NovelToon NovelToon

Dear Khadijah

Start the story

...1.Start the story...

Khadijah.

Namanya Aishleen Khadijah. Orang biasa menyapa dengan sebutan Kha. Unik bukan? Tapi tak seunik penampilannya. Dia bukan perempuan istimewa, juga bukan perempuan biasa. Sama seperti muslimah pada umumnya, Kha selalu mengenakan pakaian tertutup dengan hijab menjuntai menutupi dada.

Hidupnya nyaris sempurna. Memiliki madrasah hebat yang selalu membuat Kha tak pernah berhenti bersyukur telah menjadi anak dari kedua orang tuanya. Ia juga selalu berperilaku baik agar menjadi panutan yang baik pula bagi kedua adik laki-lakinya.

Usia Kha telah menginjak angka seperempat abad. Tapi hidupnya hanya disibukkan oleh Ibadah, pendidikan dan keluarga. Tidak ada cinta lain yang ia kenal selain cinta kepada Sang pencipta, Rasulullah, serta keluarga. Rasa malu yang terlalu tinggi, secara tidak langsung membangun benteng diri untuk tidak memiliki, menjalin, atau bahkan sekedar mengenal dengan lawan jenis.

Kini Kha telah menyandang gelar S.pd setelah hampir 4 tahun menempuh pendidikan di kota Jogjakarta. Namun apa yang ia tekuni selama ini, tak berbanding lurus dengan keinginan yang menjadi impiannya selama ini. Alih-alih melakoni pekerjaan sesuai bidangnya, Kha lebih memilih membuka sebuah toko bunga.

“Teteh yakin tidak mau meneruskan pekerjaan Teteh sebagai asisten dosen?” tanya Azzam, Abi dari Khadijah. “Kesempatan bagus, Teh. Kamu bisa belajar jadi dosen dari kamu menjadi asisten terlebih dahulu.”

“Insha Allah Teteh yakin, Abi,” jawab Khadijah meyakinkan Azzam, “Sudah lama Teteh ingin buka toko bunga sendiri.”

Azzam dan Alsea saling berpandangan, berdiskusi menggunakan tatapan tanpa ucapan. “Kalau Teteh memang serius ingin buka usaha, kenapa Teteh tidak ambil alih butik Ummi saja? Atau Teteh bisa bantuin Abi dikantor, itung-itung sambil belajar,” timpal Alsea.

Khadijah menggeleng mantap. Keinginannya membuka toko sendiri sudah ia rancang sejak masih duduk dibangku menengah atas. “Butik sudah diurus sama Tante Mia, lagi pula ada Aludra sama Adara yang bantu. Insha Allah Abi masih sehat dan semoga selalu di limpahkan kesehatan untuk mengurus kantor. Ada Syam sama Gam yang lebih cocok buat bantu Abi nantinya.”

“Teteh ingin buka toko sendiri, pakai uang tabungan sendiri, merintis dari nol dan semoga semakin berkembang seiring doa dari Umi sama Abi.”

“Insha Allah Abi sama Umi akan selalu mendukung dan mendoakan apapun keputusan Teteh. Jadi, dimana mau mulai buka toko bunganya?”

“Jakarta....”

...🌼🌼🌼🌼🌼...

Setelah mengantongi izin dari Abi dan Ummi untuk membuka toko di Jakarta, Kha tak ingin membuang waktu. Hari ini juga, Kha berangkat ke Jakarta. Entah kenapa Jakarta menjadi pilihannya, padahal kota kelahirannya pun tak kalah mengagumkan. Yang pasti, kota metropolitan itu selalu meninggalkan kesan manis saat ia mengunjungi nenek kakeknya tiap libur panjang menyapa.

“Teteh naik pesawat aja ya, Nak. Kalau naik kereta api sampai di Jakartanya tengah malam. Ummi khawatir Om Abyaz telat jemput nanti,” ujar Ummi kurang setuju dengan keinginan dirinya untuk naik kereta api.

Kha memeluk Ummi dari belakang, mendaratkan dagu di bahu Ummi “Ummi... Anak Ummi udah gede gini loh. Ummi nggak usah khawatir ya, Kha cuman pengen nikmati pemandangan selama perjalanan saja, sudah lama nggak naik kereta juga,” tukas Kha. “Lagian Om Abyaz pasti udah nunggu sebelum aku sampai. Tahu sendiri Om Abyaz takut sama Abi,” Kha terkekeh ditelinga Ummi. Membuat Ummi menggeliat kegelian.

“Kamu ini!” Ummi mencubit ujung hidung anaknya. “Kalau sudah ada maunya mirip banget sama Abimu. Terserah maunya kamu, Nak. Tapi pesan Umi, selalu jaga diri, jangan pernah tinggalkan shalat. Begitu pekerjaan Abi bisa ditinggal, Umi sama Abi langsung nyusul ke Jakarta.”

Kha mengecup lembut punggung tangan Umi. “Umi tenang saja, Kha akan selalu ingat pesan Abi sama Umi.”

Sore itu Khadijah diantarkan oleh Syamier menuju stasiun. Tiba di stasiun, rintikan gerimis menyambut kedatangan kakak beradik itu. Meski tak deras, tetap saja membuat keduanya basah.

“Syam anterin sampai sini aja ngga papa 'kan, Teh?”

“Gapapa, Syam. Kamu tinggal saja, nanti ketinggalan kelas lagi.”

“Fi amanillah, Teh. Salam buat Tante Mia sama Om Abyaz,” ujar Syamier lalu meninggalkan Kakak perempuannya.

Syamier hanya mengantarkan sampai Kha selesai melakukan boarding pass. Setelahnya, adik laki-lakinya itu pamit pergi karena harus kembali ke kampus.

Diantarkan kereta api Argo tugu, Kha meninggalkan stasiun Wates dengan tujuan stasiun pasar Senen. Mendapat tempat duduk tepat disamping jendela membuatnya menyunggingkan senyum puas. Tak salah memilih naik kereta api pikirnya, pemandangan Senja sore hari akan menemani dirinya menghabiskan hari itu.

Tapi ekspetasinya sama sekali tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Beberapa kali Ia mendengus sebal, belum sampai setengah jam meninggalkan Wates, yang dipikir gerimis akan berhenti berganti dengan Senja, atau setidaknya muncul pembiasan cahaya kemudian membentuk sebuah busur cahaya dengan tujuh warna dasar. Kini justru pandangannya buram, kucuran air hujan semakin deras menutupi keseluruhan jendela.

Alhasil, selama 9 jam lebih 45 menit perjalanan Kha habiskan untuk mengaji, mendengarkan murottal, selebihnya tidur.

Kha menjejakkan kakinya di stasiun pasar Senen saat hari sudah berganti. Udara dingin dari sisa-sisa guyuran hujan menyambut kedatangannya di kota padat merayap. Sejenak ia rebahkan tubuh bersandar dibangku stainless. Menunggu adik dari Umminya yang sampai saat ini belum juga terlihat.

Tak selang lama, notifikasi pada ponselnya pun berbunyi.

Kha, Om tunggu diparkiran selatan. Kaki Om sakit jadi nyeri buat jalan.

Helaan napas berat terdengar, Kha bangkit dan berjalan sembari menyeret koper.

Ia keluar melewati pintu selatan yang mengarah ke parkiran kendaraan roda dua dan roda empat setelahnya. Jalannya agak terseok karena keberatan menyeret koper, menenteng Tote bag, sekaligus membawa tas jinjing berisi oleh-oleh untuk Tante dan Om-nya.

Seorang perempuan bertopi dengan balutan kemeja kotak-kotak menyenggol dirinya dari arah belakang. Dengan sigap Kha menyadari jika perempuan tersebut tak hanya menyenggol, tapi juga ingin merebut Tote bag yang tersampir di bahunya.

“Eh, apaan ini!” pekik Kha mempertahankan tali Tasnya. Untung saja Ia meningkatkan kewaspadaan saat tahu akan melewati jalanan agak sepi.

Perempuan bertopi itu mendekatkan wajahnya. “Serahin barang Lo atau....” Kha sadar ia sedang diancam. Tapi Kha tak merasakan adanya benda tajam yang menyentuh pinggulnya. Hanya terasa seperti kepalan tangan.

Yakin tidak ada benda yang dapat melukai dirinya, Kha lantas melawan perempuan yang akan merampas tasnya. “Lepasin tas saya!”

“Saya bilang lepasin tas saya atau saya akan teriak!” ancam Kha dengan suara lantang.

Tangannya masih menggenggam erat barang-barang yang dibawa saat seorang pria dengan Hoodie, topi, dan celana serba hitam datang menghampiri mereka. Kha semakin cemas dan ketakutan.

Siapa pria itu? Teman perempuan ini kah? Atau....

“Lepasin Tas dia! Kayak nggak ada pekerjaan yang lebih bener aja!” Kha sedikit bernapas lega mendengar penuturan pria tersebut.

Perempuan bertopi itu lantas berdecak kesal. “Sialan! Ganggu urusan orang aja, lo!” gertak perempuan itu.

Pria itu mencengkeram kuat tangan perempuan bertopi itu. Mungkin karena merasa mendapat lawan yang tidak imbang, perempuan itu akhirnya menarik paksa tangannya. Berniat untuk pergi dari tempat, tapi saat perempuan itu balik badan, beberapa orang yang menyadari kericuhan tersebut mendatangi tempat dimana mereka berdiri.

“Mau nyopet ya, Lo!”

Kha??

...2. Kha??...

Biru.

Tiin...Tiin....

Brumm,brumm....

Suara klakson baik kendaraan roda dua maupun empat saling bersahutan di tengah padatnya jalanan ibu kota. Hingar bingar kehidupan kota metropolitan seakan tidak pernah tidur, pada jam malam seperti saat ini saja, kemacetan masih menjadi hal yang tidak dapat dihindari.

“Damn!” umpat Biru dari atas motor sport yang hampir saja bersenggolan dengan pemotor lain.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari saat ia tiba di area parkir stasiun pasar Senen. Tujuan Birudatang ke stasiun malam menjelang pagi ini guna menjemput Barid. Adiknya baru datang dari Jawa Timur, setelah mendaki bersama klub pecinta alam ke gunung yang memiliki tinggi 3.677 mdpl itu.

Guyuran hujan semalam tadi, masih menyisakan udara dingin dan genangan air dimana-mana. Biru sampai harus melipat ujung celana panjangnya sampai batas lutut, agar terhindar dari cipratan air.

Biru merogoh waist bag, meraih ponsel dan mendial nomor Barid. “Udah dimana?” tanyanya setelah seseorang di seberang menjawab telfonnya.

Di peron, Bang! Tunggu bentar. jawab Barid kemudian memutus sambungan sepihak. Apalagi yang bisa Biru lakukan selain menggerutu. Ia sudah sangat lelah setelah seharian merenovasi ruko yang akan digunakan sebagai studio fotonya. Lalu sekarang, Ia masih harus menunggu adiknya di ruang tunggu yang bising dan penuh dengan kepulan asap rokok. Membuat dirinya sedikit sesak untuk bernapas.

Lagi dan lagi! Definisi dari kata sebentar tak pernah berbanding lurus dengan waktu yang menunjukan telah lebih dari 20 menit Ia habiskan di ruang tunggu. Barid belum juga tampak batang hidungnya, membuat Biru terpaksa menarik diri dari ruang tunggu, sebelum nantinya Ia benar-benar tidak dapat bernapas.

Biru Kembali ke area parkir dan mengambil tempat di bawah pohon beringin yang rindang. Disini ia lebih leluasa untuk mengambil oksigen murni sebanyak mungkin tanpa campuran asap bakaran nikotin.

Tak selang lama, saat jarinya sedang asyik berselancar di atas layar 6,46 inci, terdengar suara riuh dari arah belakangnya.

“Eh, apaan ini!” teriak seorang perempuan.

Suara itu menarik perhatiannyanya untuk menoleh ke arah sumber suara. Terlihat perempuan berhijab sedang berusaha mempertahankan Tote bag dari cekalan tangan perempuan bertopi.

“Lepasin tas saya!”

“Saya bilang lepasin tas saya atau saya akan teriak!” ucap perempuan berhijab itu untuk kesekian kalinya.

Sebenarnya Biru orang yang paling enggan berurusan dengan orang asing. Tapi ia juga tidak dapat mengesampingkan rasa kemanusiaannya. Segera ia selipkan ponsel ke dalam saku dan menghampiri dua perempuan berbeda style itu.

“Lepasin tas dia! Kayak ngga ada kerjaan yang lebih bener aja!” ucapnya sambil mencengkeram tangan perempuan bertopi.

Perempuan bertopi itu mendengus kesal seraya membulatkan mata dan bergumam. “Sialan! Dasar pengganggu!”

Mungkin karena merasa mendapat lawan yang tak seimbang, perempuan itu hendak melarikan diri. Namun sayang seribu sayang, perbuatannya memperoleh karma secara instan. Beberapa orang di tempat menyadari kericuhan tersebut, mereka mendekat ke TKP dan segera mengerumuni si perempuan pencopet.

“Mau nyopet ya, Lo!” seru seorang pria.

“Iya nih! Pasti mau nyopet dia!” satu pria lain bertubuh kekar mencekal lengan si pencopet.

Dalam waktu singkat, keriuhan tersebut menarik perhatian orang-orang yang membuat kerumunan semakin bertambah.

“Cewek ini memang copet!” seru pria lain.

“Iya bener! Gue sering lihat dia lagi operasi [aksi nyopet] di daerah sini! udah bawa aja ke kantor polisi!” usul pria dengan jaket hijau, seorang driver ojeg online yang biasa mangkal di daerah stasiun.

Menyusul pria lain yang memprovokasi keadaan dengan seruannya, “Hajar saja biar kapok! Gundulin-gundulin!”

Biru masih berdiri di tempat tanpa melakukan apa pun kecuali menyaksikan cara orang menghakimi. Belum sampai taraf main tangan pikirnya. Pandangannya teralih ke arah samping, di mana perempuan yang hampir saja kehilangan tasnya masih berdiri kaku sembari menggigit ujung jari. Namun kembali netranya menoleh ke arah lain begitu terdengar suara teriakan dari pencopet itu.

“Auu! Sakit!” keluh pencopet tadi. Ternyata pria yang tadi menyerukan kata hajar, gundulin, mendaratkan sepatu di kepala si pencopet.

Biru langsung mendekat dan menarik pria tersebut agak menjauh. “Jangan main hakim sendiri, Bang!” bentaknya. “Kita serahin saja ke pihak berwajib,” sambung Biru.

“Jangan, Bang! Jangan. Gue minta maaf, Bang!” ucap pencopet yang kedua tangannya masih dalam genggaman pria kekar.

“Halah ba cot! Ketangkep aja baru minta maaf lo! Kalau nggak besok-besok pasti operasi lagi!” sahut si pria provokator.

Pencopet itu tampak kusut, wajah nya tak lagi segarang saat tadi Ia baru menegurnya. Biru masih berdiri di samping pencopet, menghalau orang di belakang dirinya yang masih siaga dengan sepatu di tangan.

“Bener, Bang! Saya nggak bohong. Ini pertama kalinya saya nekat nyopet. Terpaksa saya juga ngelakuin ini buat makan adik saya.”

Bersamaan pria provokator menjawab dengan bahasa kasar, dua orang petugas keamanan datang dan mengamankan pencopet. So late!

“Mbaknya yang mau di copet?” tanya salah seorang petugas dengan seragam hitam putih.

Perempuan berhijab itu tampak masih syok. Terlihat dari caranya menjawab dengan kalimat terbata. “I-iya, Pak.”

“Ikut kami ke kantor, Mbak. Buat dimintai keterangan,” perempuan itu hanya mengangguk lalu meraih koper dan mengikuti petugas .

Biru menghela napas. “It's really bad day!” gerutunya sembari menyugar rambut lalu kembali menutupinya dengan topi. Ia menarik kaki berniat kembali ke tempat parkir, tapi Barid sudah lebih dulu berada dibelakangnya.

“Itu rame-rame ada apa, Bang?” tanya Barid mengejutkan.

“Ada yang hampir kecopetan,” Biru berbalik badan, langkahnya terhenti saat merasakan ada sesuatu yang terinjak. Ia menunduk lalu meraih benda kotak berwarna pink nude.

Ternyata sebuah dompet, dibukanya dompet tersebut untuk melihat identitas didalamnya.

“Aishleen Khadijah.” gumam Biru.

Barid menepuk bahu dan melongok dari arah samping, “Itu apa?”

“Dompet Sama... Apa sih ini?” Biru mengangkat sebuah benda seperti jam tapi berukuran lebih kecil.

“Itu tasbih digital elah! Begitu doang kagak ngerti. Kelewatan banget lu, Bang.”

Biru mengabaikan cemoohan Barid. “Kayaknya punya cewek yang hampir kecopetan tadi.”

“Ya udah Abang kejar orangnya. Takut dia nyariin ntar.”

Biru lantas berlarian kecil mengejar perempuan yang dibawa petugas tadi. Melewati lorong, dimana lorong tersebut tersambung hingga ruang keamanan. Ia masih dapat melihat kibaran jilbab berwarna hitam memasuki kantor penjaga.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak ingin membawa masalah ini sampai kemana pun. Saya sudah memaafkan Mbaknya, toh tidak ada barang saya yang hilang.” samar terdengar suara lembut gadis itu dari balik ruang.

Biru mencibir seorang. “Memaafkan? Mudah sekali memaafkan orang.”

Ia duduk di kursi besi yang menghadap ke ruang petugas. Menunggu perempuan itu keluar dari ruangan. Sesekali sudut bibirnya terangkat saat mendengar percakapan dari ruangan didepannya.

Bagaimana bisa ada orang yang mudah sekali memaafkan kesalahan orang lain. Coba kalau tadi pencopet itu berhasil membawa pergi barang-barangnya, apa masih bisa semudah itu memaafkan orang? Naif sekali.

Biru bangkit dari kursi saat kedua perempuan itu keluar bersamaan dari ruang petugas keamanan.

Ia mengulurkan barang temuannya, tapi yang diarahkan justru sibuk mengobrak-abrik isi tas.

“Kenapa, Mbak? Ada yang hilang?” tanya si pencopet. “Saya belum ambil apa-apa kok.” sambungnya lagi.

“M-mbak....” Biru mencoba memanggil gadis itu.

“Sebentar.” balasnya tanpa menoleh.

“Cari ini?” Ia menunjukkan dompet beserta tasbih digital dalam genggamannya. “Tadi jatuh di depan.” terangnya.

Gadis itu menoleh sejenak kemudian mengambil barangnya. “Oh iya. Saya kira hilang, terima kasih banyak, Mas!.” ucapnya kemudian membuka dompet, mengambil beberapa lembar uang lalu di sodorkan ke gadis di depannya.

“Ini ada sedikit uang buat kamu belikan makan adik kamu. Diterima ya....”

“Ngga usah Mbak! Saya masih sanggup bekerja buat cari makan. Tadi saya terpaksa nyopet karena memang mendesak. Ini juga pertama kali buat saya, dan akan menjadi yang terakhir kali juga.”

Biru hampir menertawakan jawaban si pencopet. Jawaban klasik yang biasa penjahat lontarkan setelah tertangkap basah. Ia gelengkan kepala seraya melangkah pergi tanpa pamit.

“Sepertinya kita seumuran. Kamu bisa panggil aku Kha. Ini kamu pegang saja, aku titip untuk adik-adik kamu.”

Langkahnya terhenti. Kha??

Kepalanya dimiringkan kesamping. Matanya memicing hingga membuat kedua alis bertemu.

Seperti tidak asing. Kakinya kembali melangkah. Membawa segenap rasa penasaran yang tak dapat diterka. Meninggalkan kedua perempuan itu dan kembali menemui Barid.

▪️ Terima kasih atas dukungan. jangan lupa tinggalkan like, coment ya....

Ig. @emyaysel

Dia Biru.

...3. Dia Biru....

Biru.

“Lima menit lagi....”

“Bentar, Ma. Kepala aku muter-muter kalau langsung bangun.”

Sesaat kemudian.

“Ma... Liat Sepatu aku yang hitam nggak?”

“Topi sama dasi aku Mama taro mana?”

“..., Tadi nggak ada kok! Kalo Mama yang cari kenapa mendadak ada?!”

Matanya terpejam, tapi mulutnya menyunggingkan senyum. Dialah Barsha, anak bungsu dirumah yang tingkah lakunya membuat suasana rumah menjadi ramai. Gadis kecil yang masih berseragam putih abu, kelas 12 itu selalu ada saja ceritanya setiap pagi. Mood booster nya keluarga. Kalau kata slogan 'Nggak ada Lo nggak rame'

Biru bergegas bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Hari ini ia akan melanjutkan pekerjaannya yang kemarin sempat tertunda, menyelesaikan membereskan ruko. Selesai dengan ritualnya, ia turun ke ruang makan menghampiri yang lain.

“Pagi Ma, Pa.” sapa Biru kepada Orang tuanya.

“Pagi Sayang, kamu mau sarapan nasi goreng kemangi apa roti oles?” tanya Senja.

“Aku ngga disapa?” protes Acha, panggilan kesayangan keluarga untuk tuan putri di rumah.

Biru mengacak-acak ujung poni Acha seraya mengecup pelan rambutnya. “Pagi bocil tukang ngambek.”

Acha melipat bibir dengan mata memicing, “ishh! Aku bukan bocil, Abang! Acha sudah kelas 12 kalau Abang lupa.”

“Roti saja, Ma.” Biru menerima dua lembar roti tawar yang Senja berikan, lalu mengolesinya dengan selai kacang.

Di rumah ini hanya Barid yang kebiasaan absen makan bersama. Kesibukan Barid bahkan melebihi kesibukan Papa yang hampir seluruh waktunya dihabiskan di kantor. Selain tengah menyiapkan tesis, anak itu juga disibukkan dengan keanggotaannya di berbagai klub. Seperti klub mobil sport, komunitas pecinta alam, komunitas seni, juga masih banyak lainnya.

“Kamu yakin satu ruko cukup buat studio photo kamu, Bi?” tanya Awan, Papa Biru.

“Cukup, Pa. Buat permulaan Biru nggak mau muluk-muluk.”

Harmonis. Satu kata yang menggambarkan potret keluarga mereka. Berbeda dengan Barid dan Barsha, meski Ia anak kandung dari Papa, tetap saja Biru adalah anak sambung dari Mama Senja. Mama kandungnya sendiri yaitu Jihan. Perempuan yang beberapa tahun lagi akan menginjak usia setengah abad, tapi masih eksis di dunia modeling.

Peribahasa Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, cocok untuk menggambarkan tentang dirinya.

Karena siapapun pengendali atasnya, nyatanya obsesi dari perempuan yang telah melahirkan dirinya, juga menjadi obsesinya kini.

Sejak kecil, sesekali Biru mengikuti Jihan ketempat dimana Mamanya itu bekerja. Melakukan syuting iklan atau sekedar pemotretan. Hal tersebut membuat dirinya tertarik dengan lensa kamera dan segala keramaian suasananya. Itu pula yang mengantarkan Biru mengambil langkah lebih memilih membuka studio foto ketimbang bekerja di kantor Papanya.

Biru memarkirkan motor sport tepat di depan Studio foto miliknya, ruko yang Mama Senja belikan untuk dirinya mengawali karir. Sempat tak diberi izin oleh Papa, tapi berkat Mama Senja semua berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan. Mama Senja best ever after

“Lama banget Cok! Ampe garing gue nunggunya.” keluh Gentar, Sahabat sejak sama-sama duduk dibangku Sekolah menengah sekaligus akan menjadi partner kerja.”

Biru melepas helm lalu menghampiri Gentar yang sedang berjongkok didepan ruko. “Emang gue belom ngasih kunci cadangan ke elu?” jawab Biru terkekeh. Ia sendiri lupa memberi kunci cadangan ruko pada Gentar.

Gentar melemparkan topi kearah Biru seraya menggerutu. “Hasww!”

Ruangan atas Ia gunakan sebagai rumah atau tempat istirahat. berisi dua kamar yang akan digunakan Gentar nantinya ketimbang anak itu Nge kost. ruangan bawah terbagi menjadi empat tempat dengan Sekat sebagai pembatasnya. Masing-masing ruang disiapkan beberapa kamera, Lensa dengan berbagai bentuk dan ukuran, softbox, lampu studio, dan standar reflektor bermacam warna.

“Tar, pasangin background buat ruang sebelah.” perintah Biru. “Sekalian lampunya lu setting.”

Baik Biru maupun Gentar sama-sama tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Mereka berdua merasa cocok karena memiliki karakter yang sama. Sama-sama serius jika sedang melakukan pekerjaan. Yang membedakan cuma satu, Gentar memiliki pribadi yang riang, sedangkan Biru lebih pendiam.

Tak lama setelahnya, Biru dibuat penasaran dengan tingkah Gentar yang bolak-balik melongok keluar pintu dengan standing softbox ditangannya. Berjingkat-jingkat mengintip ruko sebelah.

“Lu ngapain sih, Tar!”

Gentar tak menjawab. Hanya menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Biru dibuat semakin penasaran, ia pun gegas menyusul Gentar. Ikut menilik apa yang membuat Gentar fokus mengintip.

“Ruko sebelah mau buka juga kayaknya.”

“Terus? Lu ngapain malah ngintip disini?!”

Gentar menarik ujung kemeja dirinya sampai tubuhnya terhuyung keluar pintu. “Itu mulut diem dulu, lu lihat itu didepan ada Bidadari lagi turun. Gue mau nungguin kali aja dia naro selendang, mau gue ambil!” kekeh Gentar.

Mendengar Gentar membual Biru meradang. “Bang sad! Dari dulu nggak pernah berubah kalau lihat cewek mata jadi ijo!”

Gentar semakin terbahak melihat dirinya kesal. “Hahaha... Lumayan, Jodoh jalur selendang Cok!”

Kha??

Biru melihat perempuan yang diketahui bernama Kha itu tengah melihat-lihat ruko sebelah. Bersama dengan dua orang lainnya. Tanpa disadari, Ia memperhatikan pergerakan Kha. Perempuan cantik itu terlihat menutup mulut saat tersenyum dan sesekali memainkan slingbag yang tersampir di bahunya.

Tiba-tiba perasaan semalam muncul kembali. Rasa tak asing seperti mengenal tapi tidak. Ia belum pernah melihat dia selama ini. Tapi nama unik itu seperti mengingatkan pada sesuatu.

“Anjrod! Sama aja lu juga, nggak kedip lihat yang bening!” ejek Gentar. Ia hanya melengos lalu masuk kedalam, meneruskan kembali pekerjaannya. Ia menargetkan lusa studio harus sudah rapi dan siap untuk dibuka.

...🌼🌼🌼🌼🌼...

Khadijah.

Sebelum pergi ke ruko yang sudah Om Abyaz pilihkan untuknya membuka Toko Bunga. Ia bersama Om Abyaz dan Tante Mia menyempatkan berziarah ke makam Kakek dan Neneknya.

Sampai di ruko, Kha begitu terkesima dengan tempatnya. Meskipun tidak berada dipertengahan kota, tempatnya terlihat strategis, lahan parkir luas dan hanya berdiri tiga ruko. Yang akan Ia tempati berada ditengah, diantara pet shop disisi kiri dan ruko kosong disisi kanannya. Tidak kosong sepertinya, karena Ia sempat melihat dua pria berdiri diambang pintu.

Tunggu!

Salah satu diantara mereka seperti tidak asing. Siapa??

Sesekali Kha melirik kearah dua pemuda tersebut. Mencoba mengingat wajah yang seperti pernah ia lihat sebelumnya.

“Om sudah siapkan semua yang kamu butuhkan. Kamu check kedalam barangkali masih ada yang kurang. Habis ini kamu dianterin sama Mia ke orang yang akan mensuplay bunga ke toko kamu nantinya.” tutur Om Abyaz.

Kha mengangguk mengerti, “Iya, Om.”

Mereka meninggalkan lokasi setelah memastikan persiapan untuk pembukaan toko bunga beres. Khadijah sempat melirik saat melintas ruko sebelahnya, melihat pria bertopi hitam tengah menenteng lensa kamera, Kha akhirnya mengingat wajah pria itu. Pria itu adalah orang yang menolongnya malam itu, lalu menemukan dompet dan tasbih yang terjatuh.

“Kenapa Kha?” tanya Mia menyadari Kha berhenti menatap kedalam ruko. “Kenal?”

“E-enggak Tante, cuman kayaknya dia yang sudah nolong aku waktu kemaren hampir kena jambret.” ucap Kha menunjuk kedalam ruko.

Om Abyaz mengikuti arah pandangnya, melihat pria yang Kha tunjuk “Yang pakai topi itu?” tanya Om Abyaz.

“Iya, Om.”

Tanpa banyak kata, Om Abyaz melangkah kecil berjalan menuju ruko dengan pintu setengah terbuka. Abyaz hanya mendengar cerita tentang malam itu dari Kha. Sempat ingin turun untuk melihat si pelaku, akan tetapi buru-buru Kha cegah karena percuma. Perempuan yang mengaku bernama Dipaya itu juga telah meninggalkan lokasi.

“Assalamualaikum, Selamat siang.” sapa Om Abyaz.

“Selamat siang, eh wa-waalaikumsalaam,” balas pria itu tampak terbata.

Apa dia non muslim? kenapa jawabnya terbata gitu

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Om Abyaz mengulurkan tangan dan disambut oleh kedua pria didepannya secara bergantian. “Perkenalkan, nama sama Abyaz. Om dari Khadijah yang akan membuka toko disebelah.” ucap Om Abyaz memperkenalkan diri.

“Saya dengar dari keponakan saya, Mas-nya sempat bantu Kha dari penjambret kemarin malam di stasiun.” pria itu tampak mengangguk perlahan.

“Kemarin saya tidak tahu kejadiannya karena saya menunggu didalam mobil. Terima kasih banyak atas bantuan Masnya sudah membantu keponakan saya tempo hari.” sambung Om Abyaz.

“Oh... Cuma kebetulan saya sedang disana saja, Pak.” pria satunya tampak keluar membawa kursi plastik dan meletakkan diantara kami.

“Silahkan duduk dulu Bapak, Ibu, Neng sekalian,” ucap Pria itu.

“Terima kasih, Mas. Jadi merepotkan nih.”

Kha berdiri mematung disamping Tante Mia saat Om Abyaz menilik pemandangan sekitar “Wah kalau dilihat-lihat, Mas ini mau buka studio photo ya?”

Kha menghela napas lembut, nyaris tak terdengar. Kini Om Abyaz malah terlibat percakapan dengan pria itu, padahal Kha sudah merasa jengah. Salah satu yang membuatnya tak nyaman adalah tatapan pria satunya. Setiap pandangan mereka bertemu. Pria yang memiliki tato kecil di bagian pergelangan tangan itu selalu melemparkan senyum.

Beberapa saat kemudian, datang satu laki-laki lagi dengan mobil sport terparkir didepan pintu.

“Bang ber... Res??” Kata laki-laki lain yang baru datang.

Kha jelas sedang tidak ke PD an. Memang kedua laki-laki kecuali pria yang menolongnya itu terlihat intens menatap seraya tersenyum kepada dirinya. Keluar dari tempat itu mungkin pilihan yang tepat pikirnya. Baru saja hendak pamit, Om Abyaz keluar dari sebuah ruangan.

“Kita sampai belum kenalan tadi. Kalau boleh tau namanya siapa?”

“Panggil saya Biru saja Pak.”

Biru??

“Biru?? Wah pasti adik atau kakaknya Merah? Atau hijau?” seloroh Abyaz.

Satu pria yang baru datang langsung menimpali. “Bukan Pak, nama saya Barid. Buka Hijau, merah, apalagi Hulk.” jawab pria itu terkekeh.

Keningnya mengkerut, dialog itu nampak Dejavu baginya. Biru, merah, hijau.

Ia menatap pria bernama Biru, lalu membuang muka saat menyadari laki-laki itu juga tengah menatap dirinya dengan ekspresi yang sama.

Sepertinya dia memang tidak asing... Ya, dia Biru.... Yang tidak punya adik tapi ternyata ada. Bukan bernama hijau atau merah melainkan Barid.

To be continue.

Sepenggal dialog antara dua anak kecil.

“Hai” sapa Biru. Anak itu bergeming, tapi menatapnya intens.

“Maaf aku tadi tabrak kamu.”

Gadis kecil berhijab itu mengangguk terbata, “Iya nggak papa.”

Akhirnya, Ia bisa tersenyum ketika anak itu menjawab permintaan maafnya, kemudian duduk di soft chair tak jauh dari anak itu duduk.

“Nama kamu siapa?”

“Kha....”

Ia terkekeh, “Kamu cantik tapi nama kamu aneh.”

“Biar saja! Itu nama pemberian Abi-ku, jadi aku suka.” jawab Kha kesal. “Memangnya, nama kamu siapa?”

“Biru.”

Giliran anak itu tergelak, “Biru? Pasti adik kamu namanya merah, atau Hijau?”

“Aku tidak punya adik!” sahutnya.

Dialog diatas merupakan penggalan cerita tentang pertemuan Biru dan Kha kecil. Ada di novel Sabda Cinta part 74.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!