NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Mantan

Bandung-Jakarta

*Bandung

Sehari setelah kelulusan Melisa merasa sangat bahagia mendapatkan selembar undangan untuk kuliah di Jakarta.

Setelah berusaha susah payah selama 3 tahun di SMA, akhirnya ia mendapatkan undangan untuk kuliah di kampus idamannya selama ini.

Jika berharap pada orangtuanya, harapan untuk kuliah di kota pupus karena orangtuanya tidak ingin anak bungsunya itu harus pisah darinya.

"Assalamualaikum, Ma! Mama!" Melisa memanggil ibunya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Ada apa kamu teriak-teriak, Nak?" protes Maya menghampiri anaknya yang teriak-teriak memanggilnya.

"Mama Lisa dapat undangan untuk kuliah di Jakarta," jelas Melisa sangat excited.

"Alhamdulillah." Maya terlihat tidak begitu bahagia. Bukan karena Melisa mendapatkan undangan, tapi ia merasa sedih karena harus berpisah dengan anak bungsunya itu.

"Mama kenapa?" Melisa merasa aneh dengan sikap Maya, ia berpikir seakan Maya tidak senang melihat dirinya mengejar mimpinya itu.

"Gak apa-apa kok." Maya menyelesaikan ucapannya, kemudian ia beranjak duduk di Sofa.

Melisa mengernyit keningnya dan ikut menyusul Maya untuk duduk di sampingnya.

"Ma! Mama kenapa? Apa Mama gak senang Lisa dapat undangan dari kampus yang Lisa idam-idamkan selama ini?" Melisa mulai bersenandung dengan menggenggam lembut tangan Maya dan juga menatapnya dengan ekspresi wajah yang dibuat melas.

"Mama bukannya gak senang Lisa kuliah di Jakarta. Tapi Mama sedih jika harus berpisah dengan Lisa," keluh Maya mengeluarkan isi hatinya.

Roni yang berada di balik pintu tidak sengaja mendengar percakapan mereka, ia pun memutuskan untuk menemui mereka.

"Kamu kenapa? ... Biarkan anakmu mengejar mimpinya," sahut Roni sembari duduk.

"Bukan begitu, Pa. Tapi aku takut anak kita kuliah di Jakarta. Nanti bagaimana dia hidup disana sendirian tanpa kita?" jelas Maya mulai berhalusinasi.

"Kamu ini terlalu mengkhawatirkan anakmu ini. Reno dan Rani kuliah di Jakarta, kenapa giliran Lisa malah kamu gak izinkan?" protes Roni.

"Iya, Ma. Ini Lisa dapat undangan loh. Kasihan kalau dilepasin begitu aja," bujuk Melisa penuh harapan.

Maya mulai memikirkan ucapan suami dan anaknya itu.

"Sebaiknya aku mengalah dan membiarkan Lisa mengejar mimpinya. Lagian aku tidak ingin dianggap membanding-bandingkan anak-anakku," batin Maya.

"Ya sudah, Mama izinkan. Tapi Mama yang harus antar Lisa kesana dan cari tempat tinggal yang layak," pinta Maya protektif.

"Makasih, Mama." Melisa memeluk Maya dengan sangat bahagia.

"Oh ya, Mama masak apa hari ini?"

"Masak masakan kesukaannya Lisa. Tapi Lisa mandi dulu baru boleh makan."

"Ok deh, Ma." Melisa tersenyum bahagia dan beranjak pergi ke kamarnya.

"Aku senang kamu bisa membiarkan Lisa mengejar mimpinya," ucap Roni tersenyum bahagia.

"Iya, Pa." Meskipun Maya mengizinkannya, tapi Maya masih sulit merelakan anaknya untuk kuliah di Jakarta, mengingat jarak Bandung ke Jakarta lumayan jauh, hingga memakan waktu 2 jam lebih membuat dirinya khawatir.

------

Jakarta

Raka baru saja menyelesaikan studinya di Los Angeles dan kini ia kembali ke Jakarta untuk melanjutkan bisnis Papanya.

"Assalamualaikum, Dad! Mom." Raka mendorong kopernya masuk ke dalam rumah dan mencari kedua orangtuanya dengan teriakan yang penuh semangat.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Talita meletakkan majalah di atas meja dan menemui sumber suara itu.

"Raka!"

"Mommy." Raka meletakkan kopernya dan berlari memeluk Talita.

"Kapan kamu pulang? Kenapa gak kabari *M*ommy?" cerocos Talitah saking senangnya.

"Raka sengaja gak kabari *M*ommy karena Raka ingin kasih kejutan untuk Mommy."

"Kamu selalu gitu."

"Ya sudah kita duduk dulu!" Talita menarik lengan Raka dan menuntunnya duduk di sofa.

"Bi! Bibi! Tolong buatkan minuman segar untuk Raka!"

"Baik, Nya." Bi Nina langsung bergegas pergi begitu mendengar titah dari Talita.

"Mom! Raka ada hadiah untuk Mommy." Raka mulai merogoh tas kecilnya untuk mengambil kotak perhiasan dan menyerahkan ke Talita.

"Apa ini?" Talita penasaran dengan isi kotak perhiasan tersebut.

"Buka aja deh!" pinta Raka tersenyum bahagia.

Talita membuka kotak perhiasannya dan kedua matanya membelalak saat melihat cincin berlian.

"Bagus banget."

"Sini, biar Raka yang pakaikan!"

Talita mengulur tangannya ke depan Raka. Raka tersenyum dan mengambil cincinnya kemudian ia sematkan di jari manis Talita, ia juga mencium tangan Talita dengan lembut.

Talita melihat cincin di jarinya yang begitu berkilau membuat jarinya terlihat cantik.

"Kamu begitu pintar memilih cincin untuk Mommy."

"Harus dong! Untuk Mommy, Raka akan pilih yang terbaik."

"Den, sudah pulang?" Bi Nina menghampiri Raka dengan minuman di nampannya.

"Iya, Bi. Bibi kangen gak sama aku?" Raka mulai bersenandung seperti biasanya.

"Tentu dong, Den," sahut Bi Nina sembari meletakkan minuman untuk Raka.

"Silakan di minum, Den. Oh ya, Den sudah makan belum? Mau saya buatkan makan siang yang paling enak gak untuk Den Raka?" cerocos Bi Nina.

"Hmmm... Ide yang bagus tu. Bibi masih ingat masakan kesukaan aku?" Raka menyudahi minumnya dan mulai menggoda Bi Nina.

"Iya ingat dong, Den. Semua makanan dan minuman kesukaan Den Raka yang paling ganteng sudah bibi save di dalam kepala" sahut Bi Nina memuji dirinya sendiri.

"Pas banget tu. Aku sudah lama gak makan masakan bibi. Sekarang bibi tolong masakin makanan yang paling enak ya. Kebetulan aku sudah lapar banget ni," sahut Raka memegang perutnya.

"Beres, Den. Den, istirahat aja dulu! Setelah itu Bibi antarkan makanan kesukaan Den Raka ke kamar," celoteh Bi Nina.

"Bibi memang paling best deh pokoknya. Tapi kali ini aku mau makan siang sama *M*ommy. Jadi bibi hidangkan aja di atas meja makan."

"Ok deh." Bi Nina menyudahi pembicaraannya dan beranjak pergi ke dapur.

"Oh ya Mom, daddy dimana?" tanya Raka melihat ke sekeliling ruangan.

"Daddy lagi di kantor."

"Sekarang kamu sudah pulang ke Jakarta, jadi *M*ommy minta sama kamu, tolong bantu daddy mengurus perusahaannya. Kasihan daddy sudah tua, masih saja mengurus perusahaannya," sambung Talita memberi pengertian.

"Karena itulah Raka pulang, Mom. Raka kasihan kalau daddy harus mengurus perusahaannya sendirian" sahut Raka penuh pengertian.

"Kamu memang anak *Mo*mmy yang paling pengertian" Talita memuji Raka sembari tersenyum dan memegang lembut pipinya.

"Oh ya, Mom. Raka mau mandi dulu ya! Gerah banget ni seharian dalam pesawat"

"Ya sudah kamu mandi sana!"

Raka menganggukkan kepalanya dan pergi ke kamarnya dengan membawa koper.

Sampai di kamar, bukannya malah langsung mandi, tapi ia merogoh ponselnya dan menghubungi temannya.

"Assalamualaikum, Bro" ucap Raka sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. What's up, Bro?"

"Baik-baik. Gue di Jakarta sekarang ni."

"Kapan lo pulang? Kenapa gak kabarin gue biar gue jemput lo di airport," cerocos Tommy.

"Ah! Lama kalau gue harus kabari lo. Gue sekarang di rumah, baru aja gue sampai."

"Gue kesana ya! Tunggu gue!" tanpa mendengar persetujuan dari Raka, Tommy langsung mengakhiri panggilannya dan beranjak pergi ke rumah Raka.

Tut... Tut... Tut...

"Anak ini, kebiasaan banget. Belum selesai gue ngomong langsung dimatiin" gerutu Raka kesal.

Raka melempar ponselnya, lalu beranjak pergi ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, Tommy sudah sampai di depan pintu rumah Raka.

Ting... Tong...

Mendengar suara bel berbunyi, Talita langsung beranjak pergi dan membuka pintu.

Klek...

"Assalamualaikum, Tan."

"Wa'alaikumussalam. Masuk Tommy!"

"Tan! Aku kesini mau cari Raka. Sekarang dia ada dimana?" ucap Tommy sembari masuk.

"Dia ada di kamarnya. Kamu naik saja ke atas," sahut Talita sembari menutup pintu.

"Kalau gitu aku ke atas dulu ya, Tan."

Talita tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sedikit. Tommy langsung beranjak pergi.

Krek...

"Raka!" Tommy membuka pintu dan langsung masuk mencari Raka.

Tommy menelusuri kamar Raka, tapi tidak juga menemukannya. Hanya sebuah koper yang ia lihat tergeletak di lantai.

"Hmm... Pasti dia lagi mandi."

Tommy melihat ponsel Raka di atas ranjang, ia pun mengambil dan mengutak-atiknya.

"Dasar playboy. Banyak banget foto cewek di ponselnya," umpat Tommy saat melihat galeri ponsel Raka dipenuhi dengan foto wanita cantik tanpa berkerudung.

Krek...

Raka keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan mengenakan handuk yang dililit di pinggangnya.

"Cepat banget lo sampai?" Raka melihat Tommy yang sedang duduk di atas ranjang.

"Hmm... Raka! Gue gak nyangka lo masih aja menyandang status raja playboy."

"Ini pasti karena lo lihat foto cewek di galeri ponsel gue, kan?"

Raka berjalan ke walk in closet untuk memakai baju dan mengeringkan rambutnya.

Tommy membawa ponsel Raka dan pergi menyusul Raka.

"Lo gak mencoba jelaskan biodata dari semua foto cewek yang ada di ponselmu ini?" tanya Tommy dengan serius sembari menenteng ponsel Raka.

"Gak perlulah gue jelasin. Toh gue gak berencana untuk menikahi salah satu dari mereka," sahut Raka sembari mengeringkan rambut menggunakan hairdryer.

"Terus ngapain lo koleksi semua cewek di hidup lo kalau lo gak berencana serius?" Tommy terus menghakimi Raka.

"Bukan gue koleksi mereka ya. Tapi merekanya aja yang gak bisa lihat pria tampan. Lagian selama gue pacaran sama mereka gue gak ada ya yang namanya ajak tidur anak orang!" sahut Raka dengan tegas.

"Tidur sih gak, tapi peluk cium hal biasa kan?" celoteh Tommy.

"Iya sih, tapi bukan gue yang berinisiatif disini," protes Raka sembari memakai baju.

"Terus siapa juga? Lo mau tuduh cewek-cewek itu kegatelan?"

"Hmmm... Bisa dibilang begitu. Rata-rata dari mereka kalau lihat gue langsung peluk dan cium gue. Untung aja gue masih jaga bibir dan ******** gue, kalau gak bisa disikat sama mereka."

"Hahaha... Kenapa lo pacaran tanggung begitu?"

"Bukan tanggung sih. Tapi coba lo pikir lagi deh! Gue pacaran sama mereka ni, mereka dengan suka rela menyerahkan harga diri mereka sama gue, malahan mereka kebanyakan masih perawan. Kalau gue mau gue bisa sikat mereka semua. Tapi bukan itu, gue takut kalau gue sikat mereka, nanti kalau gue nikah punya anak perempuan dan anak perempuan gue disikat sama pria brengsek di luar sana. Terus yang tanggung malu itu siapa? Gue, kan? Dan mau ditaruh dimana muka gue?" jelas Raka dengan serius.

"Nah–nah! Ini ni yang bikin gue salut. Tapi tetap lo ini plin-plan, kalau lo terus peluk cium anak orang, apa lo gak takut anak lo digituin juga sama pria-pria di luar sana?" tanya Tommy dengan serius.

"Itu nanti dipikirkan lagi. Sekarang yuk kita turun! Gue mau makan ni. Lapar banget!" Raka mengajak Tommy untuk makan bersama.

Raka dan Tommy turun bersama menuju ke ruang makan. Disana sudah ada Talita yang menunggu mereka untuk makan siang bersama.

"Raka! Tommy! Cepat duduk! Kita akan makan bersama." Talita menatap Raka dan Tommy sembari menarik kursi dan duduk.

Raka dan Tommy langsung menarik kursi dan duduk di samping Talita.

"Assalamualaikum" ucap Gunawan menghampiri mereka dengan tas kerja di tangannya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

"Daddy!" Raka bergegas bangun dari tempat duduknya dan pergi memeluk tubuh Gunawan.

"Kapan kamu pulang?"

"Baru aja, Dad!"

"Kenapa gak kabari Daddy?"

"Mau bikin surprise, Dad. Oh ya ayo kita makan bersama" ajak Raka menarik lengan Gunawan.

Gunawan tersenyum dan mengikutinya. Raka dengan bahagianya langsung menarik kursi dan menuntun Gunawan duduk.

"Mommy pikir Daddy gak akan pulang secepat ini," sahut Talita sembari menuangkan nasi dan lauk.

"Kalau bukan karena Raka, Daddy juga gak bisa tinggalin pekerjaan Daddy di kantor."

"Daddy masih aja sibuk kerja. Mending perusahaannya kasih ke Raka aja, biar dia yang handle semuanya" sahut Talita sembari menyerahkan piring nasi ke Gunawan.

"Itu sudah pasti. Tapi sebelum itu Raka harus kerja jadi bawahan dulu sebagai training selama 1 tahun. Setelah itu baru Raka bisa menjabat sebagai CEO di perusahaan *D*addy."

"Terserah *Da*ddy deh gimana baiknya. Raka nurut aja."

"Bagus! Daddy suka dengan sikapmu."

"Oh ya, Tommy selamat ya karena kamu sudah sah menjadi CEO," ucapan selamat untuk Tommy dari Gunawan membuat Raka kaget.

"Lo jadi CEO?" tanya Raka memastikan kembali ucapan Gunawan.

"Iya. Minggu kemarin dilantik."

"Wihh.. Gaya kali lo sekarang. Hebat-hebat." Raka menepuk pundak Tommy dengan tersenyum sumringah.

"Kapan kita rayain kesuksesan lo?" sambung Raka penuh harapan.

"Kapanpun lo ada waktu gue siap," ucap Tommy spontan.

"Nanti malam ya!"

"Oke"

------

Bandung

Setelah mandi Melisa keluar dengan pakaian rapinya dan menuju ke ruang makan. Disana sudah ada orangtuanya yang menunggu Melisa untuk makan siang.

"Karena kamu mau kuliah di Jakarta, jadi kamu makan sepuasnya ya!" Maya menuangkan nasi dan lauk yang sangat banyak untuk Melisa.

"Mama! Lisa bisa ngap-ngapan kalau makan segini banyaknya," protes Lisa saat menerima piring nasi yang penuh dengan nasi, lauk dan sayur.

"Mama kamu itu lebay," sahut Roni menatap Lisa.

"Papa ini!" ucap Maya.

"Mama! Jarak tempuh Bandung ke Jakarta itu cuma butuh 2 jam lebih, jadi Lisa bisa pulang kapanpun yang Lisa mau. Jadi mama gak perlu khawatirin Lisa, ya!" jelas Melisa memberi pengertian.

"Iya Mama tau. Tapi ..."

"Sudah! Ini baru kuliah kamu sudah begitu khawatir melepaskan Lisa, bagaimana kalau Lisa menikah dan dibawa pergi sama suaminya?" Roni mulai memberi pemahaman pada Maya.

"Hmmm... Benar tuh, Ma" sahut Melisa setelah menelan makanan.

"Lisa mau nikah?" tanya Maya dengan serius.

"Mama ini apa-apaan sih? Siapa juga yang mau nikah? Lisa ini mau kuliah dulu, setelah itu kerja, baru deh nanti pikirin soal menikah" celoteh Melisa.

"Hmmm... Bagus! Itu Mama setuju. Kalau begitu kamu dapat izin dari Mama."

"Kalian berdua ini apa-apa sih? Pikirannya sudah melantur," protes Roni menatap Maya dan Melisa.

"Ada apa ni pada seru banget? Ngomongin apaan sih?" tanya Reno menghampiri mereka.

"Lisa dapat undangan dari salah satu universitas di Jakarta" sahut Roni dengan santai.

"Dik! Kamu akan kuliah di Jakarta?"

"Iya"

"Wah selamat, Dik ya! Kakak senang akhirnya kamu bisa mengikuti jejak kakak."

"Pastinya dong, Kak. Memangnya Kakak doang yang bisa kuliah di Jakarta. Aku juga dong," sahut Melisa penuh percaya diri.

"Terus Mama ngomong apa aja?" bisik Reno pada Melisa.

"Sempat gak izinin sih, tapi aku keluarin senjata aku, dan akhirnya Mama setuju deh," bisik Melisa tersenyum sumringah.

"Ini baru Adiknya Kakak. Pintarnya nular."

"Kalian bisik-bisik apa nih?" tanya Maya melihat kedua anaknya asik berbisik-bisik.

"Gak ada kok, Ma" Reno dan Melisa mulai bersikap seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

"Eh, Dik! Kok tumben banget kamu makan porsi jumbo?" Reno heran melihat piring Melisa penuh dengan nasi, lauk dan sayur.

"Mama yang tuangin semua makan itu ke dalam piring aku, Kak."

"Sini aku yang makan aja. Kamu ambil yang lain." Reno menukarkan piring kosongnya dengan piring Melisa yang sudah penuh dengan makanan.

"Eh-eh! Kamu ini apa-apaan main ambil-ambil punya adikmu?" protes Maya menatap Reno dengan tajam.

"Mama! Mama gak kasihan apa lihat Lisa makan segini banyaknya? Yang ada dia malah ngap-ngapan," jelas Reno memberi pengertian.

"Benar, Ma. Biar Kak Reno makan nasi Lisa aja. Lisa biar ambil yang lain."

"Ya sudah, sini biar Mama ambilkan nasi untukmu!"

"Ma! Jangan terlalu banyak kayak tadi ya. Sedikit aja udah cukup. Nanti kalau masih lapar biar Lisa ambilkan lagi," jelas Melisa sembari menyerahkan piring nasinya.

Maya menganggukkan kepala, lalu menuangkan makanan itu sesuai dengan keinginan Melisa.

Salah sambung

Seperti kesepakatan bersama, Raka dan Tommy pergi untuk nongkrong bersama dengan teman-temannya.

Seperti biasa, mereka suka nongkrong di cafe-cafe bukan di club. Meskipun mereka bukan alim-alim amat, tapi mereka tidak lupa yang namanya shalat, dan mereka menjauhkan diri mereka dari yang namanya alkohol maupun segala sesuatu yang memabukkan. Tapi jika soal wanita, mereka tidak bisa terhindar dari itu. Namanya anak muda tampan, gaul dan tajir, ibarat magnet, kemanapun mereka pergi, wanita selalu menempel pada mereka. Setidaknya mata mereka tidak akan pernah berpaling saat melihat wajah tampan Raka dan teman-temannya.

"Hello bro!" Raka menyapa Andre, Alex dan Tommy.

"Raka! What's up men." Andre dan Alex langsung berdiri dan bersalaman ala anak gaul dengan Raka.

"Lihat gue, sehat bukan? ... Kalian sendiri gimana kabarnya?" tanya Raka sembari duduk.

"Gue juga sama kayak lo."

"Oh ya. Lo makin ganteng aja ni selama di LA." Andre mulai menggoda Raka.

"Masa sih? ... Tapi gue masih jomblo ni," keluh Raka dengan wajah melas.

"Eh, lo gak usah ya pasang wajah melas lo disini. Karena kita-kita pada nggak percaya lo ngejomblo," sahut Alex dengan serius.

"Tapi benar loh." Raka berusaha meyakini mereka.

"Lo jujur kali bohongnya. Baru aja tadi siang gue buka galeri ponsel lo dan full sama cewek-cewek cantik. Itu yang masih lo bilang jomblo?" sahut Tommy dengan santai.

"Itu lain lagi. Sekarang gue mau cari cewek yang bener, yang agak tertutup." Raka mulai berhayal.

"Hahaha ... Sejak kapan lo insyaf?" Andre mulai meledek Raka.

"Eh gue serius ni. Gue sekarang mau ngejar cewek ... Gue gak mau dikejar lagi, capek gue," celoteh Raka.

Mendengar ucapan Raka, Alex langsung memegang dahi Raka.

"Gak panas. Apa lo salah minum obat?" tanya Alex dengan serius.

"Haishh ... Kalian ini. Gue serius ni." Raka mulai mempertegas.

"Gini-gini, lo ingat nggak mantan lo si Lolly itu." Andre mulai bersenandung.

"Hmm ... Ada apa dengan dia?" Raka mulai penasaran.

"Kayaknya dia udah mulai hijrah deh. Gimana kalau lo dekatin dia aja," sahut Andre dengan serius.

"Ogah ah! Gue nggak mau balik sama mantan, meskipun dia sudah hijrah sekalipun," tegas Raka.

"Hmm ... Kalau gitu lo ke masjid aja. Barangkali ada kesasar wanita sholeha untuk lo satu," sahut Tommy.

Alex tidak sengaja melihat Lolly memakai pakaian terbuka berlalu di depannya dengan seorang pria.

"Bro! Kalian lihat deh itu!" Alex menunjuk ke arah Lolly.

"Itu bukannya Lolly?" tanya Tommy membelalak.

"Terus apa juga lo bilang dia hijrah," protes Raka menatap Andre.

"Gue mana tau. Yang jelas kemarin gue nggak sengaja kepoin story -nya dia dan dia pakai kerudung," jelas Andre.

"Bisa jadi dia cuma endorse doang," sahut Tommy.

"Hmmm ... Cewek sekarang pada nggak jelas semua. Gimana hidup anak gue nantinya kalau punya emak kayak mereka," gerutu Raka.

"Jangan bilang lo mau cari cewek alim karena lo mau serius?" Alex mulai mencurigai.

"Bisa dibilang gitu sih. Lagian umur gue udah 25, yah palingan pacaran dengan serius 2 tahun lagi setelah itu langsung go ke pelaminan." Raka mulai serius dengan ucapannya.

"Nah, nah ... Ini yang gue suka dari lo." Tommy memuji Raka.

"Oh ya, gue gak bisa lama-lama ni sama kalian," ucap Raka berdalih.

"Lo memangnya mau kemana?" tanya Alex menatap Raka keheranan.

"Lo tau dong gue dari airport langsung ke rumah dan habis itu gue nggak ada istirahat-istirahatnya sampai sekarang. Dan gue sekarang lelah banget ni," keluh Raka dengan serius.

"Oh ya udah lo pulang sana gih. Biar besok kita nongkrong lagi," sahut Andre penuh pengertian.

"Thanks, Bro. Gue pamit dulu ya." Raka menyudahi percakapannya, lalu beranjak pergi meninggalkan teman-temannya itu.

...****************...

Raka kini sudah sampai di rumah. Dia langsung masuk ke kamarnya, karena ia merasa terlalu lelah. Meskipun sempat tidur di dalam pesawat, tapi tidak sepuas seperti tidur di atas ranjang sendiri.

Raka berharap bisa istirahat di kasur empuk miliknya itu, tapi setelah merebahkan tubuhnya, tiba-tiba ia teringat dengan sepupunya Marisa yang sudah lama tidak pernah ditemuinya.

Raka mengambil ponsel, lalu menghubungi sepupunya itu.

...****************...

Melisa merebahkan tubuhnya sambil membaca sebuah buku, tiba-tiba fokusnya menjadi buyar dengan suara ponsel miliknya.

Drrrtttt....drrrttt....

Melisa meletakkan buku, lalu meraih ponsel di atas nakas.

"Nomor baru? Siapa yang menghubungi aku malam-malam begini?" Melisa mulai bingung dan penasaran saat melihat panggilan masuk dari nomor tak dikenalnya.

"Assalamualaikum," ucap Melisa setelah mengangkat panggilan tersebut.

"Wa'alaikumssalam."

"Maaf ini dengan siapa ya?" Melisa mulai bertanya dengan tutur kata yang lembut.

"Gue Raka, masa lo gak ingat lagi sih?" Raka mulai bersenandung seperti biasanya dengan Marisa.

"Maaf, tapi saya tidak mengenal nama Raka. Mungkin Aa' salah sambung," sahut Melisa dengan penuh kelembutan agar tidak menyakiti hati Raka.

"Tunggu, tunggu! Ini Marisa kan?"

"Bukan. Nama saya Melisa."

Raka mulai melihat layar ponselnya kembali, dan jelas tertera nama Marisa.

"Tapi di ponsel saya ter-save nama Marisa bukan Melisa." Raka mulai mempertanyakan kebenarannya.

"Mungkin Aa ini salah men-save nomor, atau mungkin ada salah satu angka yang tertukar sehingga Aa jadi menghubungi saya."

Raka mulai memikirkan ucapan Melisa, dulu sebelum ke LA, saking buru-burunya ia tidak lagi mengecek nomor Marisa. Apalagi sesampainya di LA, ia sama sekali tidak menghubungi Marisa.

"Kayaknya yang kamu bilang ada benar juga deh. Mungkin saya yang teledor."

"Kalau seperti itu sudah dulu ya, saya mau tidur," ucap Melisa tidak ingin berlama-lama berbicara dengan pria.

"Ok. Maaf ya telah mengganggu."

"Tidak masalah. Assalamualaikum"

"Wa'alaikumssalam."

Melisa meletakkan ponselnya kembali, lalu berbaring di kasur. Ia sama sekali tidak penasaran dengan Raka. Matanya langsung dipejamkan agar besok dapat bangun lebih awal, demi menempuh perjalanan ke Jakarta.

Berbeda dengan Raka, ia berusaha tidak mengingat Melisa, tapi suara Melisa yang lembut dan sopan membuat ia tidak bisa tidur dan terus teringat dengan Melisa.

"Cewek ini lembut dan sopan banget dalam berbicara. Hmmm ... sepertinya dia salah satu mutiara yang tersembunyi dalam cangkang." Raka mulai menebak Melisa itu seorang wanita cantik, berhijab, sopan, dan pintar.

"Sebaiknya gue dekati dia aja dulu. Siapa tau dia seorang wanita yang seperti dalam bayangan gue," sambung Raka dengan bibir tersenyum sumringah.

Raka mulai terlelap dalam senyuman bahagianya. Entah kenapa ia memiliki firasat bahwa Melisa itu gadis baik dan sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

Raka mulai kepo

Melisa sudah bersiap-siap hendak ke Jakarta bersama dengan keluarganya. Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Melisa adalah salah satu anak orang berada di Bandung. Namun ia terlihat sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang. Roni memiliki perusahaan aneka olahan teh yang sekarang diurus oleh anak sulungnya itu, Reno. Sedangkan Maya adalah seorang designer. Sebenarnya Melisa memiliki seorang kakak satu lagi, namanya Rani, ia sekarang sedang melanjutkan studynya di Inggris.

"Dik! Semua barang udah di kemas?" tanya Reno penuh perhatian.

"Sudah, Kak."

"Ma! Pa!" Reno menatap Maya dan Roni.

"Sudah. Semuanya sudah Papa masukan ke dalam mobil," sahut Roni.

"Kalau begitu, ayo kita berangkat!"

Setelah menempuh perjalanan 2 jam 15 menit, kini mereka tiba di sebuah apartemen yang dekat dengan kampus Melisa.

"Pa! Ma! Dik! Kita sudah sampai." Reno membuka seatbelt-nya.

"Ini apartemen yang kamu bilang?" tanya Maya melihat apartemen dari kaca pintu mobil.

"Iya. Yuk kita keluar!" Reno membuka pintu, lalu keluar dari mobil.

Tanpa berkomentar, merekapun mengikuti Reno. Reno sudah sangat familiar dengan kota Jakarta, karena dulunya dia juga pernah tinggal di Jakarta.

"Untuk sementara kita sewa dulu apartemen ini, jika kamu suka daerah sini, nanti kita bisa membelinya," jelas Reno.

"Baik, Kak." Melisa hanya bisa menurut dengan titah Reno.

Langkah kaki Melisa menelusuri semua sudut apartemen, dan ia sangat menyukainya.

"Karena kita sudah sampai di sini gimana kalau kita cari makan dulu yok!" ajak Reno menatap mereka semua.

"Ide yang bagus tu. Kebetulan Lisa juga lagi lapar banget ni," sahut Melisa memegang perutnya.

"Kalau gitu kita pindahkan semua barang kita dulu. Baru deh kita makan," sahut Maya.

...****************...

Hari ini adalah hari pertama Raka masuk kantor. Ia bekerja sebagai karyawan biasa di kantor papanya itu. Seperti biasa, Raka menyembunyikan identitasnya sebagai anak bos dan bekerja seperti layaknya orang biasa.

Karena hari pertama ia masuk kantor, jadi tidak ada tugas berat yang diterimanya. Sehingga ia hanya bersantai sembari memegang ponsel.

"Hmm ... Melisa. Ngomong-ngomong dia lagi ngapain ya sekarang?" Raka mulai memikirkan Melisa saat melihat panggilan keluar di ponselnya itu.

Dengan penuh semangat Raka menekan tombol panggil untuk menghubunginya.

Drrttt ... drrttt...

Suara ponsel mengejutkan Melisa, ia mengambil ponselnya, tiba ia mengernyit keningnya saat melihat nomor baru kembali menghubunginya.

"Dari siapa? Kenapa nggak diangkat?" tanya Maya melihat Melisa hanya memegang ponselnya itu tanpa menjawab panggilan dari Raka yang terus berdering dari tadi.

"Nggak penting, Ma." Melisa menolak panggilan dari Raka.

"Jangan kamu tolak, siapa tau penting," sahut Reno memberi pengertian.

"Benar juga ya yang dibilang Kak Reno. Mungkin aja dari seseorang yang penting." Melisa mencoba memikirkan kembali ucapan Reno.

"Mending aku sms dia aja."

Melisa dengan cepat mengetik, lalu mengirim pesan kepada nomor yang tidak dikenal itu.

...****************...

Raka merasa kesal setengah mati karena Melisa me-reject panggilannya.

Tapi seketika senyuman terukir di bibirnya saat melihat pesan masuk dari Melisa. Dengan semangat 45 diapun membukanya.

📩 Melisa

Maaf aku nggak bisa angkat telponnya sekarang. Nanti malam saja aku hubungi kembali.

Setelah membaca pesan dari Melisa, Raka menjadi senyum-senyum sendiri. Entah kenapa, tapi satu hal yang pasti, hatinya kini mulai berbunga-bunga dan rasa penasarannya semakin besar pada sosok gadis yang bernama Melisa.

Drrtt ...

"Ada pesan masuk tuh!" sahut Reno melirik ponsel Melisa.

Melisa meletakkan sendoknya, lalu membuka pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya itu.

📩 0812xxxxxxxx

Aku tunggu ya!

Melisa mengernyit keningnya dan meletakkan ponselnya kembali.

...****************...

Raka tersenyum sendiri sambil memikirkan wajah Melisa yang belum dikenalnya itu.

Drrtt.. drrrttt...

Suara ponsel Raka kembali berbunyi membuat lamunannya buyar dan dengan segera Raka mengambil ponselnya. Ia berharap Melisa menghubungi, tapi ternyata tidak, yang menghubunginya itu ternyata Tommy.

"Hmm ... Ada apa, Tom?" tanya Raka dengan nada malasnya itu.

"Lo kenapa lesu begini? Apa lo nggak senang kerja jadi bawahan?" cerocos Tommy.

"Bukan itu. Tapi lo ngapain hubungi gue saat jam kantor?" Raka mulai berdalih sembari melirik jam di lengannya itu.

"Yah, gue mau ngecek kondisi lo aja. Mana tau lo gak betah jadi bawahan," celoteh Tommy.

"Betah dong. Lagian dengan gue jadi karyawan biasa, gue bisa pantau mereka langsung. Dan nanti kalau gue jadi Bos, gue udah tau ni karakter dari karyawan gue," ucap Raka mulai berhayal.

"Semoga aja gitu. Tapi sebenarnya gue telpon lo mau ajak makan siang ni. Lo mau gak?"

"Lo yang traktir gue kan?"

"Kenapa lo jadi miskin gini semenjak pulang dari LA?" nyela Tommy.

"Loh yang jadi CEO disini siapa?"

"Ok deh. Gue yang bayarin. Kita ketemu di tempat biasa aja ya!"

"Ok sip."

...****************...

Setelah makan, Reno hendak mengajak keluarganya untuk melihat-lihat kampus Melisa, namun karena Maya dan Roni merasa kelelahan akhirnya mereka minta diantar pulang ke apartemen.

Tiba di apartemen, Melisa tidak ikut turun, karena ia ingin sekali melihat kampusnya itu.

"Ma! Pa! Kalian masuk duluan aja ya! Reno mau bawa Lisa lihat-lihat kampus dulu."

"Iya. Tapi jangan pulang telat-telat ya! Pokoknya sebelum magrib harus sudah sampai di apartemen," sahut Maya dengan serius.

"Siap, Ma." Reno dan Melisa tersenyum seraya mencium tangan kedua orangtuanya itu. Begitu mereka sudah masuk, Reno dan Melisa segera berangkat.

"Dik! Duduk di depan dong!" titah Reno.

"Ok." Melisa langsung duduk di depan, bukan lewat pintu, tapi ia melepaskan sepatunya dan melempar ke depan, kemudian ia melangkahkan kaki, menginjak kursi dan berhasil duduk di kursi depan.

Reno menggeleng-geleng kepala saat melihat gelagat adik kesayangan itu. Semuanya dilakukan sesukanya tanpa memperhatikan imej-nya sebagai wanita kalem.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!