NovelToon NovelToon

Menikahi Pembunuh Istriku

AWALNYA...

"Uhuuk! Uhuuk!"

Juna terjaga dari tidurnya saat mendengar suara batuk dari putrinya, Alsya yang baru berusia dua tahun.

"Uhuuk! Uhuuk!"

Alsya terus saja batuk-batuk tanpa jeda dan gadis kecil tersebut juga kesulitan untuk menelan air yang diberikan oleh Juna.

"Mami mana, Pi?" Tanya Alsya di sela-sela batuknya yang tak kunjung berhenti.

Juna menatap pada jam di dinding yang menunjukkan waktu hampir tengah malam. Namun belum ada tanda-tanda keberadaan Emma di rumah.

Kemana istri Juna itu?

Bilang menemui klien, namun kenapa sampai tengah malam?

"Papi!" Alsya merengek sekali lagi.

"Mami masih dijalan, Sayang! Sebentar lagi sampai di rumah," jawab Juna memberikan harapan pada sang putri.

Batuk-batuk Alsya sudah sedikit berkurang setelah Juna mengusapkan minyak kayu putih ke punggung dan dada putrinya tersebut.

Juna segera membantu Alsya berbaring dan membujuk putrinya tersebut agar mau tidur kembali.

Meskipun sedikit rewel, Alsya akhirnya mau kembali tidur setelah punggungnya diusap-usap oleh Juna.

Setelah Alsya terlelap, Juna mengambil ponselnya dan menghubungi Emma yang entah berada dimana sekarang.

Hujan di luar begitu deras dan petir beberapa kali menyambar di langit.

Juna masih menatap pada air hujan yang menimpa jender kamar Alsya, sembari menunggu panggilannya pada Emma tersambung.

"Halo!"

Suara Emma terdengar kurang jelas karena ada latar suara yang begitu berisik di belakang Emma.

"Em, kau dimana?" Tanya Juna to the point.

"Apa, Jun? Kau bicara apa? Aku tidak bisa mendengarmu!"

"Kau sedang dimana, Em? Alsya mencarimu sejak tadi!" Juna keluar dari kamar Alsya dan berbicara dengan setengah berteriak.

"Halo, Jun! Kau bilang apa tadi? Aku masih di jalan. Hujannya-"

Ciit!

Braaak!

Juna masih sempat mendengar jeritan Emma sebelum panggilan tiba-tiba terputus.

"Halo, Emma!".

"Emma!" Juna berteriak panik karena merasa ada sesuatu yang sudah terjadi pada mobil istrinya.

Pria itu mencoba untuk menghubungi nomor Emma sekali lagi,namun nihil. Nomor tak aktif dan panggilan tak bisa tersambung.

"Emma!"

Juna terjaga dari tidurnya dan langsung duduk di atas yempat tidur, masih dengan nafas yang memburu dan pelih yang membasahi sekujur tubuhnya. Mata pria dua puluh lima tahun tersebut menatap nyalang ke sekeliling kamar seakan sedang mencari sesuatu.

Hati Juna seketika merasa sakit saat mendapati sisi lain tempat tidurnya yang kini hampa tak berpenghuni. Sudah tiga bulan Emma pergi meninggalkan dunia ini. Meninggalkan Juna dan juga Alsya serta memaksa Juna untuk menjadi orang tua tunggal bagi Alsya Attala, putri Juna dan Emma yang baru berusia dua tahun.

Juna menekuk lututnya dan menyusupkan kepalanya di antara kedua lutut, lalu mulai terisak meratapi kepergian Emma yang begitu tragis dan mendadak.

Mobil Emma mengalami kecelakaan di tengah hujan deras, lalu terjun bebas ke dalam jurang dan Emma tidak selamat.

Andai malam itu Juna mengantar Emma, mungkin Alsya tidak akan menjadi anak piatu sekarang.

Namun malam itu Alsya juga sedang sakit, dan tak ada yang menjaga putrinya tersebut. Jadi Juna terpaksa membiarkan Emma pergi sendiri.

Entahlah.

Juna merasa tak berguna sebagai seorang suami.

"Papi," panggil Alsya dari ambang pintu kamar Juna, yang memang selalu Juna biarkan terbuka setiap malam.

Bocah kecil itu menggendong boneka beruang coklatnya mendekat ke arah Juna dan memeluk sang papi yang matanya masih berkaca-kaca.

"Alsya mau tidur sama Papi," ucap Alsya yang masih menyusupkan kepalanya di pelukan Juna.

"Baiklah!"

Juna membenarkan posisi Alsya disampingnya, lalu ikut berbaring dan memeluk putri semata wayangnya tersebut.

Tak butuh waktu lama, Alsya sudah terlelap di pelukan Juna. Namun Juna malah tak kunjung bisa memejamkan mata dan terus saja memikirkan tentang Emma.

Junna merapatkan selimut Alsya, lalu bangkit dari atas tempaf tidur dan mengambil satu jaket hoodie dari dalam almari.

Setelah mengambil kunci mobil, Juna keluar dengan mengendap-endap meninggalkan Alsya yang masih terlelap di dalam kamar.

Baru saja Juna akan membuka pintu depan, teguran sang ibu membuat Juna terlonjak kaget.

"Jun, Alsya mana?"

"Ada di kamar Juna, Bu!" Jawab Juna tanpa menatap pada sang ibu.

"Ini sudah hampir tengah malam. Kau mau kemana?" Tanya sang ibu lagi.

"Cari angin sebentar."

"Juna titip Alsya, Bu!" pungkas Juna seraya membuka pintu depan lalu menyelinap keluar dengan cepat.

Tak butuh waktu lama, deru mobil Juna sudah terdengar dan semakin jauh meninggalkan rumah. Bu Retno yang merupakan ibu kandung Juna hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kelakuan putrinya.

Sejak kepergian Emma, Juna memang jadi sering keluar malam saat sedang banyak pikiran, entah pergi kemana.

****

"Pulanglah, Jun!" Usir Randy yang merupakan teman Juna yang juga seorang bartender di sebuah kelab malam.

"Berikan satu gelas lagi dan aku akan pulang," pinta Juna pada Randy setengah memaksa.

"Kau mau pulang dalam keadaan mabuk, lalu Alsya memergokimu, begitu? Apa yang akan dipikirkan okeh putrimu nanti jika melihat papi kesayangannya mabuk-mabukan seperti ini?" Cecar Randy memperingatkan Juna.

"Jangan menceramahiku! Aku tidak akan mabuk hanya karena minum satu gelas!" Racau Juna yang sudah setengah mabuk.

"Aku harus bekerja dan sedang tidak bisa mengantarmu pulang. Alvin juga sedang ujian sekarang dan tak mungkin menjemputmu pulang. Dia pasti sudah tidur. Jadi berhenti minum dan celatlah pulang sebelum kau tidak bisa menyetir lagi!" Randy menuding ke arah Juna sebelum pria itu berlalu dan melayani pelanggannya yang lain.

"Brengsek kamu, Randy!" Umpat Juna sebelum akhirnya pria itu bangkit dari duduknya dan keluar dari kelab malam tersebut.

Juna berjalan sempoyongan menuju ke mobilnya yang terparkir di depan kelab malam. Pria itu mengusap wajahnya berulang kali agar tetap sadar, sebelum melajukan mobilnya meninggalkan kelab malam tadi.

Juna melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang dan sedikit oleng karena pandangannya yang mulai kabur dan kepalanya yang terasa berputar-putar. Hingga tiba-tiba Juna dikagetkan dengan seorang wanita yang berjalan nyaris ke tengah jalan dan tak sengaja tersenggol mobil Juna.

Apa?

Juna masih sempat melihat wanita itu yang jatuh tersungkur ke atas aspal sebelum kemudian Juna refleks menginjak pedal rem.

Sial!

Juna bergegas turun dan dengan langkah yang sedikit sempoyongan ia memeriksa wanita tadi. Kepalanya terbentur trotoar dan mengeluarkan darah, lalu kaki dan tangannya juga lecet karena jatuh di atas aspal, dan sekarang wanita itu pingsan.

"Nona!" Juna membangunkan wanita yang pingsan tersebut.

Namun wanita itu tak kunjung bangun.

Akhirnya karena merasa bersalah, Juna membawa wanita tersebut masuk ke dalam mobilnya. Tak berselang lama, mobil Juna sudah pergi dari tempat kejadian.

.

.

.

Juna Attala adalah temannya Alvin dan Ghea di "GHEA: Cinta Lama Belum Usai"

Timing di cerita ini sebelum Juna dan Lily kenal Ghea, ya!

Jadi ini semacam flashback saja awal mula hubungan Juna dan Lily.

Semoga tidak bingung.

Terima kasih yang tetap setia dengan karya receh othor.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

LILYANA

Beberapa bulan sebelumnya,

"Mbak, Bapak sakit dan butuh biaya pengobatan," lapor Lily pada seorang wanita yang baru saja membuka pintu rumah besar yang Lily datangi.

"Lalu kenapa kesini? Kau pikir aku peduli pada pria tua itu?" Jawab wanita itu ketus.

"Mbak Lidya!" Lily menangkupkan kedua tangannya pada kakak beda ibu tersebut.

"Aku tidak akan mengeluarkan uang untuk pria tua yang sudah menyakiti ibuku, sampai di akhir hayatnya!" Lidya menuding ke arah Lily.

"Tapi beliau bapak kandung Mbak Lidya! Kenapa Mbak Lidya tega?" Wajah Lily sudah memelas.

"Aku tidak peduli!" Lidya bersedekap acuh.

"Lily pinjam uang Mbak Lidya kalau begitu untuk pengobatan Bapak. Nanti Lily cicil dan Lily kembalikan semuanya," Lily mengajukan ide lain.

"Butuh berapa?" Tanya Lidya to the point.

"Lima belas juta."

"Mau kamu cicil sampai kapan, Ly? Kerjaan kamu aja nggak jelas," sergah Lidya meremehkan.

"Nanti Lily akan mencari prkerjaan lain, Mbak! Yang penting sekarang tolomg pinjami Lily uang un-" negosiasi kakak beradik itu terhenti tatkala sebuah mobil berhenti di depan teras, lalu seorang pria keluar dari dalam mobil.

Wajah Lidya terlihat tidak senang dengan kehadiran pria yang Lily ketahui adalah suami dari kakak tirinya tersebut.

"Malam!" Sapa pria itu tersenyum pada Lily dan Lidya. Bukan senyuman hangat apalagi senyuman ramah, melainkan senyuman menggoda terutama pada Lily yang langsung beringsut mundur dan menjaga jarak dari kakak serta kakak iparnya tersebut.

"Ini adikmu, Dya?" Tanya pria itu pada Lidya.

"Ya!" Jawab Lidya ketus.

"Suruh masuk! Kenapa hanya di teras begini?"

"Ayo masuk...." kedua alis suami Lidya bertaut.

"Siap namamu?" Tanyanya kemudian pada Lily.

"Li-Lily," jawab Lily tergagap.

"Ayo masuk, Lily," suami Lidya hendak meraih tangan Lily, namun cepat disentak oleh Lidya. Dan Lily juga semakin menjaga jarak karena merasa ada yang tidak beres.

"Dia sudah mau pulang! Bukan begitu, Lily?" Lidya memberikan kode pada Lily agar mengatakan iya.

"I-iya, Mas, Mbak. Urusan Lily sudah selesai," jaeab Lily tergagap.

"Mana nomor ponselmu, Ly? Nanti Mbak hubungi lagi!" Lidya menyodorkan ponselnya pada Lily dan meminta adik tirinya tersebut untuk meninggalkan nomor ponsel.

Lily tak membuang waktu dan segera mengetikkan nomor ponselnya di ponsel sang kakak.

"Terima kasih, Mbak! Lily pamit dulu!" Pamit Lily tergesa seraya meninggalkan teras serta rumah besar sang kakak.

Bisa dibilang kalau kakak tiri Lily itu memang mujur nasibnya karena sekarang bisa tinggal di rumah besar seperti ini dan hidup berkecukupan. Padahal dulu Mbak Lidya hanyalah seorang sekretaris di perusahaan Mas Ifan, yang sekarang merupakan suaminya. Tapi nasib memang tak ada yang tahu. Dari sekretaris bisa jadi istri.

Lily sudah tiba kembali ke rumah sakit untuk menemani bapaknya yang masih dirawat. Keluarga Lily memanglah bukan keluarga yang harmonis dan malah bisa dibilang kalau keluarganya adalah keluarga yang amburadul. Dulu, Bapak Lily menikahi ibu saat masih berstatus sebagai suami orang. Istri pertama Bapak adalah Mama kandung Mbak Lidya.

Satu suami hidup bersama dua istri dalam satu atap. Rasanya sungguh-sungguh memilukan, kecuali Lily dan Lidya yang kala itu belum tahu apa-apa dan tetap rukun serta akrab seperti layaknya kakak beradik.

Namun hal itu memang tak berlangsung lama karena tepat saat Lily berusia delapan tahun, Lidya dan mama kandungnya meniggalkan ruamh dan tak pernah kembali lagi. Meskipun setelahnya Lily masih kerap bertemu dengan Lidya yang membantu sang mama berjualan kue saat berangkat maupun pulang sekolah, namun ibu dan anak itu tak pernah lagi pulang ke rumah bapak.

Hingga Ibu Lily meninggal karena sakit pun, Lidya dan mamanya tak pernah kembali ke rumah. Dan hingga detik ini, hanya Lily yang tinggal berdua dengan sang bapak. Lily juga yang harus merawat sang bapak yang mulai sakit-sakitan. Lily yang hanya bekerja sebagai kasir di sebuah toko, merasa kewalahan dengan biaya pengobatan sang bapak. Harta benda juga sudah habis terjual.

Lamunan Lily langsung buyar saat mendengar pesan masuk ke ponselnya. Segera Lily membuka pesan di ponselnya yang ternyata dari sebuah nomor asing.

[Jika aku memberimu tugas dengan imbalan biaya pengobatan bapak, apa kau bersedia? Lidya]

Rupanya itu adalah nomor Mbak Lidya.

[Tugas apa, Mbak?] -Lily-

[Bersedia atau tidak? Nanti aku baru akan menjelaskan tugasmu jika kau bersedia] -Lidya-

Lily tak langsung menjawab pesan dari Lidya dan menimbang-nimbang sejenak.

Tugas apa memangnya yang akan diberikan Lidya kepada Lily?

Bagaimana kalau itu adalah sebuah kejahatan?

Ah, tapi mana mungkin?

Lidya bukan orang jahat. Lidya adalah saudara Lily meskipun mereka beda ibu.

[Baiklah, Lily bersedia, Mbak!] -Lily-

[Temui aku besok di kafe dekat rumah sakit. Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu] -Lidya-

[Baiklah] -Lily-

****

Masa kini,

Lily mengerjapkan matanya saat gadus itu merasakan nyeri dan perih di beberapa bagian tubuhnya terutama di bagian kepala yang terasa berdentum.

Lily berusaha untuk bangun, lalu duduk di atas tempat tidur dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang terlihat benar-benar asing.

Lily dimana sekarang?

Terakhir yang Lily ingat adalah, dia membaca surat kabar lama tentang berita kecelakaan itu, lalu Lily pulang dari tempat kerja sambil melamun, lalu ada sebuah mobil yang melaju tak beraturan, dan....

Lily tak ingat lagi.

"Mami sudah bangun?" Pertanyaan dari seorang bocah kecil membuyarkan lamunan Lily.

Mami?

Sejak kapan Lily menjadi Mami gadis kecil ini?

Lily saja belum menikah.

"Hai, Cantik! Kau siapa?" Lily bertanya pada gadis kecil yang rambutnya dikepang dua dan tangannya menggendong boneka beruang tersebut.

"Aca." Jawab gadis itu cadel.

"Aca?" Tanya Lily memastikan. Gadis itu geleng-geleng kepala.

"Aca!" Ucap gadis itu lebih tegas.

"Iya, Aca?" Lily merasa bingung.

"Alsya!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari seorang pria yang berdiri di ambang pintu kamar.

Lily sontak menoleh pada pria berbadan tegap dan mengenakan kaus warna abu-abu tersebut.

"Dia masih belum bisa menyebut namanya sendiri dengan benar," sambung pria tersebut yang kini sudah melangkah masuk dan mendekat ke arah tempat tidur.

Wajah pria ini terlihat asing dan Lily tak mengenalnya.

"Hai, aku Juna," pria bernama Juna tersebut mengulurkan tangannya ke arah Lily dan mengajak berkenalan.

"Aku Lilyana," jawab Lily seraya menjabat tangan Juna dengan canggung.

"Panggil saja Lily!" Sambung Lily lagi sedikit tergagap.

"Aku tak sengaja menabrakmu tadi malam, Lily. Aku benar-benar minta maaf!" Juna menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai permohonan maaf.

Lily segera meraba keningnya yang kini di perban.

"Apa rasanya masih sakit? Kita bisa ke rumah sakit jika memang masih sakit. Tadi malam aku dan ibu hanya mengobatimu di rumah," tanya Juna selanjutnya yang langsung dijawab Lily dengan gelengan.

"Hanya pusing sedikit. Tapi aku rasa tak perlu ke rumah sakit," jawab Lily bersungguh-sungguh.

"Papi, ini Mami barunya Aca?" Tanya Alsya berbisik-bisik pada Juna. Namun Lily tetap bisa mendengar bisikan gadis kecil tersebut.

"Bukan. Tapi Alsya bisa berteman dengan tante Lily," jelas Juna pada sang putri.

"Mami! Aca maunya panggil Mami!" Ucap Alsya keras kepala.

"Hai, Alsya! Kau umur berapa?" Lily menyapa gadis kecil itu dengan ekspresi manis. Sejak dulu Lily memang suka pada anak-anak. Bagi Lily, mereka adalah makhluk mungil yang menggemaskan.

"Dua!" Jari Alsya menunjukkan angka dua.

"Sudah makan?" Tanya Lily lagi pada Alsya.

"Sudah!"

"Oh, astaga! Aku akan mengambilkan sarapan untukmu, Lily!" Juna menepuk keningnya sendiri dan segera keluar dari kamar sebelum Lily sempat mencegah.

Lily lanjut mengajak Alsya mengobrol sambil merangkul gadis kecil yang kini duduk di sampingnya tersebut.

Lily ingin memangku Alsya sebenarnya, tapi lutut Lily masih sakit. Sepertinya karena terbentur aspal semalam. Jadi, nanti saja Lily memangku Alsya.

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

AKRAB

Lily masih mengobrol dengan Alsya saat Juna kembali masuk ke kamar membawa sarapan untuk Lily

"Kalian cepat akrab," ucap Juna memuji keakraban Lily dan Alsya.

"Kebetulan aku suka anak-anak. Terutama yang cerewet seperti Alsya," jawab Lily seraya tersenyum.

"Aca boleh tidur sama Mami nanti malam, Pi?" Tanya Alsya pada sang papi.

"Alsya tidur di kamar Alsya sendiri, ya! Tante Lily masih sakit kaki dan tangannya. Nanti kalau Alsya tendang nggak sembuh-sembuh," bujuk Juna pada Alsya memberikan alasan.

"Alsya nggak nakal!" Alsya memohon dengan sungguh-sungguh.

"Tapi, Al-"

"Maaf, Jun! Tapi aku rasa tidak masalah jika Alsya tidur disini malam ini. Aku sudah agak baikan," Lily menyela kalimat Juna dan Alsya langsung bersorak senang.

"Tapi bagaimana kalau Alsya menendang kepalamu atau kakimu? Dia tidak bisa diam saat tidur," Juna masih beralasan.

"Aku akan baik-baik saja! Jangan membuat putrimu marah atau kecewa!" Jawab Lily bersungguh-sungguh.

"Baiklah, jika kau memaksa," Juna akhirnya memilih untuk mengalah dan mengabulkan permintaan Alsya.

"Aku suapi," tawar Juna seraya memberikan sarapan Lily.

"Aku bisa makan sendiri," tolak Lily halus. Gadis itu segera mengambil makanan yang tadi dibawakn Juna dan mulai menyantapnya.

Juna hanya menatap pada Lily yang terlihat lahap menyantap sarapannya. Sesekali Lily juga mengangguk atau menanggapi cerita Alsya yang cerewet sekali. Padahal kalau dipikir-pikir, cerita yang disampaikan Alsya hanya cerita yang diulang-ulang, namun Lily seperti tak bosan untuk terus menanggapinya.

Kalau Juna, kadang malas sekali mendengarkan cerita Alsya yang berulang-ulang seperti itu. Juna akan langsung mengalihkan perhataian Alsya dan menyuruh putrinya melakukan kegiatan lain agar bibirnya berhenti bercerita.

Huh!

Juna sepertinya harus banyak belajar dari Lily.

Lily sudah menghabiskan sarapannya, dan Juna segera mengambil piring bekas sarapan dari tangan Lily.

"Oh, ya! Kau mau menghubungi keluargamu, Ly?" Tawar Juna yang akhirnya ingat, karena sejak Lily bangun, gadis ini tak sedikitpun membahas keluarganya.

Lily terdiam sejenak dengan pertanyaan Juna.

"Mulai sekarang, kita tak ada hubungan apa-apa lagi!"

"Aku sudah berusaha untuk melindungimu. Jadi jika nanti kau tertangkap, itu salahmu sendiri dan jangan membawa-bawa namaku!"

"Jangan menemuiku lagi, atau datang ke rumahku lagi!"

"Lily!" Teguran Juna menyentak lamunan Lily.

"Eh, iya! Aku tidak punya keluarga," jawab Lily tergagap.

"Bapak meninggal satu bulan yang lalu, jadi aku tak punya siapa-siapa lagi," sambung Lily yang raut wajahnya sudah berubah sendu.

Juna tak jadi membawa piring kotor keluar dari kamar dan segera mengusap punggung Lily.

"Maaf, jika pertanyaanku menyinggungmu."

"Tidak apa! Aku baik-baik saja," jawab Lily lagi memaksa untuk mengulas senyum di bibirnya.

"Kau tinggal dimana? Atau bekerja dimana?" Tanya Juna lagi yang langsung membuat Lily ingat pada kalimat manajer toko kemarin sore.

"Maaf, Lily! Kami benar-benar menghargai kerja kerasmu selama ini. Namun toko sedang kurang baik, dan beberapa karyawan terpaksa dirumahkan." Manajer toko memberikan sebuah amplop putih untuk Lily.

"Itu uang pesangonmu, semoga kau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik ke depannya."

Ya, Lily baru saja di-PHK dari pekerjaannya sebagai kasir.

Setelah satu bulan kepergian Bapak, sekarang Lily juga di-PHK dari pekerjaannya.

"Aku baru saja di-PHK dari tempat kerja," jawab Lily akhirnya seraya menunduk sedih.

Juna semakin menatap prihatin pada Lily.

"Mami kenapa sedih?" Tabya alsya polos yang sedari tadi masih duduk di dekat Lily.

"Tidak apa-apa, Alsya! Mami hanya-"

"Eh, maksudnya tante hanay kelilipan," Lily mengoreksi jawabannya karrna sudah lancang menyebut dirinya sebagai mami dari Alsya.

Ya, meskipun sebenarnya Lily juga tak keberatan menjadi Mami untuk Alsya, namun Lily sadar kalau ia tak punya hak apapun. Lily bahkan hanya orang asing yabg tak sengaja ditabrak oleh Juna. Mungkin sore ini Lily akan pergi dari rumah ini saja dan tak perlu terlalu lama merepotkan Juna dan Alsya.

"Alsya main di luar dulu, ya! Tante Lily biar istirahat," bujuk Juna pada Alsya dan kali ini putrinya tersebut menurut dan mengangguk, lalu keluar bersama Juna.

Kini hanya tinggal Lily sendirian di dalam kamar. Lily mencoba menggerakkan kakinya yang sedikit kaku untuk turun dari atas temoat tidur.

"Auuww!" Lily meringis menahan perih dk kedua lututnya. Gadis itu membuka sekimut dan mendapati luka lecet di kedua lututnya yang cukup lebar dan masih basah, meskipun terlihat sudah diobati.

Ya ampun!

Bagaimana Lily akan pamit pergi kalau lututnya terluka begini?

Pasti Lily juga akan terpincang-pincang jalannya.

Tapi Lily tetap harus pergi, jadi wanita itu memaksa untuk turun dari atas tempat tidur sambil meringis menahan perih. Lily mencoba berdiri tegak seraya berpegangan pada dinding kamar.

"Auuuuuw!" Lily kembali meringis sambil mencoba melangkah. Namun baru dua langkah, pintu kamar tiba-tiba menjeblak terbuka dan membuat lily kaget hingga hilang keseimbangan.

"Lily!" Juna refleks menangkap tubuh Lily sebelum jatuh terduduk di lantai kamar.

"Kau mau kemana? Ke toilet?" Tanya Juna karena mendapati Lily yang turun dari atas tempat tidur.

"Hah? Eh, iya! Aku mau ke toilet," jawab Lily tergagap yang terpaksa berbohong pada Juna.

"Kenapa tidak memanggilku?" Decak Juna seraya menuntun Lily ke arah kamar mandi yang menyatu dengan kamar.

Juna hanya mengantar sampai ke depan pintu, lalu membiarkan Lily masuk sendiri dan menutup pintu.

Selang lima menit, pintu sudah kembali dibuka dan Lily kelar sambil berpegangan pada dinding.

"Aku bisa sendiri, Jun!" Tolak Lily saat Juna hendak memapahnya.

Juna tak memaksa dan membiarkan Lily kembali ke atas tempat tidur sendiri, namun pria itu tetap mengawasinya dan berjaga-jaga agar Lily tak jatuh.

"Luka di lututmu belum kering, jadi mungkin masih sakit aat dipakai bergerak. Jadi kau istirahat saja dulu," Terang Juna sekaligus memberikan saran untuk Lily.

"Tapi akan kaku jika aku tak bergerak," ujar Lily memberikan alasan.

"Kau bisa keluar dari kamar jika bosan, ada Alsya di depan dan ibu yang kadang datang kesini untuk menengok Alsya," Ujar Juna memberikan ide untuk Lily.

"Maminya Lily kemana?" Tanya Lily refleks, sebelum kemudian gadis itu terlihat menyesal telah menanyakan hal sensitif tersebut.

"Sudah meninggal tiga bulan yang lalu," jawab Juna yang sudah terlihat tegar.

"Maaf, Juna! Aku tidak bermaksud,"

"Tak apa. Bukankah kau juga baru saja kehilangan orang tuamu. Kita sama-sama baru saja kehilangan orang yang kita cintai," tukas Juna yang sudah mengulas senyum pada Lily meskipun terlihat dipaksakan.

"Oh,ya! Aku tadi mau mengambil boneka Alsya yang tertinggal," Juna menunjuk ke arah boneka beruang coklat yang ada di atas tempat tidur. Segera Lily mengambil dan memberikannya pada Juna.

"Alsya tak bisa tidur kalau tidak ada ini," sambung Juna lagi yang langsung membuat Lily mengangguk dan tersenyum.

"Aku dulu juga seperti itu hingga usiaku sepuluh tahun. Lalu bonekaku hilang dan sejak saat itu aku tak lagi bergantung kepadanya," cerita Lily sedikit terkekeh.

Juna ikut terkekeh.

"Aku ke Alsya dulu. Kau bisa memanggilku jika butuh sesuatu danntak perlu sungkan," pesan Juna sebelum kekuarvdari kamar dan kembali meninggalkan Lily sendiri.

Lily hanya menghela nafas dan mendadak jantungnya berpacu dengan cepat.

Aneh sekali!

Lily menggeleng-gelengkan kepalanya dan memilih untuk mencari sesuatu di laci nakas yang mungkin bisa ia baca. Namun bukannya menemukan buku di laci, Lilh malah menemukan sebuah bingkai foto dengan foto di dalamnya yang membuat Lily terkejut bukan kepalang.

Tidak mungkin!

.

.

.

Terima kasih yang sudah mampir.

Jangan lupa like biar othornya bahagia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!