Di gunung Gede tampak terlihat Sang Surya hari ini, begitu cerah menumpahkan sinarnya keseluruh lereng gunung tersebut.
Sosok bocah laki-laki kira-kira berumur 10 tahunan, berlari kencang menerobos hutan bergerak dengan begitu lincah.
Langkah kakinya menginjak tanah tak jarang menginjak pepohonan yang tumbang.
Sehingga saking cepat gerakannya tampak terlihat hanya ujung kakinya yang menginjak tanah tampak terlihat mengambang.
Kemudian dia mulai meloncat ke arah pepohonan dan berpindah dari satu pohon kecabang pohon berikutnya begitu mudah dan ringan tanpa beban.
Dia meloncat dan mendarat didepan seorang kakek tua. Seluruh rambutnya tampak sudah memutih dan tampak kulitnya mulai keriput kira-kira berumur 80 tahun.
Beliau bernama Eyang Bayu Rekso seorang petapa sakti dari gunung Gede.
Dan anak di depannya bernama Sudawira, merupakan cucu sekaligus menjadi murid yang dirawatnya sejak kecil sehingga ia sangat menyayanginya.
Eyang Bayu Rekso sudah menempa Sudawira sedari sejak usianya beranjak 5 tahun. Tidak hanya ilmu Kanuragan yang diajarkannya, tetapi ia pun senantiasa membekali ilmu-ilmu kehidupan.
Tak jarang ia memberikan nasehat-nasehat agar kelak ketika Sudawira dewasa. Ia menjadi pendekar yang selalu mawas diri dan merendah, bukan berarti merendahkan diri maksudnya selalu merendah bahwa diatas langit masih ada langit.
Sedangkan Sudawira anak yang penurut apapun yang diperintahkan gurunya pasti akan diikuti. Ketaatan dibarengi dengan ketekunan yang membuat dirinya setiap harinya terus berkembang.
Eyang Bayu Rekso tersenyum merasa kagum dan bangga dengan pencampaian Sudawira.
"Sedari awal eyang selalu yakin, kamu akan selalu berkembang . Baru satu minggu Eyang ajarkan ilmu meringankan tubuh sekarang kamu sudah mulai menguasai, walau baru tahap pemula" Menepuk kedua bahu Sudawira.
Sudawira menggaruk-garuk kepalanya tersenyum tapi tidak terlihat senyuman lebih tampak terlihat nyengir.
"Aku belum puas, Eyang"
"Ae ae, hahahaha, inilah yang aku suka darimu, kamu tidak selalu puas dengan pencapaian mu, kamu selalu ingin terus bertambah" Eyang Bayu Rekso tertawa sambil menggeleng-geleng kepala.
Dirinya selalu dibuat kagum dengan cucunya yang selalu teguh dalam pendirian dan tidak lekas berpuas diri.
Sudawira menanggapinya dengan menggaruk-garuk kepalanya sambil cengengesan mendengarkan pujian demi pujian dari gurunya.
Sinar sang Surya telah condong ke ufuk barat menghilang dibalik perbukitan menandakan siang akan segera pergi dan malam akan segera datang.
Eyang Bayu Rekso bergerak memutar badan menuju pondok kecil yang merupakan tempat tinggal mereka.
"Wira, besok kita lanjutkan latihan" Ucapnya.
"Baik Eyang" Wira membuntuti dibelakang.
Wira yang tidak pernah berpuas diri, jika siang dia digenjot dengan latihan-latihan fisik yang berguna untuk ketahanan tubuhnya. Maka malam dia selalu latihan sendiri mempelajari ilmu tenaga dalam.
Hari demi hari dia lewati dia terus belajar dengan tekun tanpa kenal lelah, menghapal, memahami, mempelajari dan memperagakan setiap petunjuk dan ajaran Eyang gurunya, sampai tidak ada yang terlewat. Dengan bakat serta cepat tanggap yang dimilikinya ia terus berkembang setiap harinya.
20 tahun sudah Sudawira berada di Gunung Gede, dia menjadi pemuda yang gagah perkasa dengan tubuh yang tinggi dengan dada bidang besar serta rambutnya hitam panjang sekitar sebahu diikat rapi. Kulitnya yang putih kemerah-merahan serta wajah yang rupawan memiliki bola mata kebiruan serta hidung mancung bak seorang bangsawan.
Dia sedang berdiri diatas pucuk sebuah pohon yang tinggi dia memandang hamparan hutan serta perbukitan-perbukitan di sekitar gunung Gede.
Di salah satu dusun tepatnya di lereng gunung Gede ada sesosok pria yang cukup berumur. Ia bernama Jayapati seorang kepala dusun bekas seorang pendekar yang sudah tidak asing lagi di kancah dunia persilatan.
Jayapati memiliki istri bernama Lokahita mereka hidup damai tentram penuh kebahagiaan mereka semakin bertambah ketika istrinya mengandung anak pertama yang sudah lama didamba-dambakanya.
Suatu ketika pada malam hari. yang merupakan malam purnama ke 8 kehamilan istrinya.
Langit begitu terang karena bermandikan cahayabulan purnama. Ditambah dengan bintang-bintang yang berkedip-kedip menambah kesan indah.
Jayapati duduk diatas kursi sambil membelai rambut panjang istrinya yang duduk disebelahnya sambil bersandar kebadan suaminya.
"Kakang?" katanya.
"Iya.Dinda," ucapnya sambil mengelus perut istrinya.
"Apa kita akan terus bersama?" katanya sambil menatap suaminya penuh kecemasan.
Jayapati menatap istrinya heran tidak biasanya istrinya gelisah.
"kenapa nyai berkata begitu?"
Lokahita menarik nafas sejenak, "Aku akhir-akhir ini merasa kakang akan pergi meninggalkan, Aku."
"Sudahlah nyai itu perasaanmu saja, kita akan hidup bersama sampai ajal menjemput," katanya menguatkan istrinya padahal dirinya juga merasakan kegelisahan.
Lokahita tidak berkata-kata lagi namun dalam hatinya dia tidak bisa menghilangkan perasaan gelisah yang terus muncul.
Namun keduanya dikagetkan dengan suara keributan diluar rumahnya.
Jayapati bangkit dari duduknya namun istrinya memegang tangannya sangat erat.
"Kamu jangan takut nyai tidak ada apa kamu diam aja disini!" katanya, "biar kakang periksa."
Lokahita berkata, "Tetapi kakang aku takut."
"Tidak ada apa-apa tenanglah!" katanya sambil meyakinkan istrinya.
Dengan perasaan was-was dia melepaskan tangan suaminya. Dia menatap suaminya yang pergi dan menghilang dibalik pintu.
Jayapati terkekejut ketika halaman rumahnya sudah menjadi area pertempuran.
Salah satu anak buahnya loncat menghampiri nya.
"Ketua?" katanya sambill ngos-ngosan.
"Siapa mereka Mardi?"Jayapati berkata pula.
Mardi berkata, "Mereka para pendekar Lembah Hitam."
Jayapati mengernyitkan dahinya "Lembah Hitam" bergumam dalam hatinya.
"Mardi kamu cepat bawa pergi Lokahita dari sini!"
Mardi menganggukan kepalanya namun pada saat dia mau membuka pintu seseorang menghadang nya dan akhirnya mereka berdua terlibat pertarungan.
Jayapati loncat ke area pertempuran dan langsung dikepung para Pendekar Perguruan Lembah Hitam.
Seseorang berteriak "Dia bagian ku!"
"Maruli!" teriak Jayapati
"Apa kabar paman?" sahutnya.
Jayapati menggeram. "Apa mau kamu?" katanya.
"Aku ingin nyawamu paman," katanya terkekeh-terkekeh.
Jayapati bagaikan disambar petir mendengar kata kata Maruli maka ia menggertakkan giginya dan berkata, "Kurang ajar."
"Hahaha kenapa paman? takut, karena kesaktian paman sudah hilang," katanya sambil membusungkan dada.
Jayapati sudah tidak menghiraukan lagi perkataan Maruli dia langsung menyerang.
Akhirnya keduanya terlibat dalam suatu pertarungan yang sengit. Jayapati bergerak dengan cepat karena naluri sebagai pendekar nya masih ada, tapi dia tak secepat ketika ia dijuluki Pendekar Rajawali Putih.
Maruli adalah anak Wanapati dia mewarisi bakat ayahnya maka dia jua sangat cepat gerakannya menghadang serangan-serangan jayapati.
Keduanya pun sudah bertukar belasan gerakan, Maruli dengan kemampuan yang dimilikinya sangat mendominasi pertarungan.
Namun tidak mudah mengalahkan Jayapati meskipun telah kehilangan kesaktiannya.
Jurus-jurus pedangnya masih merepotkan meski menggunakan kekuatan pisiknya saja.
Namun secepat apapun tebasan-tebasan itu tidak mampu melukai Maruli seperti ada perisai yang menghalanginya sehingga ketika pedang mengenai tubuhnya seperti menghantam batu karang.
Maruli tertawa terbahak-bahak melihat wajah putus asa Jayapati.
"Hahahaha, pedangmu tidak akan menyentuh Ajian Tameng Waja yang aku miliki paman!"
Jayapati mendengus kesal kemampuan pisiknya semakin berkurang bahkan beberapa luka lembab sudah tampak terlihat.
Maruli tertawa melihat Jayapati yang mulai terdesak.
"Haha. sudah cukup aku bermain-main paman!"
Dia mundur beberapa langkah Dia berteriak, "Ajian Serat Sewu"
Sontak seluruh area pertempuran diselimuti kekuatan menekan. Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki tenaga dalam jatuh berlutut.
Hal yang sama dengan Jayapati berlutut menatap aura cahaya ungu menyelimuti kepalan tangan kanan Maruli, terdengar teriaknya, "Bersiaplah menyambut ajalmu Jayapati!"
Cahaya ungu keluar dari kepalan tangan melesat menyambar tubuh Jayapati.
Jayapati terpental membentur pagar dia terkapar tak bernyawa dengan tubuhnya yang gosong akibat luka bakar. Sangat mengerikan bagi yang melihatnya.
Maruli tertawa terbahak-bahak. "Hahahaha. kematianmu telah terbalaskan. Ayah ..."
*******
Malam yang dingin, dilangit terlihat bulan terbelah. Sehelai-helai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut. Angin yang lembut dan daun daun yang bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut itu.
Eyang Bayu Rekso menyandarkan badan ke bilik pondok terbuat dari bambu yang dianyam. Sudawira tiduran untuk merebahkan badannya untuk menghilangkan rasa lelahnya setelah berlatih.
Tiba-tiba Ki Banyu Rekso berkata,
"Wira, kemarilah!"
Sudawira mendengar panggilan gurunya lekas ia segera bangkit kemudian duduk menghadap gurunya.
"Iya eyang," ujar Sudawira.
Eyang Bayu Rekso menarik nafas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Kemudian ia merubah posisi menjadi duduk menghadap Sudawira.
Eyang Bayu Rekso tersenyum menatap, "Eyang sudah lupa menghitung usiamu saat ini."
"20 Eyang," sahutnya singkat.
Eyang Bayu Rekso memandangi langit-langit gubuknya. "20 tahun ya, ternyata gak terasa waktu terasa singkat kebersamaan kita,"
Sudawira hanya menundukkan kepalanya tidak berkata apapun.
Lalu Eyang Bayu Rekso berdiri, kemudian masuk ke kamarnya, setelah beberapa saat kemudian dia kembali dengan sebuah pedang ditangannya
Eyang Bayu Rekso kembali duduk ditempat semula. "Aku tidak memiliki apa-apa, selain sebilah pedang tua ini. Dan mulai saat ini aku serahkan pedang ini untuk kamu!"
Sudawira menerimanya pedang itu sambil memberi hormat.
"Terimakasih Eyang."
"Sekarang sudah saatnya kamu turun gunung Wira. Pedang yang itu akan menemani perjalanan mu mencari jatidiri," katanya pelan.
Sudawira hanya menundukan kepala. Terlihat matanya yang tajam sudah berlinang air mata.
Eyang Banyu Rekso memegang pundaknya.
"Setiap pertemuan akan ada perpisahan begitu pula sebaliknya. Aku ingin kamu bertambah kuat!"
Dirinya semakin tidak kuat menahan air mata yang mulai membasahi pipinya.
"Tangisan, kesedihan hanya akan melemahkanmu.Pergunakan Ilmu yang aku ajarkan dengan bijaksana!"
"Baik Eyang," jawab Sudawira.
Malam itu Sudawira mendapatkan wejangan untuk bekal perjalanan. Sebenarnya Eyang Bayu Rekso enggan melepas kepergian Sudawira. Dia sudah merawatnya sejak lahir secara tidak langsung rasa sayang timbul. Namun kini anak yang dibesarkan nya harus pergi mencari pengalaman baru.
Malam itu Sudawira tidak mampu untuk tidur pikirannya jauh melayang membayangkan kehidupan yang akan dijalaninya kedepan.
Inilah awal baginya untuk memulai kehidupan tanpa seorang yang akan menuntun nya. Perjalanan ini ia sendiri yang akan menentukan, baik buruk akan ditanggung sendiri. Terlintas dalam angan-angan apa aku mampu menjalaninya.
*******
Halo teman penggemar novelton ini novel pertama saya.
saya minta maaf bila ada kosa kata yang tidak tepat,tanda baca yang kurang sesuai.
cerita ini sendiri adalah hanya imajinasi saya yang menyukai cerita-cerita pendekar silat. dan untuk mengisi hari hari saya yang kesepian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!