NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Nenek ( Mas Dokter )

Paksaan sang Bibi

"Khanza, kamu nikah saja sama Surya, yah.?" ucap Bi Arum, saat aku meletakkan minuman untuknya dan Sofi, sepupuku.

"Tapi, aku belum mau nikah, BI."

BI Arum, meneguk minuman yang kubuat.

"sudahlah, Za, nikah saja!. Bibi sudah tak sanggup biyayain hidup kamu, kamu lihatkan, Sofi, sepupumu ini semakin besar, kebutuhannya juga semakin banyak, Za.!" BI Arum melirik Sofi yang terduduk di sampinnya, Sofi melirik ibunya sekilas lalu kembali fokus pada gawainya.

"Khanza, bisa cari kerja kok, Bi" elakku

"Kamutuh cuma lulusan SMA, mau kerja apa kamu.?"

dari nadanya bicara, jelas BI Arum meragukan ku. bagaimana tida, aku sendiripun sebenarnya ragu. Aku seorang gadis pemalu dan tak pernah keluar rumah kecuali bersama nenek, bukankah akan sulit bagiku untuk mendapatkan pekerjaan.

Tapi, Khanza, kamu tidak boleh menyerah pada keadaan, setidaknya kamu harus berusaha, perlihatkan pada Bi Arum, kalau kamu bisa!.

"apa aja Bi, yang penting halal, Khanza janji, kalau Khanza sudah bekerja Khanza, gak akan repotin bibi lagi." jawabku sembari meyakinkan diri sendiri.

"terus, yang urus Nene siapa? yang jagain Nene siapa? hah!."

aku menunduk, memang benar yang BI Arum katakan. jika aku bekerja siapa yang akan menjaga nenek, apalagi akhir-akhir ini nenek sering sakit-sakitan.

dulupun, ketika ibu dan ayah masih ada, nenek memang sudah tinggal bersama kami. padahal nenek mempunyai dua anak perempuan, dan ayah satu-satunya anak lelaki nenek.

aku juga pernah mendengar obrolan Nene dan ibu dulu, kalau Nene lebih senang tinggal dengan menantu perempuannya ketimbang putri-putrinya, dan aku baru paham alasannya, ketika ibu dan ayah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

ya ... mereka tidak memperhatikan nenek, mereka sibuk dengan dunia mereka, dengan pekerjaan mereka, dengan perusahaan mereka. oh ... tidak, lebih tepatnya perusahaan ayahku.

ayahku, Danu Aditya. yang merintis usahanya dari nol hingga sejajar dengan perusahaa-perusahaan terkemuka di kota ini. Danu Aditya, yang mengangkat derajat keluarganya hingga mampu hidup layak. Danu Aditya, yang harus kehilangan nyawanya beserta istrinya, dalam kecelakaan maut delapan tahun yang lalu.

tapi, mereka seolah lupa dari mana kekayaan mereka bermula. Ayah meninggal tanpa menuliskan wasiat apapun, dan itu membuat mereka mudah mengambil alih hak ku.sementara aku dan nenek tak mampu berbuat apa-apa selain menurut pada mereka. toh selama ini mereka memberikan uang bulanan pada ku dan nenek. pikirku dulu.

namun, sekarang aku menyesal, mengapa dulu aku tak meminta hak ku. jika aku punya sebagian harta ayah mungkin kami tidak lagi bergantung pada Bi Arum, dan Bi Arum tak bisa memaksaku seperti ini.

" udahlah Za, nurut aja sama bibi!. " BI Arum, membuyarkan lamunanku.

" lagian, bibi juga udah terima lamaran mereka, dan Minggu depan mereka akan kesini. " sambungnya.

mataku mulai memanas, pandanganku mulai berembun. Ya Allah, andai ayah dan ibu masih ada mereka pasti tidak akan membiarkan putri satu-satunya menikah di usia semuda ini. Ya Allah, aku harus bagaimana, aku belum siap.

" Ibu, tidak setuju!." nenek keluar dari kamarnya, masih dengan mukenanya sepertinya nenek baru selesai melaksanakan sholat isya.

" Ibu mau, Khanza, melanjutkan kuliah!, bukan menikah!." bela nenek.

" gak bisa bu, aku udah terima lamaran keluarga Surya. " sergah BI Arum.

" ya, di batalkan!." nenek menekan suaranya.

BI Arum berdiri menghampiri nenek.

" Bu, mereka juga janjiin mahar yang besar buat Khanza, ya, kalau Khanza ingin kuliah, tinggal minta saja sama Surya, pasti mereka juga mau biayain kuliahnya Khanza. "

" astaghfirullah, Rum, kamu mau jual keponakan mu. " nenek semakin berapi-api.

" nenek gak setuju Rum, Surya itu laki-laki yang tidak baik, kurang didikan agamanya, nenek gak mau Khanza menikah dengannya."

" pokoknya, Khanza harus menikah dengan Surya, karena, keluarga Surya akan datang ke sini Minggu depan!." BI Arum, semakin menentang nenek.

" astaghfirullah, Rum, kamu ... akkhh .... " nenek tak dapat meneruskan ucapannya takkala merasakan sakit yang teramat nyeri di dadanya.

" astaghfirullah, nenek!."aku yang sedari tadi diam sambil menangis mendengar perdebatan mereka, segera menghampiri nenek.

Bi Arum dan Sofi, tampak panik, lantas kami segera membawa nenek ke rumah sakit, menggunakan mobil Bi Arum.

karena sepertinya, sakit jantung Nenek kambuh lagi.

Di rumah sakit

Di ruangan UGD, Nene segera di tangani dokter. sudah hampir dua jamman Nene di dalam namun, belum juga menunjukan tanda-tanda sadar, aku semakin kalut, rasnya tak sanggup jika harus kehilangan lagi. ya Allah, aku tidak ingin kehilangan nenek, tolong sadarkan nenek, sembuhkan nenek, pintaku dalam doa.

sementara BI Arum dan Sofi, sudah pulang sejak sejam yang lalu. Bi Ana, putri ketiga nenek juga tidak bisa datang karena katanya besok ada meteng penting. apa pekerjaan itu lebih penting dari ibu mereka.

lelah menangis, tak sadar jika aku tertidur di samping nenek.

aku mengerjap kan mata karena, serasa ada tangan yang mengusap kepala ku yang terbungkus hijab, ku dongakkan kepala dan ternyata Nene sudah sadar.

" nenek sudah sadar? "

wanita tua yang telah merawatku semenjak kepergian kedua orang tuaku itu tersenyum.

ku usap muka ku dengan kasar dan ikut tersenyum.

" Za, panggil dokter sebentaryah Nek.! " nenek mengangguk dengan isyarat mata nya.

segera ku langkahkan kaki ini menuju ruang dokter yang menangani nenek tadi.

di depan ruangannya aku ragu mengetuk pintu, dan ahirnya hanya berdiam di depan pintu. tak lama kemudian pintu itu terbuka, menampakkan sosok yang hendak ku panggil tadi, aku terkejut.

" ada apa dek?." tanyanya sopan.

"itu, dok ... em ... nenek ...." aku yang memang sejak dulu tak pernah mengobrol dengan lelaki menjadi gugup kala berhadapan langsung seperti ini.

" nenek kamu kenapa?. " tanyanya lagi.

" nenek, sudah sadar, dok!" ahirnya, kata itu meluncur mulus dari lidahku ini.

" Alhamdulillah, kalau begituh, mari kita lihat!" ia berjalan mendahuluiku.

pak dokter, tadi memeriksa Nenek ia bilang kondisi nenek sudah membaik, aku sangat lega mendengarnya.

Allahuakbar ... Allahuakbar ....

adzan subuh berkumandang, nenek menyuruhku untuk solat, namun, bagaimana aku bisa sholat jika tidak membawa perlengkapan sholat, seperti tahu dengan apa yang sedang ku pikirkan nenek menyuruhku tuk solat di mushola yang berada di rumah sakit ini.

" tapi, nanti Nene sendirian "

" Nene, gak papa Za, kata dokter juga, Nene baik-baik saja kan, dok? " nenek melirik pada sang dokter yang masih berada di ruangan Nene. Dokter itu membalasnya dengan senyuman.

" tapi, Nek, Za, ... gak tau musolah nya di mana!" ucapku dengan malu-malu, bagaimana tidak malu di sini masih ada pak dokter, dan bukannya aku tidak mau melaksanakan kewajiban ku, hanya saja, aku yang mudah lupa ini sering tersesat jika berada di tempat baru.

" kalau begitu, bareng saya saja, saya juga mau sholat!" tawar sang dokter, yang kemudian di tanggapi dengan anggukan oleh Nene, bukan hanya anggukan namun, juga senyuman dan kedipan mata yang entah apa maksudnya.

kami berjalan beriringan menuju musholah, tanpa sedikitpun obrolan. dan tanpa kami sadari beberapa pasang mata memperhatikan kami. hingga ahirnya kami sampai di musholah pak dokter pergi mengambil wudhu ke tempat wudhu laki-laki setelah sebelumnya menunjukan tempat wudhu perempuan pada ku.

usai sholat aku bergegas keluar dari musholah teringat Nene yang sendirian di ruangannya, tapi, di depan pintu aku terkejut melihat pak dokter yang masih di sini berdiri bersandar pilar dengan kedu tangannya yang di masukan di saku celana.

" loh, pak dokter kok, masih di sini.? "

ia menatapku, " nungguin kamu!, takutnya kamu nyasar.!"

aku tersenyum kikuk, antara malu tapi juga butuh bantuan penunjuk jalan. hehe

pak dokter mengantarku hingga masuk ke ruangan Nene, mereka berbincang-bincang seolah seperti orang yang sudah akrab, atau mungkin karena memang pembawaan sang dokter yang ramah dan sopan.

" sekali lagi, saya terima kasih, loh, dok, kalau gak ada dokter pasti cucu saya udah nyasar. maklumlah Za ini anaknnya pelupa, pemalu pula, juga tak pernah kemana-mana!." ucap Nene yang membuatku kembali merasa malu.

" sama-sama, Nek,"

pak dokter keluar dari ruangan Nene. namun, selang beberapa puluh menit ia kembali, dengan membawa bingkisan yang berisi makanan.

ia bilang membelikannya untukku agar aku tak usah keluar-keluar lagi. diam-diam aku tersenyum, perhatiannya membentuk perasaan asing yang menjalar di hati. entah, apa namannya?.

" wah, lagi-lagi merepotkan, terimakasih yah, dok, dok ... siapa namanya?." lagi, Nene yang menanggapi.

" Idris, nek "

lantas ia berpamitan, karena, shift nya telah usai. aku mengantarnya hingga ke luar.

sejujurnya, perhatiannya pada Za, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya hawatir dengan Za, dan karena sifat pemalu Za, mengingatkannya pada seseorang.

Desas-desus

Tiba waktu sholat Dzuhur, Za, memberanikan diri pergi ke musholah dengan mengingat-ingat letak musholah di rumah sakit ini, Za, yang mudah lupa sempat hampir tersesat, beruntung ia segera menyadarinya.

setelah selesai menunaikan kewajibannya, dan hendak kembali keruangan neneknya di rawat, Za, tak sengaja mendengar desas-desus para perawat yang sama-sama baru selesai sholat. membicarakan dokter Idris.

" eh, kalian tau gak sih, dokter yang ganteng itu nama siapa,?" tanya salah satu perawat yang kemungkinan masih baru.

" di sini, dokter ganteng tuh banyak!, dokter yang mana.?" jawab salah seorang perawat.

" ih, itu loh, dokter spesialis jantung yang masih muda itu, kemarin, sebelum shift gue abis, gue sempet ketemu tuh sama dokter ganteng itu."

" oh, itu dokter Idris, emang beliau itu populer di kalangan cewek-cewek, selain karena beliau ganteng, beliau juga pintar, baik ke semua orang, dan yang paling baiknya adalah beliau masih jomblo!" perawat yang ku taksir usianya di atas tiga puluhan itu terkekeh, sementara perawat yang bertanya tadi tersenyum bahagia.

" beliau juga alim banget, gak pernah tuh tebar pesona kayak dokter Sam, sahabatnya dokter Idris." ujar perawat yang lain.

" Iya, dan kayak nya tuh dokter, juga, masih Ori deh, secara kan, kita gak pernah bersentuhan sama tuh dokter, mau Salim aja dia mah nangkupin tangannya di depan dada. dan kalau lagi nanganin pasien dia pasti minta di temeninya sama perawat laki-laki, yah, kecuali kepepet barulah perawat perempuan punya kesempatan." perawat yang lain menanggapi di Sertai kekehan, dan di sambung kekehan perawat lainnya.

mendengar percakapan para perawat tadi, tak terasa sudut bibir Za membuat lekungan bak bulan sabit. bahkan ada rasa hangat yang menjalar di hatinnya. Aneh!, perasaan yang tak pernah Za rasakan sebelumnya, terasa aneh ... juga ... entahlah, Za tak mampu menafsirkannya.

namun, segera ia tepis rasa itu, mana kala ia mendengar kekesalan para perawat yang melihat sang dokter bersama seorang wanita subuh tadi. Yang tak lain wanita itu adalah Za.

" eh, tapi, kalian tau gak? kata perawat yang jaga semalam. subuh tadi, dokter Idris, ke musholah bareng cewek loh, bahkan sampe nungguin tuh cewe selesai sholat. Terus katanya mereka jalan bareng lagi. " ucap salah seorang perawat.

" beneran!. Siapa tuh cewe?." tanya perawat muda yang lain antusias.

" ya ... mereka juga gak tau sih, tapi, ya, kalau sampe nungguin gitu, itu cewe pasti special lah but dokter Idris."

" pokoknya!, sebelum ganti shif kemarin, mereka heboh, ngomongin dokter Idris, ada yang liat juga, tuh cewe sama dokter Idris masuk ruang melati. kayanya tuh cewe masih di sini deh." sambungnya lagi.

" kayaknnya, tuh cewe pasiennya deh!."

" pasien kok, bisa jalan!. "

" yah, namanya juga pasien spesial. haha .... "

perawat yang lebih dewasa menggoda perawat baru yang menyukai dokter Idris.

terlihat kekesalan pada wajah perawat baru itu.

" Dih!, sebel banget, kita yang mati-matian caper sama dokter Idris aja, gak di respon, eh, tuh cewe malah di perhatiin segitunya. Enak banget tuh cewe." kesal salah seorang perawat yang lain.

tanpa mereka tahu wanita yang mereka bicarakan itu ada di dekat mereka. Za, bergegas pergi dari musholah, sebelum mereka menyadari jika ada yang mendengar perbincangan mereka.

kembali ke ruangan Nene, Nene menanyai Za.

" gak nyasar kan Za!."

" Alhamdulillah, gak dong!, cuman tadi hampir salah jalan, hehe. " Za terkekeh. sementara Nene menggeleng-gelengkan kepala.

" Za, ... Za, kamutuh harus sering-sering keluar biar gak pelupaan kaya gitu!."

" he he he, tapi, Za lebih seneng di rumah temenin Nene." Za mendekat seraya memeluk sang Nene.Nene mengelus bahu Za.

" Bi Arum, sama Bi Ana, udah di kabarin lagi Za?."

Za, terdiam sejenak, memilih alasan yang tepat agar Nene tak kecewa. Za, memang telah mengabari Bi Arum dan Bi Ana, dengan ponsel Nene. Namun, mereka bilang belum bisa jenguk ibu mereka. Bahkan bi Arum mau menjenguk Nene jika Za bersedia menikah dengan Surya.

Astaghfirullah, aku harus bagaimana ya Allah, menikah dengan Surya atau memberi tahukan kebenarannya pada Nene.

" Insyaallah, setelah pekerjaan mereka selesai, mereka akan jenguk Nene. " bohongku

" mereka tidak peduli sama Nene kan, Za, "

" bukan begitu Nek, mereka peduli. Tapi, mereka .... " belum sempat ku lanjutkan kalimatku Nene memotongnya.

" sudahlah, Za, jangan kau bela bibi-bibimu itu. cukup kamu bersama Nene, Nene sudah senang."

Nene tersenyum seraya menggenggam tanganku. Namun, ku tau di dalam hatinya Nene pun ingin di perhatikan anak-anak nya. Aku membalas genggaman tangan Nene.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!