Kanaya...
Setidaknya itulah panggilan orang-orang padaku. Aku tak tahu apakah itu benar-benar namaku atau bukan, karena aku pun tak tahu siapa orang tuaku sebenarnya, dan kapan terakhir aku bertemu dengan mereka. Yang aku ingat hanyalah seorang wanita yang selalu ada di sampingku tiba-tiba tertidur dan tak pernah membuka matanya kembali, mungkin itu yang disebut dengan kematian. Saat itu aku hanyalah seorang gadis kecil yang hanya bisa menangis melihatnya tertidur dan tak pernah lagi membukakan matanya saat kupanggil.
Sejak saat itu aku menjalani hari-hariku sendiri, berpindah-pindah dari kolong jembatan yang satu ke kolong jembatan yang lain. Perut ini pun hanya kuisi dengan mengais sampah di jalanan yang kulewati. Tak jarang orang-orang iba padaku dan memberiku makanan dan pakaian.
Waktu berganti, aku kini sudah cukup dewasa, dan aku sadar aku telah tumbuh
menjadi gadis yang begitu cantik.
Aku hidup dari kecantikan yang kumiliki, dan kusebut ini adalah sebuah pekerjaan, AKU adalah SUGAR BABY..
***
Sayup-sayup kudengar suara wanita berteriak di depan rumah sambil menggedor-gedor pintu. Sebenarnya belum pantas disebut rumah karena memang hanya sebuah bangunan petak yang pengap dan berada di perkampungan kumuh padat penduduk. Kubuka mata perlahan jarum jam menunjukkan angka 02.00 dini hari.
"S**t ganggu aja, siapa yang pagi buta begini udah berani gangguin gue tidur!"
Dengan langkah malas, aku bergegas membukakan pintu. Namun belum sepenuhnya pintu itu kubuka, seorang wanita bertubuh tambun menyerangku begitu saja. Tubuhku yang tak siap mendapat serangan darinya terkapar di atas lantai dengan ujung bibir yang mengeluarkan darah.
"Dasar ku*ang ajar, sudah datang pagi-pagi tak tahu aturan, lalu berani-beraninya kamu berbuat kasar padaku, awas jika sesuatu terjadi padaku akan kulaporkan kamu ke polisi, dasar wanita j*lang!!!"
"Heiii berkacalah, bukankah kamu yang tidak tahu aturan, dasar pel*cur tidak tahu diri, bisanya cuma hidup dengan menjual tu*uh, sungguh menjijikan dan hina wanita sepertimu!"
"Apa maksudmu?"
"Tidak usah berpura-pura dan sok suci, bukankah kamu simpanan suamiku? Kehidupanmu adalah tanggungan suamiku bukan? Seharusnya kamu malu, kamu lebih pantas menjadi anaknya daripada menjadi selingkuhannya!"
"Oh jadi kamu istri Mas Agung? Pantas saja suamimu mengejar-ngejar aku. Lihat penampilanmu sebagai seorang istri kamu tampak begitu menjij*kan, aku saja mau muntah melihat penampilanmu apalagi suamimu, jika aku jadi suamimu, kamu pasti sudah kubuang jauh-jauh."
"Heh dasar pel*cur, tidak usah banyak bicara! Sekarang aku minta kamu pergi dari rumah ini!"
"Apa hakmu mengusirku?"
"Apakah Mas Agung tidak memberitahukan padamu jika pemilik rumah petak ini adalah aku? Mas Agung hanyalah laki-laki miskin yang menumpang hidup denganku. Sekarang pergi kamu dari sini!!"
Lalu beberapa orang bertubuh besar menghampiri kami, mereka masuk ke dalam rumah petakku, lalu mengambil barang-barang milikku, dan kemudian melemparkan begitu saja di depanku.
"Lihat, kamu tak bisa berbuat apa-apa dibandingkan aku kan? Kamu hanya pel*cur miskin yang tak punya harga diri, sekarang pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran lalu mengubah niatku untuk melenyapkanmu dari dunia ini!!!"
Aku tak bisa berbuat apa-apa, kali ini aku akan mengalah, ya aku akan mengalah tapi tidak untuk lain kali. Kususuri sepanjang jalan ini, setetes cairan bening membasahi wajahku.
'Kenapa aku harus menangis? Bukankah sedari dulu hidupku seperti ini? Jalanan adalah rumahku, dan kolong langit adalah tempat tidurku. Aku harus kuat, aku harus bisa menjalani kehidupan ini. Akan harus berusaha untuk membalaskan dendam pada orang-orang yang telah menghinaku.' batinku dalam hati.
Tubuh lemasku tiba-tiba merasa silau akan cahaya terang di depanku. Lalu semuanya berubah menjadi gelap.
*Flashback*
"Lari... ada satpol PP lari..."
Orang-orang tampak hilir mudik berlari di depanku. Aku hanya bisa menatap mereka satu per satu yang tampak begitu panik dan kebingungan, sambil memakan es krim cokelat yang ada dalam genggamanku. Tiba-tiba sepasang tangan mendekap tubuhku.
"Mba, apa yang kau lakukan? ini anak siapa?"
"Sudahlah, siapa tahu anak ini berguna untukku."
"Mba kalau orang tuanya mencarinya gimana? Dia masih kecil, mungkin usianya masih empat tahun. Mba bisa kena kasus penculikan anak."
"Sudah jangan banyak bicara, ayo cepat kita masuk ke mobil itu."
Aku yang tak tahu apa-apa hanya diam dalam dekapan wanita itu. Aku mencoba untuk meronta, namun dekapannya begitu kuat. Saat aku dan orang yang menggendongku masuk ke dalam sebuah mobil yang bagian belakangnya terbuka, wanita lain yang sedari tadi bersama kami tertangkap oleh bebeapa orang yang memakai seragam berwarna hijau. Sedangkan mobil yang kami naiki telah berjalan menjauhi wanita itu.
"Santiii... Santiiii..."
"Mba Renaaaa..."
Aku hanya diam melihat wanita yang menggendongku menangis sambil terus berkata tidak karuan, aku tak tahu apa yang dikatakannya, yang kutahu dia tampak begitu kesal. Aku lalu mencoba menggenggam tangannya, namun tak sepatah katapun bisa kukatakan. Jangankan untuk menghiburnya, berkata saja aku belum begitu jelas.
"Hei anak kecil, siapa namamu?"
"Ka..Ka... " belum sempat aku mengucapkan namaku tiba-tiba sebuah suara klakson mobil yang begitu keras mengagetkan kami berdua.
"Aaah sudah, kupanggil saja kau Kanaya, sama seperti putriku yang telah meninggal. Sekarang kau jadilah anak yang baik dan berguna untukku."
Aku hanya diam tak mengerti satupun kata-kata yang diucapkannya. Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya mobil yang kami tumpangi berhenti, lalu kami turun di tepi jalan yang begitu lebar. Di sekitar jalan tampak gedung tinggi menjulang. Setelah memberikan sesuatu kepada sopir mobil, wanita itu lalu menghampiriku.
"Kanaya, kamu tahu, inilah yang disebut dengan Jakarta, kita sudah jauh dari kampung halaman kita, sekarang kita akan memulai kehidupan baru disini."
Aku yang tak tahu apa-apa hanya bisa mengangguk mendengar kata-katanya. Setelah agak lama kami berjalan, akhirnya kami tiba di sebuah rumah sempit yang lantainya masih beralaskan tanah.
"Tidurlah Kanaya, besok kita akan mulai mencari uang."
Aku yang begitu lelah lalu merebahkan tubuhku dan tidur dengan perut yang sangat lapar. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur, saat kubuka mata, wanita itu sudah bangun dan tersenyum padaku.
"Makanlah Kanaya, kamu harus mengisi perutmu karena kita akan bekerja keras hari ini. Ingat Kanaya, mulai hari ini kamu panggil aku dengan sebutan mama, ingat Kanaya "MAMA."
Aku tak mengerti apa yang dikatakannya, aku hanya mengerti jika dia menyuruhku makan dan memanggilnya dengan sebutan "Mama."
Aku memakan makanan yang ada di hadapanku, dengan begitu lahap. Selesai makan dia mengambil segenggam tanah yang ada di lantai rumah ini lalu mengoleskan ke wajah dan tubuhku. Kemudian dia mencengkeram bajuku dengan begitu kuat sehingga beberapa bagian bajuku robek.
"Sempurna."
"Ayo kita pergi Kanaya."
Dia lalu mengajakku berjalan ke sebuah jalan raya yang sangat ramai. Kami lalu berhenti di sebuah jalan yang begitu lebar, dengan beberapa lampu berwarna yang menyala dan mati secara bergantian.
"Kanaya, cepat pergi ke arah sana dan bunyikan alat ini." katanya sambil memberiku sebuah bambu kecil yang diberi tutup botol dan jika kugoyangkan maka akan berbunyi. Aku tak tahu itu alat apa, namun aku cukup tertarik pada alat itu yang bisa berbunyi dengan nyaring saat kugoyangkan, maka dengan senang hati kugoyangkan alat-alat itu sambil menari di jalanan. Orang-orang yang berhenti di bawah lampu berwarna-warni menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan, yang kutahu saat aku menghampiri, mereka memberikan aku sebuah benda seperti kertas dan benda bulat yang entah ku tak tahu itu apa. Setelah kantong plastik yang kupegang terisi cukup banyak. Aku lalu menghampiri wanita yang bersamaku, dia bersembunyi di balik tembok di dekat lampu berwarna-warni.
"Wah Kanaya, hari ini kita dapat banyak uang. Kamu memang pembawa keberuntungan. Saat pertama melihatmu, aku yakin kamu akan memberikan aku banyak keuntungan." katanya sambil tersenyum.
Aku baru tahu jika benda yang aku kumpulkan dalam kantung plastik itu yang disebut dengan uang. Saat matahari tampak begitu menyengat di atas kepala, dia lalu mengajakku makan. Dia memberikan aku makanan yang cukup banyak.
"Makan yang banyak Kanaya, agar kamu tidak sakit dan bisa memberikan uang yang banyak untukku."
Aku tak tahu apa yang dikatakannya, yang aku tahu kini aku makan dengan makanan yang cukup lezat dan aku begitu menikmatinya. Mulai saat itu tertanam dalam benakku jika aku mengumpulkan banyak uang, maka aku bisa makan makanan lezat.
Hari demi hari berlalu, entah sudah berapa lama aku menjalani hari-hari seperti ini di jalanan. Yang aku tahu kini tubuhku sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan saat aku pertama kali bertemu dengan Mama. Kami berpindah-pindah dari jalan yang satu ke jalanan yang lain. Wanita itu juga baik padaku, walaupun dia menyuruhku untuk melakukan pekerjaan yang tak kusukai, tapi dia bersikap lembut dan tidak pernah marah padaku. Setidaknya setiap hari dia memberikan makanan yang lezat untukku, itu sudah cukup membuatku merasa bahagia.
Suatu hari saat aku bangun, keanehan terjadi karena di depanku tidak ada makanan yang biasa kutemukan saat aku terbangun. Aku lalu menghampiri wanita yang kusebut dengan sebutan Mama masih tertidur dengan begitu lelap. Beberapa kali aku memanggilnya, namun dia masih saja tertidur. Akhirnya aku pun menangis karena dia tak kunjung membuka matanya.
Orang-orang yang tinggal si sekitarku lalu menghampiri gubuk tempat aku tinggal karena nendengar suara tangisku. Seorang laki-laki menghampiri Mama dan memegang pergelangan tangannya, lalu sebuah kata keluar dari mulutnya.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun."
Serentak orang-orang yang ada pun mengungkapkan kata yang sama. Saat dilanda kebingungan orang-orang yang datang ke rumahku pun semakin ramai. Bendera berwarna kuning mereka pasang di depan rumah, dan ada sebuah benda berukuran besar yang ditutup kain berwarna hijau berada di depan rumahku.
Mama lalu dibawa beberapa orang wanita dan dimandikan oleh mereka, dalam hati aku merasa geli karena Mama sudah besar tapi masih saja mau dimandikan oleh orang lain. Setelah Mama selesai mandi, dia masih juga menutup matanya, padahal di rumah ini begitu banyak orang-orang memberikan uang padaku. Bukankah Mama suka sekali jika aku bisa memberikan banyak uang untuknya. Namun mengapa saat aku bisa memberikan uang yang begitu banyak, dia masih saja tertidur. Aku lalu mendekatinya dan memberikan uang yang ada dalam satu kotak kardus, aku memperlihatkan uang itu, namun dia masih saja menutup matanya. Bahkan orang-orang di sekitarku malah membungkus Mama dengan sebuah kain berwarna putih.
Aku tidak rela jika mama diperlukan seperti itu, tega sekali mereka membungkus Mama ke dalam sebuah kain lalu memasukkannya ke dalam tanah. Aku hanya bisa menangis meraung-raung melihat tubuh mama yang kini sudah tertimbun oleh tanah. Saat tangisku semakin kencang, tiba-tiba seorang wanita mendekatiku. "Kanaya, mamamu sudah meninggal. Kamu yang sabar ya nak."
'Meninggal? Apa itu?' batinku dalam hati.
Aku mencoba membuka mata, tampak sekelilingku semua berwarna putih. 'Apa gue udah meninggal?'
"Udah bangun loe?" Saat masih dilanda kebingungan, sebuah suara mengagetkanku.
Aku lalu menatap seorang wanita yang usianya tak berbeda jauh dariku, sedang duduk di meja makan sambil menyantap sepotong pizza dan segelas susu. Aku sepertinya mengenal wanita itu, namun aku tak yakin itu adalah dirinya.
"Loe lupa sama gue?" Aku hanya menggelengkan kepala perlahan.
"Cepet banget loe lupain temen sendiri." katanya sambil terus mengunyah pizza di mulutnya.
"Tania?" kataku ragu.
"Nah gitu dong, masa lupa sama temen sendiri." katanya sambil tersenyum. Aku sebenarnya ragu dengan tebakannku, namun tebakanku ternyata benar. Aku tak menyangka Tania telah begitu berubah, dulu kulitnya berwarna gelap, hidungnya pun tak semancung sekarang, lalu yang jelas sekali tampak perbedaannya adalah bagian rahang dan dagu.
"Maaf Tan, loe beda banget sampe gue ga ngenalin loe." kataku sambil meringis.
"Gue kan ga sebodoh loe Kanaya."
"Maksud loe?"
"Ya loe tanggung banget jadi sugar baby sama om-om kelas rendahan kaya gitu. Cuma cari penyakit itu namanya. Ngapain jadi sugar baby loe masih hidup di rumah petak, nih liat apartemen gue, sugar daddy gue yang beliin atas nama gue lagi."
"Hebat loe Tan."
"Lagian ngapain sih loe jam tiga malem berkeliaran di jalan, udah jadi tuna wisma lagi loe? Untung gue yang nemuin loe."
"Jadi mobil di depan gue tadi mobil milik loe Tan?"
"Ya iyalah, memangnya mobil siapa?"
"Itu juga pemberian sugar daddy loe?"
"Ya iyalah masa gue suruh nyolong."
"Hebat banget loe Tan."
"Ya iyalah, gue bukan loe Kanaya yang cari sugar daddy dari kalangan menengah, nih liat muka gue sekarang, ini juga hasil morotin sugar daddy gue dong. Ingat Kanaya, orang kaya kita ini hidup di dunia udah penuh dosa, nanggung kalo cape-cape udah berbuat dosa, kita cuma dapet sedikit. Kita mau dapet om-om kaya atau miskin, kadar dosa kita tetep sama kan?"
"Bener juga loe Tan."
"Makanya rugi kalau loe dapet receh, kita tetep masuk ke neraka yang sama Naya."
"Ajarin gue dong Tan."
"Tenang, nanti gue kenalin sama sugar daddy yang tajir. Mending sekarang loe makan dulu deh, biar ga kelaparan kaya tadi sampai pingsan di jalan hahahahaha."
"Sialan loe, tadi gue lagi enak-enakan tidur terus gue dibangunin istri laki gue. Eh ternyata rumah yang gue tempatin itu milik istrinya, sial banget kan gue."
"Tuh kan bener kata gue, loe mainnya receh sih. hahahaha."
Aku lalu menghampirinya di meja makan dan mulai sarapan bersama Tania, sejenak aku meliriknya, dia benar-benar sudah berubah. Wajahnya sekarang telah begitu cantik, sangat berbeda dengan Tania yang dulu.
***
Aku masih sering menangisi kepergian Mama, sekarang aku benar-benar hidup sendiri. Terkadang tetangga menjengukku dan memberikan makanan padaku, sebenarnya ada beberapa yang menyuruhku untuk tinggal bersama mereka. Namun aku tak mau, aku sudah terbiasa hidup seperti ini.
Sampai suatu hari seorang wanita bertubuh tambun datang ke rumahku. Dia berkata begitu keras dan kasar padaku. Dia juga membawa tubuh mungilku untuk keluar dari rumah yang kutempati.
"Sekarang cepat kamu pergi dari rumah ini Kanaya, karena ada orang yang sudah membayar kontrakan rumah ini."
"Sabar Bu Joko, Kanaya kan masih berusia lima tahun, masa anda tega sekali mengusirnya begitu saja." kata salah seorang tetanggaku.
"Eh Bu Cici, kamu ga usah ikut campur memangnya kamu mau kuusir juga dari rumah petak ini. Ingat, akulah pemilik rumah petak yang ada di sini. Aku bisa berbuat sesuka yang kumau!"
Aku sungguh tak terlalu mengerti mereka berkata apa, yang kutahu tumpukan bajuku dia buang dan aku tak boleh masuk lagi ke dalam rumah itu. Aku lalu berjalan membawa tas yang berisi baju, sesungguh aku tak tahu harus kemana akan melangkah. Perut ini rasanya sudah begitu lapar, akhirnya aku melihat sisa-sisa makanan di belakang sebuah warung makan. Dengan lahap aku memakan sisa nasi dan daging yang ada di atas piring.
"Eh apa-apaan ini, kamu anak jalanan. Jangan dekat-dekat kesini, nanti pelangganku bisa jijik melihat anak sepertimu ada di rumah makan milikku."
Dia lalu menyuruhku pergi, namun setidaknya perutku sudah sedikit kenyang. Aku lalu membuka tas yang kupakai dan melihat masih banyak tumpukan uang yang kudapat saat Mama meninggal. Aku lalu menuju sebuah kolong jembatan, rasanya kaki ini sudah begitu lelah untuk melangkah. Aku lalu tertidur beralaskan kardus dan berbantalkan tas yang kubawa.
"Hei anak kecil, ngapain loe tidur disini? Ini tempat milik gue!" kata seorang anak laki-laki yang usianya lebih tua dariku.
Aku hanya terdiam. "Cape." hanya kata itu yang bisa aku ucapkan.
"Pergi loe dari sini, gue mau tidur!!!"
Aku tak bisa berbuat banyak, aku lalu melangkahkan kakiku berjalan diantara ramainya kendaraan yang berlalu lalang dan gedung yang menjulang begitu tinggi. Tiba-tiba perutku berbunyi kembali, aku melihat di depanku ada sebuah warung makan, aku lalu berjalan ke arah warung makan tersebut sambil memberikan selembar uang pada pemiliknya. Sepertinya dia paham maksudku, dia lalu memberikanku sebungkus makanan.
Aku lalu berjalan lagi sampai di depan sebuah rumah kosong. Dengan lahap aku memakan makanan yang ada di depanku. Tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan tampak seperti mengintaiku, namun aku mencoba untuk tetap tenang dan melanjutkan makanku. Tetapi bayangan itu kian mengganggu, aku yang begitu penasaran lalu mendekat pada bayangan itu. Tampak seorang gadis kecil yang usianya tak berbeda jauh dariku tengah memegang perutnya. Aku begitu kasihan melihatnya.
"Lapar?" kataku.
Dia hanya mengangguk, lalu aku menarik tangannya untuk ikut makan bersamaku. Dia tampak begitu lahap menyantap makanan milikku. Selesai makan dia lalu tersenyum padaku.
"Tania." katanya.
"Kanaya." jawabku.
"Teman?" katanya dengan begitu ceria, dan aku pun mengangguk. Dia lalu mengajakku ke sebuah rumah yang terbuat dari kardus tak jauh dari tempat kami makan.
Sejak hari itu kulalui hari-hariku bersama Tania, dia anak yang begitu pemberani. Tampaknya dia telah begitu lama hidup di jalan, karena dia benar-benar paham seluk beluk kota ini. Siang hari kami habiskan dengan mengamen di jalanan. Uang sisa mengamen kami belikan makanan, dan malamnya kami kembali ke rumah kardus milik Tania. Jalanan kini sudah menjadi bagian hidupku. Teman-temanku pun semakin banyak, aku mulai terbiasa hidup menggelandang seperti ini. Terkadang jika hujan turun dan kami tidak bisa mengamen, kami mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah beberapa rumah makan. Namun jika pemiliknya kasihan, makan kami akan diberi makan secara cuma-cuma.
Aku sebenarnya masih menyimpan beberapa uang yang kudapat saat Mama meninggal dulu, tapi aku belum mau mempergunakannya, dan akan kugunakan di saat yang tepat nanti. Aku sudah terbiasa hidup menggelandang seperti ini. Meski sekarang kami hidup di bawah sebuah kolong jembatan karena rumah kardus milik kami telah dihancurkan oleh orang-orang yang memakai seragam berwarna hijau. Namun aku tetap bahagia, karena aku hidup dengan anak-anak yang bernasib sama denganku. Meski hidup kami pun tidak begitu tenang karena dibayang-bayang oleh preman yang selalu meminta upah setelah kami selesai mengamen ataupun orang-orang berseragam warna hijau, yang belakangan ini kutahu namanya adalah Satpol PP.
Waktu rasanya berlalu begitu cepat. Sekarang usiaku mungkin sudah berkisar antara dua belas tahun, kulihat bu*h dadaku sudah kian membesar, dan aku telah mengalami apa yang disebut dengan menstruasi. Aku lalu berpikir untuk mengakhiri kehidupan menggelandang di jalanan. Kini aku sudah besar dan ingin memiliki tempat tinggal yang layak, karena akan semakin berbahaya jika aku masih tinggal di jalanan ini.
"Tan, kita mending cari kerjaan aja yuk, terus cari tempat tinggal yang layak, masa kita mau hidup kaya gini terus."
"Apa Naya? Ga salah loe bilang? Mana ada yang mau nampung anak kaya kita."
"Kalau kita mau berusaha pasti kita bisa dapet kok Tan."
"Ya udah loe aja sana, gue gak mau." kata Tania sambil meninggalkanku. Aku tak tahu jika hari itu adalah pertemuan terakhirku dengan Tania.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!