NovelToon NovelToon

Malam Pertama Dengan BUJANG LAPUK

1.TANTANGAN

"Bang, aku hamil." lirih suara Firda hampir tidak terdengar, dia berdiri di depan pintu kantor urusan agama tempat Bujang dan Mawar yang sesaat lagi akan melakukan akad nikah.

Kedua orang tua Bujang, Mawar dan seluruh keluarga baik dari pihak Mawar maupun dari pihak Bujang menatap Bujang dan Firda secara bergantian. Sangat tergambar jelas keterkejutan pada wajah-wajah mereka, kasak-kusuk dan bisik-bisik mulai terdengar dan berdengung di seluruh ruangan.

Tidak ketinggalan petugas kantor urusan agama yang akan menjadi saksi pernikahan antara Bujang dan Mawar, termasuk petugas yang akan menikahkan Bujang dan Mawar.

"Kalau Abang menikahi perempuan ini, si janda bahenol, terus bagaimana nasibku? Aku akan melahirkan tanpa suami, Bang, anakku juga akan lahir tanpa ayah." Firda pura-pura menangis bombay, padahal hatinya takut bercampur menjadi satu.

Bagaimana kalau nanti si Mawar akan mengamuk dan mencakar-cakar wajahnya?

Ini gara-gara tantangan sialan itu serta iming-iming ponsel yang menggiurkan, makanya Firda jadi mau-mau saja menerima tantangan gila itu.

Semua yang ada di ruangan yang memang disediakan untuk akad nikah bagi pasangan calon pengantin seakan terhipnotis menyaksikan apa yang baru Firda katakan, termasuk Bujang dan Mawar si calon pengantin.

"Mish, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis muda ini? Kau sudah menghamili dirinya?" tanya Surya, ayahnya Bujang.

"Bah, aku bahkan tidak mengenal dirinya, bagaimana aku bisa dituduh menghamili perempuan ini?" bantah Bujang.

Bujang menatap ke arah Mawar, calon pengantinnya yang sudah terlihat berwajah pucat antara marah, malu dan mungkin juga sedih.

Siapa yang tidak marah atau sedih, calon suaminya sudah menghamili perempuan lain.

Bujang menatap tajam ke arah Firda, menyipitkan kedua matanya mencoba mereka-reka siapa gadis muda yang ada dihadapannya. Dia ingin mencari tahu apa tujuannya mengacaukan pernikahan dirinya.

Kedua matanya langsung melotot setelah mengingat siapa gadis itu.

Ya, gadis itu bersama dua temannya sering nongkrong di cafe kecil miliknya.

Bujang melangkah mendekati Firda yang mendadak nyalinya menjadi ciut, tatapan mata Bujang yang tajam seakan menembus ke dalam jantungnya.

"Kita tidak saling mengenal, bagaimana bisa aku menghamili dirimu."

"Apakah setelah aku hamil dan Abang akan menikah, lalu Abang seenaknya saja mengatakan tidak mengenal aku? Abang sungguh kejam."

Firda menangis lagi, kali ini terlihat lebih keras. Jika saja ada pemilihan pencarian bakat terpendam, Firda pasti menyabet gelar sebagai juara umum. Aktingnya benar-benar totalitas.

"Apakah kau memiliki bukti jika kita memiliki hubungan, dan anak yang ada dalam kandunganku itu adalah hasil perbuatanku?"

Bujang ingin tahu, sejauh apa gadis yang mengaku-ngaku dihamili olehnya itu melanjutkan tuduhannya. Kerena Bujang memang tidak pernah melakukan hal yang tercela itu.

Firda mengeluarkan ponselnya, lalu membuka rekaman suara yang memperdengarkan bagaimana Bujang merayunya agar mau melakukan hubungan suami istri, dan di dalam rekaman itu juga terdengar jika Bujang berjanji akan bertanggung jawab jika dirinya hamil.

Bujang dan lainnya sampai melongo, suara itu benar-benar nyaris sama seperti suara milik Bujang.

"Bah, dia bohong, Bah. Itu pasti tekhnologi yang sudah membuat suara orang lain menjadi sama persis seperti suara milikku.

Mawar, percaya padaku aku sama sekali..."

"Nggak, walaupun aku seorang janda, tapi aku tidak sudi menikah dengan pria yang bejat dan tidak bertanggung jawab seperti dirimu. Kau lihat gadis itu! Mana mungkin dia berani kesini dan menangis-nangis jika dia tidak sedang hamil, pernikahan kita batal."

Mawar gegas bangun dari duduknya, mengajak kedua orang tua dan keluarganya untuk segera pergi meninggalkan aula kecil yang ada di kantor urusan agama.

Bujang mencoba menahan agar Mawar jangan mau termakan fitnah dari orang yang sama sekali tidak mereka kenali, tetapi Mawar tidak mau mendengar.

"Oh, ya, uang pesta yang sudah kau berikan tidak akan aku kembalikan lagi. Lebih baik aku rujuk kembali dengan mantan suamiku daripada dengan dirimu si bujang lapuk yang tidak bermoral, cih." maki Mawar pergi meninggalkan Bujang dan keluarga besarnya yang sudah terdengar ribut.

Diam-diam Firda menyelinap keluar dari kantor urusan agama tanpa disadari oleh Bujang dan keluarganya, di seberang jalan Sisil dan Mega sudah menunggunya dengan harap-harap cemas.

...******...

Seminggu sebelumnya

"Fir, kalau kau berani menjadikan bang Bujang kekasihmu, maka kami akan memberikan ini padamu."

Tantang Sisil menyodorkan ponsel berlogo apel yang sudah di gigit milik Gita yang ada diatas meja, yang punya barang tentu saja ngamuk.

"Nggak nggak, enak aja!" cepat-cepat ponsel itu dimasukkan ke dalam tas.

"Eh, Git, kita akan patungan membeli ponsel yang baru buat Firda kalau dia bisa jadi pacar bang Bujang, bukan milikmu. Aku cuma memberikan contoh barang."

"Dengan menguras isi tabungan kita? yang benar saja, nggak! Kalau mau, kau saja. Kan kau yang ngasih tantangan, bukan aku."

"Payah kau, gitu saja takut. Lagipula nggak bakalan juga si Firda itu mau sama si bujang lapuk kayak bang Bujang, sudah tuwir. Ntar kalau malam pertama mau un boxing, baru mulai udah megap-megap karena asmanya kumat." Sisil tertawa ngakak, Gita ikut terkekeh.

Keduanya sama-sama membayang malam yang penuh dengan ketragisan itu.

Firda yang di tantang dan jadi bahan lelucon kedua temannya melirik ke arah Bujang yang sedang meracik kopi di depan Grinder Kopi, atau mesin yang berfungsi untuk menggiling serta menghaluskan biji kopi sehingga menghasilkan bubuk kopi yang halus.

Ya, bang bujang adalah seorang Barista di salah satu cafe di tempat nongkrong Firda dan kedua temannya setiap akhir pekan, maklum ketiganya jomblo.

Sambil minum secangkir kopi espresso sambil cari mangsa, siapa tahu ada yang cakep dan tajir nyantol. Namanya juga usaha.

"Jangan macam-macam kalian, bang Bujang mau menikah Minggu depan." jawab Firda menyeruput kopinya.

"Tahu dari mana?" tanya Sisil melirik ke arah Bujang yang tengah mengetik sesuatu di mesin hitung.

"Aku mendengarnya tadi ketika ke toilet, anak-anak itu sibuk bergosip kalau calon istrinya seorang janda." imbuh Firda.

"Telat kau, Sil, selamat uang tabunganku." Gita bernapas lega.

Sisil justru memperlihatkan seringaiannya mendengar Bujang mau menikah.

"Ini justru lebih menarik dan menantang, biar julukan sebagai bujang lapuk sesuai dengan keadaannya. Tiga kali gagal menikah, akan menjadi rekor untuknya. Maka tantangan ini sesuai dengan pengorbanan kami yang akan menguras isi tabungan, buat pernikahannya gagal, Fir. Maka ponsel baru seperti milik Gita akan ada di tanganmu."

Ampun dah, Sisil benar-benar tidak waras. Masa' bisa-bisanya Firda di tantang untuk menggagalkan pernikahan Bujang.

Tapi mengingat iming-iming ponsel yang harganya tidak main-main itu, Firda menyanggupi.

Mereka bertiga berjalan ke kasir dan mulai merekam suara Bujang.

Kelingking ketiganya saling bertautan ketika misi mereka sudah berhasil untuk di awal.

...****************...

2. Senjata Makan Tuan

Firda ngos-ngosan mendatangi dua temannya yang sudah menunggunya dengan segudang tanya.

"Gimana, berhasil?" tanya Sisil tidak sabar.

Firda hanya menganggukkan kepalanya, sembari menunjuk ke arah parkiran kantor urusan agama. Terlihat salah satu mobil sudah meninggalkan parkiran, lalu setelahnya mereka bertiga bisa melihat bang Bujang dan kedua orang tua serta beberapa orang keluarganya yang celingukan kesana-kemari mencari sesuatu.

"Yakin berhasil?" Gita tidak percaya.

"Yakinlah, tuh janda bahenol sudah duluan pulang dengan wajah di tekuk. Dan, noh! Bang Bujang kelihatan mengelilingi kantor, pasti nyariin aku." Firda mencebik, ada rasa kasihan sih. Tapi demi ponsel impian, cuma sekedar menggagalkan pernikahan Bujang yang ketiga kalinya sih tidak masalah.

Kan masih ada kesempatan berikutnya.

Anggap saja bang Bujang memang tidak berjodoh dengan Mawar, enteng bener pemikiran Firda.

Ketiganya mengecek terlebih dahulu di tempat acara resepsi pernikahan akan di gelar dengan menggunakan taksi online, ketiganya tahu semua informasi karena Mawar si janda bahenol rumahnya ada di sebelah komplek perumahan tempat tinggal Firda.

Setelah yakin pernikahan benar-benar sudah batal, Gita dan Sisil dengan berat hati menguras habis isi tabungan mereka. Padahal itu tabungan boleh malak tiap hari lebaran pada Paman, Bibi, atau saudara mereka.

Namanya juga masih jadi mahasiswi, tangan masih menadah meminta-minta.

Gita terlihat sangat tidak ikhlas hati, tapi demi Sisil yang terus memaksanya. Mau tidak mau Gita harus mau.

Dengan kedua mata yang berbinar, Firda mengambil ponsel terbaru dan masih dalam kotak dari tangan Sisil.

"Eits, sabar dulu! Ingat, apapun resiko yang akan terjadi kemudian setelah ini, kau tanggung sendiri akibatnya, Fir." ucap Sisil menyembunyikan kotak beserta ponselnya di belakang badannya.

"Iya, ah, cerewet."

...*****...

Ponsel lama Firda di berikan kepada adiknya Raka yang masih duduk di kelas dua SMU, wih tuh bocil senang benar di kasih ponsel walaupun bekas. Masih lebih bagus daripada miliknya yang sudah pecah layarnya.

Punya ponsel baru hanya modal berdrama sedikit, tapi harus mengorbankan orang lain. ckk.

Firda mulai mengotak-atik ponsel barunya sembari telungkup di atas ranjang di dalam kamarnya.

"Kak, ada yang cari, buruan keluar!" teriak Raka dari pintu kamar.

"Apaan sih, Dek? Kaya' di hutan saja pakai teriak-teriak." sahut Firda membuka pintu kamar.

Hanya mengenakan kaus oblong kebesaran dan celana longgar diatas lutut, rambutnya dibiarkan tergerai acak-acakan Firda keluar dan menuju ruang tamu.

"Fir, duduk sini, Nak!" Panggil ibunya, wajah Firda langsung pucat pasi ketika tahu siapa yang datang berkunjung lepas magrib begini.

"Kenapa kamu hamil tidak bilang-bilang ke kami, Fir? Kenapa harus mempermalukan keluarga mereka dan minta pertanggung jawaban disaat Bujang mau menikah? Kalau dari awal kamu berterus-terang, nak Bujang kan tidak mungkin akan menikah dengan Mawar, tapi kamu lebih memilih menyembunyikan kehamilanmu. Untungnya pernikahan itu bisa dicegah, tapi itu kan sudah mempermalukan semua keluarga, Firda." ucap ibunya dengan wajah sedih dan marah, suaranya terdengar tercekat di tenggorokan.

Firda tidak tahu mau ngomong apa, kedatangan Bujang dan kedua orang tua, adik-adiknya beserta seorang pemuka agama saja sudah membuatnya syok. Apalagi ucapan ibunya tadi tentang kehamilan.

Firda menatap wajah ayahnya yang terlihat bersedih. Padahal pria itu sudah mewanti-wanti agar Firda bisa menjaga dan menghormati dirinya sendiri agar jangan sampai kebablasan dalam pergaulan, tapi justru mendapatkan kabar dari kedua orang tua Bujang kalau Firda hamil.

"Ayah, ini...."

"Firda sayang, Abang akan bertanggung jawab. Kita akan segera menikah juga malam ini, Abang sudah bawa Pak Ustadz agar bisa langsung menikahkan kita. Nanti kalau anak kita sudah lahir, baru kita nikah ulang lagi. Iya kan Pak Ustadz?" Bujang tersenyum manis ke arah Pak Ustadz, kedua orang tua dan kedua adik perempuan Bujang dan kedua suaminya ikut menganggukkan kepala. Bujang menyeringai puas ke arah Firda.

Kau yang mulai permainan ini dengan menghancurkan pernikahan ku, bocah nakal. Maka kau terimalah pembalasan dariku.

Firda menelan salivanya dengan susah payah.

Tidak, dia tidak mau menikah. Kalaupun dia mau menikah itu nanti, lima atau enam tahun lagi.

Sekarang usianya baru sembilan belas tahun, sementara Bujang? Sudah lewat dari usia kepala tiga, makanya dia bergelar bujang lapuk.

"Ayah, Ibuk, Firda tidak..."

"Abang sudah mengatakan semua pada orang tuamu, Firda sayang. Kita khilaf karena kita saling ah...Maaf!" Bujang menundukkan kepalanya merasa bersalah, Firda hanya bisa melongo. Ternyata Bujang lebih totalitas lagi membalas drama yang sudah di buatnya di kantor urusan agama tadi.

"Ayah kecewa padamu, Fir, tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Ganti pakaianmu! Sepuluh menit lagi pernikahanmu dan Bujang akan segera dilaksanakan." titah Ayahnya Firda dengan wajah sedih yang tidak bisa disembunyikan.

"Bang, bisa bicara sebentar? Aku mohon!" Firda mengatupkan kedua tangannya di depan dada pada Bujang, berharap Bujang mau memaafkannya. Biar dia yang akan mengatakan pada Mawar jika apa yang dilakukan tadi hanya bagian dari sebuah tantangan dari kedua temannya demi satu buah Ponsel. Lalu Bujang dan Mawar bisa menikah kembali seperti niat semula.

Bujang terlihat menggeleng pelan.

"Nanti kita bisa bicara panjang setelah akad nikah, gantilah bajumu cepat!" Bujang tetap memperlihatkan wajah manisnya, padahal dimata Firda sudah seperti seringaian seorang drakula.

...*****...

Akad nikah sudah terlaksana dengan baik dan lancar, tetangga kanan kiri juga diundang beberapa orang sebagai saksi dan informasi bahwa Bujang dan Firda sudah menikah.

Hanya saja kehamilan Firda yang menjadi sebab akibat pernikahan mendadak itu tidak di beritahukan pada tetangga, kuatir akan menjadikan tranding topik yang hot esok hari di komplek perumahan. Walaupun tetap saja bisik-bisik mengiringi pernikahan Bujang dan Firda.

Ibarat kata, bisik-bisik tetangga sebagai musik pengiring acara ijab qobul.

Untuk menjamu para tamu dadakan, pak Surya, Abahnya Bujang dan pak Deni, ayahnya Firda meminta kang Yusuf penjual pecel lele untuk menyiapkan semua menu sebagai hidangan untuk para tamu.

Bagas, abangnya Firda yang bekerja di salah satu bank konvensional hanya bisa menatap adiknya dan Bujang dengan tatapan yang sulit di mengerti. Di lubuk hatinya yang paling dalam dia tidak terima jika adiknya harus menikahi pria yang usianya hampir dua kali lipat dari Firda, lebih tua juga dari dirinya sendiri.

Dia tidak tahu, sejak kapan Firda menjalin hubungan dengan Bujang. Pria yang bergelar bujang lapuk si pemilik cafe D'Nongkrongs.

Apalagi sampai hamil, ingin rasanya Bagas menghadiahkan bogem mentah pada wajah tua Bujang karena sudah merusak adiknya, tapi dia tidak ingin membuat keributan di depan banyak orang.

Untuk sementara ini Bujang bermalam di rumah orang tua Firda. Keadaan rumah sudah sunyi karena kedua orang tua Bujang dan kedua adik perempuan serta kedua iparnya sudah pulang kerumah mereka masing-masing, begitu juga dengan kedua orang tua, adik dan abang Firda sudah berada di dalam kamar mereka sendiri.

"Bagaimana dengan pembalasanku? Kau suka?" tanya Bujang dengan menyandarkan tubuhnya pada balik daun pintu, mengunci pintu kamar Firda lalu kuncinya di masukkan ke dalam saku celananya.

Bujang berjalan perlahan mendekati Firda yang masih memakai baju gamis sebagai gaun pernikahan, perlahan tangannya membuka pengait kancing kemejanya.

"Bang, mau ngapain? Jangan bergerak!" Firda mengambil sisir sebagai alat perang untuk menghalau Bujang yang terus berjalan mendekatinya.

...****************...

3. Menuai Badai

Bujang terus berjalan mendekat, sementara Firda mundur selangkah demi selangkah sampai akhirnya punggungnya membentur lemari pakaian. Bujang mengurung Firda dengan kedua tangannya yang diletakkan di kedua sisi tubuh Firda.

"Kau jangan ke ge-eran! Aku tidak akan menyentuhmu. Mari sama-sama kita lihat! Jika bulan depan perutmu masih belum membesar, maka semua keluarga akan tahu bahwa kau tidak hamil."

Firda menelan salivanya dengan susah payah, benar apa yang dikatakan oleh Bujang. Kebohongannya akan segera terbongkar.

Ya, bulan depan semuanya akan tahu kalau dirinya tidak hamil.

Gimana nih?

"Atau kau memang hamil dengan kekasihmu? Dia tidak mau bertanggung jawab lalu kau limpahkan tanggung jawab itu padaku?" Bujang terus menatap tajam wajah Firda yang sudah pucat.

"Nggak, jangan menuduh! Aku perempuan baik-baik, mana mungkin aku mau menyerahkan diriku bukan pada suamiku."

Bujang mencibir.

"Terus, apa motifmu tadi memfitnah aku? Cuma iseng? Kau kira hidup ini drama?" Bujang sudah mengetatkan rahangnya karena sangat geram dengan apa yang dilakukan oleh Firda tadi pagi.

Mana berani Firda jujur mengatakan yang sebenarnya.

" Maafkan aku! Kita kan tadi cuma menikah secara agama, Abang bisa ceraikan aku malam ini juga. A-aku akan mengatakan pada Abah dan Umi kalau aku sudah berbohong, aku juga akan jujur pada kak Mawar kalau aku cuma memfitnah. Setelahnya Abang bisa menikah dengan kak Mawar, beres kan? Masalah keluarga ku biar itu menjadi urusanku."

Bujang melongo, giginya lalu gemeratuk menahan jengkel. Dijepitnya rahang Firda dengan telapak tangannya yang besar.

"Hei anak kecil, dengar ya! Mawar sudah rujuk dengan mantan suaminya, dan kau tahu? Bahkan tadi mereka sudah mengadakan resepsi pernikahan dengan memakai uang hantaran yang aku berikan, jangan enak saja kalau bicara! Kau akan menanggung kebohongan yang sudah kau buat pada semua orang, dan itu masih belum cukup. Kau juga harus mengganti uang yang sudah aku keluarkan untuk Mawar, kau paham?"

Bujang langsung melepaskan jepitan tangannya pada rahang Firda setelah melihat gadis itu meringis menahan sakit, wajahnya sampai memerah karena Bujang menekannya dengan sangat keras.

Bujang melangkah menuju pintu yang tertutup, dia tahu itu kamar mandi.

Dia ingin mencuci muka dan kepalanya supaya emosinya yang sudah hampir meledak tidak dilampiaskan kepada Firda.

Seharian ini dirinya benar-benar merasa kacau. Fitnahan dari gadis muda yang sama sekali tidak dikenalnya, lalu Mawar yang langsung membatalkan pernikahan dan memilih rujuk dengan mantan suaminya.

Kedua orang tua dan kedua adik perempuan serta semua keluarga justru meragukan keterangan dirinya bahwa dia di fitnah, akhirnya Abahnya menyarankan agar langsung menemui orang tua Firda sekalian membawa seorang Ustadz yang merupakan guru ngaji Abah dan Uminya.

"Bah, apakah Abah percaya jika aku melakukan perbuatan dosa itu?" tanya Bujang siang tadi setelah semua keluarga kembali ke rumah.

"Abah tidak tahu, Mish, kalau dia berbohong, untuk apa?" pak Surya mengusap wajahnya resah.

Putra sulungnya, memang usianya sudah terlalu matang. Di umurnya yang sudah jalan tiga puluh lima tahun, Bujang belum juga menikah.

Dua kali Bujang hendak menikah dengan gadis pilihannya, dua kali juga gagal tanpa alasan yang jelas.

Jadi ketika Bujang memperkenalkan Mawar si janda cerai tanpa anak, Pak Surya dan Bu Sri hanya mengiyakan saja karena Bujang sudah terlalu tua untuk terus membujang.

Nama aslinya sebenarnya sangat bagus, Hamish Maulana. Cuma karena dia terlalu lama bujangan, dan kedua adik perempuannya justru sudah menikah dan punya anak. Jadi orang-orang memanggilnya Bujang, sebagian menambahkannya menjadi Bujang lapuk.

Bujang juga tidak tahu mau memberikan alasan apa, karena dia memang tidak mengenal Firda selain mengingat Firda dan dua temannya adalah salah satu pelanggan di cafe D'NONGKRONGS.

"Sekarang begini saja, kalau memang dia main-main. Maka balas lah permainan yang dibuatnya dengan pernikahan sungguhan."

Bujang menatap wajah Abahnya tidak percaya, bagaimana bisa Abahnya memberikan solusi yang membuat Bujang semakin pusing.

"Bah..."

"Mawar sudah menikah, pelaminan yang semula di persiapkan untuk dirimu dan dirinya sekarang sudah dipakai olehnya bersanding dengan mantan suami yang kini kembali menjadi suaminya. Abah tidak mau jika kau akan menjadi bahan olok-olok warga sini, kita datangi rumah gadis itu malam ini. Supaya dia tidak bisa mengelak, kau nikahi dia malam ini juga. Syarat administrasi sebagai pengantar ke KUA bisa menyusul kemudian, Abah mengenal salah satu pengurus disana." papar pak Surya panjang kali lebar.

"Tapi, Bah...."

"Abah tahu kau mampu, Mish. Ini hanya rahasia kita, jangan sampai ada yang tahu. Abah akan memberitahukan pada Ustadz Syukur." potong pak Surya sebelum Bujang mengatakan keberatannya.

Bujang menyugar rambut di kepalanya dengan air sembari mengingat obrolan dirinya dengan Abahnya siang tadi.

Bujang bangga memiliki ayah seperti Abah Surya yang menyingkapi masalah dengan kepala dingin. Tapi masalahnya tidak selesai sampai di situ. Menghadapi gadis yang tidak dikenalnya dan sayangnya sudah menjadi istrinya itu semakin membuatnya pusing, dia menggampangkan semua persoalan.

Belum lagi tatapan penuh kebencian yang Bujang terima dari kakak gadis itu, siapa tadi namanya, Bagas.

Bujang bisa melihat tangannya mengepal dan rahang yang mengeras menatap Bujang, tapi Bujang mengerti penyebab kemarahannya.

Siapa yang tidak marah jika adiknya dihamili oleh pria yang sudah berumur seperti dirinya, andai dia tahu bahwa itu semua adalah permainan adiknya sendiri.

Bujang keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut yang basah, terlihat Firda yang menangis di pojokan kamar.

"Belum di apa-apain sudah nangis. Diam lah! Aku mau tidur." sergah Bujang sembari dengan santainya tidur diatas tempat tidur Firda.

Mana Bujang tidur hanya mengenakan celana panjang dan kaus dalam lagi, bulu ketiak dan bulu dadanya terlihat mengintip malu-malu. Firda yang dibentak Bujang tadi langsung diam dan jadi mau muntah melihat bulu ketiak Bujang.

Perutnya mendadak terasa mual tapi ditahannya, kuatir Bujang yang sudah terpejam menghardiknya lagi.

Firda itu anak perawan yang nggak pernah melihat bulu ketiak dan bulu dada. Abangnya Bagas tidak pernah membuka bajunya atau bertelanjang dada di depan Firda kecuali di kamar, apalagi adiknya Raka. Itu anak masih abege, jadi belum ada tuh bulu-bulu yang menggelikan kuduk Firda.

Setelah memastikan Bujang sudah tidur karena mendengar dekurannya yang memekakkan telinga, Firda berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mengganti gamisnya dengan kaus oblong dan celana jeans.

Dia harus waspada, jangan sampai kesuciannya di direnggut oleh Bujang. Tidak boleh! Harus tetap di jaga untuk suaminya kelak, eh.

Firda mengambil bedcover yang bersih di dalam lemari, membentangkan di pojokan kamar. Pelan-pelan dia membaringkan tubuhnya dengan menghadap dinding.

Bujang yang pura-pura tidur dan pura-pura mendengkur menyeringai puas menatap Firda yang tidur di lantai.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!