NovelToon NovelToon

Kekuatan Di Luar Tembok Keraton

Prolog

Pagi hari yang cerah. Matahari mulai membagikan kehangatannya. Membelai pucuk pucuk daun pepohonan yang tumbuh di pinggiran hutan di lereng tenggara Gunung Merbabu. Kehangatan yang membawa ketenangan dan kedamaian pada seluruh makhluk di pinggiran hutan itu.

Alas Penahun. Demikian para penduduk Desa Paminggir memberi nama pada hutan tersebut. Disebut Desa Paminggir karena memang desa yang letaknya paling pinggir, paling ujung, yang berbatasan dengan hutan Alas Penahun. Itupun jaraknya Desa Paminggir dengan hutan Alas Penahun masih setengah hari berjalan kaki melewati sawah sawah dan ladang ladang yang memang sengaja dibuat dengan membabat alas dulu, untuk mata pencaharian dan penghidupan warga Desa Paminggir.

Ketenangan dan kedamaian itu, juga terasakan di sebuah gubug kayu yang terletak di dalam hutan Alas Penahun. Gubug itu menghadap ke timur dan tampak sangat sederhana, bahkan kayu kayunya sudah banyak yang lapuk. Tapi tidak mengurangi kesan bersih dan rapi keadaan gubug itu. Dengan halaman depannya yang lumayan luas, dikelilingi tanaman Metir yang berjajar rapi persis di tepian halaman, berselang seling dengan pohon pohon kelapa yang tumbuh menjulang. Sangat terasa keasriannya.

Di kanan kiri gubug ada halaman samping yang penuh dengan tanaman sayuran dan buah buahan.

Sedang di belakang gubug ada halaman belakang yang luasnya kira kira sama dengan halaman depan. Di pojok halaman belakang, ada rumpun bambu petung, yang tampak sekali sangat terawat dan selalu dibersihkan.

Pagi itu, di halaman depan, duduk seorang kakek yang usianya sudah lebih dari 70 tahunan. Tapi wajahnya masih menunjukkan kesegaran dan pancaran semangat hidup, walaupun rambut, kumis dan jenggotnya sudah dua warna dengan dominan warna putihnya.

Ki Penahun, demikian warga desa memanggilnya bila kebetulan bertemu di pinggiran hutan.

Pagi itu seperti biasa, Ki Penahun duduk di lincak bambu (kursi panjang dan agak lebar tanpa sandaran yang terbuat dari bambu), sambil dengan sabarnya melatih olah kanuragan (ilmu silat) pada Lintang Rahina cucu satu satunya yang dia miliki.

Pada masa mudanya, Ki Penahun terkenal dengan sebutan Pendekar Jagad Wulung. Dan terkenal dengan kiprahnya memberantas kejahatan dalam menegakkan keadilan dan membela yang lemah.

Lintang Rahina, meskipun masih berusia 12 tahunan, tapi fisiknya sudah seperti anak usia 15 tahunan. Hal itu dikarenakan sejak usia 5 tahun sudah berlatih fisik dalam mempelajari olah kanuragan. Apalagi dengan pembawaannya yang tenang, cerdas dan perawakan yang tegap dan berkulit kuning langsat, mengeluarkan aura dan kewibawaan yang membuat orang lain segan dan hormat.

"Thole Lintang, cukup untuk latihan jurusnya. Kamu sudah sangat bagus penguasaan jurusnya, dan latihan itu bisa diulang kapanpun. Sekarang mumpung matahari masih 'ayu', kamu latih lagi gerakan Surya Mangkuda," perintah Ki Penahun.

"Inggih Eyang," Lintang Rahina.

Lintang Rahina langsung menjalankan apa yang diperintahkan oleh Ki Penahun.

Menghadap ke timur, dengan kuda kuda dibuka selebar lengan. Lutut agak ditekuk sedikit, pandangan agak turun lurus arah hidung. telapak tangan saling bertemu di depan dada. Langsung saja Lintang Rahina terhanyut dalam irama pernafasannya yang secara teratur, menghirup udara melalui hidung pelan pelan tapi panjang, begitu paru paru sudah penuh dengan udara, ditahan satu dua denyutan nadi, lalu dihembuskan lewat mulut pelan pelan dan panjang. Sungguh sangat halus olah pernafasan yang dilakukan oleh Lintang Rahina, sehingga walaupun dilakukan berulang ulang tapi tidak tampak ada guncangan di dada.

Lintang Rahina terus melakukan gerakan itu sampai sinar matahari membentuk bayangan tubuhnya sepanjang separuh tinggi tubuhnya.

Tidak terasa keringat memenuhi tubuhnya. Rambutnya yang gondrong basah semua oleh keringat. Dadanya yang tegap dan bidang sampai mengkilat penuh keringat yang terkena sinar matahari.

Sudah sejak usia 5 tahun Lintang Rahina melakukan gerakan Surya Mangkuda, sehingga badannya sudah sangat terbiasa dan gerakannya sudah mendarah daging. Bahkan penjiwaan dan pemahamannya sudah sangat tinggi mendekati sempurna.

Sehingga tanpa Lintang Rahina sadari, dia sudah punya pondasi dan simpanan tenaga dalam murni di dalam seluruh peredaran darahnya, di dalam seluruh permukaan kulitnya, seluruh otot otot, tulang, sumsum dan dagingnya. Bahkan di dalam setiap hembusan nafasnya.

Tenaga dalam itu hasil dari dia setiap pagi menyerap energi alam dari sinar matahari pagi, hembusan angin pagi, pepohonan, uap embun pagi yang menguap dan juga energi dari tanah yang mengeluarkan asap asap tipis dari pori pori tanah.

Semua energi alam itu, tanpa Lintang Rahina sadari, telah terserap dan merasuk ke dalam tubuhnya lewat olah pernafasannya. Dan itu sudah berlangsung selama lebih dari 7 tahun. Sehingga diam diam Lintang Rahina menyimpan kekuatan yang sangat besar.

"Cukup thole, sekarang kamu istirahat, kemudian mandi, setelah itu kita makan bareng bareng. Kelihatannya eyang putrimu sudah selesai memasaknya," Ki Penahun menghentikan latihan Lintang Rahina.

"Inggih eyang," jawab Lintang.

Lintang Rahina langsung ke belakang gubug untuk istirahat sebentar dan kemudian mandi.

Beberapa saat kemudian, Lintang Rahina makan bersama sama dengan kakek dan neneknya.

Sementara itu, di Desa Paminggir, pagi yang biasanya tenteram, damai, terjadi hal yang luar biasa menurut anggapan penduduk, yaitu terdengarnya gemuruh dari pangkal jalan menuju desa Paminggir.

Beberapa saat kemudian, tibalah serombongan orang, berjumlah sekitar 30 an, laki laki semua, dengan semuanya menunggang kuda. Penampilan mereka sepertinya serombongan pendekar, terlihat dari hampir semuanya membawa senjata. Ada yang mebawa pedang, ada yang membawa golok, tombak pendek, tongkat besi.

Di depan sendiri, seorang yang tinggi besar, dengan rambut dan brewok yang awut awutan. Bertelanjang dada, memakai celana hitam di bawah lutut, di bagian perutnya masih dibebat kain panjang hitam yang dikencangkan dengan sabuk kulit, sekaligus sebagai tempat menggantungkan pedangnya di samping kiri, dan menyengkelit keris di belakang.

Saat itu sebagian besar penduduk desa Paminggir yang laki laki dewasa sedang berada di sawah ataupun ladang. Yang berada di rumah hanyalah wanita wanita yang saat itu sedang memasak untuk keperluan mengirim suaminya yang sedang bekerja di sawah dan ladang, anak anak kecil dan laki laki renta yang kebetulan sedang tidak enak badan, sedang tidak ke sawah atau ladangnya.

"Berhentiiii.....!!!!" teriak sang pemimpin rombongan," kita berhenti sebentar, untuk bertanya kepada orang, sekaligus menambah perbekalan," lanjutnya.

"Prono, Karto......coba kamu panggil beberapa orang kampung itu, kamu tanyakan semua hal yang kita butuh informasinya," perintah pemimpin rombongan kepada dua orang yang selalu mendampinginya di kiri dan di kanan.

"Sendiko kakang," jawab mereka berdua.

"Yang lainnya, cari apa saja yang bisa kita bawa untuk menambah perbekalan kita selama di perjalanan. Lakukan dengan cepat," perintahnya lagi.

"Siap kakang," jawab mereka serentak.

Langsung saja ke 27 orang itu menuju ke Desa Paminggir.

Sesampainya di rumah rumah penduduk, mereka menyebar.

"Heeiiii....semua yang di dalam rumah.... keluarrrr.....kalau tidak ingin diseret keluar," teriak rombongan yang paling depan, yang memimpin rombongan ke arah desa.

Dengan perasaan dan pikiran yang campur aduk, semua penduduk yang berada di dalam rumah mereka masing masing, keluar menuju rombongan yang memanggil mereka.

"Kami minta disediakan semua bahan makanan yang ada di desa ini. Beras, jagung, sayuran. Juga ayam ayam-dan kambing kambing yang kalian miliki. Cepat letakkan ditengah prapatan. Yang tidak mau menyerahkan, akan kami bunuh dan kami bakar rumahnya," teriak Wage pemimpin rombongan.

"Juga semua perhiasan dan barang berharga yang kalian miliki. Tidak boleh ada yang ketinggalan," sambungnya.

"Ampun ndoro, kami tidak punya cadangan bahan makanan dan juga perhiasan," kata seorang kakek tua mencoba menjawab.

"Kalau begitu kamu kuantar menghadap dewa kematian," saut Wage sambil langsung menusuk dan menebas perut kakek desa yang tidak mengenal ilmu bela diri itu.

Terdengar rintihan sebentar dari kakek itu yang memudian diam untuk selamanya. Disahut dengan jeritan jeritan penduduk desa yang lainnya, begitu mengetahui kakek itu langsung mati tanpa mereka bisa melihat apa yang terjadi.

"Cepat berikan apa yang kami minta, atau kalian semua akan mengalami nasib serupa," teriak Wage lagi.

Dengan tergesa gesa dan penuh rasa ketakutan, semua penduduk desa yang ada berusaha menambil apapun yang ada yang mereka anggap berharga untuk diserahkan kepada orang orang yang datang ke desa dengan menunggang kuda itu.

Beberapa saat kemudian, terkumpulah berbagai macam hasil pertanian mereka. Ada beberapa ikat padi, jagung, ketela. Juga beberapa ekor ayam.

Melihat itu semua bukannya orang orang bersenjata itu senang, tetapi malah membuat mereka naik pitam.

"Mana perhiasan dan barang berharga ?" teriak Wage dengan marah.

"Teman teman......cepat geledah rumah mereka, setelah itu bakar semua rumah yang ada. Bunuh semua yang melawan !!! Ha ha ha ha ha ha....." lanjutnya dengan tertawa terbahak bahak.

Seketika orang orang itu mengobrak abrik setiap rumah yang mereka masuki, dan kemudian membakar setiap rumah yang selesai mereka geledah.

"Ampun ndoro....jangan rusak barang barang kami.......jangan rusak rumah kami......" teriak para penduduk desa yang ketakutan.

"Aku tidak peduli. Teman teman.....bakar semua rumah yang ada dan bunuh mereka yang melawan," Wage memberi perintah kepada teman temannya.

Semua warga yang ada menjerit histeris dan menangis karena rumah dan barang barang yang ada dì dalam rumah terbakar semua. Ada yang nekat menghadang dan mendorong dorong agar para pendatang itu tidak masuk ke rumah mereka. Tapi itu semua sia sia. Karena setiap penduduk desa yang menghalang halangi mereka, langsung mati terkena tebasan pedang ataupun golok. Ada juga yang tertusuk trisula ataupun ada yang terhantam tongkat besi pada bagian kepalanya.

___ 0 ___

Terusiknya kedamaian

Di ujung jalan yang mengarah ke sawah sawah dan ladang, penduduk desa yang sedang bekerja di sawah dan ladang, terlihat duduk dan jongkok di pinggir jalan. Di depannya berdiri para pendatang yang telah turun dari kudanya masing masing.

"Heiii kalian !!! Apakah pernah ada prajurit keraton yang datang ke sini ?" tanya Prahasta pemimpin rombongan berkuda.

"Tii... tidak pernah ndoro," jawab salah satu warga.

"Apakah ada orang yang tinggal di hutan atas itu ?" tanyanya lagi.

"A a...ada ndoro," jawab warga yang tadi.

"Cukuppp !!!" bentak Prahasta.

"Dengarkan ! Jangan pernah ada yang bilang kalau kami pernah datang ke sini Kalau ada yang buka mulut mengatakan kalau kami pernah datang ke sini, awas !!! Akan kupenggal kepalanya. Mengerti ?" Prahasta berkata lantang.

"Mengerti ndoro....." jawab warga desa serentak.

"Bagus. Prono, panggil yang lainnya. Kita berangkat sekarang," perintah Prahasta.

"Siap kakang," Prono menjawab.

Sesaat kemudian terdengar suitan melengking nyaring sebanyak tiga kali.

Jarak beberapa saat kemudian terdengar suitan satu kali dari arah rumah rumah penduduk.

"Prono, Karto, kita berangkat sekarang menuju ke hutan itu," kata Prahasta sambil tangan kanannya menunjuk ke arah gunung, arah hutan Alas Penahun.

Mereka bertiga segera menggebah kuda mereka agar berlari kencang.

Yang tidak berapa lama disusul anak buahnya yang berjumlah 27 orang. Yang juga membawa barang barang yang telah mereka rampas dari penduduk desa. Bahkan ada beberapa wanita muda yang mereka bawa dengan paksa. Terdengar mereka tertawa tawa puas dengan rampasan mereka.

--- 0 ---

Jauh dari Desa Paminggir, di tepian hutan Alas Penahun.

"Thole Lintang, ayo kita masuk ke hutan. Berburu sekalian melatih insting memanahmu," ajak Ki Penahun.

"Iya Eyang," jawab Lintang Rahina.

Segera Lintang menyiapkan semua peralatan berburunya. Kemudian pamit ke neneknya dan langsung menyusul kakeknya menuju ke arah hutan.

Sampai dengan sore hari, Lintang dan Ki Penahun berhasil mendapatkan 2 ayam hutan besar. Menjelang hari gelap, mereka berdua pulang.

Tepat saat gelap menyelimuti hutan, mereka berdua jalan setapak menuju ke gubugnya.

Tetapi, betapa terkejutnya mereka berdua, melihat teras dan halaman depan gubugnya tampak terang benderang. Banyak obor tertancap mengelilingi halaman depan gubug. Di tengah tengah halaman terlihat ada api unggun besar. Di sekeliling api unggun, duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke teras sekitar 20 - 30 laki laki dewasa berbadan kekar kekar. Mereka berbicara ramai kadang di sertai dengan teriakan dan tawa yang bersahutan.

Dengan penuh menyimpan pertanyaan, Ki Penahun dan Lintang mendekat, dan sesaat kemudian mereka berdua sampai di depan gerombolan lelaki itu.

"Kakek.....jangan mendekat....pergilah dari sini. Ajak cucumu itu pergi dari sini, kalau kalian berdua tidak ingin celaka," teriak Wage sambil mendekati Ki Penahun.

"Kisanak.......kisanak sekalian siapa ? Sampai bisa berada di gubug kami ?" tanya Ki Penahun sambil menggandeng tangan Lintang.

"Siapa kami.....bukan urusanmu ! Pergi dari sini ! " bentak Wage. Disusul suara gelak tawa rekan rekannya mentertawakan Ki Penahun dan Lintang.

"Ini gubug kami. Jadi siapa kalian, itu jadi urusan kami," sergah Ki Penahun yang perasaannya mulai dihinggapi rasa gelisah dan juga curiga pada mereka semua.

Owhh....ho ho ho....jadi kamu suami dan cucu nenek renta yang sudah jadi mayat itu ?" kata Wage sambil menuding bawah satu pohon kelapa.

"Nyai...!!!"

"Eyang....!!!"

Ki Penahun dan Lintang berteriak memanggil sambil hendak berjalan menuju jasad Nyai Penahun.

"Berhenti !!! Atau kamu ingin bernasib sama dengan perempuan tua itu ? Kehilangan nyawanya karena tidak mau menyerahkan rumah ini ?" bentak Wage lagi.

"Jadi, kamu yang membunuh istriku ?" tanya Ki Penahun dengan suara yang berubah lirih tapi tegas disertai tatapan mata yang berubah dingin.

"Ho ho ho....jad kamu tidak terima istrimu aku bunuh ? Kamu mau menyusulnya menghadap dewa kematian ? Kalau memang itu yang kau pilih, kamu bisa memilih, dengan cara apa. Minta ku keluarkan isi perutmu ? Atau aku pecahkan kepalamu seperti istrimu ?" tantang Wage dengan sombongnya.

"Kalian semua harus menerima balasannya !" ucap Ki Penahun pelan namun tegas dan bisa didengar oleh semua gerombolan yang berada disitu.

"Kakang Wage....haj.....!??"

"Habisi kak....!??"

"Haa...."

Suara teriakan teriakan teman teman Wage terhenti seketika.

"Aughh...." hanya suara itu yang bisa keluar dari mulut Wage.

Entah kapan bergeraknya, tahu tahu Ki Penahun sudah berada persis di depan Wage dan kelima jari jari tangan kanannya sudah menusuk lehernya dan mencengkeram kerongkongan Wage. Kemudian terdengar bunyi tulang leher Wage yang patah. Tidak sampai dua tarikan nafas, Wage mati dengan leher yang menganga. Sampai dengan hilangnya nyawanya, Wage tidak pernah tahu, apa yang terjadi pada dirinya.

"Heeiii....siapa kamu ? berani beraninya membunuh anak buahku !!!" teriak Prahasta.

"Siapa aku, itu bukan urusan kalian. Yang pasti, kalian harus membayar apa yang sudah kalian lakukan pada

istriku dan tempat tinggal kami," sergah Ki Penahun.

"Anak anak.....singkirkan kakek tua itu dan cucunya juga !!!" perintah Prahasta.

Langsung saja, anak buah Prahasta yang sejak tadi sudah mengepung, menyerbu Ki Penahun dan Lintang.

Ki Penahun menarik Lintang dan digendong di punggungnya. Ki Penahun yang sudah menahan diri sejak tadi, langsung menyambut serbuan anak buah Prahasta. Dengan sekali sentuhan tapak kanan dan kirinya, Ki Penahun meremukkan isi kepala ataupun isi dada anak buah Prahasta.

Tidak sampai 10 menit, semua anak buah prahasta mati tanpa sempat berteriak terkena pukulan Tapak Wulung yang lama sekali sudah tidak pernah Ki Penahun keluarkan, walaupun diam diam Ki Penahun selalu melatih gerakannya.

"Whaahhhhh..... kakek tua !!! kamu cari mati !! berani mengusik Si Pedang Geni," Prahasta berteriak sambil menyebutkan julukannya.

"Prono, Karto. Habisi kakek dan cucunya itu !!! Bawa kepalanya kehadapanku !!!" perintah Prahasta pada dua tangan kanannya.

"Siap kakang !!" sahut mereka berdua.

Langsung saja Prono dan Karto mencabut golok mereka dan langsung menyerang dengan jurus jurus yang tampaknya jurus yang dimainkan berpasangan.

Prono dan Karto sebenarnya memang sepasang pendekar dengan ilmu silat golok berpasangan. Mereka berdua telah malang melintang menjadi pendekar di sepanjang Kali Progo. Tapi karena mereka hanya mencari kepuasan hawa nafsunya, mereka jadi pendekar golongan hitam.

Pada suatu saat, mereka berdua bertemu dengan Prahasta dan anak buahnya. mereka berebut korban dan barang barang rampasan.

Dengan kesaktiannya, Prahasta bisa mengalahkan Prono dan Karto. Sejak bertemu dan bertempur dengan keduanya, Prahasta sudah bisa melihat potensi yang bagus, jika Prahasta bisa menarik keduanya untuk menjadi tangan kanannya.

Dan dengan janji janji yang menggiurkan, Prono dan Karto bersedia menjadi tangan kanan Prahasta.

Kembali ke pertempuran.

Selama kira kira lima jurus serangan, Ki Penahun hanya menghindar untuk menilai dan mempelajari serangan Prono dan Karto.

Setelah dirasa cukup mempelajarinya, Ki Penahun bekata pada mereka berdua.

"Ilmu kacangan begini berani mengusik Alas Penahun," kata Ki Penahun sambil kedua tangannya membuka ke samping kiri dan kanan.

Dalam sekejap, kedua tangan Ki Penahun sudah mencengkeram leher Prono dan Parto. Dan tanpa sempat menghindar dan berteriak, leher mereka terkoyak dan patah. Prono dan Karto tewas seketika hanya sempat mengeluarkan lima jurusnya.

Prahasta tercekat melihat hal itu.

"Sekarang giliranmu !!!" kata Ki Penahun.

___ o ___

Masuk Hutan

Wajah Prahasta seketika pucat ketika tiba tiba Ki Penahun sudah berdiri di depannya hanya berjarak sekitar tiga meteran.

Ki Penahun dengan pelan menurunkan Lintang dari gendongannya sambil berbisik, "kamu tunggu di dalam rumah le."

Setelah memastikan Lintang cucunya sudah berada di dalam rumah, Ki Penahun langsung mendekati Prahasta yang masih tidak percaya kalau semua ini benar benar terjadi. Dia kehilangan semua anak buahnya hanya dalam waktu sekejab. Dan dia juga masih tidak percaya kalau kakek tua yang dia anggap lemah adalah yang menghabisi anak buahnya.

Prahasta menghembuskan nafasnya dengan keras untuk mengembalikan semangat dan rasa percaya dirinya.

Tapi sebelum dia bisa menentukan sikap dan kata kata, Ki Penahun sudah berbicara padanya.

"Sekarang saatnya kamu bertanggung jawab atas perbuatan semua anak buahmu dan juga apa yang kau lakukan pada tempat tinggal kami," kata Ki Penahun pelan tapi tegas.

"Ha ha ha ha ha.... kamu ingin membunuhku kakek tua ? Lakukan kalau kau mampu," ucap Prahasta yang sudah merasa tidak ada jalan lain.

"Kalau begitu susulah semua anak buahmu," jawab Ki Penahun.

Prahasta segera mencabut pedangnya dari sarungnya yang tergantung di pinggang kirinya.

Tanpa menunggu apa yang akan dilakukan Ki Penahun, Prahasta langsung menyerang Ki Penahun dengan jurus jurus andalannya. Pedangnya berkelebat cepat, mengarah dan mengejar kemanapun Ki Penahun bergerak menghindar. Selain cepat gerakannya, pedang itu juga mengeluarkan suara mendengung seperti lebah. Prahasta melakukan itu karena dia tahu, ternyata kakek tua dihadapannya itu ilmu kanuragannya tinggi. Karena dia tidak bisa mengukur memperkirakan seberapa tinggi tingkatannya.

Maka untuk mendapatkan peluang dia menang, dan untuk mengangkat kembali mentalnya yang sempat jatuh menyaksikan semua anak buahnya habis dibantai, dia langsung mengeluarkan semua jurus jurus simpanannya. Bahkan dia berencana mengeluarkan jurus rahasianya juga.

Tapi Prahasta diam diam terkejut. Serangan serangannya, sampai dengan 20 jurus bisa dihindari dengan mudah oleh Ki Penahun. Padahal dia sudah mengerahkan secara penuh tenaganya, dengan jurus jurus andalannya, jurus simpanannya.

Prahasta tidak menyadari kalau Ki Penahun tidak hanya menghindar, tapi sedang mempelajari dan mengenali jurus yang dimainkan Prahasta.

"Heii wong kasar, apa hubunganmu dengan Ki Praju Demit Serayu ?" tanya Ki Penahun.

"Ha ha ha....kamu kenal guruku, kakek tua ? Lekaslah menyerah sebelum aku membunuhmu," kata Prahasta dengan sombongnya. Sebenarnya Prahasta sudah merasa jerih, karena semua serangannya bisa dihindari dengan mudah oleh Ki Penahun. Makanya Prahasta memakai nama gurunya untuk membuat keder Ki Penahun.

Prahasta tidak tahu siapa Ki Penahun. Karena Ki Penahun menghilang dari jagad pesilatan saat Prahasta masih berguru dan dilatih oleh Ki Praju. Kalau saja Prahasta tahu siapa yang dia hadapi, mungkin dia akan langsung pingsan di tempat. Gurunya saja sangat ketakutan pada Ki Penahun. Karena pada masa mudanya dahulu, Ki Praju tahu persis sepak terjang Ki Penahun. Bahkan Ki Praju pernah berurusan dengan Ki Penahun, dan dihajar sampai babak belur tanpa bisa membalas.

"Jadi kamu murid Ki Praju ? Pantas perbuatannya sama sama kotor. Kamu pantas aku singkirkan dulu, baru kemudian gurumu, andaikata ketemu. Aku menyesal kenapa dulu tidak kubunuh saja Ki Praju. Sehingga tidak menyebarkan bibit kejahatan seperti sekarang ini," kata Ki Penahun.

Mendengar kata kata itu, wajah Prahasta tambah pucat. Dia tidak mengira kalau kakek tua di depannya ini, tokoh sakti seangkatan dengan gurunya.

Karena putus asa, Prahasta menyerang Ki Penahun dengan membabi buta. Dia kerahkan tenaganya semaksimal mungkin, dia mainkan jurus simpanannya.

Pedangnya dia gerakan cepat dengan sabetan arah kiri, kanan dan atas. Kemudian dari garis gerakan pedang itu keluar energi seperti gelombang air, tipis tapi sangat tajam, sama tajamnya dengan mata pedangnya.

Kemudian energi pedang itu dia arahkan ke Ki Penahun secara bertubi tubi. Dengan harapan, satu saja ada serangannya yang bisa menggores kulit, cukup untuk menghentikan gerakan Ki Penahun. Karena energi yang mirip gelombang air itu juga mengandung racun yang diekstrak dari 'mbun upas' (embun beracun).

Melihat itu, ki Penahun hanya mendengus pelan dan kemudian Ki Penahun bergerak cepat. Telapak tangannya di buka di samping kiri kanan, kemudian telapak tangannya berubah warna jadi merah menyala dan mengeluarkan hawa panas.

Pedang Prahasta ditangkis dengan telapak tangan kanannya, diremas hingga patah jadi beberapa potongan. Tangan kirinya bergerak menyapok pergelangan kanan Prahasta, hingga pedang itu lepas dari genggaman Prahasta. Dilanjutkan telapak tangan kanan yang meraih leher Prahasta. Ditarik sehingga Prahasta terhuyung ke arah Ki Penahun. Kemudian sambil telapak tangan meremas tenggorokan Prahasta, Ki Penahun mendorongkan tangan kanannya ke atas. Tubuh Prahasta terlempar ke atas. Seketika Prahasta berteriak kesakitan. Sebentar. Karena sesaat setelah tubuhnya melayang ke atas akibat dorongan tangan kanan Ki Penahun, Prahasta sudah kehilangan nyawanya sebelum tubuh Prahasta meluncur ke bawah lagi.

Setelah tubuh Prahasta sampai di tanah dalam keadaan tewas, Ki Penahun terdiam terpaku dalam keadaan berdiri. Tatapan matanya kosong, bahkan gerak naik turun dadanya saat bernafas pun seperti terhenti.

Beberapa detik kemudian, telapak tangannya terlihat bergerak gerak. Meremas. Dan kemudian tampak Ki Penahun menarik nafas panjang, dan dihembuskan pelan dan panjang.

Barulah Ki Penahun teringat akan Lintang cucunya.

"Thole Lintang, kesinilah ngger," panggilnya dengan halus.

"Ya Eyang," jawab Lintang.

"Kamu tunggu Eyang di bawah rumpun bambu belakang rumah itu ya Le. Sebentar. Ada yang harus Eyang kerjakan sebentar. Nanti Eyang susul," kata Ki Penahun.

"Baik Eyang," jawab Lintang Rahina.

Kemudian Lintang Rahina segera bergegas menuju rumpun bambu belakang rumah. Walau malam gelap, karena Lintang sudah terbiasa dengan arahnya, dan juga karena hasil latihan pernafasan dan tenaga dalam selama bertahun tahun, tanpa disadari, pandangan matanya menjadi lebih tajam. Seperti tidak terpengaruh oleh gelapnya malam.

Setelah memastikan Lintang cucunya sudah menjauh dan sudah sampai di rumpun bambu, Ki Penahun langsung menggerak gerakkan tangannya. Dari kedua telapak tangannya keluar tenaga yang tak tampak mata. Diarahkan ke jasad jasad yang bergeletakan di halaman rumah. Seketika, jenasah jenasah itu melayang masuk ke dalam rumah. Setelah semua jenasah dimasukkan ke dalam rumah, kecuali jenasah istrinya, Nyi Penahun, dari kedua telapak tangan Ki Penahun, keluar energi berwujud api, yang kemudian diarahkan untuk membakar gubug tempat tinggalnya sekaligus untuk membakar semua jenasah yang menumpuk di dalamnya. Setelah gubug dan semua jenasah benar benar terbakar sempurna, dihentikannya energi api dari kedua telapak tangannya.

Kemudian, Ki Penahun memutar mutar kedua tangannya membentuk lingkaran, yang dari lingkaran tersebut keluar energi angin yang makin lama makin besar dan kuat, sampai sampai pohon pohon di sekelilingnya turut bergoyang goyang terkena hembusannya. Kemudian diarahkannya ke tumpukan abu sisa pembakaran tadi, yang langsung didorongnya ke atas. Semua abu terangkat ke atas makin lama makin tinggi. Setelah ketinggiannya mencapai kira kira setinggi pohon kelapa, dihentakkannya kedua tangannya keatas dan kemudian direntangkan kedua tangannya. Seketika itu, semua abu terlempar jauh ke atas. Jauh sekali sampai melewati gumpalan awan, menyebar dan kemudian menyebar menjadi hujan debu.

Setelah itu, dengan cepat menghampiri jenasah Nyi Penahun istrinya. Dipanggul di pundak kirinya. Kemudian Ki Penahun langsung melesat ke tempat Lintang cucunya menunggu.

Sesampainya di tempat Lintang menunggu, langsung disautnya tubuh Lintang, didudukkan di bahu kanannya sambil berkata, "Le, mulai sekarang kita akan tinggal didalam hutan, di goa tempat biasanya kita beristirahat selesai berburu. Sampai dengan engkau selesai latihan olah kanuraganmu."

"Ya Eyang," jawab Lintang.

Kemudian dengan cepatnya Ki Penahun melesat keatas, ke pohon dan meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya, menuju ke tengah hutan Alas Penahun. Sesaat kemudian, tidak terlihat lagi pergerakannya, ditelan gelapnya malam dan gelapnya Alas Penahun.

___ o ___

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!