''Dhea, antarkan minuman ini!" Menyodorkan minuman beralkohol beserta nomor kamarnya.
Dhea hanya bisa mendengus di saat Mia, sang sahabat itu menyuruhnya, sorot matanya nampak memohon dan tak bisa di tolak Dhea yang notabennya tak tegaan.
"Tapi aku sudah ganti baju," Dhea sedikit protes saat menatap dirinya dari pantulan cermin, gadis yang jarang bercanda itu nampak kesal dengan permintaan Mia yang tak masuk akal, bagaimana tidak, padahal Mia masih memakai seragam, dan malah bercanda dengan yang lain, kenapa juga menyuruhnya. Tak adil bukan?
"Sudahlah Dhea, tinggal ini saja kok, setelah ini kamu kan bisa pulang." timpal Noren.
"Baiklah," akhirnya Dhea mengalah dari pada harus berdebat.
Bekerja di hotel memang sudah menjadi impiannya sejak lama, dan semenjak ia bekerja di tempat itu, Dhea menghabiskan hari harinya dengan penuh suka cita, apa lagi semua temannya ramah dan saling dukung, itu menambah semangatnya saat kerja.
Masih belum keluar karena ada keraguan saat menatap bajunya yang menurutnya terlalu seksi untuk ukuran pelayan.
"Apa nggak di tegur aku pakai baju ini," sebelum keluar Dhea memutar tubuhnya dan menjewer dressnya yang hanya selutut.
Semua hanya bisa tertawa melihat tingkah Dhea yang sangat polos.
"Nggak apa apa, lagian tamu sudah sepi, sudah pada tidur, santai saja."
Kata itu meyakinkan Dhea untuk meluncur ke kamar bernomor 888.
Ini nomor kamar VIP, siapa sih jam sini pesan minum, apa dia nggak tidur.
Dhea terus melangkahkan kakinya menuju kamar yang memang ia sudah hafal letaknya, dengan semangat karena habis mendapat gaji gadis itu mengulas senyum pada tamu yang masih berkeliaran di lorong hotel.
Kok ada penjaganya, Apa yang ada di dalam itu seorang bos mafia.
Dhea menelan ludahnya dengan susah payah dan kembali merapikan rambutnya, bahkan keringat gadis itu mulai bercucuran saat menatap dua orang yang berdiri tegap di dua sisi pintu.
''Permisi, Tuan,'' dengan ramah gemulai Dhea menyapa.
Dua pria itu menatap penampilan Dhea dari atas hingga ke bawah lalu saling berbisik.
Cantik, tak perlu diragukan, gadis yang berumur dua puluh tahun itu nampak anggun dengan baju apa saja, matanya yang bulat membuat wajahnya begitu memukau, dan gampang membuat para pria jatuh cinta, namun Dhea bukan wanita gampangan dan tak mau memikirkan masalah percintaan, baginya kerja untuk menyambung hidup dan mengikuti alur, itu saja.
"Silahkan masuk, Nona!" bahkan bukan tamu yang ada di dalam yang membuka, nyatanya pria yang baru saja ia sapa yang mempersilahkannya masuk.
"Kok gelap."
Ceklek, tiba tiba saja pintu kembali tertutup rapat, Dhea yang dirundung takut itu meraba tembok dengan satu tangannya, sedangkan yang lain masih memegang nampan.
"Tolong buka pintunya, disini gelap!" teriak Dhea menggedor gedor pintu.
Tak ada respons dari di luar, Dhea yang makin takut hanya bisa memutar knop berulang kali.
''Tolong!" lagi lagi hanya kata itu yang bisa di ucapkan di saat keadaan mencekam.
Tiba tiba saja Dhea di kejutkan sebuah tangan yang memeluknya dari belakang. Sontak wanita itu menjatuhkan nampan yang di pegangnya.
"Kenapa, bukankah ini sudah biasa," suara parau mengiringi. Bahkan hembusan napas menerpa telinga Dhea hingga sang empu merinding.
"Tuan tolong, aku bukan wanita malam, aku, _ ucapan Dhea terpotong di saat pria itu menyambar bibirnya dengan rakusnya.
"Lepas!" mencoba mendorong tubuh pria kekar di hadapannya, meskipun Dhea tak bisa melihat apa apa karena gelap, gadis itu mencoba meloloskan diri. Namun nihil, tenaganya yang kecil tak mampu mengalahkan tenaga pria yang kini sudah membawa tubuhnya ke atas ranjang.
"Mau kemana sayang?" Dhea meraih bantal dan melempar ke arah pria itu.
"Kamu suka sekali mempermainkan aku, aku sudah membayarmu mahal, jadi kamu nggak bisa menolak." Tegas pria itu.
Dhea menggeleng, "Anda salah orang, Tuan, aku pelayan disini, bukan wanita yang anda maksud," dengan berlinang air mata Dhea memohon pria itu untuk melepasnya.
"Jangan bercanda, kamu tidak mau kan aku lebih marah dari ini," mencengkeram dagu Dhea dengan kuatnya.
Dhea yang sudah terjerembab di pelukan pria itu pun tak bisa menghindar lagi. Apa lagi tenaganya sudah terkuras habis, kini hanya keajaiban yang di harapkan datang menolongnya.
Tuhan, tolong aku, aku nggak mau di posisi ini.
Namun semua sia sia, karena pria yang ada di atasnya itu sudah melucuti semua bajunya, tak hanya itu, pria yang di selimuti gairah itu sudah menjelajahi tubuhnya dan tak meninggalkan sejengkal pun. Dan sampai pada akhirnya pria itu menyatukan tubuhnya dengan tubuh Dhea.
Aaaa.... jerit Dhea di saat ada rasa nyeri yang melanda di bagian bawahnya.
"Sakit...." keluhnya mencengkeram sprai.
Sakit, jadi dia masih perawan, itu artinya aku lah orang yang pertama menyentuhnya.
Akhirnya Pria itu menarik ceruk leher Dhea dan berbisik.
''Gigit pundakku, sayang.'' Tak merasa bersalah, pria itu malah merasa bangga dengan jeritan Dhea yang menggema di sudut kamarnya.
Akhirnya Dhea nurut dan menggigit pundak pria itu sekencang kencangnya.
Meskipun pria itu melakukannya dengan pelan dam lembut, Dhea yang baru pertama kali tetap merasakan perih yang luar biasa hingga tak bisa di ungkapkan dengan kata kata.
''Sekarang tidak sakit kan?'' setelah Dhea melepas gigitannya, pria itu kembali memangut bibir Dhea.
Hingga selang beberapa menit berlalu dengan tubuh yang di penuhi keringat, kini pria itu dengan sengaja menyemburkan laharnya ke dalam rahim Dhea.
Pencapaian yang sangat sempurna dan belum pernah pria itu rasakan, memuaskan, bahkan tak menyangka jika malam ini adalah malam yang penuh dengan sejarah bagi pria itu, di mana ia pertama kali mendapatkan seorang gadis.
''Terima kasih atas malam ini.'' mencium kening Dhea dengan lembut.
Pria itu ambruk dan membaringkan tubuhnya disamping Dhea, tak peduli dengan Dhea yang sesenggukan, pria itu malah tersenyum dan mengelus rambut Dhea.
''Kamu manis sekali, aku menyukainya.'' Mencium rambut Dhea dari belakang, lalu merengkuh tubuh Dhea yang meringkuk memunggunginga.
Sekarang apa yang aku harapkan dari diriku. semuanya hancur, aku tidak bisa menjaganya, Tuhan, apa yang harus aku katakan pada suamiku nanti.
Jika di kamar mewah dengan penuh kegelapan itu Dhea meratapi nasibnya, tidak dengan di luar.
''Nona tidak bisa masuk!" Penjaga yang ada di depan itu menolak keras seorang wanita yang berpakaian seksi untuk ke dalam.
"Tapi aku adalah wanita yang di panggil Tuan Arya," menunjukkan identitasnya.
Kedua pria itu saling pandang.
Itu artinya Tuan sudah salah orang, dan wanita tadi,
Kedua penjaga itu hanya bisa menepuk jidatnya, dan bersiap siap untuk menghadapi harimua di pagi nanti.
"Bagaimana, aku bisa masuk, kan?"
"Nggak bisa nona, karena di dalam Tuan dengan seseorang dan dia nggak bisa di ganggu." Jelasnya.
Sialan, harusnya malam ini aku yang ada di dalam, kenapa jadi wanita lain, beruntung sekali dia.
Merasa kesal, akhirnya wanita itu mengambil ponsel dan menghubungi seseorang, namun semua tak sesuai rencana, ponsel yang di hubungi tidak aktif, dan sangat menjengkelkan.
Awas saja kalian, aku akan laporkan ini sama Tuan Arya.
Setelah punggung wanita itu berlalu, kedua penjaga itu hanya bisa mengangkat kedua bahunya. ''Lalu wanita tadi itu siapa?''
''Mana aku tau, sudahlah, kayaknya Tuan Arya juga nggak protes, mungkin yang tadi lebih memuaskan dari pada yang itu,'' menyungutkan kepalanya ke arah wanita yang baru saja pergi.
''Arya, ayo bangun!"
Suara khas yang sangat membosankan itu mengusik Arya yang ada di alam mimpi, pria itu tak peduli dan memilih untuk memunggungi wanita tersebut.
"Pasti semalam dia tidur dengan wanita kan?" Tanya wanita paruh baya yang berparas anggun itu.
"Iya, Nyonya." Jawab sang penjaga yang sudah membawa baju ganti untuk Arya.
Ya, Tuan Arya Ghora prasida, umur 27 tahun, pemimpin perusahaan yang paling terkenal di seluruh jagad raya, namun tega membuat Dhea kini menjadi mantan perawan, bahkan dengan bangganya pria itu menitipkan benihnya di dalam perut Dhea.
"Ambilkan air!" Titah wanita itu dengan lantang. Tak segan segan untuk membasahi Arya jika memang lelet dan tak mau membuka mata.
Baru saja salah satu penjaga itu melangkah menuju kamar mandi, Arya sudah mengangkat kepalanya meski matanya masih terpejam.
"Ada apa sih, Ma?" nada jengkel, karena di manapun ia berada, pasti mamanya selalu menjadi pengganggunya di saat lagi enak enaknya menikmati alam baka.
Seketika Nyonya Septi menarik telinga Arya hingga sang empu meringis kesakitan.
Sontak, Arya membulatkan matanya di saat rasa nyeri mulai melanda.
"Ampun, Ma." Menangkupkan kedua tangannya. Memohon sang mama untuk melepaskannya.
"Nanti kalau telinga aku copot gimana, bisa hilang ketampananku." Di saat genting masih saja pria itu narsis.
"Biar ketampanan kamu hilang, supaya kamu nggak semena mena mempermainkan wanita."
Lagi lagi Nyonya Septi menegur apa yang menjadi kebiasaan Arya, bahkan sepertinya meniduri wanita sudah melekat di dirinya saat ini.
"Iya, Ma, Aku janji tidak akan mengulanginya lagi."
Itulah sosok Arya, meskipun garang di mata para karyawan dan rekan kerja maupun pengawal, dia adalah pria yang masih manja degan sejuta pesona saat di depan mamanya. Bahkan Arya selalu mengabulkan permintaan wanita itu.
"Sekarang mandi, cepat ke kantor!"
Dengan terpaksa Arya turun dari ranjangnya menuju kamar mandi.
"Jangan sampai aku pecat kalian." Ancam Arya saat kedua penjaganya itu menertawakannya.
Seketika kedua pria itu mingkem dan tak mau membuat Arya marah.
"Jeki, Jojo, mulai hari ini jangan turuti kemauannya, kalau dia masih kekeh, lapor ke saya!"
"Baik, Nyonya." jawab penjaga itu serempak.
Bingung kan, di satu sisi kedua penjaga itu harus menuruti semua keinginan Arya, namun di sisi lain, Nyonya besar mewanti wantinya untuk menolak. Benar benar berbalik arah.
Nyonya Septi hanya geleng geleng saat menatap punggung polos Arya berlalu dan menghilang.
Saat Nyonya Septi hampir keluar, wanita itu kembali memundurkan langkahnya saat matanya menatap sesuatu di atas ranjang, dengan sigapnya Nyonya Septi menarik selimut tebal yang ada di atas ranjang.
"Ya Tuhan..." Teriak Nyonya Septi, wanita itu terkejut bukan main saat melihat noda merah yang masih menghiasi sprai tempat Arya menginap.
"Anak gadis siapa yang menjadi korban Arya semalam?" Imbuhnya lagi, mempertajam pandangannya kalau yang di lihat itu adalah noda darah.
Dua penjaga itu ikut mendekati Nyonya Septi dan menelan ludahnya dengan susah payah, tak menyangka kalau tadi malam Tuannya menjebol gawang.
"Apa sih Ma teriak teriak," seru Arya dari ambang pintu kamar mandi, dengan tak sopannya pria yang sudah telanjang dada itu memamerkan tubuh atletisnya di depan sang mama yang saat ini naik pitam.
Segera nyonya Septi menghampiri Arya dan memukulnya dengan tas, kali ini wanita itu menangis tersedu sedu.
"Mama kenapa?" Panik, di balik sifat angkuh dingin dan juga kejam, Arya adalah sosok laki laki yang takut jika mamanya menangis dan bersedih.
"Katakan! Siapa gadis yang kamu renggut kehormatannya semalam?" menunjuk ke arah ranjang besarnya.
Mata Arya ikut terpana saat menatap noda merah itu, kejadian di ruangan yang gelap itu kembali melintasi otaknya saat ini.
Plaakkk.... tiba tiba saja tamparan mendarat di pipi kokoh Arya, Nyonya Septi nampak murka dengan kelakuan Arya kali ini. Bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana nasibnya wanita itu saat ini.
"Aku tidak tau, Ma." Gemetar, terlihat ada sedikit penyesalan dari wajah Arya saat mengungkapkan kata katanya.
Bodohnya Arya memang tak ingin mengetahui identitas wanita yang menjadi teman tidurnya.
"Mama ini seorang perempuan, Ar, kamu tau, di dunia ini tidak ada yang paling penting bagi seorang wanita selain sebuah kehormatan, tapi kamu sudah mengambilnya, mama nggak bisa bayangkan, bagaimana perasaan gadis itu saat ini."
Arya makin bingung saja, dan kali ini ia tak mau di salahkan.
"Tapi dia sendiri yang datang Ma, Arya bayar dia, jadi di mana salahnya?"
Plaaak...lagi lagi tamparan keras menerpa pipi Arya.
Kedua penjaga itu hanya bisa menunduk diam tak bisa berkutik, karena di balik kemarahan Nyonya Septi mereka lah dalangnya yang sudah salah memasukkan orang.
"Kamu yakin?"
Arya mengangguk lalu menatap wajah Jeki dan Jojo bergantian.
"Ma....maafkan kami, Tuan," Jeki nampak ragu untuk mengucap.
"Maaf untuk apa?" Arya menghampiri Jeki dan Jojo yang setia mematung di belakang Nyonya Septi.
"Wanita semalam bukan wanita yang Tuan bayar."
"Apa?!" Terkejut.
Bugh... bugh... tanpa aba aba Arya meninju perut kedua penjaganya itu bergantian, "Bagaimana bisa?" Menjambak rambutnya, meskipun rasa semalam itu luar biasa, kini hatinya sedikit tersayat di saat mendengarkan penjelasan dua pengawal itu.
Pantas saja dia begitu lugu saat aku menjamahnya, jadi dia bukan wanita bayaran, lalu siapa dia?
Arya kembali mendekati Nyonya Septi dan berlutut di kakinya.
''Ma, aku akan cari dia, aku akan bertanggung jawab.''
Nyonya Septi ikut berjongkok bersejajar dengan Arya.
''Apapun yang terjadi nantinya, bawa dia ke rumah, mama nggak mau kamu jadi pecundang, mulai sekarang, sadarlah!" menepuk pundak Arya.
"Mama pulang dulu." Tak lupa, seperti biasa Arya memeluk dan mencium kedua pipi sang Ibu, sebelum wanita itu pergi.
Arya berdiri dan kembali menghampiri Jojo dan Jeki.
"Panggil Damar kesini, dan kalian cari gadis itu, aku nggak mau ada kegagalan."
"Baik, Tuan," kedua pria itu ikut pergi dengan perintah dari Arya.
Melupakan mandi sejenak, Arya kembali duduk di tepi ranjang dan memegang noda itu.
"Janjiku pada Mama, siapapun kamu, kita akan menikah, dan kamu akan menjadi nyonya muda di rumah Prasida."
Selama hidupnya Arya menganggap menikah adalah hal yang tabu, namun saat air mata Nyonya Septi mengalir di pipi karenanya, Arya menjadikan semua itu adalah amanah yang harus di jalaninya.
Jam terus berputar, setelah puas dengan drama paginya, kini pria itu kembali ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin, berharap otaknya pun ikut adem dengan kejadian tadi.
Heh, ada senyum kecil yang terukir di saat Arya mengingat kejadian malam tadi.
Gadis itu sangat lugu, bahkan dia nurut perintahku.
Arya mengelus bekas gigitan di pundaknya, meskipun sedikit perih, namun kenangan yang di tinggalkan wanita itu sangatlah legit dan tak bisa di lupakan begitu saja.
Waktu terus bergulir, setelah melewati masa suramnya setelah kejadian malam itu, kini Dhea kembali ceria lagi, meskipun tubuhnya sedikit lemah, gadis itu terus memaksakan diri untuk bekerja demi perekonomian sang Bibi yang hanya bekerja sebagai penjual sayur.
''Kamu kenapa, Dhe?'' Yesi merangkul tubuh Dhea yang hampir saja ambruk, bahkan wajah gadis itu nampak pucat dengan bibir yang mengering.
''Aku nggak kenapa napa, Yes,'' suara pelannya menjawab, namun kali ini Dhea tak bisa lagi menahan rasa pusing dan mual, matanya semakin meremang dan kakinya semakin lentur, dengan perlahan Dhea ambruk ke lantai.
Yesi ikut ambruk karena tak kuat menahan bobot tubuh Dhea yang sama besarnya.
"Dhea banngun!" Yesi menepuk nepuk pipi Dhea, karena tak ada respons, Yesi akhirnya merogoh ponselnya dan memanggil Ambulan.
"Kenapa, Dhea?" sang Manager hotel datang bersama karyawan yang lain.
"Tidak tau, Pak, tiba tiba saja Dhea pingsan, ini saya sudah panggil ambulan."
Tak hanya Yesi, sang Manager dan yang lain pun ikut panik, selain sebagai pelayan yang paling rajin, Dhea pun paling ramah di antara yang lainnya, dan juga mudah memikat hati para pengunjung.
"Ini uang untuk Dhea, kamu jaga dia dengan baik!" perintah sang Manager itu langsung di jawab anggukan oleh Yesi.
Tiga puluh menit, kini Yesi hanya bisa menunggu tim medis yang ada di dalam, dan berharap Dhea akan baik baik saja.
Ceklek, pintu terbuka lebar, Yesi yang penasaran segera berlari menghampiri Dokter yang baru saja membuka maskernya.
"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Yesi antusias.
Ada ulasan senyum dari sudut bibir dokter gagah itu.
"Pasien baik baik saja, saya sarankan, dia makan yang bergizi dan teratur, jangan banyak beraktivitas, karena itu bisa mempengaruhi kehamilannya, apa lagi, kemungkinan besar bayi yang ada di dalam kandungan pasien itu kembar."
Deg, jantung Yesi berhenti berdetak, tubuhnya kaku dan tak bisa di gerakkan, bibirnya keluh, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya bisa menatap punggung Dokter itu berlalu meninggalakannya.
Setelah beberapa menit, Yesi menoleh beralih menatap tubuh Dhea yang ada di atas brankar.
Hamil, selama ini Dhea kan nggak punya pacar, lalu siapa yang menghamilinya? tanya dalam hati.
Dengan langkah lunglai, Yesi menghampiri ranjang dan memegang punggung tangan Dhea yang masih lemas dan tak berdaya.
Aku harus bilang apa jika dia bangun nanti. Apa sebelumnya dia sudah tau ini.
Yesi terus memandang wajah Dhea yang sendu, gadis itu nampak kurus dan layu.
Engh, lenguhan Dhea seraya memegang kepalanya.
"Kamu nggak apa apa, apa kepalamu pusing?" tanya Yesi khawatir.
"Aku ada di mana, Yes, Dhea mengedarkan pandangannya dan menatap setiap sudut ruangan yang ia tempati.
"Kamu di rumah sakit."
Hooweek.... tiba tiba saja Dhea membungkam mulutnya saat merasakan mual, Yesi yang cekatan langsung mengambil ember dari kamar mandi dan meletakkannya di samping ranjang.
Howeek....Lagi lagi Dhea hanya mengeluarkan cairan bening.
Yesi membantu memijat ceruk lehernya, air matanya yang di bendung kini gugur sudah membayangkan bagaimana jika sahabatnya itu melahirkan tanpa seorang suami.
"Siapa pria yang menghamili kamu, Dhe?"
Dengan di iringi air mata Yesi mencoba untuk menguak yang sudah terjadi.
"Apa maksud kamu?" Dhea tak kalah terkejut dengan ucapan Yesi.
"Kamu hamil," merengkuh tubuh Dhea dan sebelum wanita itu terjatuh kembali.
"Apa kamu bilang, aku hamil, enggak, pasti dokter sudah salah, nggak mungkin aku hamil." Dhea menangis histeris, masih mengelak dan tak terima dengan penuturan sahabatnya.
"Tapi kenyataannya begitu, Dhe, kamu hamil, dan anak kamu kembar."
Bahagia di atas penderitaannya, itu lah Dhea saat ini, di satu sisi wanita itu bahagia mendengar ada janin kembar yang ada di dalam kandungannya, namun di sisi lain, ia harus menanggung beban itu sendiri tanpa seorang suami, miris bukan?
"Sekarang katakan! pria mana yang sudah menghamili kamu?" Yesi menangkup kedua pipinya, berharap mendapat jawaban yang jelas.
Dhea enggeleng pelan, "Aku nggak tau, Yes, ruangan itu gelap, dia memaksaku untuk melayaninya."
Malang sekali nasib kamu Dhe, harus menjadi korban pria hidung belang, dan sekarang kamu harus menanggung semua ini sendirian.
Keduanya saling adu tangis, tak menyangka masalah yang menimpa Dhea begitu besar dan rumit.
"Setelah ini apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan keluar kota, aku nggak mau jadi bahan gunjingan, kasihan anakku, setidaknya aku hidup dengan orang asing yang tidak tau asal usul anakku."
"Yes," Dhea mendongak menatap wajah Yesi dengan lekat.
"Bantu aku untuk pergi dari sini, aku akan pergi jauh dari kota ini, hanya kamu yang bisa bantu aku."
Yesi mengangguk, karena ia pun tak bisa mencegah Dhea yang mungkin akan menanggung malu di lingkungannya.
"Aku akan bantu kamu, dan kamu bisa hidup tenang tanpa cemooh orang, dan aku sudah punya tempat tinggal di sana."
Dhea kembali berhamburan memeluk Yesi, "Terima kasih, Yes, terima kasih." ucapnya berulang kali.
Siapa pun papa kamu, mama tidak akan menuntutnya, karena mama sudah iklas untuk merawat kamu, semoga kamu menjadi anak anak kebanggaan mama.
Dengan tekadnya yang sudah bulat Dhea menyetujui untuk hidup di pulau dewata di rumah milik saudara Yesi yang katanya kosong, dengan begitu Dhea akan melupakan kejadian yang kelam itu.
"Kapan aku bisa ke sana?" Tanya Dhea memastikan.
"Secepatnya, aku akan pesankan tiket untuk kamu."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Apakah sudah ada hasilnya?"
"Belum, Tuan, kami tidak bisa menemukan gadis yang masuk ke kamar Tuan,"
Dengan kerasnya Arya menendang kaki Jojo dan Jeki hingga terjatuh, sedangkan yang lain berlari terbirit birit keluar, tak mau menjadi amukan Arya yang selanjutnya.
Dengan sigap kedua pria itu kembali bangkit, siap menjadi pelampiasan amarah Arya saat ini.
"Apa kalian memang sudah bosan bekerja, apa kalian mau aku pecat?" Ancam Arya.
Kedua pria itu hanya bisa diam, sedikitpun tak ingin membantah.
" Kalau nyari itu pakai otak, bukan dengkul." Memukul lutut Jojo dan Jeki dengan gagang sapu.
Ya, pakai dengkul lah, Tuan, kalau pakai otak saja, nggak jalan, mana bisa ke mana mana.
Nyatanya Jojo hanya bisa ngedumel dalam hati, baginya apapun yang di katakan sang raja itulah yang benar.
Huh.... Arya menghela napas dan menghempaskan tubuhnya kembali di atas sofa.
Kamu ke mana sih, siapa nama kamu, dan di mana tempat tinggal kamu.
Makin hari hati Arya makin gelisah, bahkan semenjak kejadian itu Arya tak ingin menyentuh wanita manapun, gairahnya menghilang dan selalu mengingat malam itu, malam yang penuh dengan keistimewaan dan penuh dengan cinta.
Aku jatuh cinta padamu, gadis misterius, sampai kapanpun aku tetap mencarimu, kamu akan menjadi nyonyaku.
"Arya..."
Segera Arya memejamkan matanya saat suara cempreng itu memanggilnya.
Jojo dan Jeki hanya bisa bersiul di tempat tanpa ingin pergi, karena bagi mereka berdua, pembalasan yang paling ampuh adalah menyaksikan Arya saat di marahi Nyonya Septi.
"Jangan pura pura tidur kamu," menarik rambut Arya, dan sungguh pria itu benar benar tak bisa untuk mengelabui wanita yang sudah melahirkannya.
"Ada apa, Ma?" Terpaksa Arya membuka matanya.
"Mana calon mantu mama?" tanya Nyonya Septi menuntut.
"Belum ketemu, kalau mama mau marah, marah sama Jojo dan Jeki, karena mereka tidak bisa menemukan calon mantu mama."
Sring, bagaikan hunusan pedang, tatapan Nyonya Septi mengarah ke wajah Jojo dan Jeki yang manahan tawa, ternyata saat ini tak sesuai ekspektasi pengawal itu, karena Nyonya Septi langsung melempar keduanya dengan bantal.
"Jojo, Jeki, kalian harus serius cari calon istri Arya, jangan main main. Sekarang coba kalian cari ke luar kota!"
Kedua pria itu membungkuk sopan.
"Baik, Nyonya."
Setelah mendengar perintah Nyonya Septi, kedua penjaga itu keluar dari kamar Arya.
Kalau marahin Jojo dan Jeki saja, hanya bentakan dan timpukan, tapi kalau aku, pasti jeweran, kalau nggak tamparan, cubitan.
"Arya sayang mama," tetap, pria itu memeluk Nyonya Septi dari samping.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!