Makan malam yang hangat seperti biasa, saling bercerita pengalaman masing-masing hari ini. Masakan nenek yang sederhana mendapat pujian yang luar biasa dari dua anak perempuan yang tinggal bersama di sebuah rumah kontrakan sederhana. Nenek Ida hanya tersenyum seperti biasa mendengarkan Mia dan Fiona bercerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami hari ini, walaupun tidak ada yang terlalu berarti, hampir sama setiap harinya tapi tetap selalu menarik untuk di ceritakan.
“Kamu ingat dengan Om Johan”?, tanya Nenek Ida ketika Mia dan Fiona sedang asyik bermain dengan ponsel mereka setelah makan malam.
Mia menerawang mencoba mengingat-ingat siapa Om Johan yang di maksud Neneknya. Tiba-tiba Mia mengangguk cepat pertenda telah mengingat sosok yang di maksud neneknya.
“Om Johan teman ayah yang kaya itu kan?”, Mia memperjelas ingatannya. Nenek Ida mengangguk pelan, lalu menghela nafas dengan sangat berat. Ntah bagaimana cara menyampaikannya pada cucunya itu.
“Ada apa Nek?”, Mia mulai melihat ada yang tidak beres dengan ekspresi Neneknya yang diam tiba tiba tapi kelihatan sangat gelisah.
Mia meletakkan gawainya lalu mendekati wanita yang rambutnya sudah mulai memutih. Mia menggenggam tangan yang sudah keriput itu dengan kedua tangannya “ada apa Nek?” tanyanya sekali lagi. Nenek Ida kembali menghela nafas berat sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Beberapa hari yang lalu Om Johan datang kemari menemui Nenek”. Mia mendengarkan dengan seksama, Fiona yang sedang menonton tv mengecilkan volume tvnya dan ikut mendengarkan apa yang akan di katakan nenek sahabatnya itu yang juga sudah Fiona anggap sebagai keluarga.
“Beliau menyampaikan sebuah amanah dan janji yang telah disepakati olehnya dan Ayahmu”. Mia dan Fiona masih mendengarkan tanpa memotong perkataan Nenek Ida.
“Sejak umur lima tahun, mereka sudah menjodohkan kalian”. Mia dan Fiona saling pandang.
“Mia, dijodohkan?dengan siapa?” Fiona mewakili apa yang hendak di tanyakan Mia.
Nenek ida mengangguk lemah. “Dengan putra tunggal Om Johan, Donny namanya”. Mia masih terpaku dengan kedua alis ternagkat dan mata yang membulat sempurna.
“Seingat Mia, Om Johan itu orang yang sangat kaya. Masak iya dia mau jodohkan anaknya dengan Mia”, ujar Mia tidak percaya di ikuti anggukan cepat dari Fiona seolah setuju dengan apa yang di katakan Mia. Nenek Ida mendesah pelan “tapi seperti itulah kemyataannya Mia” ujarnya kemudian.
“Perjodohan ini adalah amanah dari Ayahmu. Nenek harap kamu mau menerimanya”.
“Tapi apa anaknya Om Johan bersedia Nek?”, tentu saja Mia ragu. Dalam ingatannya, teman ayahnya itu orang yang sangat kaya. Bagaimana tidak, setiap mengunjungi ayahnya di Bandung, temannya itu selalu berganti mobil, juga ada pria bertubuh besar dengan setelan jas lengkap yang selalu mengikutinya. Mia juga ingat beberapa mainan mahalnya adalah pemberian teman ayahnya itu. Jika di badingkan dirinya yang hanya seorang yatim piatu yang hidup sederhana dan tidak memiliki apapun, mereka sungguh tidak sepadan.
“Om Johan sudah bicarakan ini dengan anaknya, dan diapun juga setuju dengan perjodohan ini.” Mia dan Fiona menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Bagaimana mungkin.
Walalupun belum pernah bertemu, tapi sekali lagi dalam ingatannya walaupun sudah tidak begitu jelas, teman ayahnya itu cukup tampan. Jadi mungkin saja anaknya juga tampan. Bagaimana mungkin ada laki-laki sempurna yang mau menerima perjodohan di jaman modern seperti ini. Mia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya setelah bermonolog dengan pikirannya.
“Kamu maukan?” Tanya nenek ida dengan sangat lembut. Mia terpaku tidak bisa mengatakan apapun. Suasana hening sejenak, Fiona memandangi Mia menunggu reaksi apa yang akan di tunjukkan sahabatnya itu.
“Tapi Mia tidak mengenalnya Nek, bagaimana mungkin Mia akan menikah dengan orang yang tidak Mia kenal”. Mia akhinya membuka suara. Nenek Ida menggenggam lembut kedua tangan Mia dan mengusap usapnya.
“Nenek tahu kamu pernah terluka dan mungkin luka itu masih basah sampai saat ini”. Mia kembali menunduk, Fiona mengusap punggung Mia. Suasana kembali hening.
“Tapi ini adalah cara untuk kamu sembuh, kamu tidak boleh selamanya memelihara luka itu”, Mia melepaskan genggaman tangan Nenek Ida dan menghapus cairan bening yang mengalir dipipinya entah sejak kapan.
“Kasih Mia waktu” pinta Mia. Nenek ida mengangguk setuju “besok pagi Nenek ingin mendengar jawaban kamu”.
“Besok pagi???” ujar Mia dan Fiona serentak lalu saling memandang, Nenek Ida mengangguk.
“Om Johan ingin bertemu besok malam” Mia dan Fiona kembali terkejut, “secepat itu?” Tanya Mia, nenek ida kembali mengangguk.
“Om Johan ingin segera menikahkan kalian, karena dia harus kembali ke Spanyol secepatnya”. Jelas Nenek Ida seperti apa yang di katakan Johan tadi siang padanya. Walaupun alasan sebenarnya adalah agar Donny tidak berubah fikiran dan untuk membuat Donny segera melupakan kekasihnya yang telah mengecewakannya.
Jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Mia sama sekali belum bisa memejamkan matanya, begitu juga dengan Fiona. Gadis itu tidak ingin membiarkan sahabatnya berfikir sendirian.
“Apa yang aku harus lakukan, Fi?”. Entah sudah berkali pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
“Aku tidak pernah berfikir sampai sejauh itu. Menikah. Bahkan dengan orang yang sama sekali tidak aku tahu seperti apa wajah dan hatinya”.
Fiona memeluk bahu sahabatnya itu. Sejujurnya, dia juga tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya begitu tiba-tiba, dan Mia hanya di beri waktu beberapa jam saja untuk berfikir.
“Ayah, apa yang harus Mia lakukan”. Mia menghela nafas berat lalu menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Dari hati terdalam, dia tidak ingin menerima perjodohan ini. Setelah luka yang dia alami, setelah penghianatan besar yang harus dia terima, dia tidak ingin lagi membuka hati pada siapapun. Dia sudah berjanji untuk tidak akan pernah mengenal cinta dan membiarkan seseorang menyakitinya karena cinta.
“Aku tahu, kamu keberatan kan?”. Mia mengangguk. “Aku tidak mau, Fi”, katanya dengan suara pelan.
“Tapi ini amanah Om Tiar”. Mia menatap Fiona, benar ini adalah permintaan terakhir dari ayahnya. Menolak perjodohan ini sama saja menolak permintaan ayahnya. Dan ini adalah permintaan terakhir ayahnya.
Mia mulai memejamkan matanya. “Tidur yuk, Fi”, katanya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Fiona lalu masuk kedalam selimut bersama Mia.
Gadis itu sudah menemukan jawabannya. Ya, dia akan menerima perjodohan itu, demi ayahnya, demi permintaan terakhir ayahnya. Jika dengan menerima perjodohan ini dia bisa mengurangi rasa bersalah pada ayahnya, kenapa tidak. Hanya menikah, dengan siapapun tidak lagi penting. Toh hatinya sudah lama mati.
Kedua gadis itupun akhirnya terlelap, masuk ke alam bawah sadar masing-masing. Mengistirahatkan hati dan jiwa yang kelelahan. Mempersiapkan diri menyambut esok yang mungkin akan lebih berat dari hari-hari sebelumnya.
“Malam ini Papa mengundang Mia dan Neneknya untuk makan malam sekaligus membicarakan tentang pernikahan kalian”, ujar Johan Oliver saat sarapan tanpa mau di bantah. Donny Adriano Oliver hanya bisa pasrah menerima perodohan ini.
Sebenarnya Johan juga sudah melupakan perjodohan ini, dia ingin membiarkan Donny menentukan sendiri pendamping hidupnya. Diapun berkali-kali mendesak Donny untuk segera menikahi kekasihnya mengingat umurnya yang sudah kepala tiga. Tapi kesabaran Johan pada akhirnya telah habis hingga dia memberi kesempatan terakhir kepada Donny untuk menikahi kekasihnya, jika dalam tahun ini pun mereka belum menikah maka Donny harus setuju dengan perjodohan yang sudah di bicarakan sebelumnya.
Adalah Natasya Calista seorang model internasional kelas atas yang sudah menjadi kekasihnya selama enam tahun, menolak usulan pernikahan yang di ajukan Donny. Ini juga bukan yang pertama kali Natasya menolaknya. Walaupun kecewa dengan penolakan Natasya, Donny tetap setia menunggu sampai Natasya siap meninggalkan dunia yang sudah membesarkan namanya dan menjadi Nyonya muda Oliver.
Mia nampak cantik dalam balutan dress sederhana berbahan renda dengan kerah. Warna peach terlihat senada dengan kulitnya yang cerah membuatnya terlihat sangat cantik. Dia berulang kali menghapus make up yang di pakaikan Fiona karena terlalu berlebihan menurutnya. Dan akhirnya make up sederhana dari Fiona menjadi pilihannya.
Mobil sedan mewah berwarna hitam melesat dengan cepat membelah jalanan ibu kota, mobil itu di kirim keluarga Oliver untuk menjemput Mia dan Neneknya. Sepenjang perjalan, Mia terlihat sangat gugup membayangkan seperti apa keluarga Oliver akan bereaksi padanya. Genggaman nenek Ida tidak bisa menenangkan kegusupannya.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari satu jam, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang nampak sangat mewah. Dari kejauhan, Mia bisa melihat ada beberapa orang yang berdiri di depan sebuah pintu yang cukup besar. Mobil pun berhenti, sang supir turun duluan dan membukakan pintu mobil untuk tamu spesial Tuannya.
Johan terpaku melihat Mia yang baru saja turun dari mobil, wajah gadis itu terlihat sangat familiar baginya. Johan tersenyum, menyapa Mia dan nenek Ida dengan ramah. Sedangkan Laura, Mama Donny sudah memasang wajah tidak ramahnya sejak kedatangan mereka, tapi dengan caranya yang elegan.
“Terima kasih sudah mau datang”, sapa Johan dengan ramah.
“Kami merasa terhormat dengan undangannya”. Ucap nenek Ida tak kalah ramah.
“Terakhir Om melihat kamu, kamu masih kecil. Tidak terasa sekarang kamu sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik”. Johan mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu sambil menunggu makan malam selesai di siapkan.
“Om sangat senang kamu mau menerima perjodohan ini”. Di antara semua orang, Johan yang terlihat paling bahagia. Sejak kedatangan Mia dan neneknya, dia tidak pernah berhenti tersenyum.
Mia tersenyum dengan canggung, sebisa mungkin dia mengontrol ekspresi wajahnya arag tetap terlihat sopan. Dia tidak merasa nyaman dengan pandangan Laura padanya. Sekilas saja dia tahu, wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak muda lagi itu tidak menyukainya.
Mereka sudah duduk di meja makan, berbagai hidangan lezat tersaji di atas meja panjang itu. Tapi tentu bukan itu yang menajdi perhatian utama Mia, walaupun tidak di pungkiri dia sedikit tersenyum melihat begitu banyak makanan di depannya.
Laki-laki yang akan di jodohkan dengannya, di mana dia. Apakah dia merubah pikirannya dan membatalkan perjodohan ini. Akan sangat baik bila itu terjadi. Begitu mia bermonolog pada dirinya.
“Maaf terlambat”. Suara berat menghentikan percakapan ringan Mia dengan Johan. Mia memandang laki laki yang baru saja menarik kursi di samping Laura masih dengan setelan lengkapnya.
Kulitnya lebih putih dari Mia, tingginya kira-kira dua jengkal diatasnya. Dan auranya sangat kuat, dia seperti magnet yang akan menarik setiap gadis yang melihatnya.
Sayangnya, mata dan hati Mia telah terselimuti luka yang masih membekas sehingga dia tidak bisa melihat dengan jelas atau belum bisa melihat dengan jelas pesona yang di pancanrakan calon suaminya itu, yah laki laki dengan suara berat itu adalah calon suaminya, Donny Adriano Oliver.
“Donny, ini Mia yang papa ceritakan, cantikkan”, Johan memperkenalkan Donny dan Mia. Donny berdiri mengulurkan tanggannya dengan sopan “Donny”. “Mia” Miapun berdiri menyambut uluran tangan Donny. Mereka kembali duduk setelah saling menukar nama.
“Papa harap kalian bisa menikah secepatnya”. ujar Johan penuh semangat. Terbesit penyesalan di hatinya sempat melupakan perjodohan ini. Dia melihat Soraya dalam diri Mia yang tidak lain adalah ibu Mia.
Soraya adalah cinta pertama Johan walaupun pada akhirnya Soraya menikah dengan Tiar, ayah Mia, Johan tetap menjalin persahabatan yang sangat dalam dengan kedua orang tua Mia. Mungkin inilah takdir, ketika Johan merestui Donny untuk meminang Natasya sebagai istrinya dan melupakan janjinya untuk menikahkan anaknya dengan anak sahabatnya itu, Natasya justru menolak dengan alasan belum siap terikat dengan ikatan pernikahan
Johan berjanji pada dirinya sendiri akan menebus kesalahannya karena dengan sengaja mengabaiakan janji yang telah dia buat dengan sahabatnya. Dia akan menikahkan anak-anak mereka sesua dengan janji mereka, dan membuat Mia bahagia.
“Bagaimana Mia?” Mia melirik Donny yang sedari tadi sibuk dengan lauk pauk yang ada di piringnya.
“Mia ter….”
“Biarkan mereka mengenal dulu pa”, potong Laura Sebelum Mia sempat menyelesaikan ucapannya.
“Ini adalah pernikahan, bukan permainan, Mama tidak mau Donny memilih pasangan yang salah”.
“Bukankah kita sudah membicarakannya”, Johan menatap istrinya dengan lembut berusaha mencegahnya untuk mengeluarkan kata kata yang akan menyinggung Mia dan Neneknya karena sejak awal Laura berisikeras menolak perjodohan ini.
“Papa atur saja”. Donny akhirnya bersuara, dia mengalihkan pandangannya pada Mia yang kebetulan melihat ke arahnya. Donny tersenyum ramah padanya setelah pandangan mereka saling bertemu. Mia hanya diam saja tidak memberi reaksi apapun.
“Saya akan mengirim sopir untuk menjemput kamu besok saat makan siang”. Mia membulatkan matanya, Donny kemudian berdiri dari duduknya, “permisi, ada hal penting yang harus saya selesaikan” pamitnya kemudian. Seangkan Mia, dia masih dengan ekspresi terkejutnya. ‘Untuk apa mengirim sopir?’
“Mafkan Donny, dia memang seperti itu. Tapi Om pastikan, dia tidak akan mengecewakan kamu”. Mia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Acara makan malampun selesai. Tidak ada yang berkesan, kecuali sahabat ayahnya yang dalam ingatannya memang selalu baik. Tapi ada sedikit kegelisahan di hatinya mengetahui Donny tidak menolak perjodohan ini.
Bagaimana nanti dia akan hidup dengan laki-laki seperti itu, terkesan sangat dingin dan cuek. Di tambah lagi dengan calon ibu mertua yang jelas-jelas menunjukkan kalau dia tidak menyukai dirinya. Ingin rasanya dia menolak perjodohan ini, tapi itu akan membuat rasa bersalah pada ayahnya semakin besar.
Bukankah besok laki-laki itu bilang akan mengirim sopir untuk menjemputnya. Mia akan bicara padanya, dan meminta untuk membatalkan perjodohan ini.
Sebuah mobil sedan mewah sudah menunggu Mia di depan perusahaan tempatnya bekerja, sesuai dengan apa yang dikatakan Donny kemarin malam padanya. Hari ini Mia meminta izin untuk pulang lebih awal, tentu saja untuk bertemu dengan Donny, calon suaminya.
Seorang pria yang mungkin seumuran dengannya keluar dari dalam mobil begitu melihatnya keluar dari pintu kaca.
“Nona Mia Anggriani?” tanya laki-laki itu sopan. Mia hanya menjawabnya dengan bergumam. Laki-laki dengan pakaian jas lengkap dengan kaca mata hitamnya membukakan pintu belakang mobil dan mempersilahkannya masuk. Setelah melihat Mia sudah duduk dengan nyaman, laki-laki itu masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi lalu mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya.
Mobil sedan mewah yang berbeda dengan yang kemarin menjemputnya itu berhenti di sebuah restoran yang cukup mewah. Alfandy, sekertaris sekaligus asisten pribadi Donny yang sudah menunggunya sejak tadi mengantar Mia ke salah satu ruang privat yabf ada di restoran ini.
Di dalam ruangan itu sudah ada Donny yang menunggunya. Di sana juga ada seorang laki-laki selain Donny, umurnya mungkin hampir sama dengan Donny.
“Silahkan duduk”. Mia kemudian duduk di kursi di mana Donny mempersilahkannya duduk.
“Kita langsung saja”. Donny menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Mia. Gadis itu menerima kertas-kertas yang Donny berikan dengan kening yang mengkerut.
“Bacalah dengan teliti,” ujarnya lagi dengan nada yang sopan. Selain terkenal keras dan tegas dan sangat di segani oleh semua rival bisnis dan tentu saja semua karyawannya, Donny juga terkenal sangat sopan saat berbicara dengan orang lain, siapapun itu.
Mia membelalakkan matanya, terkejut membaca isi surat itu.
“Perjanjian pernikahan.” Mia menatap Donny penuh tanda tanya.
“Apa kamu benar-benar ingin menjadi istri saya?” Tanya Donny sedikit sarkas. Mia memiringkan bibirnya lalu kembali membaca poin demi poin yang tertera pada perjanjian itu. Walaupun sempat terkejut tapi hati Mia sangat lega mengetahui Donny juga sebenarnya tidak tertarik dengan pernikahan bodoh ini.
“Enam bulan?” Mia kembali terkejut.
“Enam bulan lebih dari cukup.” Donny menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu menyilangkan kakinya membuat Mia mendesah kesal melihat tingkahnya.
Enam bulan waktu yang sangat cukup untuknya meyakinkan neneknya bahwa pernikahannya tidak bahagia dengan Donny dan tidak bisa di lanjutkan lagi. Dan ketika orang-orang terdekatnya kembali mendesaknya untuk menikah, dia bisa menggunakan ini sebagai alasan untuk tidak lagi menikah bahwa dia trauma dengan pernikahan.
Mia tersenyum licik setelah berdiskusi dengan hatinya, Donny yang melihat Mia tersenyum menautkan kedua alisnya tapi enggan untuk bertanya.
Tidak ada kontak fisik. Mia kembali tersenyum dan menganggukkan-anggukkan kepalanya membaca poin berikutnya membuat semua orang yang ada di ruangan itu saling pandang dengan raut wajah penuh tanya.
Tidak di perbolehkan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Mia mengangguk-angguk setuju.
Sampai pada bagian terkahir tertera jumlah yang lumayan fantastis sebagai bentuk kompensasi untuk Mia setelah perjanjian mereka sampai pada waktunya dan mereka harus bercerai.
Mia membulatkan matanya melihat banyaknya angka nol pada jumlah itu. “bisa buat bayar hutang di bank”. Bisiknya dalam hati. Namun segera dia mengenyahkan fikirannya. Dia tidak ingin menerima apapun dari Donny. Toh dalam hal ini, dia melakukannya atas keinginnannya sendiri.
“Aku setuju”, ujar Mia, sambil menyerahkan kembali surat perjanjian itu pada Donny setelah di tanda tanganinya. Tidak lupa dia juga mencoret bagian yang mengatakan bahwa dia akan menerima kompensasi. Donny menatap Alfandy dan pengacaranya. Semudah itu?.
“Kamu yakin, tidak ada yang ingin kamu tambah?” Mia menggeleng dengan yakin merasa semua poin sudah cukup adil.
“Apa ini untukku?” Mia melirik jus berwarna orange yang ada di depannya.
“Oh.. maaf”. Donny memberi kode pada sekertarisnya. Alfandy yang mengerti segera menghubungi seseorang melalui ponsel yang sedari tadi di genggamnya.
“Silahkan”. Mia menyesap jus yang ada di depanya tadi sambil sesekali bermain dengan sedotannya.
Donny menyerahkan surat perjanjian itu pada pengacaranya tanpa membacanya lagi. Lalu tiba-tiba pengacara itu membisikkan sesuatu pada Donny dan menyerahkan surat-surat yang tadi di tandatangani calon istrinya.
Dia meilhat Mia, gadis itu sedang sibuk menggigit sedotan hingga berubah dari bentuk awalnya.
“Kenapa tidak mau menerima uangnya”. Yang di tanya mendongakkan kepalanya melihat laki-laki yang memberinya pertanyaan.
“Aku nggak mau di bayar”. Belum sempat Donny membuka mulutnya, Mia sudah lebih dulu berbicara.
“Tapi aku punya permintaan.”
“Apa?”
“Aku mau pernikahannya yang paling sederhana, tidak perlu mengundang banyak orang. Dan tolong jangan ada wartawan”. Pinta Mia serius. Donny berfikir sejenak, mana mungkin tidak ada wartawan. Yang akan menikah adalah seorang pengusaha muda sukses pemilik tunggal tahta Oliver Group, apalagi pernikahan terjadi secara mendadak, tentu publik akan sangat ingin tahu siapa gadis beruntung yang akan menjadi Nyonya muda Oliver Group. Tidak mudah untuk menghindari media massa.
“Walau bagaimanapun ini hanya pernikahan yang bersifat sementara, aku hanya tidak mau seteleh kita berpisah aku akan menjadi bahan gunjingan orang-orang sepanjang sisa hidupku. Di buang dan di campakkan suaminya”. Mia menambahkan melihat Donny yang masih belum mengatakan apapun.
Mia menaikkan alisnya ketika tatapan mereka saling bertemu. Laki-laki itu masih terlihat berfikir.
Donny mengangguk dengan berat pada akhirnya. Semua yang di katakan Mia memang benar, kalau sampai publik mengetahui siapa calon istrinya, tentu itu akan sangat menganggagu privacy Mia.
“Baiklah, saya akan mengatur semuanya.” Mia lalu tersenyum setelah mendengar jawaban Donny yang menyetujui permintaannya.
“Apa masih ada yang ingin kamu katakan?” tanya Donny melihat Mia seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Emm... kenapa menerima perjodohan ini kalau Mas…” Mia menghentikan ucapannya lalu melihat reaksi Donny ketika dia memanggilnya mas.
“Panggil saya senyaman kamu”. Gadis itu tersenyum lalu melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa menerima perjodohan ini kalau memang mas Donny keberatan”. Tanya Mia hati-hati.
“Saya tidak mau mengecewakan papa saya”. Mia mengangguk. Sesungguhnya Donny sempat berfikir kalau Mia mungkin akan keberatan dengan perjanjian yang dia buat, tapi di luar dugaannya. Gadis itu ternyata sangat antusias. Gadis itu ternyata sama seperti dirinya yang juga tidak menerima perjodohan ini.
“Bagaimana denganmu?” tanya Donny mengangkat sebelah alisnya. Mia tersenyum “alasan yang sama”. Jawabnya.
Mia berdiri dari duduknya mengulurkan tangannya untuk bejabat tangan dengan calon suaminya.
“Mari bekerja sama dengan baik.” Donny menatap tangan yang terulur di depannya lalu kembali menatap Mia. Donny tersenyum sambil berdiri menerima uluran tangan Mia.
“Sopir akan mengantarmu kembali”, Donny mengantar Mia sampai di depan pintu.
“Apakah nenekku akan mengetahui perjanjian ini”, tanyanya sebelum melangkah keluar dari ruangan privat itu.
“Hanya orang-orang yang ada disini yang tahu”, jawab Donny. “Papa dan nenekmu tidak akan tahu tentang perjanjian yang kita buat tadi”. Mia menatap kedua orang yang sedang berdiri di belakang Donny bergantian.
“Mereka orang-orang kepercayaan saya, mereka tidak akan mengkhianati saya”. Mia mengangguk mengerti lalu meninggalkan tempat itu. Alfandi mengikutinya dari belakang, mengantar sang calon Nyonya muda sampai dia masuk ke dalam mobil.
Tidak lama setelah kepergian mereka, beberapa orang pelayan masuk dengan mendorong troli. Donny menepuk keningnya pelan. Harusnya tadi dia menahan gadis itu, kenapa dia bisa lupa kalau dia mengajaknya berbicara juga sekalian untuk makan siang. Laki-laki itu hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!