"Deka Brahnama Priostio," Panggil seorang sipir menghampiri sebuah ruangan sel yang dilindungi oleh baja setebal 30 cm. Tidak ada sahutan apapun dari dalam sel. Ruangan sebesar 5x5 meter itu terlihat seperti kosong.
Tok, tok, tok
Ketuk sipir itu memastikan apakah yang di dalam masih hidup. "Ku ulangi, Deka Brahnama Priostio."
Namun masih tidak ada tanggapan dari dalam ruangan tersebut. Sang sipir membuka sebuah celah yang ada di pintu untuk melihat kondisi di dalam. Dia melirik ke segala arah ruangan kecil dengan satu jendela baja, tapi dia tidak menemukan siapa pun. Ruangan dengan cahaya redup itu terlihat begitu sunyi. "Atau jangan-jangan dia kabur?"
Sipir menerka melalui apa yang ia lihat. Dengan panik dia bergegas membuka pintu ruangan itu. Karena ketebalan dan pengamanan kunci tingkat tinggi, dia membutuhkan waktu 2 menit hingga bisa membuka kunci pintu itu. Setelah itu, dengan bertenaga ia mendorong pintu baja itu.
"Hai, penjaga." Sapa orang yang mengenankan pakaian tahanan mengangetkan sipir ketika pintu sudah terbuka.
"Aaa,,," Kaget sipir itu ketika tiba-tiba melihat seseorang di depannya yang entah datang dari mana. Karena begitu terkejut, sipir itu sampai sulit menyeimbangkan tubuhnya. Dia terjatuh sambil menunjuk pria di depannya. "Ha, hantu!"
"Hahahaha,,, lihatlah wajahmu itu. Hei, kau pikir aku ini hantu?" Tawa pria yang menggenakan Pakaian tahanan. Tapi seketika tawanya berhenti. Dia mendekati sipir tersebut, tak lupa dengan tatapan maut yang membuat sipir itu ketakutan. "Kalau aku hantu, berarti orang pertama yang harus ku hantui adalah...?"
Pria itu semakin mendekat, tapi sipir semakin menjauh. Dia begitu ketakutan melihat perangai pria di depannya. Bahkan tanpa sadar celananya sudah basah karena ketakutannya. Melihat kejahilannya berhasil, pria itu memegangi pundak si sipir agar tidak bisa menjauh darinya. Dengan smirk yang menakutkan dia melanjutkan perkataannya. "orang itu tentu saja, kamu."
Bam, sekujur tubuh sipir itu bergelidik akibat pria itu. Keringatnya mengucur deras. Satu kata yang bisa ia keluarkan. "Aaaaaaa....."
Sipir itu mencoba kabur, tapi badannya ditahan oleh pria itu. Dan karena tidak bisa kabur, ia berteriak dengan keras sampai pria itu kewalahan dibuatnya.
"Woi, bodoh. Aku masih hidup, lihat!" Teriak pria itu melepaskan cengkramannya. "Dasar aneh. Katanya penjaga penjara terhebat. Tapi sama hantu saja takut."
Sang sipir yang mendengar perkataan pria itu menjadi tersadar. Dengan cepat ia segera berdiri dan membersihkan dirimya agar tidak terlihat memalukan, meski sudah begitu terlihat ditatapan pria itu.
"Ja, jaga ucapanmu. Aku ini petugas. Kalau kau berani macam-macam, awas kau!" Ancam sipir itu sambil membenarkan pakaiannya yang berantakan.
"Hhooam, membosankan. Sudahlah, aku tidak tertarik dengan itu. Langsung ke intinya, kenapa kamu kemari?" tanya pria itu membelakangi sang sipir. Tak langsung menjawab, sipir itu mengambil tongkatnya terlebih dahulu karena terlempar cukup jauh tadi.
"Ehem, baiklah kita langsung ke inti. Masalah ini aku biarkan," Jawab Sipir dengan mantap. Namun bukan berarti dia sudah berani dengan pria itu. Dalam pikirannya terlintas betapa kekarnya pria di depannya. Dia melihat punggung pria itu, begitu lebar dan dia yakin punggung itu di penuhi dengan otot. Rasanya seperti melihat jawara tinju yang ada di televisi secara langsung. "Jadi, maksud kedatanganku untuk membawamu menemui seseorang. Singkatnya, ada seseorang yang menjengukmu."
Begitu menyelesaikan ucapannya, dia langsung menunduk karena melihat pria itu berbalik ke arahnya. Pria itu mendekatinya, membuat suasana semakin mencekam. Dan sipir hanya bisa diam membeku menahan rasa takutnya. Bagaimana bisa dia tidak ketakutan melihat pria di depannya. Dengan semua penampilannya, pria itu nampak seperti manusia purba. Di mulai dari rambut panjang tak terurus, brewok yang menutupi mulutnya, dan terakhir postur tubuh yang begitu kekar membuat seseorang yang melihatnya pasti lari ketakutan.
"Siapa dia?" Tanya pria itu setelah jarak di antara keduanya hilang.
"itu, anu, em, di, dia adalah pamanmu." jawab sang sipir dengan gugup. Ditatap oleh pria itu membuat dirinya menjadi tremor.
"huh, pamanku?" tanya pria itu dalam benaknya. Dia begitu tidak percaya kalau pamannya datang menjenguknya. Pasalnya, selama bersama pamannya tak pernah sekalipun pamannya mau bertemu bila tidak ada keuntungannya. Jadi dia tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan sang sipir. "Apakah kamu yakin itu pamanku?"
"Begitulah yang diperintahkan padaku," dengan takut-takut ia menatap pria itu. Ketakutan memang hal yang wajar bagi setiap manusia. Terlebih untuk takut kepada penjahat, itu hal yang sangat wajar. Itulah yang dirasakan oleh sipir itu. Dia ketakutan bersama dengan pria itu sekaligus penjahat yang bernama Deka. Mungkin tak hanya dia yang akan ketakutan bersama Deka, melainkan semua rekan sipirnya juga akan ketakutan bersama pria itu.
Sebuah sel yang terletak paling ujung bagian penjara, di sanalah sel Deka berada. Keamanannya pun di jaga dengan sangat ketat. Dimulai dari penjaga khusus sel Deka yang berjarak sekitar 20 meter dari sana. Hingga pintu baja setebal 30 cm. Jadi, tahanan bernama Deka memang ditakuti oleh para sipir. Terlepas dari kasus apa yang dilakukannya, mereka paham bahwa ada alasan kenapa Deka di tempatkan di sana. Bahkan sipir satu lagi yang menjaga Deka hanya bisa diam di tempatnya. Meski ingin menolong temannya ketika teriakan terdengar, tapi dia tidak bisa. Karena dia pun juga takut. Inilah yang mereka sebut dengan resiko pekerjaan, mereka berdua bahkan sempat melakukan pengundian untuk memanggil Deka. Dan temannya yang mendapat kesempatan untuk melakukan pekerjaan itu, jadi memang harus menanggung resiko sendiri.
Deka terlihat keluar dari selnya. Sipir itu segera membuat sebuah kuda-kuda sebagai pertahanan. Tapi bukannya mencoba menahan Deka, dia justru langsung memberikan jalan seluas-luasnya kepada Deka. Bahkan ia memberikan hormat pada Deka seolah Deka begitu penting, dan tentu Deka merasa binggung dengan sipir itu. Namun karena merasa itu tak penting, dia melanjutkan langkahnya menuju ruangan kepala sipir. Sedangkan di belakangnya, teman sipir tadi melangkah lesu mengikuti Deka.
"Apa yang terjadi?" tanya sipir satunya yang melihat temannya begitu lesu. Baru hendak menjawab, sebuah deheman terdengar di telinga mereka berdua. Tak ingin menambah masalah, sipir yang di awal tadi segera berlari menyusul Deka. Namun sebelum pergi menjauh, temannya membisikkan sesuatu kepadanya. "Tenanglah, kawan. Ini terakhir kalinya kita mengurusnya."
Sipir itu menyetujuinya dan melanjutkan langkahnya karena tak mau membuat Deka marah. Kini mereka berdua sampai di ruangan sel tahanan lainnya. Semua tahanan dalam sel itu hanya bisa melihat keduanya berjalan pergi. Tapi mereka baru sadar bahwa tahanan yang dibawa adalah tahanan sel ujung yang tidak pernah bisa mereka temui.
"Hei, bukankah dia tahanan sel expert yang ada di ujung sana?" tanya salah satu tahanan melihat Deka dan sipir melewati selnya.
"Hush, hati-hati kau jika berbicara." Balas teman satu selnya.
"heh, apa salahku? Lagipula apa yang bisa dilakukan pria besar di sana? Membunuhku dengan satu tangan?" Ledek tahanan itu menghiraukan peringatan teman selnya.
"Dasar bocah ingusan," ucap teman satu selnya sambil memberikan sebuah pukulan di belakang kepala tahanan itu. Sontak tahanan itu ingin membalas, tapi ia urungkan. Dia tahu bahwa teman satu selnya adalah penjahat kelas kakap yang bukan tandingannya.
"ah, sialan kau. Memangnya siapa dia?" Tanya tahanan itu memegangi bagian belakang kepalanya.
"heh, bocah tengik macam mana kau bisa tahu siapa dia. Kau itu hanya penjahat kacang. kejahatan kecil yang kau perbuat bisa dengan mudah dihilangkan hanya dengan menyogok beberapa uang. Tapi berbeda dengannya. Bagi penjahat kelas atas, semuanya pasti tahu dia siapa. Seseorang yang begitu disegani oleh musuhnya. Memiliki bawahan yang setia dan patuh. Dan yang terpenting, dia adalah penjahat yang telah melakukan semua tindak kejahatan. Bahkan bila ia tertangkap, suap tidak akan bisa membantunya." terang teman satu selnya bergidik ngeri ketika mengingat orang yang ia ceritakan.
"ceritamu memang hebat, tapi pada akhirnya dia ditahan disini." kata tahanan itu meremehkan Deka.
Teman satu selnya malah tertawa mendengar perkataannya dan merangkulnya. "Hahahaha, beginilah manusia. Tidak akan paham sampai kau rasakan itu sendiri. Kuberitahu kau, dia dipenjara bukan karena ditangkap. Melainkan karena dia menyerahkan diri. Jika kau masih tak percaya, sebutkan nama ini pada bosmu, Rey del desierto."
"ah, keponakanku." Ungkap seseorang ketika neluhat Deka masuk ke dalam ruangan kepala sipir. Pria itu berdiri dan mendekati Deka. ia melebarkan tangannya hendak memeluk Deka. Namun bukannya memerima pelukan hangat itu, Deka malah menahan pria itu agar tidak mendekatinya bahkan tidak mengizinkannya sampai memeluk. Sehingga mereka berdua hanya saling tatap tanpa ada yang berbicara.
"Hei, bodoh. Kenapa kamu tidak memborgol tangannya!" bentak kepala sipir kepada bawahannya.
"em, itu, anu, pak kepala." Sipir itu membeku tak bisa menjawab atasannya. Sedangkan paman Deka dibuat tersenyum dengan kelakuan keponakannya itu.
"Hahahaha, tak perlu khawatir. Kami adalah keluarga. Rasanya aneh jika mengobrol dengan anggota keluarga yang tangannya diborgol. Apakah kau setuju, Deka?" Kata paman Deka menyindir keponakannya. Sontak hal itu membuat suasana di sana menjadi semakin tegang. Deka memang tidak menjawab pertanyaan pamannya, tapi matanya memandang pria itu intens.
"Baiklah, bisakah kalian membiarkan kami berbicara berdua saja," pinta paman Deka kepada kepala sipir dan seorang sipir yang ada di sana. Melihat kecanggungan di antara keduanya, kepala sipir mengambil inisiatif untuk meninggalkan mereka berdua.
"Tapi, tuan?" ucap sipir tadi tidak tega meninggalkan mereka berdua.
"Hei, bodoh. Gajimu ingin ku potong? Maaf tuan atas sikap bawahan saya. Silahkan, kalian berdua boleh berbincang berdua di ruangan ini. Dan kau, ikut aku." Balas kepala sipir menyeret paksa bawahannya yang enggan meninggalkan ruangan itu.
"Apa tujuan utama kamu kemari?" Tanya Deka begitu mereka hanya tinggal berdua.
"Kamu masih tidak berubah, begitu tidak sabaran bila bertemu denganku. Tapi tak masalah, bagiku kau hanya anak nakal yang masih dalam batas wajar." kata paman Deka seraya mengambil posisi duduk yang nyaman di kursi belakangnya. "Kau boleh duduk, Deka. oh, maaf, terserah kamu mau duduk atau tidak aku tidak peduli. Cerita ini akan cukup penting bagimu, jadi mendengarkan secara baik adalah hal yang paling logis untukku sarankan."
Dengan berat hati Deka duduk di kursi yang terletak di depan pamannya itu. Dia memang tidak suka dengan kedatangan pamannya, tapi akan berbeda cerita bila pamannya mau menemuinya setelah 15 tahun lamanya. Karena dia yakin, pasti ada suatu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pamannya hingga ia mau datang kemari.
"Cepat ceritakan!" titah Deka yang lebih memilih untuk mengikuti saran pamannya, yaitu untuk duduk di kursi depan pamannya.
"hehehe, kau akhirnya menurut. Baiklah langsung saja ke intinya. Aku mau kamu melunasi hutangmu padaku." Ucap paman Deka dengan lancar dan jelas, bahkan seketika raut wajahnya menjadi serius. Dia menatap Deka tanpa keraguan sedikitpun, menyiratkan perkataannya barusan adalah sebuah fakta bukanlah bualan. "Ku jelaskan secara singkat, kedua orang tuamu memiliki hutang nyawa padaku. Dan kamu pasti ingat hal itu bukan?"
Mungkin lebih tepatnya, Deka lah yang memiliki hutang nyawa pada pamannya. Hal itu di karenakan pamannya sempat menolong dirinya saat ia masih balita. Pada waktu itu, keluarga Deka sedang tertidur lelap di kediaman mereka. Namun, saat jam menunjukkan pukul dua malam, sebuah api menyala dari dalam rumah. Naasnya api itu cepat menjalar tanpa diketahui oleh para penghuni rumah. Sampai pak satpam yang menjaga diluar berteriak dengan kencang, "Kebakaran! Kebakaran! Tuan yang di dalam cepat keluar! api sudah menjalar hampir kesemua ruangan."
Ayah Deka yang merasa kebisingan dari luar segera bangun, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat kobaran api menyala di rumahnya. Tanpa aba-aba, dia langsung mengendong istrinya yang masih tertidur dan melewati kobaran api di area kamar mereka. Meski sedikit kesulitan, ayah Deka dan Istrinya berhasil keluar dari rumah dan berkumpul bersama para pelayan yang selamat.
"Pak, semua sudah berhasil diselamatkan?" tanya ayah Deka kepada salah satu pelayan yang ada di sana.
"um, semua pelayan berhasil selamat tuan. Tapi,,," Putus pelayan itu tidak berani meneruskan ucapannya takut tuannya marah.
"Tapi, apa?" kali ini bukan ayah Deka yang bertanya melainkan istrinya.
"Sayang, kamu sudah bangun? tenanglah, dia mau menjelaskan semuanya." ucap ayah Deka menenangkan istrinya.
"Tu, tuan muda nyonya. Tuan muda masih di dalam." Jelas pelayan itu ketakutan, karena tuan muda mereka sedang tidur dan dijaga oleh para pelayan. Hanya saja, mereka sangat panik saat itu sehingga lupa membawa tuan muda mereka.
"Apa!!" Teriak pasangan suami istri itu kaget bukan main.
"Hei, kalian berdua. Tenanglah, dia bersamaku." Terang seseorang yang mendekati mereka. Ia tak lain adalah paman Deka.
"Ah, anakku." Ucap mama Deka menyerbu paman Deka dan mengambil Deka dari gendongan pamannya. Ayah Deka juga ikut mendekati anaknya. Dia memeluk kedua orang yang begitu ia cintai, istri dan anaknya.
"Terimakasih, kak. Karena kakak, anak kami selamat. kami pasti akan mengingat ini," Kata ayah Deka dengan tulus.
"Hem, itu hanya kebetulan saja. Ketika aku sedang mau keluar dari rumah itu, aku mendengar suara tangisan darinya. Makanya aku menolongnya," Balas paman Deka berjalan meninggalkan mereka bertiga karena merasa tugasnya sudah selesai.
"Kami pasti akan membalasnya, kak." Lanjut ayah Deka sambil memeluk hangat istrinya. Sedangkan paman Deka menghiraukan perkataan adiknya itu. Dan memang itu hanyalah sebuah kebetulan saja. Tapi tanpa kebetulan itu, Deka tak mungkin ada di sini saat ini.
"Cih, iya aku ingat hal itu. Mama selalu menceritakan kejadian itu. Jadi, kau mau apa? mengambil nyawaku?" tanya Deka dengan berani. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya, bila memang harus mati saat ini juga, dia siap. Baginya hutang memang harus dibayar, bahkan bila nyawa adalah bayarannya.
"Hahahaha, sungguh berani. Ya, aku mau nyawamu. Tapi untuk kematianmu? itu bukan solusi yang kumau. Bibimu akan marah jika tahu kau mati di tanganku. Jadi, aku mau kamu menyerahkan nyawamu dengan cara yang lain." Terang paman Deka mulai mengendorkan pandangannya. Dia lebih santai dari sebelumnya.
"Apa itu?" tanya Deka penasaran, meski di dalam hatinya begitu terenyuh begitu mendengar kata bibinya. Tapi dia mengenyampingkan hal itu, karena dia tahu bahwa kedatangan pamannya bukan sekadar main-main. Melainkan menagih sesuatu yang setara dengan nyawanya.
Dengan smirk yang sulit untuk dijelaskan pamannya berkata, "Sebagai balasan dari hutangmu, kau cukup melakukan hal yang mudah. Yaitu, menikahi seorang wanita."
"Perjodohan?" tanya Deka tidak percaya dengan peryataan pamannya barusan. Dia begitu tidak tidak terima begitu mendengarnya, sampai ia menggebrak meja di depannya. "Tidak, aku tidak mau. Akan kuberikan kamu uang, berapa pun itu."
"Cih dasar sombong. Kau itu tahanan di sini. mana mungkin kamu bisa membayar kepadaku bahkan sepeserpun," Kata paman Deka mengentengkan penolakan Deka. Sebagai pamannya Deka, dia memang tidak tahu menahu masalah dan persoalan hidup keluarga Deka. Seberapa banyak warisan Ayah dan ibu Deka, sampai usaha Deka yang begitu besar pun tidak ia ketahui. Hanya satu hal yang ia ketahui, Deka adalah solusi untuknya. "Kau hanya perlu menikahinya, dan hutangmu lunas. Mudah, menyenangkan, dan kau bisa dapat beberapa uang tambahan."
Mungkin bagi tahanan lain, tawaran pamannya akan langsung disanggupi. Tapi berbeda dengan Deka yang merupakan bos dari mafia terkuat, hal seperti uang bukan persoalan baginya. Lagipula, meski ia sedang berada di penjara, bukan berarti bisnisnya tidak berjalan. Mau ada atau tidak adanya Deka, bisnisnya tetap akan terus berjalan dan menambah penghasilan setiap bulannya.
"Yang kita bicarakan adalah pernikahan. Sebuah ikatan sakral antara individu. Aku tak mau mencemari janji suci itu," Ungkap Deka masih tetap menolak tawaran pamannya.
"Jangan sok suci seperti itu. Kamu tahu, hanya aku saja yang bisa mengeluarkanmu dari sini." kata pamannya setengah berbisik. Pamannya memberikan tekanan pada kalimat terakhirnya, seolah memberitahu kepada Deka siapa yang memiliki kuasa di sini.
"Hah, tak mungkin. Kamu tidak mungkin bisa mengeluarkanku!" Deka benar-benar tidak percaya bahwa pamannya bisa mengeluarkannya.
"Hahahaha," Pamannya tertawa setelah mendengar perkataan Deka. Setelahnya, pandangannya manatap Deka tajam. "Aku bisa mengeluarkan, kau tidak percaya? Baca ini."
Pamannya mengeluarkan sebuah amplop dari balik jasnya, dan kemudian melemparkannya ke depan Deka. Rasanya enggan untuk Deka membuka amplop itu. Tapi karena rasa penasarannya lebih tinggi, ia memutuskan untuk membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat sebuah surat. Dan kemudian ia membaca surat itu dengan seksama. Betapa terkejutnya ia ketika paham bahwa yang dikatakan pamannya adalah benar.
"Bagaimana bisa?" tanya Deka tidak percaya dengan apa yang tertulis di dalam surat itu.
"heh, tentu saja bisa. Kamu tidak tahu siapa pamanmu ini? semuanya bisa di hadapanku." Jawab pamannya seraya menunjuk dirinya sendiri. Sebagai satu family, Deka paham betul kelakuan pamannya. Dia tahu pamannya memiliki relasi dan uang, tapi itu semua tidak akan cukup untuk membebaskannya. Oleh karena itu dia tidak percaya pada surat itu. Pamannya yang menyadari ketidak percayaan Deka mendengus kesal. "anak sialan. Dari dulu kamu masih saja tidak pernah percaya padaku. Coba kamu lihat siapa yang bertanda tangan di sana."
Deka melihat kembali surat tersebut, ia membaca nama seseorang. Betapa terkejutnya dia begitu membaca nama orang itu. Nama yang begitu familiar ia dengar. Bagaimana tidak, orang itu adalah hakim sidang yang memberikan ia hukuman dalam sel terketat dalam penjara ini. "Tidak mungkin."
"Hahahaha, itulah kehebatanku. Semuanya bisa kulakukan. Jadi, apa kau terima tawaran sekaligus pembayaran hutang ini?" Tanya paman Deka setelah gelak tawa sombongnya. Sedangkan Deka, hanya terdiam menatap surat itu. Dia sangat yakin pamannya dapat bantuan dari luar. Pasalnya kejahatan Deka adalah tingkat berat, jadi tidak akan semudah itu menyogok pihak pengadilan dengan uang.
"Siapa itu?" Setelah termenung, ia melontarkan pertanyaan kepada pamannya bukan sebuah jawaban.
"Apa maksudmu? bukannya kamu jelas tahu siapa yang tanda tangan di sana." Jawab pamannya tidak mengerti maksud Deka.
"Bukan itu yang kumaksud." Deka menaruh surat itu di atas meja, kini giliran dia yang menatap pamannya instens. "Siapa dia yang menolongmu?"
Deg, pamannya begitu kaget mendengar pertanyaan Deka. Jantungnya serasa berhenti berdetak selama beberapa detik saking kagetnya. Tentu saja ia kaget, karena tidak ada yang tahu tentang itu kecuali dirinya, pengadilan, dan tentu saja orang yang menolongnya. "Aku tidak ditolong siapapun, eh, salah maksudku, aku tidak mengerti yang kau bicarakan."
"oh, ya, kau tidak mengerti? lalu, bisakah kau jelaskan, kenapa tahanan kelas kakap sepertiku bisa lolos begitu saja hanya dengan uang? perlukah ku jabarkan kejahatan yang telah kulakukan sampai aku masuk ke sini?" Deka memberikan aura yang begitu mengerikan kepada pamannya, sehingga nyali pamannya hilang seketika.
"em, em, nar, narkoba. Itu kejahatan yang kamu lakukan." jawab pamannya ketakutan. Bagi pamannya saat ini, keponakannya adalah monster. Aura yang ditampilkan dalam wajah begitu asri dan nampak membunuh. Makanya saat ini dia hanya bisa menunduk karena perubahan aura Deka.
"Heh, hanya narkoba? bukannya waktu itu kejahatan yang tertera begitu banyak? lalu kenapa semuanya hilang dan hanya tersisa narkoba saja?" Batin Deka mempertanyakan masalah ini. Dia benar-benar tidak paham apa yang terjadi. Bagaimana bisa semua kejahatan yang telah ia lakukan hilang begitu saja dan hanya tersisa penggunaan narkoba.
"Se, sebenarnya, pernikahan ini ditunjukkan bukan untukumu." Sambung pamannya. Sebelum sempat Deka memotong, dia menahan Deka agar tidak bersuara dengan maksud perkataan belum selesai.Dia menghela nafas, dan meminta Deka untuk tenang karena ia akan menjelaskan semuanya. "Biar kujelaskan padamu dari awal. Semuanya berawal sekitar satu tahun yang lalu, ketika aku hendak menjalankan sebuah proyek besar. Segalanya sudah kuperhitungkan dan kuyakini akan berjalan sesuai rencana. Hingga akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan proyek ini."
"Dua bulan berjalan, proyek berhasil mencapai 15% dari target. Terus meningkat secara teratur setiap bulannya. Namun 2 bulan yang lalu, kejadian tak terduga terjadi. Sekretarisku sekaligus kepala lapangan proyek itu ternyata membawa kabur uang proyek tersebut. Tak hanya itu, beberapa bawahanku pun ikut andil dalam pencurian itu. Mereka mengambil 50% dana anggaran proyek, sehingga mau tak mau, aku harus menutup proyek itu." Terang paman Deka panjang lebar. Dia menunjukkan wajah sedih karena kegagalannya. Tapi seketika wajahnya berubah menjadi aneh, antara sedih dan senang.
"Kukira masalah proyek akan selesai dengan penutupan proyek, yah, meski aku rugi besar. Tapi ternyata tidak berhenti sampai di sana. Klien yang bekerja sama denganku tidak terima atas hilangnya uang mereka begitu saja. Mereka menuntut kepada perusahaanku. Bukan, mereka bukan menuntut uang mereka kembali, mereka hanya ingin aku memberikan apa yang mereka mau. Dan bisa kau tebak apa keinginan mereka, ya, mereka ingin perjodohan." Paman Deka mengakhiri ceritanya dengan nafas yang begitu berat.
"Lalu, kenapa harus aku?" Tanya Deka setelah menyimak cerita pamannya.
"Itu karena Altan sudah menikah, sedangkan Dhea, dia adalah seorang perempuan. Jadi dia tidak bisa menikahi anak orang itu. Dan yang tersisa hanya kamu, satu-satunya bagian keluarga yang bisa menolong." Jawab pamannya setengah memohon. Deka tidak tahu, apakah kesedihan di wajah pamannya itu nyata atau hanya sebuah ilusi, ia tak tahu. Tapi entah mengapa perasaan tergerak mendengarnya. "Em, setidaknya lakukanlah ini untuk tantemu."
"Hah, kenapa dengan tante Maya?" Deka langsung panik begitu kata tante terdengar olehnya. Tapi rasa kekhawatirannya menjadi semakin besar begitu melihat pamannya mengeluarkan air mata. "Kenapa dengan tante, paman?"
Dengan berat hati dan suara parau, pamannya menjawab. "Tantemu, Dia terkena kanker."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!