NovelToon NovelToon

My CEO My Ex Boyfriend

1

Melani malam ini cantik sekali dengan rambut ikalnya yang panjang, gaun merah yang ia kenakan, serta sepatu hak tinggi yang dia pakai. Di malam yang indah penuh cahaya bulan dan bintang, seharusnya Melani merasa merasa senang. Tapi justru sebaliknya, dia merasa bingung bagaimana dia bisa berada di tempat itu dan dengan siapa dia akan bertemu.

Melani perlahan tapi pasti, melangkahkan kakinya di atas rerumputan hijau berjalan mendekati sebuah kolam kecil yang di tengah-tengahnya banyak berhiaskan lilin-lilin kecil menyala yang membentuk sebuah tulisan. Karena penasaran, Melani lebih mendekatkan dirinya ke pinggir kolam itu.

Alangkah terkejutnya Melani begitu melihat tulisan dari lilin-lilin yang mengapung di atas kolam. Jantungnya berdebar-debar, tubuhnya rasanya ringan sekali dan seolah ingin terbang membaca kalimat 'I LOVE U'.

"Astaga!"

Melani terkejut ada seseorang yang menyatakan cinta padanya. Dia menoleh ke suatu arah, melihat sebuah pohon besar berdaun lebat dihiasi dengan lampu warna-warni.

Di bawah pohon itu, Melani melihat ada sebuah meja kecil dengan hidangan sederhana di atasnya, dan di tengahnya ada dua buah lilin kecil menyala, menjadikan suasana malam itu menjadi romantis.

Melani merasa sangat bahagia sekali, dia berjalan ke arah pohon itu dan duduk di atas tikar berwarna pink yang bertaburkan bunga-bunga mawar putih kesukaannya. Melani mengamati hidangan di atas meja. Sederhana tapi mewah karena disajikan dengan berbagai macam hiasan di pinggirnya.

"Ya ampun! Romantis banget?" seru Melani.

"Kamu suka?"

Melani terkejut dan menoleh ke sumber suara. Senyuman merekah tampak di bibir merah Melani. "Jadi ini semua rencana kamu?"

"Iya," jawab laki-laki berkemeja abu-abu dan berjas hitam yang ada di depan Melani itu. "Ayo." Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

Melani pun menyambutnya dengan suka cita, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah laki-laki itu.

"Malam ini kamu cantik."

Melani tersipu malu. "Makasih."

"Kita dansa, yuk."

"Tapi aku nggak bisa." Melani khawatir.

"Nggak apa-apa. Aku akan mengajari kamu."

Melani tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Taruh tangan kamu di sini." Laki-laki itu menaruh tangan kanan Melani di bahu kirinya, dan memegang tangan kirinya. Dia itu pun juga melakukan hal yang sama pada Melani dengan memegang pinggang Melani menggunakan tangan kirinya.

Mereka mulai berdansa, biarpun tanpa alunan musik namun tetap menyenangkan dan romantis bagi mereka.

Melani terus tersenyum, rasanya dia nggak mau mengalihkan pandangan dari wajah laki-laki di depannya itu.

"Aku cinta sama kamu, Mel." Laki-laki itu berkata sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Melani.

Jantung Melani berdebar-debar, tubuhnya gemetar rasanya mau pingsan dilihat laki-laki tampan dengan jarak sedekat itu.

"Apa kamu menerima cinta aku?"

Hati Melani berbunga-bunga, dia merasa seperti orang yang paling bahagia sedunia. Dia sangat ingin mengatakan kalau dirinya sangat mencintai laki-laki itu dan menerima cintanya. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, laki-laki itu menciumnya.

Secara otomatis, Melani sudah tidak bisa berkata-kata lagi, bahkan dia sangat bingung untuk mengatakan apa karena terlalu senang. Laki-laki itu seolah tahu bagaimana perasaan yang Melani rasakan terhadapnya.

Saat Melani mau memeluk laki- itu, tiba-tiba hak sepatu Melani patah dan Melani terjatuh.

Gedebuk!

"Aduh!" Melani jatuh dari kursi saat ketiduran di dalam bus kota yang penuh penumpang dan sedang melaju di jalan raya. Melani pun baru sadar, kalau semua hal indah yang dialaminya tadi hanyalah mimpi.

"Melani? Melani kamu kenapa kok tidur di situ?" Haris---ayah Melani menghampiri Melani yang duduk di lantai bus kota.

Melani memegangi jidatnya yang membentur lantai bus. "Tidur apanya? Ini jatuh nih, sakit."

Yula---ibu Melani yang duduk di depannya, menoleh ke belakang mendengar suara ribut-ribut. "Lho? Melani? Ayah? Kalian ngapain?" Yula heran melihat Melani duduk di bawah.

Haris membantu Melani duduk kembali ke kursinya semula. "Ini nih. Tadi Melani tidur, terus jatuh ke bawah."

Yula tampak terkejut. "Ya ampun, Melani. Kok tidur aja bisa sampai jatuh begitu?" ibunya berkata justru lebih mirip orang yang sedang kagum.

"Ibu ini gimana, sih? Namanya orang lagi tidur itu nggak sadar. Jadi ya, kalau Mel jatuh itu bukan maunya Mel." Melani terus mengusap-usap jidatnya yang sakit.

"Memangnya tadi kamu mimpi apa, kok sampai jatuh begitu?" tanya Haris. "Pasti lagi mimpi yang jorok-jorok, ya?"

"Ih, Ayah. Ya enggaklah." Melani menyangkal.

"Ya sudah, ya sudah." Yula melerai. "Ini kita sudah sampai di Jakarta, sebentar lagi turun. Cepat siap-siap."

Melani memandang ke luar jendela, terlihat olehnya gedung-gedung yang tinggi berderet di sepanjang jalan. Belum lagi kendaraan-kendaraan bermotor yang berjalan memenuhi jalan-jalan raya. Di kejauhan, Tugu Monas terlihat sangat kecil. Hanya terlihat emasnya yang ada di puncak Monas.

Melani pun menghela napas, akhirnya dia sampai juga di Jakarta, kota ter - ramai yang pernah dia tahu dan tiap hari tiada hari tanpa macet. Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana kalau nanti dia akan menetap selamanya di Jakarta. Pasti setiap hari akan selalu terjebak macet.

Tapi apa boleh buat, keluarganya terpaksa harus pindah ke Jakarta karena Haris dipindahkan kerjaannya ke Jakarta. Dan otomatis, Melani pun juga harus pindah kuliah dari Jogja ke Jakarta.

...🍙🍙🍙...

Ayah membuka pintu rumah kontrakan barunya, dengan sebelah tangan menenteng tas besar. Kemudian dari belakang menyusul Melani dan ibunya yang masing-masing membawa tas besar dan sebuah kardus yang lumayan berat.

"Nah, ini rumah kita sekarang." Haris meletakkan tas di samping meja, lalu merebahkan tubuhnya di sofa.

Melani mengamati setiap sudut rumah itu. Biarpun sanat kecil dan sederhana, rumah ini terlihat sangat bersih dan layak untuk ditempati. Tidak jauh beda dengan rumah kontrakannya di Jogja. Hanya bedanya, ini di Jakarta dan biaya sewanya pasti sedikit lebih mahal daripada yang sebelumnya. Itu saja kata Haris, mereka mendapat keringanan 30% karena yang punya rumah itu adalah saudara teman Haris yang tinggal di Jakarta.

"Ayah, kenapa sih kita musti pindah ke Jakarta segala? Kalau Ayah udah dikeluarin dari kerjaan, kan bisa cari kerjaan lain dan nggak perlu musti pindah segala?" Melani mengajukan protes keberatan.

"Kamu itu bagaimana? Masih untung Ayah kamu ini tidak kena PHK."

"Iya, nggak kena PHK, tapi malah dipindahin ke sini."

"Ya justru itu, seharusnya kita bersyukur karena Ayah dipindahin ke sini. Di sini itu kantornya jauh lebih besar daripada yang di Jogja. Kantor pusatnya itu di sini, jadi gaji Ayah juga sudah pasti naik."

"Ini minumnya, Yah." Yula datang dari belakang menyuguhkan segelas air putih pada suaminya. "Adanya cuma air putih yang tadi Ibu bawa dari Jogja."

"Iya, Bu. Nggak apa-apa." Haris meneguk air putihnya.

TBC

2

Yula membuka kardus-kardus yang tadi mereka bawa, dan mengeluarkan berbagai macam sayuran yang sudah hampir layu karena terlalu lama di dalam kardus, serta beberapa bungkus mie instan. "Ada apa, sih? Kok tadi Ibu dengar kayaknya lagi ngobrol serius banget?"

"Ini, si Melani katanya nggak mau pindah ke Jakarta. Malah Ayah disuruh nyari kerjaan lain katanya."

"Bener begitu?" Yula memandang Melani. "Aduh, nyari kerjaan itu susah. Kok kamu malah nyuruh ayah kamu untuk nyari kerjaan lain? Gimana sih, kamu?"

Melani sebal, ibunya malah menceramahinya.

"Kalau Ayah mau cari kerjaan lain, memangnya Ayah mau kerja apa? Jadi staf biasa saja sudah lumayan. Ayah ini kan dulu cuma tamat SMA, Mel."

"Tapi kan pengalaman Ayah jauh lebih banyak dari mereka yang lulusan S1." Melani memberikan pendapat.

"Jaman sekarang itu, ijasah juga penting, Mel. Apa gunanya punya banyak pengalaman tapi ijasah saja nggak memenuhi syarat?"

Yula mengamini. "Iya betul. Ibu ini juga cuma tamat SD, kerjaannya juga cuma jadi penjual bunga. Makanya kamu sekolah yang bener, nanti kalau sudah lulus kuliah, kan bisa kerja kantoran yang gajinya gede."

"Iya, Bu." Melani mendengkus sebal, kali ini ibunya benar-benar menceramahinya habis-habisan.

Tapi apa yang dikatakan ayah dan ibunya itu memang benar. Selama ini Haris dan Yula selalu menuntutnya untuk rajin belajar, mereka juga bekerja keras untuk membiayai sekolah Melani sampai dia lulus SMA.

Melani juga memutuskan cuti sekolah selama setahun sebelum melanjutkan ke universitas. Dan siapa sangka, dia akan melanjutkan kuliahnya bukan di Jogja tapi di Jakarta.

Walaupun Melani bukan tipe yang mempunyai otak encer, tapi dia selalu rajin belajar agar bisa bergelar sarjana seperti yang dicita-citakan oleh kedua orangtuanya.

"Ayah, ayo bangun. Kita harus mulai beres-beres rumah." Yula membawa bermacam-macam bahan makanan ke dapur.

"Mel, bantu ini di dapur."

"Iya."

***

Seminggu setelah masuk kuliah di tempat baru, ternyata nggak terlalu buruk seperti yang dipikirkan Melani. Begitu dia menginjakkan kakinya di kampus barunya, dia mendapat sapaan ramah dari tlmantan teman-teman mabanya. Bahkan, dia sudah mendapat teman baru bernama Diandra, yang kebetulan duduk bersebelahan dengan dia di kelas. Diandra ini tipe cewek yang rame banget. Bayangin aja, baru pertama kali kenalan dia sudah menceritakan tentang keluarganya, yang katanya dulu papanya pernah menikah dua kali sebelum akhirnya menikah dengan mamanya dan punya anak yaitu Diandra. Terus belum lagi cerita tentang mantan-mantan pacarnya waktu SD, SMP, sampai SMA semua diceritakan pada Melani dengan sedetail-detailnya.

“Jadi gitu, Mel. Nico, Adit, Steven, Donny, Endar, Tomy…semua itu mantan-mantan pacar gue.” Diandra dengan semangat menceritakan mantan-mantannya saat kelas bubar,”Mereka semua itu ganteng-ganteng banget lho, Mel. Kalau lo ketemu sama mereka, pasti lo bakalan naksir. Gue jamin, deh!”

Melani hanya garuk-garuk kepala dan nyengir saja mendengarkan cerita Diandra. Abis mau gimana lagi? Diandra terus semangat bercerita dan tidak memberinya kesempatan untuk bicara.

“Di rumah gue ada kok, foto-foto mereka, Mel. Lengkap banget pokoknya. Kapan-kapan lo main aja ke rumah gue, ntar gue tunjukin semuanya ke lo.”

“I-iya deh. Ntar kapan-kapan gue dateng ke rumah lo.”

Diandra memeluk Melani dengan erat, Melani sampai kaget karena Diandra tiba-tiba memeluknya. Dia sampai nggak bisa napas,”Aduh, makasih banget ya?! Baru kali ini lho, ada yang mau main ke rumah gue. Gue seneeeenggggg banget.”

“Iya, iya. Seneng sih seneng, tapi jangan peluk-peluk gue, dong! Malu dilihatin orang.”

Diandra melepaskan pelukannya. Melani pun kini bisa bernapas dengan lega,”Sorry, Mel. Soalnya tadi gue terlalu seneng aja,” Diandara nyengir.

“Iya nggak apa-apa. Lain kali jangan kayak gitu lagi, ya!” Melani merasa aneh dipeluk kayak gitu sama sesama cewek.

Diandra tersenyum lebar,”Oke, deh. Rebes! Oh iya, gue kan udah cerita banyak soal gue. Sekarang giliran lo dong, yang cerita ke gue! Ngomong-ngomong udah pernah pacaran berapa kali?”

“Belum pernah.”

“WHAT???? Belum pernah???” Diandra kelihatan shock sekali.

“Iya, emang kenapa?” tanya Melani.

“Oh my God!” Diandra menepuk dahinya sendiri,”Lo belum pernah pacaran?"

Melani geleng-geleng kepala. Cuek.

“Sekalipun nggak pernah?”

Melani lagi-lagi hanya menggeleng.

“Aduh, ya ampun. Parah banget?”

Melani tampak sangat bingung,”Parah? Apanya sih, yang parah, Di?”

“Ya parahlah. Masa lo pacaran aja nggak pernah? Lo tuh cewek Mel, ya paling nggak punya mantan pacar kek, minimal satu.”

“Ih, aturan dari mana tuh?”

“Dari gue.”

“Heh?”

“Gini lho, Mel. Maksud gue, emang lo nggak pernah suka sama cowok gitu? Kok pacaran aja nggak pernah?”

“Ya emang belum ada yang cocok aja.” Melani berkata dengan santai,”Ntar kalau udah ada yang cocok, ya pasti gue pacarin kok.”

Diandara memandang Melani dengan tatapan curiga,”Mel ngomong-ngomong lo nggak lesbi, kan?!”

“Ya enggaklah.” Melani buru-buru menyangkal,”Enak aja lesbi? Gue ini masih normal, tahu.”

Diandra lega dan mengelus dadanya,”Huh, ya syukur deh kalau lo masih normal. Berarti gue aman.”

“Maksud lo? Gue bakal naksir sama lo gitu?”

“Ya, kali aja. Soalnya kan gue cantik. Hehehehe…”

“Huuu…enak aja?!”

“Eh iya, gimana kalau sekarang kita makan aja di kantin? Biar gue yang traktir, deh!” Diandra menawari.

“Ah, nggak usah! Ntar jadi ngerepotin lo, lagi.” Melani merasa nggak enak hati.

“Udah, nggak apa-apa. Ayo!”

***

Melani dan Diandra makan siang di kantin kampus yang lumayan ramai. Di daftar menu makanan yang terpampang di dinding kantin, tertulis berbagai macam menu-menu makanan seperti bakso, soto ayam, mie ayam, nasi lodeh, nasi pecel, rujak, nasi goreng, serta menu-menu minuman yang sudah tertulis harganya di sampingnya. Melani dan Diandra memesan masing-masing semangkuk soto ayam dan jus jeruk dingin.

“Ayo makan, Mel! Cobain masakannya Bi ijah, pasti lo bakalan ketagihan, deh!” Diandra mulai menyantap soto ayamnya.

“Iya.” Melani menoleh ke suatu arah. Dia melihat sebuah kafe yang letaknya nggak jauh dari kantin itu. Kira-kira sekitar sepuluh meter-an lah. Melani melihat kafe itu juga cukup ramai, apalagi juga ada di dalam lingkungan kampus itu,”Nggg…Di?”

“Hm?” Diandra tetap sibuk menikmati makan siangnya.

“Di kampus ini, ada kafe nya juga, ya?”

“Iya. Di kafe itu, tempatnya orang-orang yang punya dompet tebel. Orang-orang kaya yang kuliah di sini, mana mau mereka makan di kantin kayak gini? Pastinya kebanyakan dari mereka lebih milih makan di kafe itu daripada di kantinnya Bi Ijah,” Diandra menjelaskan dengan tanpa mengalihkan pandangannya dari soto ayamnya, sementara Melani masih terus memandang ke kafe itu,”Gue bukannya nggak mau nraktir lo di tempat mahal itu, tapi gue cuma menyesuaikan harga sama kantong gue aja, Mel. Nggak apa-apa, kan?!” Diandra nyengir.

“Iya, nggak apa-apa.”

“Lo lagi ngelihatin apaan, sih?” Diandra heran melihat Melani terus-terusan memandang ke arah kafe, sampai-sampai dia ikutan menengok ke sana,”Ada apa sih, di kafe itu? Lo kepengen makan di sana?”

“Oh, enggak kok. Enggak!” Melani buru-buru menjelaskan,”Enggak. Gue cuma ini lho, ngelihat cewek cantik yang di sana itu.”

“Cewek cantik?” Diandra kembali menoleh ke kafe, di sana ada banyak cewek yang sedang makan,”Yang mana cewek yang lo lihatin?”

“Itu, cewek cantik yang pake baju biru. Yang lagi ngobrol sama cowok itu lho!” Melani menunjuk cewek cantik berbaju biru, berambut panjang lurus, berkulit putih yang sedang asyik ngobrol dengan seorang cowok yang kebetulan posisi duduknya membelakangi kantin tempat Melani dan Diandra makan.

“Oh, Cyntia maksud lo?”

“Jadi namanya Cyntia?”

“Iya, kenapa? Lo suka ya, sama dia?”

“Ih, ya enggaklah. Mulai lagi deh lo, ngeledekin gue?!”

Tbc

3.

“Hehehe…abis lo aneh banget, deh? Di sana itu juga banyak cowok gantengnya yang bisa lo pelototin, eh malah ngelihatin cewek?” Diandra heran.

“Bukan gitu maksud gue. Gue cuma kagum aja sama tuh cewek. Cantik banget, bibirnya bagus, kulitnya putih, rambutnya lurus berkilauan mirip iklan shampo, bulu matanya lentik…dan pastinya dia anak orang kaya. Beda banget sama gue.”

Melani membanding-bandingkan dirinya dengan Cyntia.

“Ya iyalah, dia cantik, Mel. Orang bokapnya aja kaya. Almarhum kakeknya aja, termasuk salah satu pengusaha terkaya di Korea.”

“Pantas, wajahnya mirip-mirip orang Korea gitu.” Melani terkagum-kagum,”Terus, cowok yang lagi ngobrol sama dia itu siapa?”

“Ya, pacarnya lah Mel. Masa tukang kebunnya?”

Melani masih terus memperhatikan Cyntia yang sedang asyik mengobrol dengan cowok yang kata Diandra pacarnya itu. Cewek secantik Cyntia pasti cowoknya juga ganteng plus kaya pula.

Melani ingin sekali bisa melihat wajah cowok itu, tapi sayang cowok itu duduk membelakanginya. Sehingga Melani hanya bisa melihat punggungnya saja. Melani sudah berkali-kali mencoba menoleh ke arah cowok itu, dengan harapan saat cowok itu menoleh atau apa gitu, dia bisa melihat wajahnya. Tapi tetep aja tuh cowok nggak memperlihatkan wajahnya. Sampai Melani dan Diandra selesai makan siang, Cyntia dan pacarnya itu masih belum beranjak dari tempatnya. Emang kalau orang lagi pacaran itu suka lupa waktu, makan aja lama banget. Dan nggak tahu kenapa, Melani sangat penasaran ingin melihat wajah pacarnya Cyntia itu.

***

Melani pulang ke rumah dengan perasaan riang gembira. Soalnya hari pertamanya masuk kuliah di tempat baru, sangat menyenangkan. Melani sudah punya teman baru yang baik dan menyenangkan seperti Diandra. Di depan rumah, terlihat Ibu sedang sibuk menata toko bunganya yang baru. Berbagai macam bunga di dalam pot tertata rapi di toko kecil itu. Dan di atas pintu masuk toko terpampang sebuah papan nama bertuliskan ‘TOKO BUNGA MEL’. Melani senang sekali namanya dijadikan nama toko bunga oleh ibunya.

“Bu, Melani pulang!” Melani mencium tangan ibunya,”Udah siap dibuka, Bu?” tanya Melani sembari mengamati bunga-bunga sudah tertata rapi.

“Iya. Hari ini Ibu dapet langganan tetap untuk mengambil bunga yang mau dijual. Pemiliknya juga baik, bayar separo dulu boleh,” Ibu menata pot-pot bunga mawar yang sudah mulai berbunga di sudut ruangan. Tampak bermacam-macam warna bunga mawar dengan bentuk pot yang berbeda-beda.

“Ya bagus dong, kalau gitu.”

“Eh iya, bagaimana kuliah kamu hari ini? Ada masalah apa enggak?” kali ini Ibu menata pot-pot tanaman anggrek yang belum berbunga.

Melani duduk di teras toko,”Nggak ada masalah kok, Bu. Mel juga udah kenalan sama beberapa temen baru.”

“Bagus itu. Terus pertahankan!” Ibu mengamati bunga-bunga melati yang sudah berbunga, dan baunya sangat sedap,”Oh iya, Ibu sampai lupa. Bagaimana cowok-cowok di sana? Ganteng-ganteng nggak? Kok kamu nggak pernah cerita-cerita sama Ibu?⁰” Ibu langsung semangat kalau membicarakan tentang cowok. Dia pun melupakan kegiatannya menata toko bunga,”Terus, kamu udah kenalan sama berapa cowok aja hari ini?”

“Belum sama sekali.”

“Apa??? Belum sama sekali??? Kok bisa???”

“Ya bisalah, Bu.” Melani sudah hafal betul sifat ibunya itu yang langsung semangat kalau menyangkut cowok.

“Masa dari sekian banyak cowok yang ada di kampus itu, nggak ada satupun yang tertarik buat kenalan sama kamu? Kamu kan udah cantik begini? Mirip Ibu dulu waktu masih muda. Iya, kan?!” Ibu berkata dengan pede-nya sambil mengelus-elus kedua pipinya.

Melani mendelikkan matanya.

“Eh, ditanya kok diem aja? Memangnya kenapa nggak ada cowok yang mau kenalan sama kamu? Pasti di kampus kamu bertingkah aneh, ya?”

“Idih…Ibu ini apa-apaan sih? Kok nuduh-nuduh Mel bertingkah aneh?”

“Ya, habis masa nggak ada satupun cowok yang udah kamu kenal di kampus?” Ibu heran.

“Ada.”

“Oh ya? Siapa, Mel? Siapa dia? Anak pengusaha mana? Terus ganteng nggak?” Ibu menggebu-gebu.

“Ada. Satpam kampus. Udah, Bu…Mel masuk ke dalem dulu. Capek!” Melani berjalan memasuki rumah.

“Apa??? Kok satpam, sih?” Ibu terlihat bingung,”Mel, kamu pacaran sama satpam? Aduh, itu anak gimana, sih? Disuruh nyari pacar yang kaya, kok malah pacaran sama satpam?”

Melani melempar tasnya di atas kasur, lalu menjatuhkan tubuhnya di dekatnya. Hari ini melelahkan sekali. Baru juga sehari tinggal di Jakarta, rasanya udah kayak setahun. Gimana kalau nanti udah setahun, pasti rasanya udah kayak seabad.

***

Melani berjalan di koridor kampus sambil membuka-buka buku pelajaran. Sampai dia berhenti di depan mading dan mencoba membaca pengumuman di mading. Siapa tahu ada yang penting. Setelah membaca beberapa lembar kertas yang ditempel di mading secara teliti selama beberapa menit, akhirnya Melani tahu nggak ada pengumuman yang penting. Dia pun memutuskan untuk pergi.

“Nggak ada yang penting, nih!” Melani kembali melanjutkan jalannya. Namun tiba-tiba Melani bertemu dengan Pak Sokib, salah satu pesuruh di kampus itu. Dia kelihatannya sedang bingung sambil memandangi selembar kertas karton besar yang bertuliskan sesuat. Di dekat Pak Sokib ada sebuah tangga dari kayu. Berkali-kali Pak Sokib memandang ke dinding, lalu ke kertas karton yang dipegangnya.”Pak Sokib kenapa kok bingung gitu?” tanya Melani.

“Eh, Non Melani. Iya Non, saya memang sedang bingung sekarang.” Pak Sokib tersenyum ramah pada Melani.

“Emangnya ada apa sih, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?” Melani menawarkan bantuan.

“Ini lho, Non. Tadi saya disuruh buat nempelin ini ke dinding yang di atas itu. Tapi berhubung saya ini takut ketinggian, saya jadi bingung ini gimana cara masangnya? Terus kalau saya nggak masang ini, nanti saya dimarahin?” Pak Sokib serba salah.

Melani berpikir sambil memandangi tangga kayu yang ada di dekatnya. Sebuah pikiran yang bijak terlintas di pikirannya,”Nggg…coba sini Pak, kertasnya!”

“Ini Non!” Pak Sokib memberikan kertas karton pada Melani.

Melani memandang kertas karton itu yang bertuliskan sebuah poster kebersihan,”Kalau gitu, biar saya saja deh Pak, yang pasang ini.”

“Non Melani serius?”

“Iya.”

“Tapi apa nggak ngerepotin?”

“Ah, nggak kok, Pak. Saya ini udah terbiasa manjat-manjat begini. Pak Sokib di bawah aja, bantuin saya ambilin paku sama palunya!”

Pak Sokib tersenyum lebar,”Aduh, terima kasih banyak ya, Non?! Saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana tadi, kalau nggak ada Non.”

“Iya, Pak. Nggak apa-apa. Saya senang kok, bisa bantuin Pak Sokib.” Melani berkata dengan tulus,”Ya udah, saya naik ke atas dulu ya, Pak?!

Pak Sokib tolong pegang kertasnya!” Melani menyerahkan kertas karton pada Pak Sokib.

Pak Sokib mengangguk-angguk,”Iya, Non. Iya. Terima kasih ya, Non!”

Melani meletakkan tas dan bukunya ke lantai, lalu dengan perlahan dia menaiki satu persatu anak tangga sambil berpegangan.

“Hati-hati ya, Non!” Pak Sokib cemas.

“Iya, Pak. Tenang aja!” Melani sudah berdiri di anak tangga paling atas yang kira-kira berjarak 2,5 meter-an dari lantai,”Pak, mana kertasnya?” Melani mengulurkan tangan ke bawah.

“Ini, Non!” Pak Sokib menyerahkan kertas karton ke atas ke tempat Melani.

Melani menempelkan karton itu di dinding dan untuk beberapa detik sempat mengamatinya, apakah sudah bagus apa belum,”Kayaknya udah pas, nih?! Pak, mana paku sama palunya?” Melani memasang paku satu per satu di tiap sudut karton dengan palu. Sedangkan Pak Sokib di bawah tampak khawatir kalau sampai terjadi sesuatu dengan Melani.

“Sudah apa belum, Non?” tanya Pak Sokib.

“Iya, Pak. Ini bentar lagi selesai.”

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!