."
"Perempuan macam apa kamu sampai hamil saja tidak tahu siapa ayahnya? Astaghfirullahaladzim... Ya Allah..."
Karno terduduk lemas dengan bersandar pada lemari. Air matanya turun sebab dia merasa telah gagal menjadi orangtua.
"Apa yang kamu lakukan di luar sana, Nduk? Kenapa kamu jadi wanita seperti ini?"
Kania tidak tahu harus bagaimana dia menjelaskannya. Dalam situasi seperti ini, penjelasan sedikit saja tak mungkin di dengarkan.
Hampir sepuluh menit lamanya ketiga orang itu terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Kania dan kedua orangtuanya masih sama-sama menangis. Menangisi nasib Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa tahu siapa yang telah menanam benihnya.
"Pergi kamu dari sini! Aku tak sudi memiliki anak yang memalukan seperti kamu! Pergi!"
Dengan kasar Karno menyeret Kania keluar dari rumahnya. Tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari para tetangga yang tak sengaja melintas di depan rumah mereka.
"Pak, maafkan Kania. Kania salah, Pak. Tapi tolong jangan berkata seperti itu. Kania sayang sama bapak dan ibu."
"Pergi dari sini. Aku menganggap kamu tidak pernah ada di dalam keluarga ini. Bikin malu!"
Karno kembali masuk ke dalam rumahnya. Mengunci pintunya tak peduli dengan teriakan Kania yang meminta maaf dan minta untuk di bukakan pintu.
🌹🌹🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!