NovelToon NovelToon

Anak Genius : Wanita Tanpa Pria

Prolog : Me vs Mom

...PROLOG...

"Kalau begitu, aku pamit " Taka mengantar Yuko dan pergi menaiki taksi yang sama untuk mengantarnya pulang dari rumah sakit.

Taka pulang dengan tangan kosong, tak ada nomor ponsel dan tak ada jawaban pula atas pernyataan cintanya pada Yuko. Taka bahkan telah membuat Yuko celaka atas perbuatannya. Taka harus puas menerima kenyataan bahwa cintanya di tolak mentah-mentah. Rasanya benar benar menyakitkan.

"Tunggu! "

Taka berhenti langsung menoleh mendengar Yuko memanggil,  "Ada apa? "

"…….. " Yuko masih ragu ragu menyampaikan maksud dan tujuannya. 

"Bisakah kau mampir sebentar di sini? " Ajak Yuko malu malu

Yuko tampak kesulitan membuka kunci gembok gerbang rumahnya dengan satu tangan masih dibungkus arm sling (penyangga tangan) . Berawal dari gembok yang terbuka, Taka perlahan mulai membuka pintu hati Yuko secara terselubung.

"Yuko, bolehkah aku bertemu denganmu lagi?"

"Tentu saja, jika perlu masuklah dulu ke dalam..." Wajahnya memerah, Yuko mengakui bahwa pria ini sangat tampan jika sedang tersenyum. Kini, dia mulai tergoda untuk menjadikan Taka sebagai target laki laki yang akan dia kencani selanjutnya.

Mereka masuk dan bercengkrama di dalam rumah Yuko yang luasnya tidak seberapa. Taka senang, setelah susah payah mengejar-ngejar gadis pujaannya --sampai tertabrak sepeda motor--akhirnya Taka diizinkan untuk bisa lebih mengenalnya.

"Taka, " Yuko mulai memberanikan diri memanggil --nama panggilan-- pria itu saat itu sedang duduk sendirian di ruang tamu, sementara Yuko berada di dalam kamar.

"Ada apa?" sahut Taka pelan melongok ke sumber suara.

"Kemari, masuklah ! " Panggil Yuko lagi, membiarkan pintu kamarnya terbuka agar Taka bisa masuk dengan leluasa.

"Bisakah kau kuncir rambutku? Aku kesulitan melakukan, " Dengan satu tangan terkilir, mana mungkin Yuko bisa mengikat rambut sendiri. Rambut panjangnya membuat dia kegerahan.

" Tentu saja. " Taka mengambil ikat rambut dari tangan Yuko yang masih sehat. Dengan terampil, Taka mulai menyibak rambut Yuko dan mulai menguncir sebisanya. Jantung Taka berdegup kencang tatkala melirik leher Yuko yang putih mulus dengan rambut rambut halus yang membuatnya terkesima.

Yuko tahu ada yang tidak beres dengan raut wajah Taka saat itu. Dia malah melempar senyum pada Taka. Taka gugup tapi mulai memberanikan diri untuk mendekatkan wajah. Yuko memberikan sinyal agar Taka tidak perlu ragu ragu jika ingin mencium. Lampu hijau telah menyala, dalam waktu singkat mereka benar benar melakukannya.

"Aku juga tidak keberatan jika kau mau membuka gaunku......" bisik Yuko menggoda.

...BAB 1...

...ME VS MOM...

Delapan Tahun Kemudian.....

"Apa kau sudah tidak menghargai aku sebagai ibumu lagi?!"

"JAWAB!! "

Ibu murka sehabis merobek - robek selembar flyer --hingga ke bagian terkecil-- di depan mukaku. Ibu yang ku kenal baik, lemah lembut bak malaikat -- meski kadang cerewet-- kini berubah menjadi sosok yang sangat menakutkan bagai iblis betina.

Selama tujuh tahun aku terlahir ke dunia, marahnya ibu kali ini adalah yang paling paling. Sebab bukan tanpa alasan, untuk pertama kalinya, ibu merasakan aku tidak bisa menjadi anak yang sesuai dengan ekspektasinya.

"Tidak ada lagi game online! " Tegasnya, sambil menunjuk nunjuk wajahku yang sudah sangat ketakutan.

"Ibu lebih senang kau ikut lomba balet dibandingkan ikut turnamen sampah! " Gertaknya kemudian.

Aku tahu dia masih sangat lelah setelah pulang bekerja. Dalam sehari ibu pergi bekerja siang dan malam kadang pulang menjelang pagi, jadi aku bisa sangat memaklumi tatkala kata kata yang keluar dari mulutnya sangat menusuk hati sanubari ku.

"Ibu! Jangan usik kesenanganku!" Bentak aku, aku pun sudah mulai berani meninggikan nada suaraku pada ibu. Ibu tidak menyangka bahwa aku sekarang sudah bisa membantah petuahnya.

"Ini pasti karena Toru! " Tuduh Ibu sambil melipat kedua tangannya di bawah dada. Dia menyalahkan Toru, bahwa anak seusiaku tidak mungkin berani membentak orang tua jikalau tak ada orang yang mempengaruhi. Dari awal, ibu memang tidak suka aku berteman dengan remaja itu.

"Dia pasti yang telah mengajarimu bicara tidak sopan padaku! "

Toru adalah tetanggaku, usianya tujuh tahun lebih tua dariku, berhenti sekolah namun sukses menjadi seorang hacker bayaran. Harus ku akui, Toru memang yang pertama kali mengajariku seluk beluk komputer, dia pun berhenti sekolah karena lebih tertarik pada dunia digital dan jaringan. Segala hal tentang dunia komputer yang dikenalkan padaku nyatanya membuatku susah berpaling lagi. Aku suka komputer, internet, jaringan, aplikasi, gamming, dan segala yang berhubungan dengan itu.

Namun, ada hal yang harus ibu ketahui, aku membentak bukan karena pengaruh Toru. Ini murni karena aku merasa sudah kesal karena kata kata ibu.

" Lebih baik aku putus sekolah dibanding putus cita citaku! " Sahutku dongkol.

"Jaga bicaramu! "

"Bu, Toru bisa menghasilkan uang banyak karena hobinya. Kenapa aku tidak bisa? Bukankah ini bagus untuk menambah penghasilan keluarga? "

"Sejujurnya aku tahu ibu kesulitan untuk membiayai hidup kita sehari-hari bukan?"

"Ibu hanya----"

"Persetan! Kelak saat kau dewasa, piagam piagam dan piala piala yang kau kumpulkan itu tak akan berguna selain ijazah sekolahmu ! " Sanggah ibu saat aku belum selesai bicara. Dia selalu saja menganggap seakan akan semua ucapaku hanya sebuah angin lalu yang tak akan sedikit pun menggoyahkan pendiriannya.

"Kau masih terlalu anak anak untuk merasakan kesusahan orang dewasa, tugasmu hanya belajar dan sekolah agar kelak menjadi orang dewasa yang berguna! "

Tanpa belajar dan sekolah aku sudah ditakdirkan oleh Tuhan agar bisa berpikir dua kali lebih logis dari anak seusiaku pada umumnya. Itu karena, hidup yang ku jalani memaksaku untuk bersikap dewasa sebelum waktunya.

"Sudah berapa kau bolos sekolah?! "

Aku tahu sebagai ibu tunggal yang membesarkan aku seorang diri, dia kecewa mengetahui aku sudah beberapa kali bolos sekolah demi mengikuti kejuaraan bersama Toru. Hari ini pun sama, ibu memergoki ku bolos untuk kesekian kali dan aku tertangkap basah sedang bermain game dengan Toru lalu ibu mengusirnya dari kamarku.

"I-i-tu.... " Aku gemetaran, ibu melotot seakan matanya akan keluar saat itu juga. Aku tidak menyangka wali kelasku menelpon ibu memberikan kabar yang sudah membuatnya terguncang.

Sebenarnya-- selama bolos sekolah karena ikut kejuaraan-- nilai nilai sekolah tidak ada yang terganggu sama sekali. Selain mata pelajaran olahraga, nilai mata pelajaran ku yang lain sudah jauh mencukupi standar kelulusan.

Aku tergolong murid cerdas di sekolah, bahkan aku sedang menyelesaikan program akselerasi--jika berhasil-- aku akan diterima menjadi siswa SMP lebih cepat. Tidak peduli umurku masih jauh dari batas minimal usia penerimaan siswa.

Aku tidak tahu bahwasanya tingkat kehadiranku di sekolah pun mempengaruhi nilai raporku. Tercatat sudah sepuluh hari aku absen tanpa keterangan.

"Maafkan aku ibu,"

"Aku hanya tidak nyaman di sekolah. "

Maafkan aku ibu, aku harus jujur mengenai hal itu sekarang juga.

Teman - teman mengejekku karena tidak punya ayah, sedangkan ibu sudah berkali - kali punya pacar. Aku malu, sampai orang tua teman temanku pun bahkan ikut membicarakan ibuku. Dari yang hanya berupa sindiran halus hingga --merujuk pada kata kata yang tidak pantas--melecehkan ibu.

Pe-la-cur

Tentu saja itu membuat mental ku terguncang hebat. Dengan tubuhku yang sekecil ini, aku tentu tidak bisa menang berkelahi menandingi mereka yang sudah membuat aku sakit hati.

"Aku tidak mau pergi ke sekolah lagi, " Sambung aku sambil menangis memunguti sobekan sobekan kertas yang berserakan.

"Apa katamu?! " Ibu mendelik tajam. Untung saja ibu tidak memiliki niat untuk memukuliku seperti yang dilakukan mendiang ayah Toru ketika marah.

"Ibu?"

Ibu bungkam, kurasa ibu tahu kenapa aku bisa berkata yang demikian. Aku tahu ibu pun pasti pernah mendapatkan perlakuan yang sama dari orang orang sekitarnya.

"Apa ibu tidak punya sedikit pun sepeninggalan ayah untukku? " Tanyaku lagi. Ibu hampir saja segera pergi karena sudah kehabisan kata kata.

"Aku ingin tahu siapa ayahku, meski hanya bisa mengenangnya melalui foto atau benda benda peninggalannya" Langkahnya, berhenti ketika aku lagi lagi menyinggung siapa ayahku.

"Tidak! " Jawab ibu cepat. "Aku tidak punya"

"Ayahmu meninggal tanpa memberikan peninggalan apa apa" Pungkasnya.

" Bohong! " Aku hafal bagaimana gelagat ibu saat ketika sedang berbohong, matanya menatap ke arah lain. Ini sudah terjadi berulang ulang kali sampai aku jenuh sendiri mendengarnya.

Mana mungkin ayahku mati lalu menghilang begitu saja. Tanpa pusara atau tanda tanda lain yang bisa dijadikan bukti bahwa aku juga terlahir karena bantuan seorang pria. Sanak keluarga dari ayah pun aku tidak tahu dimana rimbanya.

"Kecuali jika ayahku ternyata seorang dewa, mungkin aku akan percaya! " Sindir ku tajam.

"Kau masih anak anak Riota, jadi berhentilah mendengar apapun yang tidak berguna! "

"Pokoknya! Kau harus tetap melanjutkan sekolahmu Riota! Tidak peduli kau naik kelas atau tidak! "

Ultimatum apapun yang ibu lontarkan sudah tidak berguna. Aku tahu ibu tidak akan mengijinkan aku ikut turnamen --walaupun mendapat penolakan--setidaknya aku sudah bilang di awal, sehingga ibu tahu aku kabur dari rumah karena alasan itu.

***

"Riota, kau yakin ibumu tidak akan menuntut ku karena telah membawa lari anak bocah sepertimu? " Toru terus saja mengoceh selama perjalanan menuju Tokyo. Kami berhasil kabur dari rumah. Tidak, hanya aku yang kabur dari rumah. Toru sudah meminta izin pada kakeknya yang sudah agak pikun.

"Tentu saja tidak. . " Jawabku santai.

Bagaimana kau bisa yakin? Jika itu terjadi, identitas asliku sebagai perentas pasti akan tersebar luas. Habislah aku!" Ocehan Toru sangat menganggu konsentrasi ku bermain game.

"Ibuku tak akan mampu menyewa pengacara" jawabku lagi asal - asalan.

"Tentu saja! Kau benar! "

"Kalian kan miskin, aku lega mendengarnya, fiiiiiuuuuuh. "

Aku dan Toru berangkat ke kota naik bus malam yang tiketnya sudah kami pesan dari jauh jauh hari dengan harga murah. Uang untuk beli tiket berasal dari tabunganku yang ku kumpulkan dari sisa uang saku dan hadiah hadiah perlombaan.

Toru pun ikut memberikan sumbangan meski tak banyak, setidaknya dia yang akan menuntunku menunjukkan jalan menuju tempat turnamen yang akan di adakan dua hari lagi.

Kami tiba di Tokyo tengah malam. Saking semangat dan antusiasnya kami, kami langsung mengunjungi lokasi turnamen sekedar untuk melakukan survei lokasi. Tidak peduli sekarang sedang memasuki musim salju. Kami rela kedinginan di luar menatap takjub pada gedung tinggi di hadapan kami.

"Kau tau Riota? Konon pendiri perusahaan itu juga pernah putus sekolah demi bisa mewujudkan impiannya. " Gurau Toru tiba tiba.

"Benarkah? Bagaimana kau tahu? " Ucapan Toru barusan berhasil menarik minatku.

"Aku sempat membaca beritanya di internet"

"Kalau tidak salah namanya.... "

"Aku lupa hohoho"

"Jadi kau putus sekolah karena ingin mengikuti jejak nya?" Tanyaku lagi.

" Tidak, setelah sukses ternyata dia melanjutkan sekolahnya"

"Hei Riota, tetaplah sekolah! Jangan mengikuti jejak ku. Aku berhenti sekolah karena ayah dan ibuku sudah tidak ada. Aku tak mungkin selama lamanya mengandalkan kakekku seorang diri untuk mencari nafkah. "

"Kau beruntung, ibumu masih sangat muda. Dia masih punya semangat mencari biaya untuk sekolahmu. Kau perlu tahu, mungkin saat ini kaulah satu satunya alasan ibumu untuk bertahan hidup. "

Aku terdiam mendengar ceramah Toru yang penuh dengan irama kesedihan, meskipun hampir setiap hari Toru sering dimarahi ibuku, dia tidak pernah dendam malah menjadikannya hanya sebagai lelucon.

Ibuku pun bukan orang jahat, setiap dia punya uang berlebih, dia tidak pernah lupa mengirimi kakek Toru kebutuhan pokok atau sekedar cemilan kesukaannya. Ibuku berhutang budi pada almarhum nenek Toru yang sempat membantu merawat ku ketika bayi.

Aku yakin -- ketika ibu tahu aku telah kabur bersama Toru-- kakek Toru adalah orang pertama yang akan dia mintai keterangan. Meskipun itu mungkin agak sulit, sebab selain pikun, pendengaran kakek Toru sudah tidak bagus.

"Ya. Kau benar Toru, kelak aku akan melamar pekerjaan di tempat ini jika sudah lulus sekolah. " Aku sadar aku salah, setelah turnamen ini selesai aku berjanji akan kembali sekolah.

"Hei Riota, uang kita tidak cukup untuk sewa hotel. Kemana kita akan menginap? Aku kedinginan. " Keluh Toru, meskipun sudah pakai baju hangat yang sudah usang berlapis lapis, kami tetap saja kedinginan. Kami perlu tempat untuk bernaung.

"Tentu saja di rumah paman Takeshi, " Dari awal aku tujuanku sudah menjurus ke sana.

"Lagi?" Toru seperti tidak bersemangat ketika aku mengangguk membenarkan. "Sudah kuduga! "

***

Takeshi harus bangun pagi pagi buta demi membukakan pintu. Takeshi baru saja menyelesaikan pekerjaan pukul tiga pagi, baru satu jam tidur dia harus rela bangun lagi. "Siapa sih tamu tak tahu diri mengetuk rumah orang pagi pagi begini?! "

"Selamat pagi, Papa! " Aku memberi salam. Ya, Aku memanggil Takeshi dengan sebutan papa, dan mama pada istrinya.

"Astaga! apa yang kau lakukan pagi pagi buta begini?!" Papa kaget bukan kepalang, aku datang dalam keadaan kedinginan dan kelaparan.

"Masuklah! " Ucapnya sambil teriak membangunkan mama. Dia hampir saja menutup pintu rapat rapat jika Toru tidak segera menahan.

"Hah? kau ikut?! " Takeshi kaget ternyata aku tidak datang seorang sendiri seperti yang dia yang dia sangkakan.

"Pulanglah! "

"Kamar kami tidak cukup menampung satu orang tamu lagi! " Usir Papa pada Toru.

"T- ta- api ---" Aku berupaya mencegahnya tapi sayang Takeshi sudah menutup pintu menolak Toru untuk menginap.

Yang dilakukan papa sungguh tidak berperikemanusiaan, bahkan dia sempat tertawa di atas penderitaan orang lain.

"Yasudah ayo masuk! " Papa kembali membukakan pintu.

" Kebetulan laptop ku sedang bermasalah, tolong diperbaiki! "

"Anggap saja sebagai balas budi. " Celetuk Papa sembari menahan tawa. Bodohnya aku yang tidak tahu bahwa itu hanya candaan antara mereka berdua saja.

"Hahahahahaha" Toru tertawa keras sekali karena melihat kepolosan ku. " Bercanda mu basi, paman !"

Takeshi memang bukan ayah biologis ku, tapi keberadaannya membantuku untuk tidak serta merta kehilangan sosok ayah dari usia dini. Dia dan istiri nya--Ruri -- sudah menikah tapi belum memiliki keturunan, untuk itulah dengan senang hati mereka bersedia menjadi orang tua angkat.

Ibu sering menitipkan aku di rumah mereka apabila ada urusan di Tokyo. Papa dan Mama merawat ku meski kami tidak memiliki aliran darah. Mereka menyayangiku terlebih mama Ruri, andai saja aku boleh menetap di sini, sudah pasti aku tidak sering bertengkar dengan ibu setiap hari.

"Apa yang terjadi? "

"Kenapa Riota nekat ke Tokyo tanpa Yuko? " Ruri menginterogasi suaminya.

"Sstttt" Papa mendesis. "Pelan pelan bicaranya, mereka akan bangun mendengar kicauanmu sayang"

"Apa Riota kabur dari rumah? "Tanya mama lagi, belum bisa bicara pelan pelan.

"Tentu saja. Mereka bertengkar dan Ini penyebab" Papa menunjukkan sesuatu dari layar ponsel.

"Personal Tech? "

"Itukan...?"

"Ya, itu sebabnya Yuko barusan marah besar,"

"Aku tidak bilang bahwa Riota datang kesini, " Ungkap papa, dia paham harus berbuat apa untuk menengahi pertikaian ini.

"Dia pasti sedang mencari Riota! "

"Tidak, tenang saja. Riota bilang pada Yuko sudah tinggal di penginapan bersama Toru. "

"Kau ini! Kenapa mesti berbohong?! Kau tidak tahu perasaan seorang ibu saat akan kehilangan anaknya?" Mama terus saja meracau membuat papa pusing tujuh keliling.

"Dan kau juga tidak tahu kan bagaimana perasaan seorang ayah yang belum mengetahui keberadaan anaknya begitu pula dengan sebaliknya? " Takeshi ngotot.

"Riota dan pria itu punya hak yang sama untuk saling mengetahui siapa diri mereka masing-masing?! " Tanpa sadar, papa sudah menaikkan volume suaranya.

"Apa maksudnya? "

Aku muncul di tengah tengah mereka. Aku dan Toru sudah bangun dari tadi mendengarkan mereka berdebat sambil menyebut nyebut namaku.

"Ah Rio kau sudah---" Papa panik, begitupula mama yang tak tahu harus bicara apa.

"Siapa maksud dari pria itu papa? " Tanyaku telak, dengan mata nanar penuh harap.

***

Bukan Masuk Angin Biasa

Cerita ini menggunakan alur maju mundur di awal mula, dengan tujuan agar cerita tidak monoton.

***

Flashback kurang dari delapan tahun yang lalu...

Kriiiiiinggggg....

Bunyi jam weker pagi itu tidak berhasil membangunkan Yuko. Ibuku sudah bangun lebih dulu karena rasa mual dan pusing yang dia rasakan semakin parah dari hari ke hari. Dia tidak tahu gejala apa yang tengah dirasa padahal menjaga kesehatan -- agar tetap fit untuk menulis -- adalah prioritas utama yang rutin dia lakukan.

Yuko semakin tidak berdaya, tubuhnya seperti tidak bisa di ajak kompromi lagi, bahkan untuk sikat gigi pun dia mual dan muntah mabuk luar biasa.

"Siall! Masuk angin macam apa ini?! Perlukah aku ke dokter? " Sesalnya dalam hati.

Yuko kliyengan saat mulai menatap layar komputer. Dua hari lagi editor dari penerbit akan meronta -ronta menagih naskah cerita yang sudah mendekati batas waktu penulisan. Dua kali sehari editor selalu menelpon, seperti pengingat jadwal minum obat.

"Takeshi! Aku sedang tidak enak badan! Tidak bisakah kau bersabar sedikit saja?! " Selain sakit, sang editor heran akhir akhir ini Yuko jadi gampang tersulut emosinya.

Yuko pikir menjadi seorang penulis adalah pekerjaan yang menyenangkan dan bisa dibawa santai, namun persepsi itu mentah semua sekarang. Ketika karyanya sudah banyak dikenal orang -- juga menjadi mesin pencetak uang penunjang kehidupan sehari hari-- Yuko semakin tidak punya banyak waktu untuk sekedar liburan singkat. Iya, menulis adalah sumber pendapatan Yuko saat itu.

Bagaimana tidak, Yuko putus sekolah saat duduk di kelas dua SMA. Ayah dan ibunya bercerai, dan Yuko memilih ikut dengan ibu kandungnya dan hidup bahagia berdua saja tanpa kehadiran seorang ayah. Takdir berkata lain, dua tahun pasca bercerai ibu Yuko meninggal dan harus kembali tinggal dengan ayah dan ibu tiri nya. Tentu saja Yuko selalu bertengkar dengan sang ibu tiri. Selain menulis, dengan apalagi dia membiayai hidupnya sendiri setelah kabur dari rumah?

Aku dan ibuku sama sama keras kepala bukan?

'Baiklah !"

"Aku butuh dokter sekarang! Aku sudah tidak bisa fokus menulis jika tubuhku terus terusan begini! "

Tanpa menunggu lama, Yuko pergi --membuat janji pada klinik langganan -- berobat pada dokter Hanson, dia memanggilnya dengan sebutan dokter Hans.

"Hai dok, apa kabar? Lama tak jumpa denganmu. " Sapa Yuko begitu masuk ruangan praktek. Tak ada balasan, Dokter Hans hanya melirik tajam dari balik kaca mata tebal sembari menuliskan resep untuk pasien sebelum Yuko.

Yuko sadar dia telah bersikap tidak sopan karena merangsek masuk begitu saja sebelum namanya dipanggil. Itulah sifat asli Yuko, paling tidak sabaran, arogan dan keras kepala.

" Kebiasaan! " celetuk dokter Hans usai membubuhkan tanda tangan pada secarik surat rujukkan. Dokter yang kini berusia 50 tahun, memakai kembali stetoskop ke telinga.

"Kau baru mengunjungiku seminggu yang lalu anak kurang ajar! " Ketusnya, memberi isyarat agar Yuko lekas berbaring hanya dengan satu gerakan leher.

"Baiiiiiik," Kata Yuko melesat ke ranjang tinggi-- khas rumah sakit--sebelum dokter memarahi Yuko lagi. Mereka memang seperti itu, sebab Yuko sudah terlalu sering mengunjungi dokter Hans meski tidak dalam keadaan sakit. Yuko sudah menganggap dokter Hans sebagai orang tuanya sendiri.

"Apakah keluhannya masih sama dengan minggu lalu? " Tanya dokter sambil memeriksa detak jantung Yuko yang terdengar masih normal normal saja.

"Iya, malah makin parah saja! "

"Kau sudah ikuti saran dariku? "

"Belum, dok"

"Aku rasa ini gejala typus, bukan masuk angin, benar begitu dok?!"

"Kalau begitu, besok kau saja yang menggantikan tugasku menjadi dokter! "

"Dasar sok tahu! " Timpal dokter Hans menghela nafas panjang. Pasiennya yang satu ini memang agak sok pintar cenderung bodoh.

"Berani beraninya kau mendahului diagnosa dokter! " Gertak dokter Hans lanjut mengecek tekanan darah. Tekanan darah Yuko rendah. Pantas saja, Yuko kurang asupan makanan sejak mual muntah menghiasi hari harinya.

"Wajahmu pucat, "

"Kau sudah cek ke dokter OBGYN seperti saranku? "

"Belum, " Yuko menggelengkan kepala cengengesan. Terlalu sibuk menulis, Yuko abai dengan anjuran dokter.

"Katamu, kau sudah tidak datang bulan selama dua bulan kan? "

"Aku mendiagnosa kau sedang berbadan dua, Yuko. " Balasnya sambil mencari cari alat tes kehamilan di lemari obat.

"Untuk itu aku tidak mau memberikanmu sembarang obat." Jelasnya beralih ke meja resep dan memberikan alat tes itu pada Yuko.

Yuko sendiri tidak tahu persis, kapan terakhir kali dia datang bulan. Yuko sangat sibuk menulis, hingga abai pada siklus menstruasi. Setelah dia ingat ingat lagi, ternyata Yuko sudah telat haid selama dua bulan. Yuko gelisah, jangan jangan dia benar benar hamil. Tapi dengan siapa orangnya, Yuko masih belum bisa mengungkap. Yuko yakin saat berhubungan dengan pria manapun dia tak pernah lupa memakai alat kontrasepsi. Kemungkinan bisa kebobolan sangat minim.

"Mana mungkin aku bisa hamil, aku sedang tidak punya pacar, Dok! " Sanggah Yuko cengengesan tidak percaya atas apa yang baru saja dokter katakan.

" Mungkin saja kamu dihamili oleh dewa, sehingga kau tidak menyadarinya! " Sindir dokter.

"Benarkah ?! " Bodohnya, Yuko malah menanggapi serius lelucon yang dilontarkan dokter Hans.

"Tentu saja tidak! Sampai detik ini, belum pernah ada dalam ilmu kedokteran yang aku pelajari, manusia bisa dihamili oleh dewa!!" Dokter Hans makin kesal.

"Dan aku tidak peduli kau hamil dengan siapa, "

"Aku hanya peduli pada nasib bayinya. "

"Usiamu sudah dua puluh tahun, tapi pemikiranmu tidak jauh berbeda dengan murid sekolah dasar! " Dokter Hans menggerutu pada Yuko yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Tidak!"

"Tidak mungkin!"

"Aku masih tidak yakin bahwa aku---"

"SILAKAN DATANG LAGI KESINI JIKA DIAGNOSA KU SALAH! " Telak Dokter Hans marah marah karena Yuko masih saja ngeyel.

Yuko pergi setelah diberikan resep vitamin dan anjuran mengenai hal hal yang perlu dihindari demi kesehatan janin di dalam kandungan. Entah vitamin itu diminum atau tidak, anjuran itu dilakukan atau tidak, dokter sudah menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Semua dikembalikan lagi pada kemauan pasien.

"Ku do'akan kelak keturunanmu tidak sebodoh dirimu, Yuko! " desis dokter Hans saat Yuko sudah tidak terlihat lagi dari hadapannya.

Doa dokter Hans terkabul, aku terlahir menjadi anak yang sesuai dengan harapanmu. Guruku bilang, IQ ku hampir setara dengan Albert Einstein.

Sesampainya di rumah, Yuko justru membuang alat tes kehamilan itu ke tempat sampah. Dia bertingkah seolah itu bukan masalah besar yang harus mendapatkan perhatian besar darinya. Dia tetap bekerja, bergadang, makan minum sesuka hati meski dokter sudah memperingatkan batasannya. Yuko bekerja keras mengejar ketertinggalannya.

Kondisi Yuko semakin parah, dari hari ke hari rasa mual muntah dan gejala pengikut lainnya membuat Yuko makin kesulitan dalam menulis. Peningkatan hormon progesteron dan estrogen ternyata mempengaruhi kondisi kimiawi pada bagian otak, sehingga dampak dari itu semua adalah Yuko tidak bisa mengatur mood dan suasana hatinya. Tak ada inspirasi datang, Yuko kehabisan ide cerita.

Seminggu tidak menulis, Yuko memilih berdiam diri istirahat di kamar. Yuko kehabisan energi untuk merunut rangkaian alur cerita -- walaupun kerangka cerita yang dibuat sebelumnya sudah sangat brilian-- serta kesulitan merangkai kata kata.

Dia sedang memikirkan hal lain, meraba raba setiap kemungkinan. Pria itu adalah pria terakhir yang Yuko kencani. Mengingat namanya saja Yuko benci, apalagi harus mengakui nya. Sebab, Yuko sendiri belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sedang hamil meski hasil tes dengan sejelas jelas nya sudah menunjukkan dua garis merah nyata.

Mom Vs Dad

Takeshi sekarang bingung bagaimana menjawab Riota yang terlanjur mendengar percakapan antara dia dan istrinya. Toru sendiri lebih memilih masuk kamar melanjutkan pekerjaan --memeriksa laptop milik Takeshi-- mendengarkan dari sudut lain. Sama halnya dengan Riota, Toru juga ingin tahu siapa ayah Riota yang dinyatakan telah meninggal oleh ibunya sendiri.

"Bibi Yuko jahat sekali..." gumam Toru dari balik pintu kamar.

" Apa pria itu ayahku, Papa? "

"Ah bukan, kau salah paham, Nak. " Ruri gugup berharap Riota hanya mendengar penggalan pembicaraan, padahal Riota tahu betul arah pembicaraan mereka dari awal. Sejak tiba, mereka tidak lantas tidur, mereka sedang berlatih demi bisa memenangkan turnamen dan tentu saja sambil menguping.

"Papa? Kenapa diam saja? "

Takeshi memutar kedua bola matanya, otaknya sedang mengonsep kalimat kalimat yang pas agar anak kecil seperti Riota mampu mencerna maksud yang akan Takeshi sampaikan. Jujur, untuk sampai tahap ini dia belum punya tolak ukur --batasan batasan apa saja yang boleh Takeshi ceritakan-- mengingat kisah ini akan sangat memilukan untuk ditanggung oleh anak anak seusia Riota. Takeshi menyayangi Riota. Tidak seperti Yuko, Takeshi tidak ingin menyakiti perasaan anaknya meski secara verbal.

"Ya kau benar.. " Jawab Takeshi lugas tanpa beban.

"Takeshi! " Ruri mengecam, Takeshi sudah salah ambil tindakan dengan berkata jujur seperti itu.

Riota hampir tidak bisa berdiri tegak lagi, sekujur tubuhnya seperti sedang disengat listrik tegangan tinggi. Dia hampir hilang kesadaran jika Ruri tidak segera memeluknya.

"Maafkan kami nak, kami selama ini berbohong, " Ruri akhirnya ikut mengakui kesalahannya, sambil memeluk Ruri turut menangis merasakan bagaimana terpukulnya anak tak berdosa itu.

***

Flashback ...

Satu tahun sebelum Yuko tahu dirinya hamil.

08 Maret Xxxx

Hari itu bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, Yuko memiliki kesempatan untuk menjadi seorang narasumber seminar di auditorium sebuah kampus ternama di Tokyo. Yuko diundang menjadi pembicara sekaligus akan sedikit mengulas novel terbarunya yang akan dirilis di akhir tahun. Sama seperti novel novel yang pernah dia buat sebelumnya, Yuko berharap novelnya kali akan kembali mendulang kesuksesan berhasil menjadi best seller di setiap toko - toko buku ternama dalam negeri.

...-Wanita Tanpa Pria-...

Sebuah novel yang mengangkat isu - isu kesetaraan gender --polemik wanita zaman modern--termasuk akan membahas pernyataan kontroversialnya yang menyatakan bahwa di masa depan, wanita kemungkinan sudah tidak butuh pria lagi dalam menunjang kehidupan wanita itu sendiri.

Pernyataan frontal itu seperti boomerang bagi ibuku, kini dia hidup terkatung katung tanpa pria.

Yuko yakin, meskipun novelnya hanyalah karangan fiktif belaka, namun dengan cara ini dia bisa menyisipkan pesan pesan tersurat agar wanita di masa depan akan lebih siap dan tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat dan mandiri dari sisi fisik, mental, dan tentunya finansial.

"Hadirin semua mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah pembicara utama kita hari ini, penulis novel Yuko Carissa! "

Yuko Carissa adalah nama beken yang dia pakai untuk keperluan literasi. Yuko tampil didampingi sang Master of Ceremony membungkuk memberi salam lalu melambaikan tangan pada seluruh hadirin dari segala penjuru ruangan. Bak selebritis, kilatan cahaya flash kamera terus menyoroti kemana Yuko pergi. Yuko tidak pernah menyangka, ternyata seorang penulis bisa juga dikenal dan diperlakukan layaknya selebriti hanya karena mengarang sebuah cerita.

Yuko tampil mengenakan pakaian sederhana seadanya, Yuko sangat percaya diri meski hanya berbalut celana jeans hitam dan kemeja putih oversize --setelan ternyaman yang paling Yuko sukai-- terlihat santai namun sopan dan elegan.

"Berbicara mengenai kesetaraan wanita, tentu saja akan lebih menarik jika kita libatkan seorang pria yang tampan dan mapan yang mungkin menjadi idola para seluruh wanita di ruangan ini, "

Sang MC sangat bersemangat dan jumawa bahwa mengundang narasumber pengganti pada menit menit terakhir tanpa sepengetahuan Yuko --sebab yang seharusnya datang adalah seorang aktivis perempuan-- seminar ini akan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Yuko malah curiga jangan jangan ini hanyalah akal - akalan panitia untuk menarik minat penonton. Siapapun narasumber yang hadir, Yuko tidak perlu mempersalahkannya.

Takahiro Hiroki atau Mr. Taka William Alexander datang memberi senyum pada seluruh hadirin dan tak melewatkan aku sebagai sesama narasumber. Taka adalah pria yang menarik mesti gayanya agak slengean. Dari gaya bicaranya, Yuko tidak yakin apakah pria macam ini bisa di ajak diskusi sesuai tema atau tidak.

"Pria adalah makhluk bersaing, sudah pasti kesetaraan gender bagiku pribadi bukan hal yang perlu diperdebatkan " Ujar Taka ketika dimintai pendapat.

Taka merasakan seminar itu sangat membosankan --hingga pada pertengahan acara -- rasanya Taka hendak pergi begitu saja. Tema kesetaraan gender dari tahun ke tahun selalu membahas hal yang itu itu saja. Lagipula, Taka merasa ini bukan bidangnya. Perbincangan ini sedikit dipaksakan.

Kalau bukan karena desakan kerabat dekat, tidak mungkin dia sudi duduk duduk tidak jelas--dengan tema yang nyeleneh--seperti ini. Wanita tanpa pria?

" Wanita itu rumit, meski sudah diberikan beberapa kemudahan, mereka tetap saja selalu merasa tidak diperlakukan tidak adil, "

"Sebagai pria, tidak masalah bagiku jika harus bersaing dengan wanita, namun ada yang perlu anda ketahui, "

"Wanita masih memerlukan peran laki laki dalam beberapa aspek kehidupannya, "

"Jadi akan lebih baik jika pria dan wanita harusnya saling bekerja sama dalam menunjang kehidupan selanjutnya, contohnya saja... "

"Apa itu? " Sang mediator terus berusaha membuat Taka buka suara. Dia mengharapkan adanya perdebatan antara narasumber untuk menarik minat hadirin.

"Menghasilkan keturunan. Karena pria tidak mungkin menyaingi wanita untuk urusan melahirkan dan menyusui anak bukan? "

"Hahahahahahah"

Suasana mencair. Sebagai narasumber dadakan, Taka berhasil menarik perhatian hadirin yang sudah mulai bosan.

"Selain itu, kebutuhan biologis merupakan faktor utama yang hanya akan terjalin dengan adanya kerjasama antara pria dan wanita, ya kan Nona? " Taka melirik nakal pada Yuko yang sedang termangu mendengarkan kalimat kalimat sarkas dari Taka.Yuko merasa Taka sudah sok tahu.

"Hahahahhaha"

Sebagian besar penonton tertawa lagi, riuh tepuk tangan mengiringi setiap kalimat kalimat satire yang Taka lontarkan. Yuko tidak menyadari sebagian hadirin yang datang adalah laki laki yang tentu saja memiliki asumsi yang sama dengan Taka.

"Bagaimana dengan program bayi tabung, atau donor sperm⁴, atau alat pemuas kebutuhan biologis? " Cecar sang MC sekaligus mediator seperti sedang bersekongkol dengan Taka untuk memojokkan Yuko. Penyelenggara lupa bahwa seminar ini adalah ajang diskusi bukan acara debat politik.

" Sebelumnya Nona Yuko berkata, bukankah di zaman serba canggih modern ini semua mungkin bisa dilakukan lebih mudah dan praktis ketimbang harus repot repot meminta bantuan orang lain bukan? " Lanjut sang mediator.

"Tentu saja, sebagai penggiat teknologi aku mengakuinya, tapi Nona, berhubungan langsung dengan manusia adalah sifat alamiah yang dianugerahkan oleh sang Pencipta pada setiap manusia, ya kan? "

"Sensasi yang dirasakan pun jelas berbeda dibanding menggunakan alat bantu,"

"Hahahahahaha"

Seluruh hadirin tertawa puas dengan opini yang baru saja Taka sampaikan. Yuko ternganga, perbincangan ini akan berguna jika saja Tachibana yang duduk di kursi Taka. Perbincangan semakin menarik, Taka berhasil mengambil alih arena.

"Nona Yuko, bagaimana tanggapan anda? " Sambung sang mediator mengarahkan pandangan pada Yuko yang sedang menahan dongkol. Yuko merasa pembicaraan Taka tidak mendasar. Apakah laki laki seperti Taka hanya memikirkan kepuasan sekSu4al saja?

"Tuan Taka yang saya hormati, bisakah anda tidak menyimpulkan wanita hanya bisa melahirkan atau sekedar menyusui saja?" Balas Yuko melirik sinis.

"Atau sekedar pemuas ***** laki laki saja?! " Yuko mulai bicara serius pada audiens.

"Tidak semua wanita menganggap hasrat biologis sebagai prioritas utama! "

"Bukan itu maksudnya Nona--" Taka membantah, dia ingin memberikan klarifikasi namun kesempatan bicara yang diberikan sudah habis. Kini, giliran Yuko mengemukakan pendapat.

" Wanita punya banyak peran dalam kehidupan dari sejak lahir hingga saat dia sudah berkeluarga, selain menjadi seorang istri, mereka dituntut berperan sebagai ibu, guru, perawat, koki, pengatur keuangan kadang kadang mereka juga terpaksa menjadi kepala keluarga"

"Baik ibu pekerja atau rumah tangga, dalam kurun waktu 1x24 jam, tujuh hari dalam seminggu, mereka mendermakan waktu mereka hanya untuk keluarganya, "

"Sedihnya, segitu banyaknya peran dan waktu yang mereka curahkan, sebagian orang masih saja mencari cari kekurangan atau kelemahan mereka ! "

"Itulah sisi wanita yang perlu diketahui! "

"Untuk itu, aku menyisipkan pesan pesan dalam setiap novelku agar wanita mulai sadar pada diri mereka sendiri untuk tidak terpaku hanya pada kekurangan mereka saja, mereka mampu menggali potensi mereka, berdiri di atas kaki mereka sendiri meski tidak ada pria pendukung di sisi mereka! " Pungkasnya.

Tanpa dia sadari, ibuku sedang menceritakan kehidupannya sendiri yang sekarang saat itu.

Tak lama berselang, para peserta yang tadinya diam akhirnya memberikan tepuk tangan yang meriah atas penuturan Yuko yang sangat elegan dan berkelas. Taka mau tak mau mengalah karena waktu yang diberikan panitia terbatas dan acara sudah hampir selesai. Pernyataan Yuko yang sangat menohok bagi Taka yang lahir tanpa tahu siapa ibu kandungnya.

"Yuko benar benar luar biasa! Lihatlah pengusaha kaya itu, dia tampak kehilangan muka! " Gumam Takeshi cekikikan pada Ruri dari kursi penonton.

"Kau benar Takeshi, sepertinya pemilik kampus salah mengundang narasumber. " Ruri tegap berdiri memberikan penghargaan pada semua pendukung acara.

****

Takeshi menceritakan bagaimana awal pertemuan antara ibuku dan pria yang disinyalir adalah ayah biologisku. Takeshi tidak tahu -- persisnya setelah seminar selesai-- mereka ternyata menjalin sebuah hubungan intens.

Selama menjadi teman dan rekan kerja Yuko, Takeshi paham betul kelakuan Yuko yang hobi gonta ganti pasangan. Yuko memanfaatkan hubungan dengan setiap laki laki hanya untuk bahan fantasi yang dia yakini dapat menunjang setiap karangan cerita yang sedang dia tulis. Biasanya kurang dari tiga bulan Yuko putus dengan mereka seiring berakhirnya cerita yang dia torehkan dalam novel.

"Kenapa ayah tidak bisa bersama dengan ibu, Papa? "

"Apa ibu sengaja tidak memberitahu ayah tentang aku? " Riota mengguncang lengan Takeshi, dia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita Takeshi selanjutnya. Takeshi sedang menahan diri, dia tak mau menceritakan itu secara gamblang.

"Tentu saja, "

"Kalau bukan karena desakan dariku, mungkin Yuko akan diam saja, "

"Aku yang mengantarnya ke rumah ayahmu, "

"Ibumu, sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. " Ungkapnya. Takeshi hanya menceritakan garis besarnya, bahkan Takeshi belum menyebutkan siapa ayah Riota sebenarnya. Takeshi terkesan ikut ikutan membenci Taka akibat ulahnya di masa lalu.

"Lalu apa yang ibu lakukan? " Gertak Riota. Takeshi melanjutkan meski tersendat sendat.

"Yuko datang untuk membicarakan perihal kehamilan,"

"Sayangnya, saat itu Taka sedang tidak ada di rumah, "

"Aku hanya ingat, seseorang yang mengaku kerabat ayahmu menghardik ibumu, membuat ibumu sakit hati dan tidak pernah mau kembali ke sana. "

"Apa yang mereka katakan pada ibuku? "

Takeshi tidak mau menyebutkan makian orang itu secara detail -- karena kata kata kasar itu tidak pantas diungkap terlebih di hadapan anak di bawah umur--demi menjaga kesehatan mental Riota.

Pe-la-cur

Aku tahu itu adalah kata kata yang membuat ibuku marah dan sakit hati.

"Lalu dimana ayahku sekarang? " Cecar Riota, masih belum puas dengan penuturan cerita masa lalu antara ayah dan ibunya.

Ibarat game, aku harus mencari potongan potongan puzzle yang masih belum bisa aku urutkan agar menjadi jelas. Ini masih level awal, masih banyak level level lain yang harus aku hadapi sampai finish. Pertempuran baru saja di mulai.

"Entahlah, dia mendirikan banyak perusahaan, "

"Salah satunya Personal Tech. " Lanjut Takeshi.

Toru tercengang, masih di dalam kamar, dia mencari informasi siapakah orang yang ada dibalik perusahaan gamming yang dimaksud Takeshi. Dengan bantuan internet browser dari laptop Takeshi, Toru mengetik nama perusahaan itu--mencari identitas pemilik perusahaan-- yaitu Takahiro Hiroki. Dia kaget bukan main melihat wajah yang terpampang dari monitor.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!