NovelToon NovelToon

Kisah Kita

Chapter 1 | Gadis Kutub?

“Hei, liat noh! Itu Natashya!”

“Ya Tuhan, cantik bener bidadari gue!”

“Masdep gue dateng, guys!”

“Insya Allah jadi bini, AMIN!”

“Bentar-bentar, gue udah wangi belum?” Mahasiswa yang satu ini mencium ketiaknya sendiri bergantian.

“Mau ngapain lo?”

“Samperin, lah!” Mahasiswa itu merapikan jaketnya dan berjalan ke arah Natashya, gadis pujaan hatinya, dengan langkah tegap. “Hai, Shya!” sapa lelaki itu.

Kariva Diana Natashya, gadis yang sedang berjalan sendirian di koridor dengan raut datarnya, mendadak berhenti berjalan karena lelaki tadi. Alisnya terangkat sebelah, merasa bingung dengan lelaki yang ada di hadapannya ini.

Dia siapa?

“Kenalin, gue Andrean Riza, panggil aja Riza. Atau... lo mau panggil gue ‘ganteng’ atau ‘sayang’ juga boleh.” Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya. Natashya yang melihat hanya menggelengkan kepalanya lirih. “Gue boleh minta nomor WhatsApp lo nggak?”

“Nggak.”

“Pfftt..” Beberapa lelaki yang berada di sekitar mereka menahan tawa karena penolakan Natashya yang to the point. Ayolah, siapa yang tidak kenal dengan Natashya?

Gadis cantik nomor satu yang paling anti dengan kaum adam. Dan, itu bukan rahasia lagi bagi semua orang di kampus X.

Riza mengusap dadanya dramatis. “Gitu amat, Shya.” Ia memasang ekspresi memelas. “Boleh, ya? Janji, deh, nggak akan gue kasih ke siapa pun.”

Natashya menghela napas. Ia merogoh saku dan meraih ponselnya. Maniknya menatap fokus ke layar ponsel. “081...”

Buru-buru Riza menulis ulang nomor yang Natashya sebutkan ke dalam ponselnya sendiri. Ia memekik girang di dalam hati. Sedangkan mahasiswa lainnya melongo melihat usaha Riza yang membuahkan hasil.

“Oke, thanks, ya, Shya.” Riza mengedipkan sebelah matanya.

Natashya langsung melangkah pergi usai menyebutkan deretan angka pada Riza. Sebelah sudut bibirnya terangkat sebelah, mengukir senyum sinis tanpa ada yang menduga.

Di belakang sana, Riza memekik senang. Semua teman-temannya langsung mengerubungi lelaki itu, ingin meminta penjelasan lebih lanjut.

“Parah! Lo bener-bener dikasih nomor telpon Natashya?”

“Anjir! Dia ngerespon lo, Riz!”

“Gue mau dong nomornya.”

“No, no, no! Gue udah janji nggak akan kasih nomor telponnya ke siapa pun. So... nggak boleh, hahaha...” Riza menamai nomor Natashya dengan panggilan “Bidadari Natashya” ditambah emot love di akhir.

Senyuman puas tercetak jelas di bibirnya.

“Coba lo telpon, cepet!” titah salah satu mahasiswa.

Riza membuat lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Oke.”

Tanpa basa-basi lagi, lelaki itu menekan fitur call pada nomor Natashya. Lalu memasang speaker agar semua orang di sana bisa mendengar percakapan mereka.

“Halo?”

“Ah, halo, Shya! Ini gue, Riza. Save nomor gue, ya.”

“Riza? Riza siapa, ya? Saya ndak kenal, Nduk.”

Semua orang yang mendengar jadi mengerutkan dahi. Sejak kapan Natashya berbicara dengan logat Jawa yang kental seperti ini?

“Shya, i–ini lo, kan?” tanya Riza ragu.

“Wah, Nduk-nya pasti salah. Saya Bu Nini, tukang pijat di Komplek Semut.”

“Hahahah....” Sontak semua orang di sana terbahak kencang. Berbeda dengan Riza yang sekarang mesem-mesem karena malu.

“Maaf, Bu. Saya salah sambung.” Riza langsung mematikan sambungan. Ia menatap kawan-kawannya dengan tajam. “Diem, woy!”

Anjir si Natashya. Masa gue dikasih nomer tukang pijet, sih?!

...❄️❄️❄️...

“Shya!” panggil Laily kencang. Ia melambai pada Natashya yang baru saja memasuki kelas. “Tumben baru dateng, Shya?”

Natashya hanya mengedikkan bahunya malas. Ia memang agak kesiangan hari ini gara-gara insiden kecil di rumahnya. Beruntung dia tidak terlambat tadi.

Laily yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Natashya hanya bisa elus dada. Sekaligus berdoa dalam hati, moga, nih, anak dapet hidayah. Aminn....

“Tugas dari Pak Jerri udah lo selesain belum?” tanya Laily. Namun, ketika sadar bahwa kalimatnya SANGAT tidak cocok untuk Natashya, buru-buru ia meralatnya. “Eh, sorry. Gue lupa kalo gue lagi ngomong sama si lulusan terbaik angkatan dulu.”

Natashya menepuk bahu Laily sekali. “Jangan sampe lupa lagi.”

Laily melongo sejenak. Hei, bukankah kalimat itu benar-benar penuh makna? Seakan-akan Natashya sedang berkata, lo-keterlaluan-karna-lupain-kepinteran-gue.

Wah, tabok temen sendiri dosa nggak, sih?

Laily berdecak singkat. Lalu merubah raut wajahnya menjadi serius seraya mendekatkan diri pada Natashya yang duduk di sebelahnya. “Rahasia pinter lo apa, sih, Shya?” tanya Laily agak berbisik.

Natashya ikut mendekat dan berbisik kecil. “Gue pinter dari lahir. Jadi, nggak ada rahasianya.”

Sial! Laily benar-benar ingin menabok Natashya sampai puas sekarang!

...❄️❄️❄️...

Natashya dan Laily keluar dari ruangan setelah kelas berakhir. Laily nampak merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Materi Pak Joko—dosen berkepala botak—itu keterlaluan bikin bosan dan mengundang kantuk yang luar biasa. Bersyukur setiap Laily hampir tertidur, Natashya selalu menginjak kakinya atau mencubit lengannya.

Tapi, itu sakit juga, sih. Tangannya sampai merah-merah.

“Kantin, yuk,” ajak Laily girang. Pokoknya, yang berhubungan dengan makanan, Laily akan berubah ekspresi dalam sekejap.

“Iya.”

Keduanya pun melangkah bersama ke arah kantin seraya bercengkerama. Oh, salah! Hanya Laily yang berbicara. Natashya hanya berdeham, mengangguk, dan menggeleng.

Iya, itu saja.

Nih, cewek lair di Kutub atau gimana, sih?! Plis, gue pengen cemplungin dia ke kolam buaya beneran!

Brukkk!

“Aww.. sshhh...” desis Laily seraya mengusap dahinya. Saking fokusnya melamun ingin menceburkan Natashya ke dalam kolam buaya, gadis itu jadi tidak fokus menatap jalan di depannya. “Maaf, maaf, gue nggak—”

Laily terdiam ketika tahu siapa orang yang ditabraknya. Lelaki tampan yang menjabat sebagai salah satu idola kampus, Hafi. “Ah, sorry, Kak. Gue nggak sengaja.”

Lelaki itu tersenyum ramah. “Sans aja. Dahi lo nggak pa pa, kan?”

“Eh?” Laily jadi kikuk. Ia bergerak malu-malu untuk menyentuh dahinya sendiri. “Nggak pa pa, kok, Kak. Nggak sakit, hehe.”

“Bro, ngapain lo di sini?”

Dua sosok lelaki lain datang lagi. Sahabat Hafi yang juga menjabat sebagai idola kampus, Rio dan Antonio. Mata Laily jadi berbinar karena disuguhi pemandangan ‘indah’ di depannya. Bagi kaum jomblo, lihat cogan (cowok ganteng) lewat sudah seperti anugerah, lho.

Yang jomblo pasti paham gimana rasanya jadi Laily. Dag dig dug, tapi nggak ada yang diajak kencan, hadeh...

“Shya, liat, deh. Ini ada—” Laily menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun. “Lho? Shya? Natashya? Lo di mana?” Laily celingukan mencari ke kanan dan ke kiri.

Hafi yang melihat ekspresi lucu Laily jadi tertawa. “Temen lo yang tadi? Dia udah ke kantin duluan tadi,” ucap lelaki itu memberitahu.

Laily syok mendengarnya. Jadi, dia ditinggal?

“NATASHYA!! TEGA-TEGANYA LO NINGGALIN TEMEN IMUT LO DI SINI SENDIRIAN!”

“GUE DOAIN, LO KESELEK BIJI SALAK BIAR MAMPUS!”

...❄️❄️❄️...

“Tashya pulang!” seru Natashya ketika ia sampai di rumah. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak seperti biasa.

“Udah pulang, Dek?” Itu Randy, satu-satunya kakak Natashya. Lelaki itu sedang duduk anteng di sofa sambil memakan camilan keripik kentang dengan khidmat.

“Gue nggak akan ada di sini kalo belum pulang, Bang,” sinis Natashya dengan mata memicing. Tanpa menghiraukan lagi keberadaan sang kakak, gadis itu berjalan ke lantai dua menuju kamarnya sendiri. Meninggalkan Randy yang udah mencak-mencak nggak jelas karena kesal.

“Anak siapa, sih? Perasaan, Bunda sama Ayah nggak dingin kayak dia, deh,” gumam Randy yang sebal dengan tingkah sang adik. “Apa jangan-jangan... dia anak pungut?!”

Randy melotot ketika menyadari hal tersebut. Sontak ia berdiri dari duduknya dan bergegas ke dapur. “Bunda!”

Riana—bunda Randy dan Natashya—menoleh sebentar pada putra sulungnya. “Kenapa, Bang?” tanyanya sambil meneruskan acara menggoreng ayam.

“Tashya anak kandung Bunda, kan?”

“Iyalah, Bang. Dulu, kan, Abang nemenin Bunda waktu lahiran Tashya.”

Eh, iya juga, ya.

Tapi, Randy masih curiga. Mungkin saja, kan, kalau Natashya tertukar dengan bayi orang lain?

“Atau... Tashya ketuker sama anak lain, Bun?”

Riana menggeleng karena ucapan sang anak, berusaha memaklumi. “Tashya anak kandung Bunda sama Ayah, Bang. Abang kenapa nanya begituan, sih?”

Mendadak Randy merubah raut seriusnya menjadi sebal. Ia terduduk di kursi bar dengan bibir mengerucut. “Sifat Tashya itu dingin banget, Bun. Ayah sama Bunda, kan, nggak dingin kayak gitu. Abang jadi curiga.”

Riana menggeleng takjub. Kadang pemikiran kedua anaknya memang tidak bisa ditebak. “Ayah kamu dulu juga kayak gitu, Bang.”

“Eh, serius?” tanya Randy mulai tertarik.

Riana mengangguk, kenangan masa silam kala pertemuan pertamanya dengan sang suami kembali terputar. “Iya. Tapi, es di hatinya udah Bunda cairin, hihi.”

Randy angguk-angguk. Jawabannya cinta, toh.

Berarti... kalo Tashya ketemu pujaan hatinya, dia bisa cair?

Randy menggeleng cepat. Tashya manusia, Dy! Lo pikir, dia es?!

“Jangan mikir aneh-aneh, Bang, kalo lo nggak mau cepet mati.”

Randy melotot. Ia menoleh cepat ke arah Natashya yang duduk dengan tenang di kursi makan. “LO NGEDOAIN GUE CEPET MATI, SHYA?!”

Natashya mengedikkan bahu malas. Gadis itu nampak tak acuh dan memilih untuk memainkan ponsel.

“Bun?” panggil Randy tiba-tiba.

“Hm? Kenapa, Bang?”

“Bunuh Tashya pake sendal, dosa nggak, sih, Bun? Tangan Abang udah gatel banget pengen gaplok, nih, anak.”

^^^To be continue...^^^

...❄️❄️❄️...

Halo! Selamat datang di dunia Ay!

Kalian bisa panggilnya ‘Ayla’ atau ‘Ay’ saja, ya. Jangan ‘author’ ataupun ‘kakak’. Ay nggak semahir itu dalam menulis dan nggak setua itu, hihi.

Semoga kalian suka cerita ini🙂

See you di chapter selanjutnya:)

Chapter 2 | Lelaki Es

“Nton, perusahaan JG Group ngirim berkas penawaran kerja sama ke perusahaan kita. Gimana menurut lo? Terima apa nggak?” tanya Rio—sahabat sekaligus sekretaris Antonio di perusahaan AG Groups.

Jadi, kalau lagi berdua seperti ini, Rio akan berbicara non-formal pada Anton.

Tanpa menjawab pertanyaan sekretarisnya, Anton menjulurkan tangan, bermaksud ingin mengambil dokumen kerja sama yang Rio bawa. Dengan sigap, Rio menyerahkannya.

Usai membaca keseluruhan dengan teliti, lelaki itu tampak bergumam kecil. “Atur pertemuan gue sama mereka. Gue mau diskusi dulu sebelum ngambil keputusan.”

“Oke.”

Selepas mendapat jawaban, Rio bergegas keluar dari ruangan CEO menuju ruangannya sendiri. Percayalah, atmosfer di ruangan CEO dengan ruangan lain sangatlah berbeda rasanya.

Di sana... sangat dingin.

Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi kebesaran selepas menandatangani beberapa dokumen. Bekerja semacam ini memang melelahkan, tapi ini adalah tanggung jawab Anton sebagai anak tunggal dari papa dan mamanya.

Ingin kabur, tapi masa depannya terancam. Gawat bin darurat ini mah.

Mata Anton melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan sekilas. Menyadari bahwa kuliahnya akan dimulai beberapa jam lagi, ia bergegas keluar dari ruangan. “Gue duluan, Yo,” ucap Anton sewaktu melewati Rio.

Rio mendongak, menatap Anton yang sudah berjalan duluan tanpa menunggu balasan darinya. Ia pun ikut melihat jam di tangannya.

“Anjir, gue telat!”

...❄️❄️❄️...

Anton sedang memakan makanannya dengan khidmat. Sebelum datang ke kampus, ia pulang untuk mengganti pakaian lebih dulu. Tio dan Nia—orang tua Anton—sudah menanti kehadiran putra tunggal mereka di meja makan.

“Gimana pekerjaan kamu di kantor, Nio?” tanya Tio di sela acara makan mereka.

Antonio—dengan panggilan kecil Nio—mendongak, menatap papanya intens. “Biasa aja, Pa.”

Mengerti dengan ucapan sang anak, Tio mengangguk paham. Putranya memang bisa diandalkan.

“Terus, kapan kamu menikah, Yo?”

Arrgghh... pertanyaan ini lagi!

Semenjak umur Anton menginjak angka 27, Nia selalu menjejali kehidupannya dengan pertanyaan serupa.

Entah seputar menantu atau cucu.

Hei, Anton, kan, masih ingin bebas, Ma.

Anton meletakkan sendok dan garpunya ke piring, menatap Nia dengan ekspresi termalas yang ia punya. “Mungkin tiga tahun lagi?” ucap Anton asal.

Hei, bukan itu yang gue mau bilang tadi!

Mampus, Mama marah!

Nia melotot kesal. “Tiga tahun kamu bilang?! Kamu mau Mama sama Papa mleyot sama keriput dulu baru kamu menikah?! Terus kapan Mama gendong cucunya? Mama tuh pengen rumah kita jadi rame, Yo.”

Anton menghela napas. “Ya udah, Mama sama Papa buat adik lagi nggak pa pa.”

Sekarang giliran Tio yang melotot. “Kamu pikir umur Mama-mu masih semuda itu buat melahirkan?”

Nia ikut melotot. “Jadi, Papa mau bilang kalo Mama udah tua, gitu?!”

Tio cengengesan. Ia segera menyatukan tangan di depan dada. “Ampun, Ma. Bukan gitu maksud Papa.”

Anton berubah menjadi penonton dadakan pertengkaran orang tuanya. Yah, seperti inilah keadaan rumah keluarga Anton. Berisik dan ramai walaupun tanpa kehadiran anak kecil. Orang tuanya saja sudah cukup untuk membuat rumah bising.

“Nio berangkat dulu, Pa, Ma.”

Sudahlah, lebih baik kabur saja.

...❄️❄️❄️...

Anton tiba di universitas tempatnya mengimba ilmu dengan mobil H***a B**o putih miliknya. Turun dari mobil dengan gaya yang cool sangat mencerminkan siapa Antonio. Idola kampus tentu saja.

“OMG! Anton, guys!”

“Cakepnya... nggak kuat hati gue.”

“Plis, tahan gue. Mau pingsan, nih.”

“Anton, my prince!”

“Hai, Anton!” sapa seorang gadis yang datang dengan senyum secerah matahari. Sebut saja Lidia Fedora. Atau mau manggil cabe-cabean juga boleh, haha.

Make up tebal Lidia adalah ciri khas gadis itu. Pakaian mini kekurangan bahan selalu menjadi kesehariannya. Niatnya, ingin mengambil hati Anton dengan berpakaian seperti itu.

Tapi, perlu kalian ketahui, Anton membenci gadis semacam Lidia.

Ditambah, lelaki itu tidak yakin kalau gadis ini masih perawan atau tidak. Nilai minus untuk Lidia, hm.

Tak menghiraukan Lidia, Anton berjalan pergi begitu saja. Pokoknya ingin segera sampai di kelas dan duduk di sana sambil mendengarkan lagu di earphone kesayangan.

Lidia menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal. “Kenapa, sih, tuh cowok ademnya macem es?! Kan, jadi susah deketinnya.” Gadis itu mendengkus sebal.

Pokoknya lo harus jadi milik gue, Nton! Jadi milik Lidia seorang!

Di sisi lain, Anton sudah tiba di ruangannya. Ia duduk di bangku seperti biasa bersama kedua sahabatnya sejak SMP.

Perhatian aja, nih, mereka berdua agak bobrok. Jadi, waspada, ya.

“Lembur lo?” tanya Hafi setengah meledek. Sudah sangat hafal di luar kepala seperti apa kepribadian Anton. “Mukanya kusut amat, Bang.”

Anton mendelik tajam. “Diem!” sinis lelaki itu malas.

Rio yang duduk di sebelah Hafi hanya bisa menepuk bahu lelaki itu dramatis. “Sabar, ya. Ngobrol sama es emang meng-dingin.”

“Anjir, meng-dingin.”

“Tugas Bu Hiki udah selesai belum lo pada?” tanya Rio.

“Udah, lah!” Hafi berbangga diri dengan menepuk dadanya dramatis. Seakan hal tadi merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dan sangat langka.

Ehm, memang iya, sih. Kan, Hafi lebih suka nyontek daripada ngerjain, haha.

“Nton, lo udah, kan?” tanya Rio.

Anton yang sedang memasang earphone jadi menghentikan aktivitasnya sejenak. Menoleh pada sahabatnya dengan tampang datar. “Menurut lo?” desis lelaki itu tajam.

Mendapat balasan seperti itu dari Anton, Rio tersadar bahwa pertanyaan tadi seperti sedang meledek si lulusan terbaik. Ia lupa, Antonio, kan, lulusan terbaik angkatan sebelumnya. Lelaki itu sedang menjalani studi S2-nya sekarang.

“Sorry, Bro.”

Sekarang giliran Hafi yang menepuk-nepuk bahu Rio dramatis. Mengundang kerutan bingung di dahi Rio karena tak mengerti dengan ekspresi memelas pada wajah Hafi. “Kenapa lo?”

“Yang sabar, Bro. Ngobrol sama manusia es emang meng-nohok.”

“Anjir lo!”

...❄️❄️❄️...

“Bentar, guys. Gue mau ke toilet dulu, hehe.” Usai mengatakannya, Hafi melesat keluar ruangan. Kelas baru saja selesai dan dosen sudah keluar. Ketiga lelaki tampan itu memutuskan untuk pergi ke kantin sebelum kelas selanjutnya dimulai.

“Nton, lo tau nggak—”

“Nggak.”

“Gue belom selesai ngomong, Anton!” Rio berdecak.

“Oh.”

Rio menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. Semacam persiapan jika Anton ingin membuat emosinya membuncah lagi. “Gue tadi liat si bunga kampus di parkiran. Dia cuanntiikk parah, Bro!”

“Oh.”

“Oh doang?” tanya Rio tak percaya. “Dia bunga kampus, lho. Dan, reaksi lo cuma ‘oh’?”

Anton menaikkan sebelah alisnya. “Terus?”

Sudahlah! Rio melambaikan tangan pada kamera sekarang.

“Nggak pa pa. Ayo ke kantin.”

Kedua lelaki itu berjalan bersisian menuju kantin. Sesekali Rio melemparkan candaan garing yang sama sekali tidak Anton hiraukan.

“Nton, si Hafi ngapain di sana?” Rio menunjuk sosok lelaki yang berdiri membelakangi mereka. Dari posturnya, sih, memang seperti Hafi. “Samperin, yuk.” Rio menarik paksa lengan Anton agar mau ikut bersamanya.

“Bro, ngapain lo di sini?”

Hafi menoleh ke belakang. Ia tersenyum begitu lebar pada kedua sahabatnya. “Gue tadi nabrak, nih, cewek,” jelasnya singkat. Ketiga manusia itu lalu memusatkan perhatian pada sosok gadis yang maniknya sudah berbinar lucu.

Gemesin, deh.

Pandangan Rio jatuh pada sosok gadis lain yang sedang sibuk memainkan ponsel—si bunga kampus yang tengah berdiri di belakang gadis manis itu. Lho? Ini, kan—

“Nton,” ucap Rio berbisik. “Cewek yang berdiri di belakang itu, lho.” Anton melirik gadis yang Rio maksud. “Dia si bunga kampus yang gue ceritain. Namanya... Natashya. Cantik, kan?”

Anton menatap lekat gadis bernama Natashya dari ujung rambut sampai kaki. Memang, sih, body dan wajah gadis ini hampir sempurna.

“Biasa aja,” jawab Anton santai.

Merasa diperhatikan, Natashya mendongak, menatap datar pada Rio, Hafi, dan Anton bergantian. Lalu tanpa aba-aba pergi dari sana tanpa memberitahu sahabatnya.

“Shya, liat, deh. Ini ada—” Gadis manis bernama Laily itu menoleh ke belakang. Ia tidak menemukan siapa pun. “Lho? Shya? Natashya? Lo di mana?” Laily celingukan mencari ke kanan dan ke kiri.

Hafi yang melihat ekspresi lucu Laily jadi tertawa. Rio pun terkekeh pelan. Anton masih memasang muka datar seperti biasa. “Temen lo yang tadi? Dia udah ke kantin duluan tadi,” ucap Hafi memberitahu.

Laily terlihat syok mendengarnya.

“NATASHYA!! TEGA-TEGANYA LO NINGGALIN TEMEN IMUT LO DI SINI SENDIRIAN!”

“GUE DOAIN, LO KESELEK BIJI SALAK BIAR MAMPUS!”

Laily pun pergi dengan kaki dihentak-hentak. Ketiga lelaki tadi terus memperhatikan gadis itu sampai hilang di belokan.

“Dia manis, ya,” celetuk Hafi yang masih memperhatikan lorong tadi.

“Ciee... ada yang jatuh cinta, nih,” ledek Rio sengaja.

Hafi yang baru sadar akan celetukannya segera mengelak. “Dih, mana ada. Gue tadi... cuma kritik doang kali. Belum tentu gue suka.”

Rio terus menggoda Hafi yang mukanya nampak memerah malu. Sedangkan Anton bergegas pergi dari sana tanpa memberitahu. Malas melihat adegan konyol yang terjadi antara kedua sahabatnya.

Natashya? Kayaknya... gue pernah liat, deh.

Tapi, di mana, ya?

^^^To be continue...^^^

...❄️❄️❄️...

Gimana? Suka nggak ceritanya?

Semoga kalian suka, ya. Ay cuma penulis baru kok. Jadi, maklum kalo agak... yah, gitulah.

Hehe..

See you di chapter berikutnya!

Chapter 3 | Perjodohan

Ting!

Natashya mengambil ponselnya ketika suara dentingan terdengar. Ada chat masuk dari Riana.

..._________________________________...

...Bunda...

...online...

• Shya, kamu pulang jam berapa?

^^^Biasa ✓^^^

• Nanti langsung pulang, ya

• Bunda sama Ayah mau ngomongin sesuatu sama kamu:)

^^^Ya ✓^^^

..._________________________________...

Setelah membalas, Natashya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Lalu melanjutkan acara makannya di kantin yang tertunda. Laily yang duduk di depan Natashya merasa penasaran.

“Siapa, Shya?” tanya Laily kepo.

Natashya menaikkan sebelah alisnya. “Apanya?”

“Itu tadi chat dari siapa?” ulang Laily lebih jelas.

“Bunda.”

“Oh, bunda.” Laily manggut-manggut. “Btw, nanti jadi, kan, kita ke mall?” tanya gadis itu semangat. Bayangan sepatu baru sudah terngiang-ngiang di kepalanya.

“Nggak.”

Bushh!!

Bayangan sepatu baru di kepala Laily hilang!

“Lho? Kok, gitu? Kan, lo udah janji, Shya!” protes Laily tak terima. Rencana ke mall hari ini sudah disetujui oleh Natashya sejak tiga hari yang lalu. Masa iya harus dibatalin, sih?

“Bunda nyuruh gue pulang hari ini.”

Oke, kalau bawa-bawa nama Bunda Riana, Laily pun tak bisa memprotes lebih lanjut. Namun, tetap, ya, sebalnya masih ada. Gadis itu sudah sangat ingin membeli sepatu baru sejak seminggu yang lalu. Dan, sekarang?

Sudahlah, jangan dibahas lagi. Laily sedih.

“Besok,” ucap Natashya yang melirik Laily sekilas. Ia sangat tahu alasan gadis itu berubah murung.

“Apanya yang besok?”

“Ke mall.”

“Bener, ya?”

“Hm.” Natashya beranjak dari duduk seraya meraih tas dan diletakkan di bahu. “Tapi, nggak janji,” lanjutnya tanpa dosa. Lalu pergi dari sana untuk pulang karena memang kelas hari ini sudah selesai.

What?!

Laily syok! Hei, kenapa Natashya sangat menyebalkan, kawan?

Dia itu punya hati atau tidak, sih?

“Kenapa juga gue betah temenan sama dia dari SMA coba? Padahal, gue punya banyak temen yang lain, lho,” gumam Laily pada sendiri. “Ck, salah! Dia yang beruntung ketemu sama gue! Kan, gue temen satu-satunya buat Natashya.”

Laily manggut-manggut karena persepsi yang ia buat sendiri. Sepertinya, memang seperti itu.

Biarkan saja, ya. Yang penting Laily senang.

...❄️❄️❄️...

Suasana di ruang keluarga rumah Natashya kayaknya agak menegangkan. Riana dan Heru duduk berdampingan dengan raut serius. Lalu ada Randy yang ikut sok serius sambil menatap Natashya yang duduk di sofa tunggal. Yang jadi pusat perhatian di sini tengah duduk santai dengan menaikkan sebelah kakinya ke atas dan tangan terlipat di depan dada.

“Emm, Shya, gimana kuliah kamu hari ini?” tanya Heru, Ayah Natashya, basa-basi.

Natashya menghela napas. Ia melemaskan punggung hingga bersandar sepenuhnya di sandaran sofa. “To the point, Yah. Tashya tau, bukan itu yang mau Ayah omongin.”

Heru menghela napas. Putrinya memang persis seperti dirinya sewaktu remaja. Jadi, ia tidak akan heran dengan sikap Natashya yang seperti ini. Ia sendiri juga lebih suka bicara sesuatu tanpa basa-basi. “Ayah mau jodohin kamu sama anak sahabat Ayah, Shya,” ucap Heru langsung ke intinya.

Natashya manggut-manggut. “Terus?”

Heru dan Riana cengo sesaat. Hei, bukan seperti ini yang ada di bayangan mereka!

Sepasang orang tua itu berpikir, Natashya akan langsung menolak dengan tegas lalu akan ada situasi tegang yang terjalin di antara mereka. Tapi, kok, reaksi Natashya begini banget, sih.

“Kamu nggak marah?” tanya Heru hati-hati.

Natashya mengedikkan bahunya santai. “Nggak tau.”

Randy yang sejak tadi menyaksikan obrolan anak dan orang tua ini ikut usap-usap dada—berusaha sabar. Kenapa adiknya terlahir sedingin ini, sih?

Tapi, ya, Randy akui kalau sikap Natashya selama ini terlihat sangat cool. Kenapa bukan dirinya saja yang terlahir seperti itu, sih?

Randy, kan, iri bukan main.

Wah! Berarti si Ay yang harus disalahkan, nih!

Riana yang udah mulai kesal merasa harus segera menghentikan obrolan ini. Kalau pembicaraan ini dilanjutkan lebih lama, oksigen di ruang keluarga pasti akan tersedot habis olehnya dan sang suami. Jadi, ia menghirup napas banyak-banyak lalu melanjutkan niatan. “Jadi, kamu terima, kan, Shya?” tanyanya penuh harap.

“Nggak.”

Heru yang udah sebel banget langsung meraih bantal sofa dan melemparnya ke arah Natashya. Sayangnya, gadis itu lebih dulu menangkap bantal yang mengarah ke wajahnya dan menaruh benda tersebut di pangkuan. “Kalau Ayah masih mau awet muda, lebih baik kurangi marahnya. Nggak baik,” ucap Natashya memberi saran.

“Shya, kamu—hufftt..” Heru menarik napas dalam-dalam dan dihembuskan perlahan. Riana mengusap punggung suaminya perlahan. “Lebih baik kamu terima saja, Shya. Ini udah jadi kesepakatan dua keluarga.”

Natashya mengerutkan dahinya bingung. “Terus ngapain Bunda sama Ayah nanya tadi?”

Sungguh, ya, ucapan Natashya sedikit menohok hati Riana. Memang benar, gadis itu pintar sekali membolak-balikkan omongan orang.

“Ya udah, Bunda nggak jadi nanya. Kamu terima, ya.” Riana mengalah saja daripada urusannya makin panjang.

Natashya menggeleng lirih. Sepertinya pemikiran orang tuanya agak terkontaminasi dengan pemikiran orang zaman dulu. Ayolah, ini tahun 2021, tidak ada perjodohan lagi.

“Apa Tashya harus bacain pasal hukum tentang kebebasan berpendapat, Bun? Biar Ayah sama Bunda tau kalau yang Ayah dan Bunda lakuin sekarang melanggar hukum,” tanya Natashya masih dengan ekspresi dan tingkah yang tenang.

“Lo—parah, Shya. Tinggal bilang ‘iya’ gitu aja ribet amat, sih?!” Randy jengkel setengah mati. Adiknya sengaja ingin membuat tiga orang di depannya jadi naik pitam.

“Tashya nggak terima, ngapain harus bilang ‘iya’?” balas Natashya tak acuh.

Rotan mana rotan? Sini, sini, Heru mau gebuk anaknya dua kali aja.

“Shya.” Oke, ini cara terakhir yang Heru punya. Doakan semoga berhasil. “Ini permintaan terakhir Ayah. Ayah mohon, kamu terima, ya.”

Natashya kembali menaikkan alisnya sebelah. “Ayah punya rencana memperpendek umur, kah?”

“YA TUHAN! INI ANAK SIAPA, YA ALLAH?!! BUANG AJA DAH! SAYA IKHLAS!”

...❄️❄️❄️...

Di rumah Anton, keadaan di ruang keluarganya berbanding terbalik dengan keadaan di rumah Natashya. Lelaki itu terus bersikeras menolak perjodohan dengan berbagai upaya.

“Nio nggak mau, Pa! Dan, keputusan Nio nggak bisa diganggu gugat!” seru Anton marah. Setengah wajahnya berubah merah karena menahan emosi. Bagaimanapun juga, dua manusia yang duduk di hadapannya ini adalah orang tua kandungnya. Anton tidak bisa berbuat seenaknya.

“Keputusan Papa sudah bulat dan kamu tidak Papa perkenankan untuk menolak! Besok kita akan ketemu sama calon istri kamu, TITIK!” Tio beranjak dari ruang keluarga dengan emosi tertahan. Lalu pergi ke kamarnya tanpa menghiraukan teriakan Anton yang masih berusaha menolak.

“Ma, kenapa Mama sama Papa buat keputusan kayak gini? Nio nggak suka, Ma.”

Nia tersenyum lembut. Ia pindah posisi menjadi duduk di sebelah putranya. “Nio Sayang, Mama sama Papa tahu, mungkin ini nggak adil buat kamu. Tapi, kami juga mikirin kebahagiaan kamu di masa depan, Sayang. Kamu butuh pendamping yang bisa nuntun kamu ke jalan yang benar, yang bisa ngurusin kamu, yang bisa jagain kamu. Terutama di umur kamu yang sekarang udah lebih dari cukup buat bangun rumah tangga. Percaya sama Mama, ini takdir Tuhan yang ingin mempertemukan kamu dengan jodoh kamu lewat perjodohan yang Mama sama Papa buat.”

Anton menghela napas. Tubuhnya melemas seketika. Punggungnya disandarkan di sofa, tangan kanannya terangkat dan memijat pelan pelipisnya yang mulai berdenyut.

“Lagipula, Sayang, Mama sama Papa nggak mungkin milihin gadis yang nggak baik buat kamu. Dia gadis baik-baik, kok. Percaya sama Mama, hm.”

“Iya, Ma. Maaf, Nio udah marah-marah tadi.” Anton memilih mengalah. Orang tuanya pun akan tetap bersikukuh walaupun ia menolak seperti apa pun.

Seenggaknya, gue coba dulu.

Nia mengusap kepala Anton penuh kasih sayang. “Nggak pa pa, Sayang. Mama ngerti yang kamu rasain.” Wanita paruh baya itu berdiri dari duduknya. “Naik sana, istirahat. Besok kita ketemu sama calon istri kamu.”

“Iya, Ma.”

^^^To be continue...^^^

...❄️❄️❄️...

Gimana, gimana? Parah nggak si Natashya? Wkwkwk.. Ay bacanya ngakak sendiri😂

Btw, kalian mau cast cerita ini nggak? Kalo iya, nanti Ay cariin. Kalo nggak, ya, kalian bayangin sendiri pemeran-pemerannya.

Oke, gitu aja. Kita jumpa lagi di chapter selanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!