NovelToon NovelToon

Nyawa Di Senapan, Cinta Di Hatimu

1. Buruk dari yang terburuk.

"Siap.. terima kasih" jawab Lettu senior itu.

"Makin hitam saja kamu San baru pulang dari tugas" ledek Dan Zaldi pada seorang anak buahnya yang baru di pindahkan dari kesatuan lama ke dalam kesatuan markas di bawah kepemimpinan nya.

Nama Tohpati Sanca Trengginas sudah santer terdengar karena pria tersebut berdarah dingin, jarang tersenyum dan selama ini jarang ada yang berani berdebat dengannya kecuali Letda Ibra, adik asuh Lettu Sanca.

"Siap.. pria jantan tidak takut hitam komandan..!!!" jawab Lettu Sanca dengan tegas.

Dan Zaldi punya penilaian sendiri terhadap pria di hadapannya itu.

dddrrtt... dddrrtt... ddrrrtttt....

"Ijin meninggalkan tempat komandan..!" pamit Lettu Sanca.

"Yaa.. silakan.." jawab Dan Zaldi lalu mengangkat panggilan teleponnya.

"Papaaaaaa..."

"Astagfirullah hal adzim.. Apa Fia???? Kenapa kencang sekali bicaranya?? tanpa salam. Nggak sopan..!!!" tegur Papa Zaldi sambil menjauhkan ponselnya, telinganya sampai berdengung karena ulah putrinya.

"Minta uang satu juta lima ratus pa..!! Mama nggak kasih" jawab Fia.

"Mau buat apa Fia????" tanya Papa Zaldi.

"Papa Mama nih seperti nggak pernah muda aja"

"Kamu masih anak-anak. Nggak usah macam-macam. Uang saku yang papa kasih pasti cukup untuk jajan kamu satu bulan" tolak Papa Zaldi.

"Fia sudah kuliah pa, malah semester dua" jawab Fia.

"Semester boleh dua. Tapi umur masih tujuh belas. Tetap anak-anak, jadi jangan coba cari akan untuk ngerjain papa" kata Papa Zaldi dengan tegas.

"Kamu jangan bikin papa ribut sama mama ya. Meskipun papa ada uang tapi papa nggak bisa keluarkan uang untuk hal nggak jelas"

"Aaaahh.. papa nggak asyik..!! Takut sama istri" Zafia menutup panggilan telepon dengan bersungut-sungut.

"Astagfirullah.. inilah hasil akhir hamil anak mahal. Mamanya pun macam preman pasar" gumam Papa Zaldi mengelus dada.

"Tiap hari mamanya ngajak gelud. Jadilah si Neng Popon"

-_-_-_-_-_-

"Papaku nggak kasih Bang" kata Arnes pada Bang Dafa.

"Abang butuh sekali dek. Buat orang tua yang lagi sakit di kampung" kata Bang Dafa.

"Nanti cepat Abang kembalikan"

"Hmm.. Abang pakai cincin Fia aja. Abang jual buat ibu bapak" Fia melepas cincin pemberian Bang Ryan saat dirinya berulang tahun ke enam belas tahun lalu. Sekarang Abangnya itu masih masa pendidikan, sedangkan Bang Ibra baru saja lulus pendidikan dan penempatan pertama dalam markas naungan sang papa.

"Fia tinggal dulu ya Bang. Kalau lama di luar.. papa bisa marah"

"Terima kasih banyak sayang..!!" Bang Dafa mengecup pipi Fia.

...

"Heeiiii.. heii..heiii... Siapa kamu beraninya masuk area lapangan tembak..!! Keluar sekarang juga..!!!!" bentak Lettu Sanca.

"Ini lokasi yang berbahaya untuk orang awam"

"Sebentar Om. Fia cuma mau lihat senapannya"

"Jangan sentuh...!!!! Anak siapa kamu ini?? Ini bahaya..!!!" kata Lettu Sanca sekali lagi.

Fia yang merasa tidak di dengar menjadi sangat kesal. Baru kali ini ada pria yang berani membentaknya. Ia mengambil pistol saat pria berpangkat Lettu di hadapannya sedang menegur beberapa anggota yang masih tersisa di lapangan tembak. Fia mengarahkan pistol itu di belakang kepala pria itu. Para anggota terbelalak kaget tak terkecuali Lettu Sanca yang baru saja menoleh ke belakang dan melihat sebuah pistol menodong dirinya tepat di depan mata.

"Astaga.. kucing sial..!!!" Lettu Sanca secepatnya memutar pergelangan tangan Fia lalu sedikit menepak tangan gadis kecil itu hingga pistol terjatuh.

Lettu Sanca segera mengambil HT di saku bahunya lalu menghubungi jajaran staff untuk menutup akses keluar masuk Batalyon.

"Siapa yang berani membiarkan orang luar masuk area militer??????" tegur keras Lettu Sanca sambil setengah mendekap Fia yang meronta tak karuan.

Belum sampai terjawab pertanyaan itu, DanPom Batalyon itu sudah terjegal dan terpelanting. HT nya pun sampai terlempar dari tangan.

"Kamuuuuuu....!!!!!!" Lettu Sanca sangat jengkel dengan ulah gadis barbar di hadapannya tapi tak mungkin baginya untuk membalas seorang wanita.

Pinggang Lettu Sanca rasanya terkilir, ia ingin bangkit tapi kakinya pun juga terkilir. Sekuatnya ia bangun untuk menghindari bocah tengil itu.

"Heeeeehh.. mau apa kamu????" Lettu Sanca berusaha menghindar tapi refleks kakinya yang tak sengaja berganti menjegal Fia.

"Astagaaaaaaaa.... Aaarrrrgggghh.. Ajuuuuurr..!!!!!"

...

"Kenapa kamu bisa sampai lapangan tembak????" Papa Zaldi benar-benar menegur putrinya yang bak seorang preman dengan keras.

"Cari papa" jawab Fia pelan.

"Kamu khan tau dimana ruangan Papa, kenapa jalan sampai sana?? Bikin onar saja"

"Gimana San? Sudah baikan?" Pak Zaldi merasa sangat bersalah, tak tau saat ini harus tertawa atau sedih tapi putrinya memang sudah berbuat ulah sampai tak sengaja lututnya menindih bagian kebanggaan seorang pria.

"Siap sudah..!!" jawabnya membual masih memercing menahan sakit karena tak mungkin baginya ribut masalah seperti ini.

"Minum lagi San..!!! Pusing???" Pak Zaldi memberikan sebotol air minum pada Lettu Sanca.

"Atas nama putri saya Zafia dan secara pribadi, saya minta maaf sudah membuat kegaduhan seperti ini"

"Siap Komandan.. tidak apa-apa" jawabnya pasrah.

"Fia.. minta maaf sama Bang Sanca..!!" kata Papa Zaldi.

"Iiihh.. ogaahh.. Omnya duluan pa yang marah-marah. Tau rasa..!!!!" ucap ketus Fia.

"Ya Allah Fiaaaa..!!!" Papa Zaldi sampai harus membentak putrinya.

Mata Zafia langsung memerah. Air matanya langsung menetes, belakangan ini papanya sering sekali membentaknya. Hatinya terasa begitu sakit.

"Maaf om.. Fia salah" setelah mengucapkan itu, Fia berlari pulang.

"Iya mbak" jawab Lettu Sanca tak punya pilihan lain selain menjawabnya.

Dan Zaldi langsung terduduk lemas.

"Maaf San. Sebenarnya dia gadis yang baik. Hanya saja belakangan ini kelakuannya membuat saya benar-benar cemas" entah kenapa Pak Zaldi bisa sampai mengungkapkan rasa cemasnya pada anak buahnya.

"Saat hamil Fia, mamanya sering sekali menangis. Itu yang membuat saya hampir tidak pernah memarahinya"

"Siap Dan..!!" Lettu Sanca hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Tak ingin tau lebih jauh tentang urusan rumah tangga Komandannya tapi sekarang yang ia tau adalah Zafia adalah adik dari Letda Ibrani.. adik asuhnya selama masa pendidikan dulu.

"Oiya.. kalau kamu masih belum sehat biar Ibra mengantarmu ke rumah sakit" kata Dan Zaldi.

"Waahh.. nggak perlu Dan..!! Gengsi lah saya bilangnya. Masa saya mau bilang tertindih lutut seorang gadis" ucap jujur Lettu Sanca membuat Dan Zaldi ikut tersenyum tapi juga ikut bingung.

"Ikut berduka cita saya San. Ikut ngilu.. mudah-mudahan nggak lama ya mabuknya"

"Siap Dan.."

...

"Bang.. tak bawain martabak..!!" Bang Ibra membawakan Bang Sanca martabak sebagai permintaan maaf atas kelakuan adik perempuan satu-satunya.

"Abang nggak apa-apa. Ini kamu bawain Abang tulus minta maaf atau ijin mau ketemu betina di luar?" tanya Bang Sanca.

"Sekalian minta ijin lah Bang" jawab Bang Ibra jujur.

"Ya sudah sana. Nanti Abang yang cover. Tapi jangan larut malam kembalinya. Ingat yang selalu Abang bilang. Boleh lah kita sedikit bersenang-senang sama perempuan. Tapi.........."

"Jangan nyolek sampai nyicil beban negara pada perempuan. Kita terlahir dari seorang Ibu. Jadi jaga perasaan ibu dari anak kita nanti" jawab Bang Ibra selalu mengingat perkataan Abang asuhnya itu.

"Bagus..!! Pajak rokok ya..!!" pinta Bang Sanca.

"Siap.. pajak lancar Abaaang..!!!!!"

.

.

.

.

2. Pertengkaran.

Bang Sanca mencoba menghubungi Rhea. kekasihnya, tapi puluhan panggilan telepon tak ada satupun yang di balasnya.

Kemana dia? Apa dia sakit?

Sampai tengah malam tiba tak kunjung ada jawaban dari Rhea. Bang Sanca hanya menyantap martabak dan bermain game untuk mengalihkan perhatiannya hingga tertidur.

...

Hari menjelang pagi. Sudah ada empat bungkus rokok di nakasnya. Berarti Ibra sempat masuk dan ia tidak menyadarinya. Bang Sanca memilih bangun dan sholat tahajud.

:

Usai sholat ia melihat berkas pengajuan nikahnya. Semakin dekat dengan hari pernikahan itu.. tapi komunikasinya dengan Rhea malah semakin buruk.

"Kenapa kamu semakin tidak peduli dengan hubungan kita sayang" gumamnya pelan.

***

Usai pulang kerja, Bang Sanca langsung mendatangi tempat kerja Rhea di kampus perihal pesan singkatnya untuk mengakhiri hubungan di antara mereka.

"Apa ada alasan yang bisa membuat Abang lebih mengerti?? Kalau Abang ada salah cepat katakan agar Abang bisa memperbaiki kesalahan itu." kata Bang Sanca.

"Aku hamil Bang..!! Abang bisa terima kenyataan itu" jawab Rhea sambil menangis.

"Astagfirullah hal adzim Rhea.. sama siapa kamu melakukannya?? Tujuh tahun Abang menjagamu. Itu bukan waktu yang sebentar dan kamu malah berbuat seperti itu dengan laki-laki lain????"

"Aku nggak sengaja Bang? Aku benar-benar khilaf dan sekarang Bang Dafa sulit kuhubungi"

"Abang tanya sekali lagi..!! Siapa yang melakukannya??????" tangan Bang Sanca sudah mengepal kuat menahan emosi.

"Kalau dia nggak mau bertanggung jawab biar Abang yang lakukan..!!!"

"Bang Dafa litting Abang"

Bang Sanca terduduk lemas. Dafa adalah sahabat baiknya. Susah senang mereka tanggung bersama tapi kini Dafa mengambil wanita yang begitu ia cintai.

"Abang nggak nyangka kamu setega ini sama Abang" Bang Sanca ingin berteriak dan menghajar apapun yang ada di sekitarnya. Emosinya sudah meluap bagai bara gunung berapi yang siang menghamburkan lahar panasnya.

"Sudah berapa bulan?"

"Dua bulan Bang" jawab Rhea.

Bang Sanca mengingat saat itu ia sedang berada di China untuk latihan uji ketangkasan dan saat itu juga dirinya meminta Dafa untuk mengantarkan Rhea keluar kota untuk acara tugas kampus.

"Jawab jujur, apa sebelumya kamu pernah melakukannya di belakang Abang" tanya Bang Sanca.

Rhea mengangguk takut.

"Ya Allah Rhea.. kenapa?? Kenapa bisa sampai seperti ini?? Apa selama ini Abang kurang memberimu rasa sayang? Apa Abang tidak menuruti apa yang kamu mau??" Hati Bang Sanca sudah terlalu sakit, hatinya benar-benar terpukul.

"Sekarang kita pergi ke rumah orang tuamu..!! Kita nikah..!!!!"

"Maafin aku Bang. Sudah.. Abang jangan begini lagi. Ini salahku. Ini karmaku sudah mengkhianati laki-laki sebaik Abang. Biar semua ini kutanggung sendiri"

"Sampai kapan?? perutmu akan semakin besar" tanya Bang Sanca.

"Tolong hargai keputusanku Bang..!!!" pinta Rhea.

Mendengar itu rasanya Bang Sanca tidak kuat lagi, ia pergi meninggalkan Rhea.

***

Apel pagi di laksanakan. Tak ada Lettu Sanca sebagai pimpinan apel pagi hingga Lettu Dafa yang harus mengambil alih.

Ibra merasa aneh karena tidak biasanya Abangnya itu tidak kembali ke mess.

Masih merenung saat usai apel pagi. Ada sebuah mobil patroli militer yang mengantar Bang Sanca ke Batalyon dan mereka menegur keras sikap Lettu Sanca yang mabuk dan membuat keributan dengan warga sipil.

"Ya Tuhan.. ada masalah apa dia ini?? Cepat sadarkan dia..!!!" perintah Dan Zaldi pada Dafa dan Ibra.

...

Bang Sanca masih diam seribu bahasa saat Dan Zaldi menegurnya.

"Saya mati pun tidak ada lagi yang mencemaskan saya" jawabnya akhirnya bersuara.

"Kamu nggak ingat orang tuamu? Ingatlah Tuhanmu le" tanya Dan Zaldi.

Mata Bang Sanca sudah mulai menggenang.

"Tumpahkan semuanya sampai hatimu lega. Kita pria juga butuh melepas air mata. Tidak apa.. itu tidak hina"

Tak lama tangis itu tumpah juga.

"Mohon ijin Dan.. tolong cancel berkas pernikahan saya dengan calon istri dan.. tolong naikan nama Dafa disana. Sebelumnya.. terima kasih banyak Komandan"

"Ya Allah San.. yang sabar ya..! Jodoh maut dan rejeki hanya milik Allah" kata Dan Zaldi mengusap punggung Bang Sanca.

"Siap Komandan..!!"

"Papaaa.. Fia mau pergi..!!" ucapnya menyimpan wajah ayu dan bahagia.

"Kemana? di antar Bang Ibra saja ya..!!"

"Fia sudah besar lho pa. Fia mau jalan sama Bang Dafa. Boleh khan?" tanya Zafia.

Seketika Bang Sanca menatap tajam wajah Fia.

"Jauhi pria itu..!!" ucapnya mendahului garangnya sang papa.

"Bang Sanca sudah mewakili papa. Nggak usah pergi ya ndhuk" kata Papa Zaldi hati-hati karena tidak ingin mengecewakan putri kesayangan satu-satunya.

"Papa nggak suka Bang Dafa ya?" tanya Fia.

"Nanti kita bicarakan. Papa masih ada tamu"

Zafia pun pergi meninggalkan Papa Zaldi dan Bang Sanca. Mereka saling melirik tapi tetap tatapan Zafia sudah setajam parang yang baru saja di asah. Belum puas dengan itu, Fia masih sempat menginjak kaki Bang Sanca dengan kuat sambil menjulurkan lidahnya. Pria itu hanya bisa memercing tanpa melawan demi menghormati sang komandan.

"Fiaaaa..!!"

Zafia langsung pergi tanpa menoleh lagi.

"Maafkan putri saya ya. Dia tidak seperti apa yang kamu lihat"

"Siaap"

Istri komandan dulu ngidam apa sampai punya anak macam Fia itu. Jangan-jangan ngidam pil mati.

...

Bruugghhh..

Bang Sanca terjungkal di samping messnya. Ia menoleh dan ternyata ada sosok gadis tengil yang menjegalnya.

"Kalau bukan perempuan sudah kuajak gelud sejak tadi" kata Bang Sanca sambil berdiri dan membersihkan dirinya.

"Kenapa Om membuat acaraku sama Bang Dafa jadi berantakan??" tanya Zafia.

"Dafa kau panggil Abang. Saya kau panggil Om. Saya sama Dafa masih tua Dafa. Apa tampang saya ini boros??"

"Kenyataannya Bang Dafa memang manis" jawab Fia.

"Manis saja tidak cukup untuk membahagiakan mu non. Pria yang sungguh mencintaimu akan menjadikanmu prioritas utamanya" kata Bang Sanca.

Fia melirik ponselnya. Ia mulai merasa janggal. Selama ini ia merasa semuanya seakan baik-baik saja, tapi harus ia akui selama ini komunikasinya dengan Bang Dafa tidak sesering itu.

"Apa yang om tau?"

"Kamu cari tau sendiri. Jangan terpengaruh ucapan orang lain..!!" Bang Sanca sudah pergi menjauh.

Zafia tersadar. Ia langsung berdiri menghadang langkah Bang Sanca.

"Tunggu om..!!!"

"Cckk.. Opo maneh sih?? Saya mau tidur. Kepala saya sakit"

"Tolong temani Fia..!!"

"Wegah, emoh, ora.. maleess..!!!" jawab Bang Sanca.

Fia langsung melompat menginjak kaki Bang Sanca lalu melompat hingga dahinya menghantam hidung Bang Sanca.

"Hwadoooooh.." pekik Bang Sanca. Hidung mancungnya sedikit mengeluarkan darah.

"Ayo ikut.. Kalau tidak satu perangkat lunak punya om itu rusak total" ancam Fia.

"Astaganagaaa.. Dosa nggak sih gadis merepotkan ini kulipat saja. Siapa lah orang dungu yang mau memperistri gadis macam dia ini" gumam Bang Sanca sambil berlalu pergi.

"Om mau kemana lagi??" tanya Fia tidak sabar. Dirinya sudah gelisah memikirkan Bang Dafa.

"Ambil kunci motor ndhuk. Kamu mau merayap mencari Dafa??"

.

.

.

.

3. Kenyataan.

"Kita mau kemana om??" tanya Fia.

"Sekali lagi panggil Om.. saya lempar kamu dari atas jembatan ini" ancam Bang Sanca sambil melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Pegangan.. badan macam kertas HVS begitu, tertiup angin, bumi pun malas menerima"

plaakk..

Tangan Fia langsung menepak helm pria yang banyak bicara itu, ia pun langsung memeluk Bang Sanca.

"Duuhh.. aseem.." umpat Bang Sanca.

Denyut jantung Bang Sanca berdetak tak karuan padahal setiap membawa Rhea, ia tidak pernah seperti ini. Jiwa lelakinya muncul di saat yang tidak tepat.

Sadaar Sanca. Jangan punya pikiran macam-macam..!! Gadis menyusahkan ini anak komandanmu.

...

"Tempat apa ini Om? Eehh Bang"

"Ini tempat nongkrong Dafa. Kamu tetap di belakang saya. Disini bahaya.." kata Bang Sanca.

Fia menurut dan berjalan di belakang Bang Sanca. Tempat itu remang-remang dan seluruhnya adalah pria.

"Weeeehh.. Sanca bawa perempuan" ledek rekannya.

"Bisa join nih"

"Jangan macam-macam. Ini calon emaknya anak-anak. Mana Dafa??" tanya Bang Sanca sambil meneguk minuman setan di hadapannya sebagai 'tanda persahabatan'.

"Ada di belakang. Lagi ribut sama calonnya"

"Pas banget. Ayo dek..!!" Bang Sanca menggandeng tangan Fia mengikuti langkah Bang Sanca.

Baru beberapa langkah berjalan, sudah terdengar suara keributan dari arah belakang tempat yang lebih mirip rumah tua.

"Abang nggak sengaja Rhea.." jawab Bang Dafa.

"Sekarang Abang punya calon. Abang sayang sekali sama dia"

"Aku nggak nuntut Bang. Aku hanya mau bilang kalau aku hamil anak Abang?" kata Rhea.

"Kamu yakin nggak itu anak Abang. Jangan-jangan kamu main sama Sanca lalu minta pertanggung jawaban Abang"

Bang Sanca begitu geram mendengarnya tapi ternyata Rhea menanganinya lebih dulu.

plaaaakk..

"Aku memang salah Bang. Tapi aku hanya melakukannya sama Abang. Kalau Abang nggak mau anak ini.. ya sudah, aku pun bisa membesarkan dia tanpa Abang" jawab Rhea.

"Abang minta maaf Rhea. Abang hanya masih syok mendengar kenyataan ini. Abang sudah punya kekasih." ucap Bang Dafa kebingungan.

"Mereka bicara apa sih Bang?" bisik Dia di balik punggung Bang Sanca saat mereka berdua menguping pembicaraan Bang Dafa dan Rhea di balik pintu.

Kini hati Bang Sanca menjadi lebih sakit. Gadis barbar ini ternyata begitu polos. Ia jadi tidak tega menceritakan yang sebenarnya terjadi.

"Kamu kesana dan tanyakan sendiri apa yang terjadi" kata Bang Sanca. Fia menatap mata Bang Sanca dengan ragu.

"Tanyakan, biar hatimu tenang. Abang di belakangmu"

Fia melangkah ingin menanyakan kepastian pada Bang Dafa.

"Bang Dafa..!!"

"Fia?? Sama siapa kamu kesini? Tau tempat ini dari siapa??" tanya Bang Dafa terkejut melihat kedatangan Fia disana.

"Fia datang bersamaku" sahut Bang Sanca.

"Sanca.. kamu kenal Fia???"

"Dia siapa Bang?" tanya Fia tidak sabar mendapat penjelasan dari Bang Dafa.

Mulut Dafa rasanya ingin terkunci dan menyimpan semuanya tapi saat ini pasti Sanca sudah tau musibah ini, terlihat dari sorot matanya yang tajam dan penuh amarah.

"Dia Rhea. Calon istri Abang" jawab jujur Bang Dafa.

"Calon istri Bang??" tangis Fia langsung meleleh tapi dengan tegar ia langsung menghapusnya.

"Iya dek. Maafin Abang. Abang sungguh khilaf, tidak sengaja menghamili Rhea." Bang Dafa mencoba meraih tangan Fia tapi gadis itu menepisnya. Rhea pun menunduk merasa malu dan sedih sampai terjadi hal seperti ini.

"Abang nggak perlu minta maaf. Memang sudah seharusnya Fia yang sadar diri untuk tidak berharap terlalu tinggi. Usia Abang sudah dua puluh delapan tahun, sedangkan Fia baru tujuh belas tahun. Fia menyadari kekurangan Fia yang tidak bisa mengimbangi jalan pikiran Abang. Apalah Fia ini yang masih manja dalam pelukan Papa. Terima kasih atas empat tahun yang indah ini Bang. Terima kasih sudah mau menerima segala sifat kekanak-kanakan Fia yang begitu merepotkan" Fia berbalik dan berlalu pergi meninggalkan Bang Dafa dan Rhea.

Bang Sanca mengikuti langkah Fia, hanya tatapannya saja penuh ancaman mematikan pada Bang Dafa.

...

"Tempat apa itu, bau bet***ne" gumam Fia sibuk sendiri menghindari pandangan mata Bang Sanca yang terus menatapnya.

"Tempat kami para pria meluapkan kebodohan, mabuk..!!" jawab jujur Bang Sanca. Bisa-bisanya gadis itu menyamakan bau minuman keras dengan bau obat luka.

Fia mengeluarkan selembar uang kertas berwarna merah.

"Bisa minta tolong belikan Fia f***a? Fia juga pengen mabuk" ucapnya.

"Simpan saja uangmu itu. Dompet Abang jauh lebih tebal" jawab Bang Sanca lalu membelikan minuman pesanan Fia. Gadis barbar itu begitu menarik perhatian Bang Sanca.

Setelah minuman itu datang, Fia segera menghabiskannya. Matanya memerah menahan hujan yang akan turun.

"Apa faedahnya menahan tangis? Apa ingin wajahmu terlihat semakin jelek?" Bang Sanca sengaja meledek agar Fia tidak jadi menangis tapi ternyata ucapannya itu malah membuat gadis itu menangis.

"Fia memang jelek, pendek nggak seksi seperti perempuan itu. Puas Abang dengarnya???" Fia menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan.

Bang Sanca bingung harus bagaimana, selama ini ia asal menyentuh Rhea karena mantan kekasihnya itu tidak 'tertutup' tapi kini ia berhadapan dengan wanita yang menutup dirinya. Ada rasa cemas, was-was dan hati-hati. Bukan ia takut pada orang tua Fia, tapi ia lebih takut berhadapan dengan wanita yang berusaha menjaga dirinya.

"Butuh bahu Abang atau tidak?" tanya Bang Sanca hati-hati.

Fia langsung memeluk lengan Bang Sanca dan menangis sekuatnya.

"Fia ikhlas, tak mungkin ada pria yang benar-benar tulus menyukai anak-anak sepertiku. Fia yang salah karena terus berharap, bahkan Fia ikhlas memberi seluruh uang dari Papa Fia untuk membantu keluarga Bang Dafa, tapi hati ini sakit sekali Bang. Apa Fia jahat kalau mengingat hal itu? Apa Fia terlalu tamak?"

"Nggak dek, itu wajar. Kamu wanita yang hebat. Sudah jangan menangis lagi..!! Sayang air matamu. Lupakan rasa sakit itu"

Karena terlalu sedih, Fia sampai tak sadarkan diri.

"Fia.. dek..!!!!" Bang Sanca menepuk pipi Fia berkali-kali

"Duuhh.. mati aku, piye iki anake uwong"

Bang Sanca pun merebahkan Fia di atas rerumputan karena mereka sedang berada di atas bukit menatap hamparan lampu warna warni di malam hari.

"Bangun dek, Abang bisa di gampar papamu kalau kamu sampai ada apa-apa"

Setelah beberapa lama akhirnya Fia sadar juga.

"Alhamdulillah.. cepat bangun..!! Jangan bikin repot Abang..!!" kata Bang Sanca masih cemas.

"Ternyata tidak ada yang selembut Bang Dafa" ucap Fia lirih. Agaknya ia masih mengingat kebersamaannya dengan Dafa.

"Ya Tuhan. Jangan ingat dia lagi kenapa sih?? Tangisanmu nggak akan buat perut Rhea jadi kempes dan nggak akan merubah kenyataan kalau Dafa sudah menghamili wanita lain" Bang Sanca jadi tidak tega melihat keadaan Fia saat ini.

"Hamili Fia aja Bang..!! Fia pengen balas Bang Dafa" pinta Fia sambil menggoyang lengan Bang Sanca.

"Jangan macam-macam kamu ya. Sekali Abang sembur.. sembilan bulan mabuk terus kamu nanti. Ngomong kok ora di ayak, ngawur..!!!!"

"Abang berani nggak??" tanya Fia.

"Kamu ini nanya apa nantang????"

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!