NovelToon NovelToon

Jodoh Untuk Abang

Ulang Tahun Dilan

🌺

🌺

"Ayah!!" bocah laki-laki yang genap berusia tiga tahun hari itu menyambut kedatangan Arya dengan riang. Kamudian menghambur kepelukannya saat pria itu berjongkok untuk mendekatkan tinggi tubuhnya.

"Anak ayah sudah ganteng?" dia mengusap kepala Dilan dengan lembut.

"Udah potong rambut, udah mandi, udah mamam." celotehnya dengan gaya yang khas.

"Pinter." pria itu mengecup puncak kepalanya.

"Semuanya sudah siap?" tanya Arya ketika adik bungsunya muncul dari dalam rumah.

"Sudah, tinggal nunggu kue ulang tahunnya datang." jawab Alena, dengan bayi berumur enam bulan dalam gendongan.

"Kenapa belum datang? kamu pesannya dadakan?" pria itu meraih keponakannya yang menggapai-gapaikan tangan sejak kedatangannya beberapa menit yang lalu.

"Nggak. Udah dari seminggu yang lalu."

"Terus kenapa belum diantar?" tanya Arya lagi.

"Masih di jalan. Mungkin sebentar lagi sampai." jawab Alena yang kembali memastikan semua yang dia siapkan untuk ulang tahun putra pertamanya tidak ada yang terlewatkan.

"Hardi?" Arya mengedarkan pandangan ketika tak ditemukannya adik iparnya itu di dalam rumah.

Alena menggelengkan kepala.

"Dia tidak bisa datang ke ulang tahun anaknya sendiri?"

"Kak Hardi sibuk Bang." bela Alena, ketika melihat raut kecewa di wajah kakak laki-lakinya.

Arya mendengus kesal.

"Ini bahkan ulang tahun Dilan yang pertama sejak kaian bersama. Tapi dia tudak mau meluangkan sedikit saja waktu untuk anaknya." ucapnya.

"Pekerjaan yang membuat Kak Hardi tidak bisa, Bang." Alena kembali membela suaminya.

Arya tak menjawab lagi, dia hanya menggelengkan kepala seraya berjalan ke arah ruang depan yang sudah dihiasi pernak pernik ulang tahun keponakan tersayangnya. Dengan Alea dalam gendongan, dan Dilan yang dia genggam tangannya.

Sebuah honda jazz berwarna hitam masuk ke pekarangan dan berhenti di depan teras, menyita perhatian seluruh penghuni rumah bertingkat dua itu.

"Hufftthh, ... macet Al, ..." Vania segera turun dari mobil dan membuka pintu belakang. Berusaha mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

"Udah tahu macet? untung belum pada datang, ..." perempuan itu menghampirinya.

"Iya maaf, aku beresin dulu kios. Beberapa hari lagi udah mulai jualan." jawab Vania.

Alena hanya tersenyum. "Beneran kamu jualan? gimana kafenya tante Melly?"

"Beneran. Ya nggak gimana-gimana. Aku kan jualannya malem, sementara kafe buka dari pagi sampai abis Isya. masih bisa bantu-bantu lah."

"Nggak capek? kenapa nggak cuma bantuin tante Melly aja sih?"

"Aku mau nyoba usaha sendiri. Kan kafe itu punya keluarga ayah, ibu cuma disuruh ngelola aja. Suatu hari nanti kalau anak-anak saudaranya ayah udah dewasa, pasti diambil lagi. Jadi aku harus punya pegangan untuk terus bisa menyabung hidup. "

"Diambil lagi? enak banget jadi mereka. Dulu waktu kafe itu masih kecil dan sepi, diserahin sama tante Melly, giliran sekarang kafenya udah seramai dan sebesar ini, mau ambil gitu aja?"

Vania hanya tersenyum.

"Nggak ngerti deh, ..." Alena menggelengkan kepala.

"Kak Hardi ada nggak?" Vania menatap bangunan di depannya.

"Nggak ada, dia kerja." jawab Alena.

"Ck! ulang tahun anaknya lho, ini?" Vania berdecak.

"Gitulah ...

"Terus, gimana dong angkat ini, berat lho." dia menunjuk kue ulang tahun berukuran besar di dalam mobilnya.

Bersamaan dengan itu muncul kemudian Arya, bersama Alea yang menginginkan ibunya.

"Nah, baru ingat. Minta Bang Arya aja." ucapnya, seraya menghampiri kakak laki-lakinya.

"Bantuin Vania gih." serunya kepada Arya, seraya merebut putrinya yang masih balita.

"Kenapa?"

"Bisa cepetan nggak sih? nanti kuenya meleleh di dalam mobil. Panas ini... " keluh Vania di depan sana, mengalihkan perhatian mereka berdua.

"Kamu pesan kuenya dari dia?" Arya menunjuk ke arah Vania.

"Iyalah. Siapa lagi.?"

"Ck! pantesan lama." gerutu pria itu, namun tak urung juga dia menghampiri mobil hitam yang terparkir di halaman itu.

Vania mundur beberapa langkah dari dekat mobil, mempersilahkan Arya untuk mengambil kue yang dia bawa dan membawanya kedalam rumah.

Pria itu hanya mendelik tanpa mengucapkan sepatah kata.

Sementara Vania memutar bola matanya.

"Hati-hati bang, itu kue, bukan karung semen." ucap Vania saat Arya menarik benda tersebut dengan keras dari dalam mobil.

Arya hanya meliriknya sekilas.

"Hati-hati juga bawanya, nanti hiasannya pada lepas." ucap Vania lagi, saat pria itu berjalan tergesa, dan dia mengikutinya dari belakang.

Arya mendengus kasar.

"Pelan-pelan dong? nanti rusak. Kan nggak lucu, ulang tahunnya belum dimulai tapi kuenya udah rusak ish, ..." Vania mengomel saat Arya meletakkannya diatas meja yang sudah tersedia.

Arya menghembuskan napas, dia kemudian mengusap wajah lalu menoleh ke arah perempuan berusia 23 tahun itu.

"Apa?" tanya Vania.

"Kenapa kamu cerewet sekai? bisa tidak kalau menutup mulutmu kalau orang lain sedang mengerjakan sesuatu? suara kamu membuat saya terganggu!" Arya dengan kalimat yang cukup panjang, membuat Vania mengerjap dengan mulut menganga.

"Abang bisa ngomong juga ternyata?" gadis itu seolah terkejut.

"Apa kamu bilang?" Arya menjengit.

"Kirain abang nggak bisa ngomong?"

"Kamu...

"Eh, ... kebiasaan kalau ketemu pasti ribut? udah, ... orang-orang udah pada datang. Kalian dari pada ribut mending bantu aku siapin semuanya." Alena menghentikan pertengkaran yang mungkin akan kembali terjadi diantara dua orang itu, yang memang selalu berselisih faham setiap kali mereka bertemu.

"Aku nggak ribut lho. Cuma ngomong aja." tukas Vania.

"Cih, omonganya bikin kesal." Arya menggumam.

Kemudian mereka berdua bersiap ketika mereka yang datamh masuk hampir bersamaan kedalam. Yang seketika membuat suasana rumah menjadi riuh dipenuhi suara sapaan dan obrolan diantara satu sama lainnya.

Alya yang tengah mengandung, dan Anna yang membawa tunangannya. Juga keluarga Hardi dari Jakarta. Kedua orang tua, diikuti Hana dan suami beserta anak mereka.

"Semuanya sudah kumpul." Vania berujar. "Bisa kita mulai?" katanya, dan mendapat sambutan meriah dari semua orang di ruangan itu.

"Tunggu!!" suara yang cukup mereka kenal mengalihkan perhatian.

Seorang pria tinggi berdiri diambang pintu dengan kado besar ditangannya.

"Masa nggak mau nunggu aku dulu?" Hardi dengan cengiran khasnya, kemudian diikuti pria lainnya yang juga membawa kado yang sama besarnya.

"Aku pikir masih kerja?" Alena keluar dari kerumunan.

Mereka berdua masuk, dan langsung menghampiri si bocah yang sedang berulang tahun.

"Selamat ulang tahun, kakak. Semoga makin pinter dan jadi anak yang sholeh. Maaf papa terlambat." ucap Hardi kepada putra pertamanya.

"Om juga, ucapannya sama kayak papa kamu, Nak." Katanya, membuat semua orang yang berada di ruangan itu terawa.

"Dih, Lu pelit amat Ja? Mana sukanya nebeng lagi?" cibir Hardi kepada partner kerjanya.

"Apa lu kata? gue pelit? Lu kagak lihat kado yang gue bawa segede gaban gini? pelit dari mananya?" Raja menggerutu.

"Ya... Lu pelit ucapan. Sama bocah juga?"

"Yang penting kadonya lah, ...ucapan kagak penting." ucap Raja dengan cueknya, kembali membuat tawa pecah diantara mereka.

"Kalian kebiasaan deh kalau apa-apa jadi ribut." Alena yang datang menghampiri.

"Abisnya laki Lu ada-ada aja Al, pake sebut gue pelit segala. Dia kagak lihat selama ini gue ngasih banyak hal buat nih anak? sama adiknya juga." dia meraih Alea dalam dekapan ibunya.

"Ya sayang? papamu kadang suka ngaco... " katanya, kepada balita lucu tersebut.

Alena tersenyum.

"Mau dimulai sekarang nggak nih? ribut melulu?" protes Vania lewat pengeras suara, sengaja dia melakukannya agar perhatian kembali tertuju kepadanya.

"Oh iya iya... silakan Van dilanjut." ucap Alena sambil tertawa.

Dan dimulailah acara ulang tahun sederhana itu, yang hanya dihadiri keluarga terdekat mereka.

Vania dengan keceriaannya yang seketika menular ke seluruh ruangan. Membuat siapapun yang mendengar tawa dan melihat sikapnya ikut tersenyum dan tertawa, seseorang diantara mereka bahkan merasakan sesuatu yang lain didalam hati. Yang tersirat dari senyumannya setiap kali menyimak dia berceloteh riang mengisi acara pada sore hari itu.

🌺

🌺

🌺

Bersambung...

Hallo readers tersayang, kita ketemu lagi.

Masih inget keluarga ini nggak? itu lho, bang Arya sama ketiga adik perempuannya. Yang udah pernah baca Alena pasti kenal.

Tapi buat yang belum baca, disarankan untuk membaca novel Alena dulu, biar ngerti jalan ceritanya.

So, happy reading. 💖💖 jangan lupa klik favorit, like, komen dan vote kalau ada.

I love you full 😘😘

Bang Arya kesayangan aku

Jodoh Masa Depan

🌺

🌺

"Aku duluan ya? harus ke kios dulu, soalnya ada yang ngirim barang." Vania berpamitan.

"Oh, oke. Makasih ya, maaf aku belum bisa bantuin." Alena berujar.

"Nggak apa-apa. Cuma satu barang doang kok. " Vania mengibaskan tangannya. "Ya udah aku pamit." katanya, yang kemudian berjalan keluar.

Namun gadis itu berhenti ketika melewati Arya yang tengah menggendong Alea.

"Dah Alea sayang, tante Van pergi dulu ya? nanti kita ketemu lagi." dia menyentuh pipi gembil bayi itu yang kemudian tertawa.

"Kok Alea nggak jawab?" dia menundukan wajahnya, berlagak kebingungan. "Ih, cuma senyum-senyum? jawab dong, ... apa kek gitu?" katanya yang masih menekan-nekan pipi bayi lucu itu dengan ujung jarinya.

"Ck! Dia masih bayi tahu? mana bisa jawab?" Arya menggerutu.

"Dari tadi kek? kan dia Abang pegang?"

"Hubungannya dengan saya apa?" pria itu mengerutkan dahi.

"Ya Abang yang jawabin." Vania tergelak.

"Ish, ..." Arya mendesis kesal.

"Dah Alea... " dia segera berlari untuk menghindari omelan yang hampir menyembur dari mulut pria itu.

***

"Gue juga pamit deh, ..." Raja yang kemudian bangkit dari duduknya.

"Serius?"

"Hmm... ada yang mau gue kerjain." pria itu mengangguk.

"Apaan?" Hardi menyelidik.

"Kepo lu?"

"Terima kencan sama Fani?" Hardi kemudian tertawa.

"Sialan lu. Kagak lah." sergah Raja.

"Siapa Fani?" Alena yang kemudian ikut percakapan dua pria ini.

"Sekretarisnya atasan di kantor. Udah dua minggu ngejar-ngejar Raja terus." Hardi tertawa lagi.

"Cieeee,... akhirnya ada yang ngejar juga?" goda Alena.

"Dih, dari dulu banyak yang ngejar, cuma gue males nenggepinnya, udah bosen." Raja dengan sombongnya.

"Bosen?"

Raja mengangguk.

"Bosen sama cewek maksudnya?" Hardi kembali tertawa terbahak-bahak.

"Anjim, sembarangan! Lu kira gue cowok apaan, gini-gini juga gue masih normal pea!" Raja melemparkan tisu yang dia gulung ditangannya kepada sahabat sekaligus partner kerjanya tersebut.

"Ya habisnya, lu sekarang aneh Ja." ucap Hardi setelah tawanya mereda.

"Aneh sebelah mananya?"

"Lu kayak menghindari cewek yang suka sama Lu. Apalagi si Fani? kagak lihat dia seseksi itu?"

"Dih, gue cuma jaga diri sambil nunggu jodoh masa depan. Kan nggak lucu, pas nanti gue ketemu sama jodoh masa depan, eh masa lalu gue kelam sama para Fani-Fani yang lain."

"Jodoh masa depan? lagak Lu Ja!" cibir Hardi.

"Serah Lu dah, gue cabut. Mau ngintip jodoh dulu." ucap Raja yang kemudian pergi.

"Ooo,... jadi di kantor ada Fani ya?" Alena yang masih menatap kepergian Raja, hingga mobil pria itu menghilang dibalik pintu gerbang rumah yang baru tiga bulan mereka tinggali itu.

"Iya." jawab Hardi dengan cueknya.

"Faninya ada satu atau dua? atau banyak? pasti banyak ya?" tanya Alena lagi, dia melirik suaminya.

"Maksudnya?"

"Fani yang seksinya ada satu atau dua?" perempuan itu memutar tubuh.

"Kamu ngomongin apa sih, aku nggak ngerti?" Hardi terkekeh, namun dia menangkap aura tak suka di wajah istrinya.

"Ngomongin Fani. Yang kakak tadi bilang seksi?" Alena mencondongkan tubuhnya.

Hardi mengulum bibirnya dengan keras, dia faham dengan pernyataan perempuan di hadapannya.

"Pantesan kalau kerja nggak ingat waktu? lebih mentingin kerjaan dari pada acara keluarga. Tahunya ada Fani di kantor?" sindir Alena.

"Apa hubungannya sama Fani? kerja ya kerja aja, kalau masalah acara keluarga, barusan aja aku bisa datang kan pas Dilan ulang tahun?"

"Iya, setelah Abang nelfon Kakak kan? emangnya aku nggak tahu?" tukas Alena. Dia ingat memergoki kakak laki-lakinya melakukan panggilan telfon kepada Hardi, yang waktu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Dih, itu kebetulan Yang. Pas abang nelfon, pas kerjaan aku beres."

Perempuan itu mencebik.

"Serius."

"Tapi Fani?"

"Udah, ... Fani nggak penting. Itu cuma gebetan Raja aja, tapi dia pura-pura jual mahal."

"Hmm... bohong. Tapi ada Fani-Fani lain selain itu...

"Nggak ada. Cuma Faninya Raja aja." pria itu meyakinkan.

"Awas lho..." Alena mengancam.

"Nggak berani Yang." pria itu melirik kakak ipar laki-lakinya yang berjalan mendekat bersama kedua anaknya.

"Abang mau pulang." Arya menyerahkan Alea kepada ibunya.

"Lho? kenapa nggak nginep aja?" Alena yang kembali mendekap putrinya.

"Kasihan Anna sendirian kalau Abang nginep."

"Oh, ...

"Ikut! yayang ikut!" Dilan menginterupsi, dan bocah yang hari itu berulang tahun pun meloncat-loncat dengan tidak sabarnya.

"Nggak boleh, ... nanti aja ya?" Alena melarang.

"Noooooo!! mau ikut sekarang!" Dilan merentangkan kedua tangannya kepada Arya.

"Jangan sayang. Sekarang ada Papa." sambung Hardi.

"Nooo!! mau ikut!" bocah itu merajuk.

"Ck! Sudah, biar Dilan ikut. Besok abang antar sambil berangkat kerja." sergah Arya, yang kemudian memangku keponakannya tersebut.

"Tapi bang...

Pria itu sudah berjalan ke arah mobilnya mebawa Dilan dan masuk, kemudian pergi.

"Yah, ... dibawa lagi?" gumam Alena.

"Kenapa dia lebih milih ngintilin Bang Arya dari pada aku?" Hardi dengan suara pelan. Ada raut kecewa yang begitu jelas di wajahnya.

"Ya karena Bang Arya yang selalu ada buat dia

Nggak peduli lagi sibuk atau lagi dimana, bang Arya pasti datang kalau Dilan panggil. Kecuali kalau lagi diluar kota." jawab Alena.

Hardi mendengus kasar, rasa kecewa memamg mendominasi perasaannya sebagai seorang ayah. Melihat putra pertamanya yang cenderung lebih dekat dengan orang lain.

"Kan ada Alea,... " perempuan itu menyodorkan anak perempuan mereka yang baru berumur enam bulan itu. Yang kedua tangannya menggapai-gapaikan tangan mencoba meraih ayahnya.

"Ah,... iya. Untung ada Alea, jadi Papa nggak kesepian." pria itu merebut putrinya dari Alena. Lalu sebuah senyuman terbit dari sudut bibirnya. Setidaknya rasa kecewa dihatinya berkurang sedikit.

🌺

🌺

Raja menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah kios yang tampak sedang dibereskan. Didepannya sebuah mobil box tengah menurunkan beberapa barang. Dan seorang gadis yang dia kenal berdiri mengawasi, yang tampak terkejut ketika menyadari keberadaannya di area itu.

"Kak Raja ngapain disini?"

"Cuma mampir aja, kebetulan lewat." pria itu datang menghampiri.

"Butuh bantuan?" tawarnya, yang kemudian berdiri di samping Vania, mengawasi para pekerja menurunkan barang.

Vania mendongak dengan tatapan agak menyelidik.

"Nggak usah,... " ucapnya sambil tertawa.

"Serius, ...

"Cuma beresin ini aja kok, nggak banyak. Beneran, nggak usah...

Namun Raja melenggang masuk kedalam kios yang berukuran 4x4 meter itu, seraya menggulung lengan kemejanya hingga sebatas sikut. Dan dia mulai menggeser beberapa barang.

Vania tertegun diambang pintu, namun pertanyaan Raja membuyarkan lamunannya.

"Ini mau di simpan dimana?" pria itu menggeser sebuah meja berukuran sedang.

"Mm... di pinggir aja dulu. Dindingnya juga belum di cat. Paling nanti mau dipasangin wallpaper biar lebih menarik." gadis itu menunjuk sebuah sudut di sisi lain ruangan.

Raja menganggukan kepala, kemudian Dia mendorong meja tersebut hingga menempel ke dinding tak jauh dari sana.

"Mau jualan apa sih? Ribet bener. Kenapa nggak terusin aja kafenya tante Melly, Kan udah gampang, tnggal kerja. Nggak usah atur-atur lagi." Raja mengangkat barang lainnya, yang kemudian dia letakan diatas meja.

Vania tersenyum, seraya membereskan barang-barang yang bisa dia angkat sendiri.

"Ditanya malah senyum-senyum... " gumam Raja.

"Ya, ... nggak gitu. Kan kalau kita punya usaha sendiri tuh lebih bebas aja, biarpun kecil-kecilan. Kalau kerja di tempat orang kita nggak tahu sampai kapan bisa bertahan atau dipertahankan disana." Vania berujar. "Lagian, kafe itu bukan milik ibu. Kami cuma di titipi sama keluarganya ayah." lanjutnya.

Raja terdiam menatapnya, lalu tersenyum samar.

"Kamu benar." katanya, dan sapaannyapun kini berubah.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, namun kemudian keduanya tersadar ketika seorang pegawai jasa pengiriman menyerahkan beberapa lembar kertas untuk ditanda tangani.

"Terimakasih, pak." ucap Vania setelah urusannya dengan pihak pengiriman selesai. Kemudian dia dan Raja kembali pada pekerjaan yang sempat terhenti. Membereskan sisa barang yang tertinggal diluar kios.

🌺

🌺

Sebuah mobil berhenti tepat di seberang kios setelah berputar-putar sebentar mengelilingi kota karena permintaan bocah di kursi penumpang.

"Ateu Van!" Dilan menunjuk saat mengenali seseorang di seberang.

Arya menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia menatap ke arah sana, dimana dua orang itu terlihat melakukan pekerjaan bersama dan membicarakan banyak hal. Diselingi tawa dan canda yang terlihat menyenangkan.

"Mau Ateu Van boleh?" ucap Dilan yang mendongak ke arah pria yang dia sebut ayah.

"Tante Van nya lagi sibuk." jawab Arya yang kemudian memalingkan pandangan ke arahnya.

"Sibuk?" bocah itu memanjangkan lehernya untuk melihat ke arah dimana orang yang dia kenali berada. "Sama Om Raja?" lanjutnya, dengan suara khas.

Arya mengangguk.

"Kita pulang?" ucapnya kemudian, dan dijawab dengan anggukan oleh balita berusia tiga tahun itu.

🌺

🌺

Bersambung....

Tenang, ini baru permulaan. kita santai dulu oke?

meet Ateu Vania ☺☺

Jadi Baik?

🌺

🌺

"Kamu hari ini jadi pemotretan?" Arya menyeruput kopi panas yang baru saja dibuatkan Anna untuknya.

"Jadi nanti siang." Ana menyuapi Dilan yang ikut sarapan dengan mereka.

"Baiklah, ...

"Dilan biar sama aku aja, nanti aku antar sambil pergi ke Rumah Kayu." kini dia melahap makanannya sendiri.

"Kenapa harus disana?" Arya menghentikan kegiatan sarapannya.

"Kenapa nggak? tempatnya bagus, sekalian nanti pas resepsi juga 'kan disana." jawab Anna.

"Kenapa harus disana juga? Memangnya tidak ada tempat lain? sekarang sudah banyak tempat bagus 'kan?" ucap Arya.

"Aku mau disana. Seperti kak Alya." jawab Anna, lalu tersenyum.

"Hmm... terserah kamu saja." dia bangkit dari kursinya, lalu menarik jas yang tersampir dibelakang kemudian mengenakannya.

"Abang ada pertemuan dengan perusahaan real estate. Mau buka lahan untuk perumahan baru. Mungkin pulangnya malam." pria itu merapikan pakaiannya.

"Oke, hati-hati." Anna membenahi letak dasi kakak laki-lakinya yang terlihat agak miring.

Arya terdiam menatap adik perempuan keduanya itu lekat-lekat. Dia memindai wajahnya yang sebentar lagi akan jarang ditemui karena perempuan 28 tahun itu akan segera menikah dengan pria pilihannya.

"Kok diam? Katanya mau ada pertemuan." Anna menyadarkannya Arya dari lamunannya.

"Kamu... sebentar lagi akan meninggalkan abang." ucapnya, dengan sedikit rasa sesak di dada.

Anna terdiam.

"Nanti disana kamu harus baik-baik ya? Harus menurut kepada suamimu, karena dia yang akan menggantikan abang melindungimu." lanjut Arya.

"Tapi jangan lupa mengunjungi abang, setidaknya satu minggu sekali kita berkumpul disini. Dengan Alya dan Rasya, Alena dan Hardi, dan nanti anggota keluarga kita bertambah dengan adanya Rendra. Rumah ini akan semakin ramai." ucapnya lagi, dengan senyum namun kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Jangan lupa juga, nanti akan bertambah sama istri abang." sambung Anna.

Arya terkekeh keras, dia mengusap sudut matanya yang basah dengan punggung tangannya.

"Tugas abang sudah selesai. Sekarang saatnya abang mencari kebahagiaan sendiri. Kami sudah mendapatkan apa yang abang impikan selama ini."

"Belum." Arya menggelengkan kepala, namun senyuman belum lenyap dari bibirnya. "Kamu belum benar-benar menikah, nanti setelah Rendra mengucap akad, baru tugas abang selesai." pria itu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.

"Berjanjilah, abang akan melakukannya kali ini." Anna meraih tangan kakaknya, lalu menggenggamnya dengan erat.

"Iya. Abang janji."

Anna tersenyum.

"Kalau masih ada yang mau." pria itu tergelak.

"Ish, ... udah ngeper duluan? ya ada lah, masa nggak?"

"Masa?"

Anna mengangguk.

"Kalau nggak ada ya salah abang sendiri."

"Kok salah abang?"

"Ya habisnya sibuk mikirin kerjaan dan adik-adik abang ini, kalau nggak 'kan udah punya anak berapa kali? lihat kan kak Hana aja anaknya mau tiga? nah abang malah ketinggalan jauh?"

Arya tertawa. "Tidak ada hubungannya."

"Ya ada lah, ...

"Atau mau aku cariin? aku banyak temen yang masih singel. Mau gadis apa janda? banyak."

Arya kini mengulum senyum.

"Abang nggak yakin akan cocok dengan mereka."

"Ya makanya, jangan judes-judes jadi cowok. Ramah sedikit kenapa sih?"

Arya menggelengkan kepala. "Nggak mungkin."

"Kenapa ngga mungkin?"

"Ramah bukan pribadi abang yang sebenarnya."

Anna mengangkat satu sudut bibirnya keatas, "Se nggak nya jangan terlalu judes-judes lah

Sayang nanti jodohnya malah kabur."

"Kalau memang jodoh tidak akan kemana. Dan mereka akan menerima kita apa adanya tanpa harus ada yang berubah. Bukankah cinta itu menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing?"

"Iya juga sih. Tapi jaman sekarang kayaknya itu nggak berlaku deh." sergah Anna.

"Kenapa?" Arya mengerutkan dahi.

"Ya contohnya, abang masih jomblo aja udah seumuran gini juga." perempuan itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan.

"Hmm... " Arya menggumam, kemudian dia menyentil kening adik perempuannya itu.

"Abang!!" Anna berseru sambil mengusap keningnya yang terasa sakit.

"Kamu mulai nggak sopan, mentang-mentang sebentar lagi mau menikah?" dia berujar.

Anna Kemudian menghambur ke pelukannya, "Nggak berani bang, maaf. Aku cuma bercanda." dia menyurukan wajah di dada Arya, yang kemudian memeluknya begitu erat.

"Berjanjilah untuk hidup lebih bahagia dari ketika kamu masih bersama abang."

Anna mengangguk.

"Abang juga harus janji akan baik-baik aja tanpa aku."

"Iya." Arya pun mengangguk.

"Tapi kalau kangen, abang boleh kok datang kerumah kami. Aku sama Kang Rendra pasti seneng."

Pria itu mengangguk lagi. Dan seketika suasana mendadak hening, dua kakak beradik itu hanya saling mengeratkan pelukan.

"Udah, katanya mau pergi? semenit lagi kita bahas ini pasti nanti ujungnya jadi nangis?" Anna melepaskam rangkulannya kemudian menjauh.

"Benar. Akhir-akhir ini kita jadi cengeng ya?" Arya kembali menyeka sudut matanya.

"Hu'um, ... kayak mau pisah jauh aja. Padahal cuma beda komplek doang." Anna tergelak.

Arya menganggukan kepala, "Ya sudah, abang pergi." ucapnya, kemudian keluar dari rumah setelah berpamitan juga kepada bocah yang asyik dengan sarapannya.

🌺

🌺

Cuaca Bandung terasa panas siang itu, padahal seharusnya bulan ini sudah memasuki musim penghujan. Tapi sepertinya cuaca benar-benar berubah, dan menjadi tidak menentu. Kota benar-benar terasa gersang.

Mobil milik Arya melintas di sebuah jalan yang memang selalu dia lewati setiap hari. Juga jalan dimana tempat gadis itu akan memulai usahanya sendiri.

Arya teringat, dan dia memelankan laju mobilnya saat kendaraan di depan juga melambat dan berhenti. Kemacetan mulai terjadi.

Dia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Entah kenapa dadanya berdebar kencang disaat dia menyadari akan melewati kios milik Vania yang berjarak beberapa meter di depan sana.

Perasaan konyol! batinnya.

Dan pria itu tak bisa menahan diri untuk tak melirik ke arah kiri ketika mobil yang dia kendarai benar-benar melintasi kios tersebut, yang rolling doornya terbuka lebar, dan ada sosok yang sangat dia kenali berada disana.

"Alena?" gumamnya, dan dengan refleks pria itu membelokan kendaraan roda empatnya ke arah kiri.

Kenapa aku malah berbelok? pria itu bermonolog.

Dia sempat akan mengurungkan niatnya, namun adik bungsunya terlanjur mengenali mobil yang hampir berhenti tepat di depan kios, dan Alena melangkah keluar.

"Abang?" sapanya.

Arya tertegun sebentar, namun kemudian dia membuka pintu mobil lalu turun.

"Kamu sedang apa?" tanyanya seraya menghampiri.

"Bantu Vania." perempuan itu menerangkan. "Abang sendiri?" dia balik bertanya.

"Habis ada pertemuan diluar." jawab Arya.

"Oh, ...

"Anak-anak dibawa?" Arya menilik kedalam kios berlantai dua itu bermaksud mencari dia bocah kesayangannya, namun yang dia temukan justru sosok yang beberapa waktu terakhir selalu ada dalam pikirannya.

Dia mengalihkan pandangan.

"Kak Anna bawa Dilan ke pemotretan."

"Alea?"

"Dijemput kak Alya barusan." Alena menahan senyum.

"Kebiasaan," Arya mendengus, merasa tak senang ketika mendengar bayi enam bulan tersebut bebas dibawa oleh siapapun.

"Katanya cuma sebentar."

"Alea masih terlalu kecil untuk kamu bebaskan ikut siapapun."

"Sama kak Alya Bang." tukas Alena.

"Sama saja."

Alena buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat, dia tak ingin berdebat dengan kakak laki-lakinya tersebut, karena dipastikan akan kalah.

"Lho, kenapa diluar? masuk sini!" Vania setengah berteriak diambang pintu setelah dia menyadari kedatangan tamu tak diduga siang itu.

Kakak beradik itu menoleh bersamaan.

"Masuk! diluar panas." ucap Vania lagi, kemudian dua orang tersebut menurut.

"Maaf, masih berantakan. Alena aja sampai bantuin 'kan?" perempuan itu menggeser kursi kehadapan mereka.

Arya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang telah ditempeli wallpaper yang sebagian bermotif retro itu. Padahal kemarin dilihatnya tempat tersebut masih berantakan.

"Kamu tidak menyuruh orang untuk membereskan semua ini?" tanya nya saat dia tak melihat siapapun disana selain Vania dan adiknya.

"Nggak." perempuan itu menggelengkan kepala.

"Kenapa?"

"Nggak ap-apa. Penghematan, Bang." dia kemudian tersenyum.

Arya mencebik.

"Kamu sendiri mengerjakan ini?" dia menunjuk dinding yang sebagian sudah rapi.

"Nggak. Kemarin dibantuin sama kak Raja, tapi nggak tahu sekarang dia datang lagi atau nggak. Kemarin sih bilangnya mau bantuin lagi gitu, tapi nggak tahu datang jam berapa." jawabnya dengan lugu.

Arya tertegun.

"Apa saja yang harus dibereskan?" kemudian dia bertanya.

"Ya ini." Vania menunjuk beberapa barang di belakangnya.

"Ya sudah, ..." pria itu melepaskan jasnya, kemudian menggulung lengan kemeja, bersiap untuk mengerjakan sesuatu.

"Abang juga mau bantuin?" Vania dengan wajah semringah.

"Ya apalagi?" jawab Arya.

"Serius? bukannya ini masih jam kerja ya?" Alena menatap layar ponselnya.

"Bolos sebentar masih bisa." pria itu berucap.

Mereka kemudian melanjutkan pekerjaan membereskan semua barang yang ada di dalam bangunan tersebut. Menatanya di tempat semestinya, kemudian mengaturnya agar terlihat sesuai dan lebih rapi.

"Apa sih yang mau kamu jual?" Arya memulai percakapan. Dia mengangkat meja bersama Vania, sementara Alena meletakan kursi-kursinya."

"Masih rahasia." Vania menjawab.

Arya sedikit mendelik.

"Jajanan kekinian, bang. Kebetulan nggak jauh dari sini kan ada SMA favorit, terus sebelah sananya ada kampus juga. Pasarnya bagus kan?"

"Jajanannya apa?" Arya penasaran.

"Ada deh, masa dikasih tahunya sekarang."

Arya kembali mendelik kesal, namun dia melanjutkan pekerjaannya hingga meja-meja tersebut tertata rapi di tempat yang ditunjuk Vania.

"Beres satu, .... makasih." dia bertepuk tangan.

"Bukanya kapan?" Arya masih bertanya.

"Weekend Ini kayaknya. Abang nanti datang ya? ajak kak Anna juga biar pada tahu aku buka tempat nongkrong baru?"

"Cieeee... lagi akur? tiba-tiba ngundang aja? lah, aku aja belum di undang." Alena menyela percakapan. Mendadak dirinya merasa tak dianggap oleh dua orang ini.

"Ish, ... termasuk kamu juga Al, ..." ucap Vania, sedikit salah tingkah.

"Tunggu, mau minum nggak? sebentar aku buatin ya?" lanjutnya, seraya menghambur ke arah belakang dimana perabotan lengkap dan bahan makanan sudah tertata rapi disana.

Arya terdiam, namun kemudian dia melirik ke arah adik bungsunya yang tengah mengulum senyum.

"Kamu kenapa?" dia menaikkan sebelah alisnya.

"Nggak." Alena dengan menahan tawa.

"Senyum kamu aneh?" ucap Arya, dia sedikit mendelik.

"Abang abis dari mana sih?" Alena kemudian mendekat.

"Ada pertemuan dengan orang real estate, mau buka lahan perumahan baru." jawab Arya, yang kemudian duduk dikursi yang baru saja merka bereskan.

"Dikantor?"

"Di lahan yang mau dibuka."

"Pantesan." Alena turut duduk di dekatnya.

"Maksudnya?" Arya mengerutkan dahi.

"Kali abang kesambet jin penghuni tempat itu?"

Arya menatap adik bungsunya yang hampir tertawa.

"Abisnya, tiba-tiba ngakurin Vania? ada angin apa ya? pantesan cuaca Bandung sekarang panas banget, tahunya ini." perempuan itu meneruskan ejekannya.

"Sembarangan kamu!" Arya menggeram, sementara Alena terus tertawa.

"Nah, ngobrolnya sambil minum." Vania datamg dengan membawa tiga cup minuman dingin yang kemudian dia letakan dimeja.

"Apa ini?" Alena menarik salah satunya.

"Ini yang mau aku jual." jawab Vania, yang menggeser satu cup ke dekat Arya.

"Rasa kopi." katanya.

Arya hanya menatap sekilas, lalu beralih pada minuman dingin di depannya.

"Gigi saya suka ngilu kalau minum es." gumamnya.

"Ini bukan es!" tukas Vania.

"Ini esnya banyak?" pria itu menunjuk benda tersebut yang mulai mengeluarkan embun yang terasa dingin di telunjuknya.

"Coba dulu deh, baru protes." ucap Vania.

Kemudian dua orang tersebut menyesap minuman milik mereka.

"Enak Van." Alena berucap.

"Oia?" Vania dengan mata berbinar.

"Hu'um, ..." sahabatnya itu mengangguk.

"Punya abang gimana?" kini dia beralih kepada Arya.

Pria itu masih terdiam, mencoba merasai minuman miliknya. Rasa asing yang baru dicecap oleh lidahnya.

"Ini... kopi?" tanyanya.

Vania mengangguk.

"Ditambah es?"

Vania menganguk lagi.

"Jadinya es kopi dong?" lanjut pria itu.

Vania baru saja akan membuka mulutnya untuk menjawab, namun Arya segera mendahuluinya.

"Lalu apa bedanya dengan minuman lain? buat saya rasanya biasa saja. Bahkan masih lebih enak kopi panas seperti biasanya. Dan ini juga terlalu manis." ucapnya, yang membuat gadis di depannya seketika menutup mulut.

Arya kemudian bangkit dan meraih jas miliknya.

"Perabotan yang besar sudah selesai 'kan? Saya pamit mau kerja lagi." katanya, yang mengenakan jas kerjanya denga cepat.

"Kamu masih lama disini?" dia beralih kepada Alena.

"Hu'um, ... nunggu kak Hardi." jawab adiknya.

"Oke. Abang duluan." Arya kemudian keluar dari tempat itu, masuk kedalam mobilnya, dan pergi.

"Dasar, terbiasa sama yang pait-pait. Dikasih yang manis reaksinya gitu amat?" Vania menggerutu.

"Kamu nggak usah dengerin omongannya abang. Kayak baru kenal aja?" Alena bangkit dan mendekat kepada sang sahabat yang masih bersungut-sungut.

"Mulutnya makin hari main pedes aja? udah kayak sambel level 100!" Vania menatap mobil yang baru saja keluar dari area itu hingga benda itu menjauh dan menghilang diantara mobil lainnya.

"Udah dari dulu." Alena menepuk pundaknya. "Nanti komen netijen bisa lebih pedes dari itu lho." lanjut Alena.

"Iya, duh... untung sayang. Kalau nggak, udah aku guyurin nih kopi ke kepalanya! eh, ..." Vania langsung menutup mulutnya.

"Nah, kan.... dijutekin aja sayang, apalagi dibaikin? bisa klepek-klepek deh... " Alena tergelak.

"Halah, bisa datang badai tornado kalau dia tiba-tiba baik. Barusan aja aku heran kenapa dia tiba-tiba banyak nanya, biasanya nyindir sama protes doang bisanya?"

"Udah tahu dari dulu kan?" Alena mengingatkan.

"Hmm...

"Ya udah. Nggak aneh kan?"

Vania menganggukan kepala.

"Jadi kamu udah terbiasa kalaupun nanti berhasil." Alena tersenyum lebar-lebar.

"Berhasil apanya?"

"Ya berhasil jadi kakak ipar akulah,.... " perempuan itu tergelak.

"Ish, ..." Vania tersipu dengan kedua pipi merona.

🌺

🌺

🌺

Bersambung...

Dih, segitunya?

Like komen sama hadiahnya dong gaess,... si abang minta yang banyak. 😂😂😘😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!