Ribuan komentar tidak mengenakkan menghujani laman media sosial milik Sara. Semua berisi hujatan mengenai dirinya yang telah merebut suami milik wanita lain.
Bukan hanya itu saja. Pencari berita sering mendatangi rumah pribadinya demi mendapat tanggapan dari Sara sendiri. Mereka, bahkan rela untuk bermalam di gerbang rumah demi menemui Sara, dan alhasil dari keadaan itu, sang pemilik rumah tidak bisa untuk keluar.
"Para pencari berita itu tiada hentinya untuk datang kemari. Apa mereka tidak lelah? Belum lagi labrakan istri dari Indra. Kamu memang harus pergi Sara," ucap Dini.
Sara menghela napas, "Untuk apa aku pergi? Indra sudah berjanji untuk menikahiku, dan dia akan menceraikan istrinya.
"Sadarlah, Sara! Indra tidak akan menikahimu. Jika dia benar-benar serius, maka dalam dua tahun, ia akan menceraikan istrinya."
"Bukan aku yang merebut Indra, tetapi Velia. Dia merebut kekasihku," kata Sara.
"Kamu memang kekasih Indra jauh sebelum mereka menikah. Tapi kamu lihat sendiri keadaannya, Indra malah betah dengan istrinya itu," kata Dini.
Sara menghela dan ia terduduk di tepi tempat tidur. Yang Dini katakan ada benarnya juga. Sudah lima tahun ia dan Indra menjalin hubungan asmara, tetapi kekasihnya itu harus menerima perjodohan dari orang tua dan menikahi wanita lain.
Indra berjanji akan menceraikan Velia, tetapi sudah dua tahun pernikahan itu tetap berlangsung dan Sara yang malah menjadi wanita simpanannya.
Demi cinta sejatinya, Sara rela menjadi yang kedua di dalam kehidupan Indra, asal di dalam hati pria itu, ia tetap menjadi yang pertama.
"Aku tidak tahu bagaimana lagi menasihatimu. Karier yang kamu bangun hancur hanya karena pria brengsek itu. Sekarang ia menyuruhmu untuk bersembunyi di kota lain demi meredam skandal ini. Ya ... untuk yang satu ini aku setuju dengannya. Kamu memang harus pergi dari kota ini," ucap Dini.
"Aku tidak mau karir Indra hancur. Perusahaan miliknya sedang berkembang, dan sekarang ia tengah mengajukan diri untuk terjun ke dunia politik." Sara mengeram. "Gara-gara Velia, semua jadi hancur."
Sara masih ingat kejadian dua hari lalu saat ia dan Indra digerebek oleh Velia. Kejadian itu terjadi saat mereka berdua tengah di dalam apartemen bersama.
"Tidak tahu diri! Murahan! Bisanya hanya merebut suami orang," ucap Velia.
"Kamu yang merebut Indra dariku. Dia kekasihku!" kata Sara.
"Dasar pelakor! Sadar diri kamu! Indra suamiku. Kami terikat hubungan dalam ikatan pernikahan, sedangkan kamu rela menjadi wanita simpanan. Apa kamu sudah tidak laku lagi sampai menggoda suami dari wanita lain?!"
Satu tamparan mendarat di pipi Velia. Cap lima jari itu dilayangkan oleh Sara.
"Sara!" Indra kaget melihat itu.
"Kamu yang tidak laku. Sudah tahu Indra kekasihku, tetapi masih mau menerima perjodohan," ucap Sara.
Velia tersenyum sinis, "Wanita murahan! Sudah tahu begitu, kenapa kamu masih mengharapkan Indra? Pernikahan kami sudah berlangsung dua tahun, dan kami sudah memiliki anak. Sedangkan kamu!" Velia menunjuk wajah Sara. "Kamu itu hanya selingan, Sara!"
"Cukup! Hentikan pertengkaran ini," kata Indra. "Velia ... kamu pulanglah dulu. Kita selesaikan ini di rumah."
"Kali ini aku tidak akan mudah memaafkan kamu, Indra. Aku akan bongkar skandal kalian ini," kata Velia.
"Pulanglah, Velia."
Velia terisak, "Kita sudah punya anak. Putrimu baru saja lahir, dan kamu dengan tega selingkuh dariku. Apa sebagai istri aku masih kurang dalam melayanimu?"
Indra menyugar rambutnya ke belakang. "Kumohon untuk pulang."
Sara yang melihat itu, menjadi kesal. "Indra! Katakan padaku. Kamu pilih aku atau dia?"
Indra tersentak, "Pilihan apa itu?"
"Aku juga butuh kepastian. Sampai kapan hubungan kita akan seperti ini terus? Aku juga ingin pernikahan," kata Sara.
"Sayang ... kumohon untuk tidak membahas ini dulu. Kita akan bicarakan ini nanti," ucap Indra.
Satu tamparan mendarat di pipi Indra. Sara benar-benar kesal dibuatnya. Selalu saja seperti itu jawaban Indra. Pria itu tidak bisa memilih antara istri dan simpanan.
"Pria brengsek! Urus istrimu itu!" Sara meraih tasnya yang tergeletak di sofa, lalu keluar dari apartemen.
"Sara! Dengarkan aku dulu, "teriak Indra.
"Kalian akan merasakan akibatnya nanti. Karir pacarmu akan aku hancurkan," kata Velia.
"Jangan sekali untuk melakukan hal itu, Velia. Jika kamu berani melakukannya, aku tidak akan tinggal diam," ucap Indra mengancam.
Velia mendengus, "Lihat saja nanti."
Ancaman Indra tidak dipedulikan oleh Velia. Ia membeberkan skandal hubungan Sara yang seorang model bersama suaminya yang seorang penguasaha.
Karena kabar itu, karir Sara hancur. Kontraknya dengan pihak iklan, dibatalkan. Hujatan membanjiri kolom komentarnya di media sosial.
Sara berteriak, "Sial! Gara-gara Velia semua hancur."
"Sudah ... jangan diingat-ingat lagi. Aku sudah membereskan pakaianmu. Tinggal menunggu Indra saja," kata Dini.
"Bagaimana dia mau kemari jika pencari berita itu tidak mau pulang," kata Sara.
"Pasti ada cara. Tunggu saja Indra datang."
Suara sirine pihak berwajib terdengar. Beberapa petugas datang untuk mengusir para pencari berita yang betah berdiam diri. Mobil hitam masuk ke halaman rumah. Sara yang melihat dari balik tirai, tahu siapa datang ke rumahnya.
"Sayang ... kamu tidak apa-apa, kan?" Indra memeluk kekasihnya. "Kamu pergi mengungsi dulu, ya. Sampai keadaan reda, baru kamu kembali."
"Sampai kapan aku harus bersembunyi?" tanya Sara.
"Setidaknya selama enam bulan, Sayang. Ini demi karir politikku."
"Apa kita harus pergi sekarang?" tanya Sara.
Indra mengangguk, "Kita harus pergi sekarang. Aku sudah menyiapkan segalanya."
"Baiklah."
Indra mengecup pipi kekasihnya. "Sayang ... jangan cemberut begitu. Aku sangat mencintaimu, dan saat kamu kembali aku berjanji akan menceraikan Velia."
"Dari dua tahun lalu kamu juga bicara seperti ini."
"Bersabarlah sedikit lagi, Sayang. Ini demi kita juga. Demi masa depan kita. Kamu ingin calon suamimu ini sukses, kan? Kamu tahu sendiri berkecimpung dalam dunia politik, adalah keinginan terbesarku selain menjadi pengusaha," tutur Indra.
"Aku akan beri kamu satu kesempatan lagi. Jika kamu lagi-lagi berbohong padaku, aku akan mengakhiri hubungan ini."
Indra memeluk kekasihnya dengan erat. "Aku akan tiada jika hidup tanpamu. Jangan bicara seolah-olah kita akan berpisah."
"Kita akan berpisah, kan? Selama enam bulan aku akan bersembunyi."
"Dua bulan sekali aku akan mengunjungimu," kata Indra.
Sara menghela napas panjang. "Aku pamit dulu pada Dini."
Dini sudah ada di belakang Sara dengan koper di tangan. Sahabat Sara itu sangat tidak menyukai Indra. Baginya Indra hanya seorang pria pengecut. Meski begitu, Sara cinta mati pada pria itu.
"Dini ... aku titip rumah ini. Saat aku sampai di kota tujuan, aku akan segera menghubungimu," kata Sara.
Dini memeluk sahabatnya. "Kamu baik-baik di sana. Aku pasti akan sangat merindukanmu."
Bersambung.
Dukung Author dengan vote, koment, dan follow.
Perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Keduanya menumpang pesawat malam jurusan kota Pontianak. Kota di Garis Khatulistiwa yang baru saja Sara kunjungi untuk pertama kalinya.
"Kamu membawaku kemari?" tanya Sara.
"Di kota ini tidak akan ada yang mengenalmu. Dari sini kita akan menumpang mobil taksi."
"Sebenarnya kamu mau membawaku ke mana?"
Indra memandang Sara lekat. Ia mengusap wajah mulus dari wanita yang ia cintai itu. "Sebuah pulau."
"Apa?!"
"Tenang, Sara. Kamu harus sembunyi. Di sana tempatnya sangat indah, kamu pasti sangat menyukainya."
"Kamu menyembunyikanku di pulau? Yang benar saja?"
"Anggap saja ini sebagai liburan, Sayang. Kamu akan liburan di pulau Randayan. Aku sudah menyewa penginapan di sana untuk enam bulan. Di sana akan banyak orang yang berkunjung. Kamu tidak akan merasa kesepian," kata Indra.
Sebuah mobil taksi berhenti di hadapan keduanya. Sopir itu turun untuk mengambil koper yang dibawa Sara.
"Silakan, Nona, Tuan."
Indra membujuk Sara untuk masuk ke dalam mobil taksi, dan dengan hati tidak ikhlas, Sara masuk dan duduk dengan tenang di belakang sopir.
Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan. Perjalanan menuju pelabuhan Teluk Suak memakan waktu hampir tiga jam lamanya dari bandara Supadio.
Dari pelabuhan, Sara dan Indra naik speedboat yang akan mengantarkan mereka ke pulau Randayan.
Pulau kecil dengan alam yang indah, pasir putih, air laut yang jernih dengan pemandangan bawah laut yang memukau.
"Lihat ... pulaunya indah, kan?" kata Indra.
"Dari mana kamu tahu pulau ini? Apa kamu pernah ke sini bersama Velia?"
Indra tertawa, "Tentu saja tidak, Sayang. Aku mendengar dari rekanku. Mereka pernah kemari dan aku lihat di internet, pulaunya sangat indah. Ternyata memang benar indah, kan?"
Sara mengangguk, "Iya."
Keduanya disambut oleh seorang wanita paruh baya bernama Minah. Indra memperkenalkan wanita itu kepada Sara karena beliaulah pemilik rumah sewa yang akan ditempati Sara.
"Sayang, ini Bu Minah. Kalau kamu perlu apa-apa, tinggal katakan saja pada beliau," kata Indra.
"Mari, Nak. Saya tunjukkan rumahnya," ucap Minah.
Untuk menyembunyikan Sara di pulau ini, Indra menyewa penginapan selama enam bulan. Di rumah itu sendiri, perlengkapan untuk kebutuhan Sara sudah lengkap, dan tentunya selama di pulau ini, Sara harus mandiri.
"Ini rumahnya," kata Minah.
Sara memandang Indra. "Kamu menyuruhku untuk tinggal di sini?"
Penginapan yang jauh dari kamar mewah, restoran serta air mandi hangat. Sangat apa adanya dan lebih cocok untuk penginapan singgahan. Namun, di sini Sara harus tinggal selama enam bulan.
"Kumohon, Sara. Hanya untuk sementara saja," ucap Indra.
Sara hanya bisa mengembuskan napas panjang, mengangguk mengiyakan perkataan Indra. Minah membawa Sara ke kamarnya yang seperti kamar anak kost. Kasur lantai, lemari kecil yang ada di dalam sana, sedangkan kamar mandi terpisah dari kamar tidur.
"Nah, ini kamarnya. Kalian istirahat dulu. Perjalanan jauh pasti sangat melelahkan," kata Minah.
"Bu, tolong bawakan makanan. Kami sangat lapar," kata Indra.
"Baiklah, saya akan kembali sebentar lagi."
Sara langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia sangat lelah karena perjalanan jauh, tetapi yang paling membuat lelah itu semakin terasa, adalah kelakuan Indra sendiri.
Indra melepas sepatu yang masih Sara kenakan. "Sayang ... maafkan aku. Ini sementara."
Sara menangis, bagaimana bisa Indra menempatkan dirinya di pulau yang tidak berpenghuni meski nantinya akan datang orang-orang yang akan berkunjung.
"Jangan menangis, Sayang. Kumohon."
Ketukan pintu mengalihkan pandangan Indra dari kekasihnya. Minah tersenyum melihat keduanya.
"Nanti akan ada teman yang menemani pacarmu. Dia juga akan menginap di sini, tetapi di kamar sebelah," kata Minah.
"Nah, Sayang. Kamu ada teman."
"Besok dia akan datang karena kemarin dia naik ke darat untuk membeli bahan makanan."
"Baguslah, Bu. Pacarku tidak akan kesepian," jawab Indra.
"Ayo ... kalian makan dulu," kata Minah.
Indra membujuk Sara untuk turun ke bawah. Di rumah itu terdapat dua buah kamar di lantai atas yang berseberangan, lalu di bawah, adalah dapur. Bisa dibilang itu rumah kost, dan karena rumah itu berada di pulau, bisa juga disebut vila.
Makanan yang disediakan Minah juga sangat sederhana. Hanya ada ikan goreng dan sayur bening. Karena lapar, Sara dan Indra melahapnya sampai habis.
******
"Besok aku pulang. Kamu yang betah di sini, ya," kata Indra.
"Pulang saja. Temui istri dan anakmu," kata Sara.
Indra meraih wajah kekasihnya. Ia kecup kedua belah pipi yang mengalirkan air mata. Indra usap air mata yang meleleh itu dengan ibu jarinya.
"Aku akan datang setiap dua bulan sekali. Jangan lupa untuk selalu mengisi baterai ponselmu. Siang hari tidak ada listrik. Aku akan susah menghubungimu nantinya."
"Iya."
Malam harinya Indra menemani sang kekasih tidur, tetapi besoknya ia harus kembali untuk membereskan kekacauan yang diperbuat oleh mereka berdua.
"Sayang ... kamu baik-baik di sini, oke. Aku pulang dulu," kata Indra.
Sara mengangguk, "Iya."
Indra mengecup kedua pipi Sara, dan juga memeluknya sebelum naik ke atas speedboat. Lambaian tangan Indra menjadi tanda perpisahan mereka. Dua bulan lagi Sara akan bertemu dengan kekasihnya itu.
Sebuah speedboat lain datang. Seorang pemuda turun dengan memikul kotak di pundaknya.
"Yo ... udah datang saknye. Ku kire kau datang siang kalak," ucap Minah dalam bahasa sambas melayu. (Sudah datang rupanya. Aku kira kamu datang siang nanti)
"Eh, nak ngape juak lama-lama di sinun." (Buat apa lama-lama di sana)
Sara tidak mengerti bahasanya, tetapi dari perkataan Minah seperti menanyakan kedatangan pria itu. Minah membantu membawa kotak bungkusan mie instant yang dibawa oleh pria itu.
"Ade tamu saknye," ucap pria itu. (Ada tamu rupanya)
"Namanye Sara. Dari jakarta, die tinggal di sitok," jawab Minah. (Namanya Sara. Dia tinggal di sini)
Pria itu tersenyum. Sara memperhatikan penampilan dari pria itu. Wajahnya tampan dengan hidung mancung dan bibir tipis. Tubuhnya kurus tinggi dengan lengan kokoh yang terlihat dari kaus lengan pendek yang laki-laki itu kenakan. Warna kulitnya kecoklatan, mungkin karena sering berjemur di bawah matahari.
"Hai," sapa pria itu.
Sara terdiam, bahkan tidak memperdulikan sapaan dari pria itu.
"Usah nak kau gode pacar urang," kata Minah. (Jangan kamu goda pacar orang)
"Aku pernah ke Jakarta," ucap pria itu.
Sara menoleh ke arah laki-laki itu. "Benarkah?"
"Aku Saka."
Sara memandang uluran tangan dari Saka. Ia menyambutnya, lalu tersenyum. "Saka, kamu pernah ke Jakarta?"
Saka tertawa, "Jelas saja, makanya aku tahu bahasamu. Setiap tiga bulan sekali aku ke sana, tetapi selama setahun, tidak lagi. Aku menetap di sini."
"Apa kamu asal dari Jakarta?"
"Aku lahir di Pontianak, tetapi keluargaku di sana," jawab Saka.
"Kenapa kamu tinggal di sini?"
"Hanya untuk liburan saja. Pulau ini masih sepi dan hanya ada beberapa pengunjung saja yang datang. Lagi pula tempatnya sangat nyaman."
"Sepertinya aku pernah melihatmu?"
"Apa?!" ucap Sara.
Bersambung
"Di mana kamu melihatku?" tanya Sara.
"Di sini."
Sara tercengang, "Aku baru datang kemarin, kapan aku kamu melihatku."
"Tadi, saat aku berada di speedboat," jawab Saka sembari tertawa.
Sara berdecak, "Apaan, sih? Candaan kamu garing."
Sara menghentakkan kaki, lalu berjalan meninggalkan Saka, tetapi laki-laki itu menahan lengannya. Sara menepis tangan Saka.
"Jangan pegang-pegang!"
"Galak amat, Nona cantik," ucap Saka tersenyum.
Apa dia mencoba menggodaku dengan senyumnya itu? Sara bersedekap tangan di perut. "Mau kamu apa?"
"Aku pernah lihat kamu di iklan TV. Kamu bintang iklan, kan?" kata Saka.
Sara mengibaskan rambut panjangnya. "Aku ini model. Kamu mau foto denganku? Jangan mimpi!"
Saka tidak dapat menahan gelak tawanya. "Aku." Pria itu menunjuk wajahnya sendiri. "Minta foto? Enggak, ah. Nanti jadi skandal lagi. Aku tahu gosip tentangmu."
"Kamu tinggal di pulau tahu tentang aku?" tanya Sara tercengang.
"Aku punya ponsel. Apanya yang tidak tahu?"
"Signal di sini bagus?" kata Sara.
"Lebih dari bagus, dalam arti tidak ada sama sekali," sahut Saka.
"Apa! Apa aku benar-benar berada di wilayah pedalaman?" Sara mengepalkan tangan kesal. Indra membawanya ke tempat ia tidak bisa mendapat informasi dari luar ataupun bertukar kabar.
"Tenang, kita bisa pergi ke pulau Lemukutan. Di sana ada signal ponsel. Tenang saja, duniamu tidak akan berakhir," ucap Saka. "Aku baru saja dari kota dan mengetahui beritamu yang lagi viral."
"Oi, Saka. Ajakke Neng Sara makan dolok," teriak Minah dari rumah. (Saka, ajak Sara makan dulu)
"Aok, kamek nyusul," jawab Saka. (Oke, kami menyusul)
Saka tersenyum, "Kita makan dulu, yuk. Kebetulan aku sangat lapar."
Sara mengangguk mengiyakan perkataan Saka, lalu keduanya berjalan menuju rumah. Lagi-lagi hidangan yang disediakan Minah hanya ikan goreng. Kali ini tidak ada sayur, melainkan mie instant rasa ayam bawang sebagai kuah.
"Ayo makan," kata Saka yang melihat Sara seperti enggan untuk makan.
Sara mengangguk, "Iya, aku akan makan."
"Saka, Ibu nak balik dolok. Kau kawannek si Sara, ye. Usah nak macam-macam kau ngan cewek urang," ucap Minah. (Ibu pulang dulu. Temani Sara dan jangan ganggu pacar orang)
"Aok, Buk. Nak ngape be nak macam-macam ngan anak urang," ucap Saka. (Oke, Saka tidak akan menganggu)
"Nak, Sara. Ibu pulang dulu. Saka sudah datang dan akan menemanimu."
"Iya," jawab Sara.
Saka memandang Sara lekat. "Jangan takut. Aku tidak akan macam-macam. Ibu Minah akan datang seminggu sekali, tetapi anaknya akan setiap hari kemari jika ada pengunjung yang datang."
"Di mana rumahnya?"
"Di belakang pulau ini. Pulau Lemukutan. Kapan-kapan kita ke sana," kata Saka.
Sebuah deringan ponsel berbunyi. Sara mengerutkan kening, lalu mengambil ponsel dari saku celananya.
"Kamu bilang di sini tidak ada signal, ini kenapa bisa berbunyi?" Sara menunjukan ponselnya yang berdering.
Saka tertawa, "Yang bilang tidak ada siapa?"
"Kamu!" Sara bangun dari duduknya, lalu memukul lengan Saka.
"Sudah, hentikan. Aku hanya mengerjaimu. Wajahmu itu, seperti ketakutan tinggal di pulau ini."
"Aku harus sembunyi dulu. Setelah kekasihku menceraikan istrinya, kami akan menikah."
"Dari pada bersama suami orang, lebih baik bersamaku," ucap Saka dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Ogah! Aku angkat panggilan telepon dulu dari temanku."
Sara menuju pendopo untuk mengangkat panggilan video dari sahabatnya Dini.
"Hai!" ucap Sara.
"Gambarmu tidak jelas, putus-putus."
"Pakai telepon biasa saja kalau begitu," kata Sara yang langsung memutus sambungan videonya, lalu beralih memakai telepon biasa.
"Kamu di mana?" ~ Dini.
"Aku berada di pulau Randayan."
"Pulau apa itu? Baru dengar." ~ Dini.
"Di provinsi Kalimantan Barat. Kamu lihat saja di pencarian. Pasti ketemu. Aku akan kirimkan foto-fotoku di sini. Tempatnya sangat indah dan aku ingin mencoba snorkeling di sini."
"Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja." ~ Dini.
"Tenang saja. Aku baik, kok. Terima kasih sudah mengkhawatirkan diriku."
Kedua sahabat itu berbincang-bincang. Saka yang kebetulan sudah selesai makan, menghampiri Sara yang duduk di pendopo.
Sara melirik Saka dan ia merasa tidak nyaman berbicara di depan pria itu. Sara segera memutus sambungan teleponnya, dan berhasil membuat Dini di seberang lautan sana kesal karena masing ingin mengobrol bersama sahabatnya.
"Kamu kenapa, sih, di sini?" tanya Sara, "ganggu saja."
"Memangnya kenapa? Ini pendopo bukan milikmu."
Sara mendengus, lalu beralih menatap pemandangan laut yang terbentang luas dengan sinar mentari yang bersinar terang.
"Dulu aku punya keinginan hidup seperti ini. Hidup di tepi pantai, punya rumah kayu, istri cantik dan seorang anak yang lucu. Setiap pagi istriku akan menyambut kepulanganku dari laut. Di sana." Saka menunjuk batang pohon kelapa. "Aku akan menjadikan batang pohon itu sebagai tiang ayunan sebagai permainan untuk anakku." Saka menghela," Rasanya sungguh menyenangkan. Terbebas dari hiruk pikuk kota."
Sara tertawa mendengar keinginan Saka. "Kamu ingin hidup seperti itu? Yang benar saja. Jauh dari mall, makan, makanan enak. Di sini apa yang dilihat? Paling hanya lautan saja."
"Karena kamu belum tahu hidup yang sesungguhnya. Kekayaan, ketenaran tidak menjamin hidupmu bahagia."
Sara terdiam mendengarnya. Ia sudah mendapat kekayaan dan juga ketenaran, tetapi untuk bahagia ia tidak memilikinya.
Kekasih yang ia cintai seakan mempermainkannya. Selama dua tahun, Sara hanya menunggu tanpa kepastian yang jelas.
"Apa tujuanmu sudah tercapai?" tanya Sara.
"Aku sudah tinggal di sini."
"Maksudku istri dan anak. Apa kamu memilikinya?"
"Kalau aku punya, mereka pasti di sini. Aku masih jomlo dan tidak berniat menjalin hubungan," kata Saka.
Sara tergelak, "Bagaimana bisa kamu mewujudkan keinginanmu kalau begitu?"
"Kan, yang aku katakan dulu, bukan sekarang."
"Dasar!" ucap Sara pelan.
"Apa?"
"Tidak ... aku hanya bilang ingin bermain di pantai."
Suara kapal motor terdengar. Suara bising itu berhenti di jembatan. Sekitar tiga orang pria dan dua orang wanita naik ke atas jembatan. Pengelola pulau datang menjemput mereka yang datang berlibur.
"Setidaknya pengunjung itu akan bermalam tiga malam di sini," kata Saka.
"Mereka menginap di mana?"
"Ya ampun! Di vila, dong. Kan, di sini ada lima vila."
Sara menggaruk kepalanya. "Kita jalan-jalan, yuk! Sekalian aku minta foto."
"Dasar artis. Kerjaannya foto melulu."
Saka membawa Sara menikmati bebatuan. Sara heran melihat batu berwarna putih dengan pori-pori di sekitarnya.
"Ini batu apa?"
"Batu karang," jawab Saka.
"Bukannya batu karang ada di dalam laut? Ini, kok, ditepi pantai. Warnanya putih semua."
"Aku juga enggak tahu namanya apa. Tapi orang sini menyebutnya batu karang. Lihat di sana." Saka menunjukkan batu besar berwarna coklat ciri khas pantai. "Di sana batunya berwarna hitam, coklat, oren."
"Unik sekali," kata Sara. "Foto aku di bebatuan putih ini."
Bersambung
Dukung Author dengan vote, koment dan jangan lupa masukkin bukunya ke list bacaan kamu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!