Kehidupan memang begitu pelik. Bagaimana jadinya jika dirimu dinikahkan oleh orang paling menyebalkan dalam hidupmu? Lebih parahnya lagi dia adalah atasan yang kau juluki "Bos galak".
Raisa Humaira Arshad
Ia adalah gadis yang super manja kepada siapapun. Ia tak bisa hidup tanpa bergantung kepada manusia lain. Ya, makhluk sosial memang, tapi ini sudah berada di level yang paling membuat ampun. Ia benar-benar tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Benar-benar tidak bisa mandiri.
Gadis yang akrab dipanggil Ica itu merupakan putri satu-satunya dari pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Sebuah perusahaan yang bergerak di sektor pertanian. Saking tidak mampu hidup sendiri, sang ayah terpaksa mempekerjakan Ica di perusahaannya. Sang ayah tak mau anak semata wayangnya itu membuat masalah di perusahaan lain karena ia akan membuat masalah sebab tak bisa hidup tanpa bergantung pada orang lain.
Gadis 23 tahun itu baru saja menamatkan sekolah sarjana pertaniannya. Tentu ia sangat senang bisa bekerja di sektor pertanian juga, meski harus di perusahaan ayahnya. Dalam hati ia mencoba untuk mandiri, mencoba melamar pekerjaan di perusahaan lain namun ayahnya sangat bersikeras untuk tidak mengizinkannya. Padahal semenjak kuliah, Ica belajar sedikit tentang kemandirian. Kuliah membuat tiap orang terpaksa menumbuhkan skill bertahan hidup tanpa bergantung pada orang lain. Mengingat begitu banyak tugas, ujian dan praktek lapangan Ica sudah begitu yakin bahwa dirinya sudah bisa hidup mandiri. Tapi karena Ica tidak menunjukkan kesungguhannya dalam magang waktu itu, ayahnya khawatir dan jadilah si pewaris satu-satunya itu bekerja di perusahaan miliknya di masa depan nanti.
Gadis berperawakan mungil dengan wajah cantik yang selalu berseri-seri itu memang idaman jika dilihat dari fisiknya. Tapi jika ditinjau dari kelakuannya saat di rumah, bagaimana ia bersikap, bagaimana ia tidak bisa hidup tanpa mengandalkan orang lain sangat nol besar untuk dijadikan istri idaman.
...----------------...
Sebagai contoh implementasi dari merintis karir dari bawah, putra dari seorang pengusaha sukses tak mau bekerja di perusahaan milik ayahnya. Sosok perfeksionis yang pekerja keras, yang selalu siap menghadapi apapun problematika yang akan dihadapinya.
Bayu Pramana Surya
Ia adalah putra sulung dari pemilik perusahaan Surya Group. Ayahnya merupakan pengusaha sukses yang mendirikan perusahaan itu. Sebagai putra sulung, ia kerap kali berpikir untuk memberikan contoh terbaik sebagai contoh untuk dua adiknya. Oleh sebab itu, ia selalu lebih berusaha dari yang orang lain lakukan. Ia juga memilih merintis karir dari bawah, meski di perusahaan teman ayahnya.
Pria yang akrab disapa Bayu itu memiliki kelebihan di semua bidang. Ia adalah pria berusia 25 tahun yang sudah menyelesaikan pendidikan strata duanya di jurusan manajemen. Tidak heran hidupnya selalu teratur dan memiliki bakat manajemen yang andal. Ia juga menjadi seorang manajer divisi humas tempat ia bekerja.
Ia sudah satu tahun bekerja di perusahaan teman ayahnya itu. Kecakapan bekerjanya tak dapat diragukan lagi. Namun, ia sangat tidak senang dengan sesuatu yang merusak prospek perusahaan kedepannya. Ia bahkan tidak segan mempermalukan bawahannya yang melakukan kesalahan dengan memarahi di depan karyawan lain. Bayu punya prinsip, kedisiplinan itu harus ditunjukkan atasan untuk mendisiplinkan bawahannya. Apabila ada bawahannya yang tidak disiplin, ia akan mendisiplinkan nya di depan karyawan lain. Sehingga akan memperkecil kesalahan dan ketidakdisiplinan dari bawahan yang lain. Dan ia tak pernah pandang bulu sedikitpun untuk mendisiplinkan bawahannya. Sedikit sadis memang, begitulah si perfeksionis satu ini.
...----------------...
Dengan dua kepribadian yang berbeda, Ica dan Bayu disatukan. Ica yang harusnya masuk di divisi pemasaran malah dimasukkan Raka—ayah Ica di divisi humas. Alasannya sederhana. Manajer divisi humas adalah orang yang andal dalam mengatur semua hal. Ia berharap, sang manajer dapat mengatur Ica dengan baik dan menghilangkan sifat manjanya. Bayu yang merupakan manajer divisi humas itu juga memiliki kepribadian yang perfeksionis, jadi Raka berharap putri tunggalnya itu dapat mencontoh atasannya itu.
Tak bisa dibayangkan dua orang yang sama-sama egois ini disatukan. Hari-hari yang diisi oleh perdebatan pun tak terelakkan. Mereka sama-sama tak ingin mengalah dalam hal apapun dan menganggap apa yang mereka lakukan sudah benar adanya. Dapat dikatakan bahwa mereka adalah pribadi yang sama-sama egois, selalu mementingkan diri sendiri diantara keduanya saat mereka dihadapkan bersama.
Namun, Raka melihat sebuah titik terang pada Tom and Jerry itu. Ia memiliki ide dengan mendekatkan mereka supaya saling mengenal. Dan jadilah Ica ditunjuk menjadi sekretaris Bayu setelah satu bulan bekerja. Ia juga memikirkan ide gila untuk menikahkan keduanya. Raka kemudian membicarakannya pada ayah Bayu—Andi yang merupakan sahabatnya itu untuk menjodohkan keduanya.
Andi menyetujui, tidak ada kerugian yang dialami jika menikahkan mereka berdua. Bahkan, hubungan antara dirinya dan Raka akan terjalin lebih dekat lagi dari segi pertemanan dan kepentingan penyatuan perusahaan mereka. Tidak ada salahnya mencoba mendekatkan mereka dengan menjadikan Ica sebagai sekretaris Bayu.
Raka bukan ingin menjual anaknya demi kepentingan perusahaan. Tapi ia menimbang dari berbagai sisi. Mengetahui sifat Ica yang manjanya minta ampun itu, harus dilawan kan dengan seseorang yang sangat disiplin seperti Bayu. Ica yang juga tidak dapat hidup tanpa bergantung pada orang lain juga perlahan mulai mandiri karena menjadi bawahan Bayu. Raka melihat masa depan yang cerah jika Ica terus berhadapan dengan Bayu. Ini juga ia lakukan demi kebaikan Ica.
Begitupun sebaliknya, Andi bukan ingin menjual Bayu demi kepentingan perusahaan. Toh, Bayu bilang sendiri kalau ia tidak ingin menjadi pewaris perusahaan dirinya dan menyerahkannya kepada dua adiknya. Andi juga khawatir dengan sifat perfeksionis yang dimiliki anaknya itu, semua orang akan menganggap buruk pada Bayu. Dengan perfeksionisnya itu, ia pasti tidak terlalu memikirkan pernikahan padahal Bayu sudah berada di usia siap menikah. Dengan mendekatkan Bayu pada gadis sederhana dan apa adanya seperti Ica, Andi berharap Bayu dapat melihat sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Ia berharap Bayu bisa lebih memikirkan orang lain dalam melakukan suatu hal. Dan berharap Bayu bisa lebih mengandalkan orang lain dan percaya pada kemampuan orang lain.
Rencana kedua sahabat itu hanya diketahui oleh keluarga besar mereka, Ica dan Bayu tidak diberitahu apapun. Bayu yang selalu bekerja sendiri awalnya menolak saat Ica ingin dijadikan sekretarisnya, tapi ia menghargai Raka yang merupakan sahabat ayahnya. Ia tak menyangka rencana pendekatan Ica yang menjadi sekretarisnya ini bertujuan untuk mendekatkan mereka untuk jenjang serius kedepannya.
Ica juga tidak menyetujui keputusan ayahnya yang menyuruhnya menjadi sekretaris Bayu. Itu karena Ica berpikir bahwa dirinya belum bisa mengurus diri sendiri kenapa harus mengurus orang lain. Ditambah, Ica tidak ingin berurusan terus-menerus dengan bos galak itu. Tapi ia juga terpaksa menerimanya saja karena ayah dan bundanya bilang ini untuk melatih kemandirian Ica.
Begitupun rencana pendekatan mereka berlangsung dua bulan, Ica dinikahkan dengan bos galaknya.
...----------------...
Wisuda adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa, tak terkecuali Raisa Humaira Arshad. Putri tunggal Arshad grup yang akrab disapa Ica itu telah menyelesaikan masa studi sarjananya di fakultas pertanian. Dan hari ini adalah hari wisuda yang selama ini ia nantikan.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu wisuda juga, Ca," celetuk Manda, bundanya Ica.
"Ya Allah, Bun, gitu amat sama anaknya. Gini-gini Ica juga serius tahu kuliahnya," jawab Ica menyombongkan diri.
"Iya iya. Kamu setelah ini harus lebih mandiri, ya. Kamu juga, 'kan, yang udah janji?" ucap Manda menagih janji.
"Iya, Bunda. Mulai besok deh langsung praktek untuk Ica biar lebih mandirinya. Bunda nggak usah bangunin Ica buat hari pertama Ica kerja besok. Biar hari pertama, tapi Ica pengen bangun tanpa bantuan bunda." Ica percaya diri sekali dengan kemandiriannya yang seolah akan meningkat karena statusnya yang sudah mendapatkan gelar sarjana itu.
"Kamu yakin? Biasanya kan selalu dibangunin bunda," ucap Manda ragu pada sang anak.
"Iya, Bun. Percaya, deh sama Ica. Tapi bunda bangunin buat sholat subuh kayak biasa, ya," ujar Ica meminta.
"Yah, sama aja kalau gitu, nggak mandiri. Bangun sendiri, dong, Ca," jawab Manda.
"Hmm, ya udah deh, nanti Ica buat alarm banyak-banyak dan tiap lima menit sekali bunyi waktu udah mau dekat adzan subuh, kayak biasanya. Udah, yuk, Bun. Kita foto dulu, di luar. Sekalian, rayakan hari wisuda Ica habis foto-foto nanti," ujar Ica. Mereka kemudian menuju keluar auditorium kampus, untuk berfoto bersama.
...----------------...
"Duh, Ica kemana, sih? Kok belum pulang, ya? Udah jam sepuluh malam, mana anak itu besok udah kerja, lagi. Mana ditelpon nggak aktif. Awas aja kalau udah sampai rumah kamu ya, Ca." Manda mengomel menghawatirkan anaknya.
Ica memang sudah meminta izin untuk pulang telat di hari wisudanya ini. Setelah makan bertiga dengan ayah dan bundanya, ia melesat pergi, katanya ingin merayakan wisudanya dengan seseorang. Manda dan Raka sudah tahu bahwa seseorang itu bukanlah pria, karena Ica sangat payah dalam urusan dengan pria. Seseorang itu bukanlah satu orang, ia mengunjungi pantai asuhan tempatnya biasa mengalihkan perhatian saat sedang stress karena suatu hal, tempat paling ampuh untuk melepaskan beban pikiran bersama anak-anak panti. Ia juga menjadi donatur tetap panti asuhan itu walau memakai uang ayahnya.
Untuk hari ini, Ica sudah menyiapkan uang sendiri yang telah ia tabung dari uang saku bulanannya. Ia membelikan banyak makanan untuk makan bersama anak-anak panti dan pengurusnya. Ica ingin anak-anak panti tahu kalau dirinya sudah wisuda dan mendapat gelar sarjananya. Dan ia ingin dirinya menjadi role model anak-anak panti untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi, sebisa mungkin. Bagaimanapun, pendidikan itu sangatlah penting.
"Duh, udah jam sepuluh lewat lagi. Aku sampai lupa waktu kalau udah main sama anak-anak. Bu, Ica pamit pulang dulu, ya." Ica baru melihat jam di tangannya, dan sudah melewati batas waktu ia biasanya harus pulang yaitu jam sembilan malam. Itupun ia sadar karena kebanyakan anak-anak panti sudah dijadwalkan untuk tidur, makanya ia melihat jam di tangannya.
"Ya udah, Nak Ica pulang aja. Jangan ngebut di jalan. Titip salam Ibu ke Tuan Raka dan Nyonya Manda," jawab Ibu pengurus panti yang diajak bicara oleh Ica.
"Oke, Bu. Bakal aku sampaikan ke ayah dan bunda. Ya udah, aku pamit ya, Bu." Ica kemudian menyalami Ibu pengurus panti itu dan menuju keluar panti memasuki mobilnya.
Setelah memasuki mobilnya ia menurunkan kaca mobilnya, kemudian Ica sedikit berteriak. "Assalamu'alaykum, Bu. Pulang dulu," ucap Ica tuk terakhir kalinya di hari itu.
"Wa'alaykumussalam, hati-hati, Nak Ica," jawab Ibu pengurus panti dengan sedikit berteriak juga. Icapun mengemudikan mobilnya lebih cepat dari biasanya.
...----------------...
"Duh, bawain bunda apa ya, biar nanti nggak dimarahi? Beliin sate padang aja deh, bunda kan suka banget sama sate padang. Nyogok dikit nggak papa kali, ya, wong sama bunda sendiri juga. Biar nggak dimarahi, hehehe." Ica berbicara sendiri seraya menepikan mobilnya di tempat jual sate padang di pinggir jalan.
"Mas, satenya dua bungkus, ya," ucap Ica pada mas penjual.
"Oke, Mbak, ditunggu, ya," jawab si mas penjual sate.
"Oke, Mas."
Jalanan sudah mulai sepi, hanya Ica yang menjadi pembeli si mas penjual sate. Ica pun membuka handphonenya sembari menunggu pesanannya selesai dibuatkan.
"Mbak, hati-hati main handphonenya, di sini rawan ada penjambretan." Seorang pembeli lain yang baru saja datang memperingati Ica. Ica hanya berdehem menanggapi tanpa menoleh ke arahnya.
"Mas, satenya satu bungkus, kayak biasa kuahnya dibanyakin." Pria yang memperingatkan Ica itu mengungkapkan pesanannya. Kemudian dibalas anggukan kepala oleh mas penjual sate.
Pria itu juga menunggu pesanannya selesai dengan duduk di bangku dekat Ica. Ia memperhatikan cara mas penjual sate itu mempersiapkan pesanannya.
Sejujurnya, Ica agak risih dengan pria yang duduk di bangku dekat Ica. Ia merasa terganggu karena mengira jarak mereka terbilang cukup dekat. Iapun menggeser kursinya untuk sedikit menjauh. Pria itu hanya menoleh dan tak mengacuhkannya. Lalu Ica melanjutkan memainkan handphonenya.
Srrreet
"Jambret!!! Jambret...tu hape saya." Ica berteriak kontan saat handphonenya diambil secara tiba-tiba dari tangan mungilnya.
Pria yang merupakan pembeli lain itupun berlari mengejar si jambret. Ica malah berprasangka buruk dengan pria itu.
"Wah, kayaknya mereka sekongkol nih buat jambret hape aku. Tadi cowok tadi juga ada peringatkan aku tadi. Eh, teman dia yang ambil ternyata. Modus mah peringatan yang tadi," batin Ica berprasangka buruk.
"Mbak, sih, dibilangin sama mas yang tadi buat hati-hati hapenya dijambret, eh nggak dengerin," ceramah mas penjual sate pada Ica.
"Iya, nggak papa, mas. Saya ikhlas kok, konsekuensi juga karena saya teledor," Ica menanggapi.
"Mas pesanan saya udah siap?" ucap Pria pengejar copet ngos-ngosan.
"Sebentar lagi, ya," dijawab mas penjual sate.
"Oiya, mbak ini hapenya. Untung sempat terkejar jambretnya tadi. Tapi sayangnya dia berhasil kabur waktu saya berhasil dapetin hape mbak. Mbak nggak mengira kalau saya sekongkol sama jambret itu, kan?" Pria itu mengembalikan ponsel Ica. Ica langsung beristighfar dalam hati karena telah berburuk sangka pada pria penyelamat hapenya itu.
"Mbak, makanya kalau dikasih tahu orang lain itu jangan ngeyel. Untung saya berbaik hati mau ngejar si jambretnya. Kalau mau ikhlasin itu bukan begitu caranya. Kasih ke yang membutuhkan. Dan mbak nggak usah berterimakasih ke saya, saya hanya melakukan kewajiban saya sebagai umat yang menolong umat lainnya. Oiya mas, ini pesanan saya kan? Saya ambil, ini uangnya dan kembaliannya buat mas aja." Pria itu menyudahi percakapan. Ica tampak kesal pada pria itu.
"Niat mau nolong nggak sih? Kok kayak gitu sih sifatnya, bikin badmood aja. Berapa mas totalnya?" ucap Ica kesal.
"Empat puluh ribu, Mbak."
Ica mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, tidak ingin kalah dengan si pria songong tadi yang hanya menyerahkan uang lima puluh ribu.
"Kembaliannya buat mas aja," ucap Ica ketus.
"Alhamdulillah, rejeki nomplok hari ini. Terimakasih mbak," ucap mas penjual sate dengan girang.
...----------------...
"Assalamu'alaykum, Ica pulang," ucap Ica tak bersemangat. Manda yang ingin memarahi Ica jadi mengurungkan niatnya karena raut wajah sang anak.
"Wa'alaykumussalam. Kamu dari mana aja, Ca? Kenapa wajahnya ditekuk terus?" tanya sang bunda.
"Nggak papa, Bun. Nih, tadi Ica beli sate. Dua-duanya aja bunda abisin," jawab Ica kesal.
"Eh, kamu kenapa sih? Cerita dong sama bunda."
"Itu, tadi Ica ketemu orang nyebelin waktu beli sate. Tadi dia nolongin Ica karena hape Ica dijambret. Ica awalnya mikir dia kerjasama sama si jambret, tapi Ica langsung tepis itu, kok. Waktu dia balikin hape Ica, Ica malah diomelin. Terus dia nggak mau ucapan terimakasih dari Ica, lagi. Udah gitu, dengan sombongnya dia ngasih mas penjual sate uang lima puluh ribu katanya kembaliannya buat mas itu aja. Kayak mau nunjukin ke Ica kalau dia nggak mungkin jambret hape Ica karena dia orang yang mampu. Siapa juga yang nggak kesel?"
"Terus, terus?"
"Ica juga kasih mas penjual sate uang seratus ribu lah, kembaliannya buat mas itu. Ica tantang balik dia."
"Ih, nggak boleh gitu tahu sama orang yang nolong kamu."
"Abisnya, orangnya nyebelin, sih."
"Udah, udah lupain. Yuk makan satenya sama bunda."
"Nggak mau, udah bad mood."
"Yakin nggak mau? Seingat bunda, kamu kayaknya suka sate, deh. Bunda makan aja deh dua-duanya kalau kamu nggak mau."
"Eh, nggak jadi. Ya udah, Ica ikut makan."
Beginilah jadinya, Manda tak jadi memarahi Ica karena pulang larut malam. Selain karena sudah ada sate sebagai sogokan, ia mencoba memberi dukungan kepada Ica karena masalahnya. Mereka kemudian makan sate bersama dan Ica menceritakan kegiatannya di panti tadi dan menjelaskan mengapa ia pulang terlambat.
...----------------...
Sesuai perkataannya, Ica kini bangun tanpa bantuan Manda untuk melaksanakan sholat subuh. Meski, ia harus berupaya lebih dengan menghidupkan alarm dari jam tiga pagi sampai subuh tiba tiap lima menit.
"Assalamu'alaykum, Bunda," ucap Ica yang sudah mengerjakan sholat. Ia mendatangi Bundanya ke dapur, menyiapkan sarapan pagi di untuk Raka. Sementara sisanya, Bi Yati ART mereka yang menyiapkan. Itu juga tuntutan Raka bahwa ia tidak akan memakan sesuatu yang tidak dibuat oleh istrinya, karena istrinya adalah Manda, bukan Bi Yati.
"Wa'alaykumussalam, Ca. Wah, anak Bunda hari ini bangun sendiri tanpa bantuan Bunda. Uh, hebatnya anak Bunda ini. Makin sayang deh Bunda sama kamu," Manda menjawab. Kemudian, ia dipeluk oleh Ica. Lihatlah, manja sekali bukan? Dibalas lah pelukan itu seraya mengusap lembut rambut putri semata wayangnya itu.
"Iya, dong, Bun. Ica kan udah dewasa, udah dapat gelar sarjana. Jadi harus mandiri," ucap Ica menyombongkan diri.
"Iya iya, asal jangan hari ini aja kamu mandirinya. Seterusnya, oke?" balas Manda mengingatkan.
"Iya iya Bunda bawel," cibir Ica. Manda lebih memilih untuk tidak membalas.
"Bi Yati, Ica minta tolong buatin susu ya, kayak biasa," pinta Ica ke ART nya.
"Baik, Non. Tunggu sebentar. Non Ica tunggu aja di meja makan," jawab Bi Yati. Ica pun menurut.
Ica menutup mulutnya karena sudah mulai mengantuk lagi. Berusaha ia hilangkan kantuk nya dengan bermain ponsel, sepertinya berhasil.
"Ini, Non, silahkan diminum," ucap Bi Yati.
"Ooh, iya, makasih ya, Bi." Ica langsung meminum susunya dengan cepat dan kembali menuju kamarnya.
"Sayang, kamu mandi sekarang biar segar waktu mau berangkat kerja nanti," ucap Manda sedikit berteriak dari dapur. Ica tidak memberikan respon karena sudah berada di kamarnya.
"Masih ada tiga jam lagi sebelum jam masuk kantor, tidur lagi, ah," pikir Ica. Lalu ia membaringkan tubuhnya dan kembali tidur untuk menghilangkan kantuknya.
...----------------...
Drrrrt drrrrt
Alarm terus saja berbunyi dan Ica masih menikmati tidurnya. Sampai pada alarm terakhir, sayup-sayup ia melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Memang jam masuk kantor adalah jam delapan, tapi Ica tidak pernah cepat saat bersiap-siap. Makanya ia harusnya sudah bangun di jam enam. Namun, satu jam dari waktu harusnya ia bangun baru ia benar-benar sadar dari tidurnya.
"Astaghfirullah, udah jam tujuh. Bunda kenapa nggak bangunin, sih?" Ica berbicara sendiri.
"Duh, harus cepat-cepat nih. Ya Allah, jangan buat hamba terlambat di hari pertama hamba bekerja. Aduh, nggak mandi lah ya, cuci muka sama gosok gigi aja. Pakai baju yang mana ya nanti?" Ica berbicara sendiri seraya melakukan multitasking mempersiapkan diri ke kantor.
Rekor baru, Ica mempersiapkan dirinya dalam waktu dua puluh menit dari yang biasanya satu jam setengah. Ia buru-buru turun dan mengambil roti sarapan yang sudah dibuatkan Bi Yati.
"Bi, ada supir nggak?" tanya Ica sambil menyumbat kan roti ke mulutnya.
"Nggak ada, Non. Supir sedang mengantar tuan dan nyonya ke kantor," jawab Bi Yati.
Kini Ica sudah beralih memakai sepatu seraya memakan roti sarapannya. Untungnya, mobil yang akan ia pakai sudah dipanaskan oleh supir, jadi akan menghemat waktu.
"Yaudah, Bi, Ica berangkat ya. Assalamu'alaykum," pamit Ica.
"Wa'alaykumussalam, hati-hati, Non. Jangan ngebut di jalan," balas Bi Yati.
Ica segera masuk ke mobilnya dan melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya seraya memakan roti sarapannya. Ia memang lamban mengunyah makanan, apalagi dengan multitasking seperti ini. Tepat jam setengah delapan lewat sepuluh ia mulai berangkat. Sayangnya, ini adalah jam pergi kantor. Jalanan mulai dipadati oleh orang-orang yang ingin berangkat ke kantor juga. Kalau urusan macet begini, Ica akan lama mengemudikan mobilnya. Ia berharap, skill mengemudinya bisa seperti Pak Joni supirnya yang pandai sekali menikung kendaraan di depan. Sayangnya, Ica bukan Pak Joni. Ia hanya dapat menunggu kendaraan di depannya jalan baru ia akan ikut jalan. Ica berharap waktu masih sempat untuk tidak terlambat di hari pertama ia bekerja.
"Ya Allah, harusnya aku nggak usah tidur lagi, tadi. Malah keenakan tidur. Harusnya aku dengerin kata Bunda untuk langsung mandi langsung biar segar, ini malah kebablasan tidur." Ica mengomeli dirinya karena kecerobohan yang ia buat.
...----------------...
"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Masih ada waktu lima menit lagi, aku harus buru-buru."
Ica melenggang pergi begitu saja tanpa halangan. Karena semua orang tahu bahwa Ica adalah putri pemilik perusahaan, makanya tidak ada seorangpun yang mempermasalahkan kehadirannya.
"Divisi humas ada di lantai lima, kan, ya? Mana udah jam delapan lewat sepuluh lagi. Bosnya galak nggak, ya? Tapi ngapain khawatir, semua orang disini udah tahu kalau aku putri pemilik perusahaan. Jadi, siapa yang bisa memarahi aku?" batin Ica berusaha ber positif thinking.
Ica sudah sampai di divisi humas. Ia kemudian masuk seperti bukan seperti seorang karyawan, ia masuk ke sarang harimau tanpa takut sedikitpun. Pasalnya, divisi humas dikenal sebagai divisi horor karena atasannya yang tidak menerima kesalahan apapun dari bawahannya. Tiap karyawan divisi humas selalu di awasi oleh atasan mereka untuk memberikan yang terbaik untuk perusahaan.
"Maaf, Mbak. Mbak bukanya Raisa Humaira Arshad, putri Pak Raka, ya?" tanya seorang karyawan. Ia adalah senior yang akan membimbing Ica bekerja.
"Iya, Mbak," jawab Ica.
"Kalau begitu, mbak ada dibawah bimbingan saya. Lain kali saya harap mbak jangan sampai terlambat, ya. Soalnya manajer suka periksa kelengkapan karyawan, ada yang terlambat atau tidak, ada yang absen atau tidak. Maaf kalau lancang, manajer tidak akan memandang bulu sedikitpun meskipun mbak adalah putri pemilik perusahaan. Ia akan mendisiplinkan semua bawahannya," ucapannya santun.
"Begitu, ya, Mbak? Kalau gitu saya minta maaf karena saya merepotkan mbak. Tadi saya yang ceroboh," ucap Ica. Tak disangka oleh mbak tersebut, anak pemilik perusahaan adalah orang yang santun.
Mereka kemudian duduk di meja kerja Ica. Belum sempat duduk, suara pria seorang pria menginterupsi.
"Kamu karyawan baru disini?" tanya Pria itu. Ica langsung saja mengenali wajah pria itu. Ia adalah pria menyebalkan yang Ica temui tadi malam. Kenapa pria itu ada di kantor ayahnya?
"Iya, Pak, Mbak Raisa Humaira Arshad karyawan baru disini. Saya sudah mendapatkan perintah dari Pak Raka untuk membimbingnya langsung," jawab senior yang membimbing Ica.
"Kamu pikir jam berapa sekarang? Kamu karyawan baru, di hari pertama sudah terlambat setengah jam. Kamu ikut ke ruangan saya sekarang," ucap pria itu tegas. Ica yang tak tahu apa-apa, diberitahu seniornya untuk turuti saja kata pria itu untuk ikut ke ruangannya.
Ica agak kesal dengan pria satu ini, namun karena Ica masih karyawan baru ia berusaha menahannya. Sekarang mereka sudah sampai di ruangan pria itu. Ruangan yang cukup besar untuk seukuran karyawan seperti Ica.
"Kamu putri dari Pak Raka Arshad, kan? Kamu pikir karena kamu seorang putri dari pemilik perusahaan bisa seenaknya terlambat di hari pertama bekerja?" Ica diceramahi. Entah sengaja atau tidak, suara pria itu meninggi. Pintu ruangan tidak ditutup, mungkin semua karyawan akan mendengar Ica diceramahi.
Ica sungguh malu, namun juga kesal. Pria menyebalkan ini sebenarnya siapa? Kenapa begitu menyebalkan? Kenapa mengaitkan dirinya dengan ayahnya? Ica makin kesal, namun berusaha bertingkah baik.
"Oh, saya belum memperkenalkan diri sebelumnya. Saya Bayu Pramana Surya, manajer divisi humas. Dengan kata lain saya adalah atasan kamu dan juga bos kamu. Jadi saya memanggil kamu kemari untuk mendisiplinkan kamu."
"Apa? Bagaimana bisa pria menyebalkan ini menjadi bos ku?" batin Ica.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!