Vania Maharani, gadis berparas cantik, kalem, mandiri dan pintar ini membuat kekasihnya Leon Mahardika klepek-klepek dengan dirinya. Vania sendiri termasuk siswi yang banyak di sukai para murid laki-laki di sekolahnya, begitu juga dengan Leon ia juga termasuk siswa populer. Mereka memang couple favorit di sekolahnya hingga membuat banyak orang iri melihat mereka.
Karena serius menjalani hubungannya dengan Vania, minggu lalu Leon mengajak Vania bertemu mamanya di restoran dan mengenalkan Vania pada sang mama. Namun penilaian Nyonya Laras sangat berbeda. Kasta antara Leon dan Vania sangat jauh, dan karena hal itu Nyonya Laras menentang hubungan mereka.
Semenjak pertemuannya dengan Vania, Nyonya Laras menyuruh seseorang untuk memantau segala aktivitas Leon. Nyonya Laras berfikir, jika Vania hanya memanfaatkan dan mengincar putranya karena anak orang kaya. Padahal Vania bukan tipe perempuan seperti itu. Vania memang tulus mencintai Leon karena kebaikan hatinya dan perhatian pada dirinya dan keluarganya.
Sepulang sekolah, seperti biasa Leon mengantar Vania untuk pulang ke rumahnya. Namun tanpa Leon tahu jika semua kegiatannya di pantau oleh orang suruhan mamanya. Padahal Nyonya Laras sudah berulang kali meminta Leon untuk memutuskan hubungannya dengan Vania, tapi Leon tetap menolak keras keinginan mamanya tersebut.
Di dalam kamar, Nyonya Laras mengepalkan kedua tangannya saat melihat foto yang di kirim oleh orang suruhannya. Ia melihat Leon malah berduaan di depan rumah kecil dan kotor.
"Leon.., harus dengan cara apalagi mama memisahkan kamu dari perempuan miskin itu. Kamu itu buta atau bodoh sih Leon?" batin Nyonya Laras geram.
Sesampainya di rumah, Vania mengajak Leon masuk ke dalam teras sambil bersandau gurau di sana.
"Sayang.., gak kerasa habis ini kita terima lulus ya dan gak kerasa kalau hubungan kita sudah berjalan 3 tahun. Terus apa kamu jadi sekolah di London, seperti apa yang di minta mama?" tanya Vania.
"Memang kenapa yank? Kamu gak mau ya jauh-jauh dari aku?" goda Leon.
"Irgh..., apaan sih yank. Aku kan cuma nanya, tinggal jawab aja kali," cetus Vania kesal.
Gemas dengan pacar cantiknya tersebut, Leon menarik hidung Vania sambil tersenyum tampan ke arahnya. "Enggak sayang, aku mau tetap kuliah di sini aja biar bisa deket terus sama kamu," jawabnya.
"Beneran? Tapi gimana dengan mama kamu? Dia pasti akan lebih membenciku nanti."
"Gak akan sayang. Kan yang kuliah aku, jadi aku dong yang memutuskan mau kuliah dimana?"
"Tapi.., gimana kalau ketakutan ku bener? Atau lebih baik kita menyerah saja dengan hubungan kita ini? Aku..," Leon segera menutup bibir Vania dengan kedua jarinya.
"Sstt.., jangan pernah bilang seperti itu lagi. Aku yakin suatu saat mama pasti bisa menerima hubungan kita. Kalian baru bertemu sekali, dan mama belum mengenal kamu lebih dekat. Ini hanya masalah waktu aja. Percaya sama aku,"ujar Leon yang sedang berusaha menenangkan kekasihnya.
"Tapi aku takut sayang, jika mama akan lebih membenciku dan semakin memisahkan kita Aku sayang banget sama kamu Leon, dan aku takut kalau pisah sama kamu."
Bukannya menghibur, Leon malah tertawa. Biasanya dia yang selalu menggombal dan merengek pada Vania. Tapi kali ini, kekasihnya yang berbicara demikian.
"Tuh kan, kebiasaan gak bisa di ajak ngomong serius," gerutu Vania.
"Dih.., ngambek, gitu aja marah. Ya aku jarang aja lihat kamu bilang sayang sama aku. Tapi aku udah tahu sih kalau kamu kan bucin sama aku," goda Leon.
"LEON!!" teriak Vania sambil mencubit perut Leon.
"Sakit sayang, ampun."
"Syukurin. Emang enak malah ngeledekin aku."
"Enggak kapok deh kapok," jawab Leon sambil memeluk Vania kembali. " Kamu tahu gak sayang, hal apa yang bikin aku bahagia?"
"Apa?" ucap Vania sambil memajukan wajahnya ke depan wajah Leon.
"Kamu.., kamu adalah kunci kebahagiaan ku," jawab Leon.
Vania terdiam. Leon semakin memperdekat jarak bibir mereka dan bersiap menautkan kedua bibir tersebut. Leon dan Vania sama-sama memejamkan kedua matanya, namun..
"Vania..., Vania...,"
Deg...
Mata keduanya sama-sama terbuka. Leon pun segera membetulkan posisi duduknya saat mendengar suara teriakan dan jejak langkah kaki Bu Lina, ibunya Vania.
"Sayang.., kamu di cari ibu tuh," ucap Leon kikuk.
"Iya..," jawab Vania dengan pipi merah merona.
Tebakan Leon benar, sesaat kemudian Bu Lina sudah berdiri di depan pintu. "Eh ada nak Leon ya, maaf ibu teriak-teriak. Ibu kira Vania lagi sendirian di depan," sambungnya.
"Iya bu, gak papa." Leon pun segera berdiri dan mencium tangan Bu Lina.
"Ada apa bu?" sela Vania.
"Besok ibu dapat pesanan kue. Ibu kira kamu lagi gak ada tamu, makanya ibu mau minta tolong sama kamu buat bantuin ibu. Gak tahunya ada nak Leon. Yaudah kalian lanjut dulu aja. Biar ibu yang kerjain sendiri."
"Jangan bu, Vania bantu aja."
"Iya bu. Saya juga sudah mau pulang kok bu," sahut Leon.
"Bener nak? Maaf ya?"
"Gak papa ibu," jawab Leon sambil memperlihatkan senyum tampannya. "Van, aku pulang dulu ya. Besok aku main ke sini lagi, imbuhnya.
"Iya. Kamu hati-hati ya Leon. Ayo biar aku antar kamu sampai depan."
"Gak usah. Mending kamu bantuin ibu aja," jawab Leon.
"Ibu minta maaf banget ya Leon. Ibu gak berniat mengusir lho ya."
"Ibu ini ada-ada saja. Saya malah gak kepikiran sampai kesana. Kalau begitu saya pamit pulang ya bu," ucap Leon sambil mencium tangan Bu Lina.
"Iya nak Leon, hati-hati ya."
"Baik bu," jawab Leon dan sesaat kemudian ia dengan motor sportnya sudah pergi meninggalkan rumah Vania.
Vania dan Bu Lina bergegas masuk ke dalam rumah. Namun tiba-tiba...
Brukkk...
Tubuh Bu Lina jatuh di atas lantai dan dengan kondisi sudah tidak sadarkan diri.
"Ibu...,"teriak Vania. "Ibu bangun bu..., ibu kenapa? Tolong...tolong...," serunya.
Orang suruhan Nyonya Laras yang hendak pergi pun melihat kejadian di rumah Vania. Ia lun merekam lalu mengirimkannya ke Nyonya Laras.
Kring....
"Halo bos," ucap laki-laki tersebut.
"Kamu pantau terus perempuan itu dan kabari saya," titah Nyonya Laras.
"Baik bos."
Tak berapa lama Pak Indro, suami Bu Lina baru datang dari warung dan mendengar teriakan Vania.
"Vania.., ibu kamu kenapa?" ucap Pak Indro yang langsung berlari masuk ke dalam rumah.
"Bapak.., ibu pak. Ibu tiba-tiba pingsan."
"Kok bisa? Sekarang kita bawa ibu ke puskesmas terdekat dulu ya."
"Iya pak."
Lima belas menit kemudian, Vania dan Pak Indro sudah tiba di puskesmas. Namun pihak puskesmas menyarankan untuk membawa Bu Lina ke rumah sakit.
Pak Indro duduk terdiam sambil menangkup kedua wajahnya bingung. Melihat kesedihan bapaknya, Vania pun ikut duduk bersama di sana.
"Gimana pak? Apa kata dokter?" tanya Vania sambil menangis.
"Jantung ibu kamu kambuh Van. Dan perawat bilang, ibu kamu harus segera di bawa ke rumah sakit. Kalau tidak ibu kamu bisa tidak selamat. Sedangkan untuk makan saja kita susah," lirih Pak Indro.
Vania hanya bisa mendengar keluh kesah bapaknya. Bisa saja ia meminjam uang pada Leon, tapi dia juga tidak mau jika mamanya Leon semakin berpikir buruk tentangnya.
"Gimana ini Van?" ucap Pak Indro kembali.
"Bapak tunggu di sini dulu ya. Vania coba cari pinjaman ke tetangga."
"Memang bisa nak?"
"Kita coba dulu ya pak."
Vania bergegas keluar dari puskesmas, namun tiba-tiba ada seorang wanita berpenampilan mewah yang tak asing berdiri menghadang langkahnya.
"Tante Laras?" lirih Vania.
Nyonya Laras tersenyum getir ke arah Vania sambil melepas kacamata hitamnya.
"Saya tahu masalah kamu dan saya bisa membantu ibu kamu. Tapi jauhi Leon dan putuskan hubungan kalian," cetusnya.
Vania membalas senyum getir Nyonya Laras, namun ia tidak menanggapinya dan bergegas berjalan melewatinya.
"Vania tunggu," ucap Bu Laras.
"Ada apa lagi tante? Maaf tan, bukannya saya gak mau menerima bantuan tante. Tapi saya sangat mencintai Leon, begitu juga sebaliknya. Jadi maaf kalau Vania menolak keinginan tante. Vania permisi tante."
"Tunggu dulu," ucap Nyonya Laras sambil berjalan menghampiri Vania.
"Ini nomor handphone saya, siapa tahu kamu berubah pikiran," ucapnya sambil memberikan secarik kertas lalu pergi meninggalkan Vania.
Vania menatap kepergian Nyonya Laras dengan air mata yang terus mengalir dari kedua kelopak matanya.
"Apa sebegitu rendahnya saya di mata tante? kenapa tante ingin sekali memisahkan hubunganku dengan Leon?" batinnya.
Vania pun segera menghapus air matanya dan bergegas mencari pinjaman uang untuk ibunya. Namun hingga petang, tak ada satu orang pun yang mau memberikan pinjaman untuknya.
Kring...
"Halo pak," ucap Vania menyapa telpon dari bapaknya.
"Van, ibu kamu semakin kritis. Apa kamu sudah berhasil mendapat pinjaman nak?"
"Belum pak."
"Terus ini gimana Van? Bapak takut jika ibu kamu me..."
"Stop pak, jangan bilang gitu. Setengah jam lagi Vania pasti dapat pinjaman pak. Dan Vania minta bapak jangan bilang kayak gitu. Ibu pasti bisa sembuh."
"Iya nak, tapi kamu mau pinjam siapa?"
"Sudah bapak gak usah mikir. Yang terpenting ibu sembuh pak."
"Iya Vania."
Setelah mengakhiri panggilannya dengan Pak Indro, Vania mengambil kertas pemberian Nyonya Laras.
"Maafkan aku Leon, aku terpaksa melakukan ini," gumam Vania sambil menekan nomor Nyonya Laras.
Di Kediaman Mahardika...
Nyonya Laras dan Leon sedang makan malam bersama di ruang makan. Semenjak Loen memperkenalkan Vania, hubungan antara dirinya dan mamanya memburuk. Dan suasana di ruang makan sangat hening bak di kuburan.
Sesaat kemudian, Ziva datang. Ziva adalah sahabat Leon dari kecil yang sekaligus anak dari Nyonya Lia, sahabat dekat mamanya Leon.
"Malam tante.., malam Leon..," sapa Ziva yang langsung mencium pipi Nyonya Laras. Sedangkan Leon hanya membalas sapaan Ziva dengan senyum.
"Malam sayang. Kamu kesini sama mama kamu apa sendiri?"
"Sendiri tante. Mama minta tolong sama Ziva buat mengantar coklat dari Belanda, katanya kesukaan tante. Kebetulan papa habis pulang dari sana."
"Wah..,wah.., Lia masih ingat saja kesukaan ku ya. Kamu memang calon menantu idaman. Tapi sayangnya anak tante itu buta. Gak bisa milih mana yang berlian mana yang perak," sindir Nyonya Laras.
Prang...
Leon segera menaruh sendok dan garpunya di atas piring dan menatap sinis mamanya.
"Ziv, aku udah kenyang. Aku pergi ke kamar dulu ya," pamit Leon pada Ziva.
"Iya Leon."
Nyonya Laras tak bergeming. Ia tetap melanjutkan makanannya tanpa menoleh ke arah Leon.
Akhirnya Leon pun sudah masuk ke dalam kamar. Dan Ziva yang di kenal Leon adalah sahabat yang baik dan mendukung hubungannya dengan Vania berubah menjadi serigala yang siap menjatuhkan Vania di depan Nyonya Laras.
"Ziva..., apa Leon masih sering berduaan di sekolah dengan gadis miskin itu?"
"Masih tante. Bahkan Leon juga sering mentraktir Vania dan teman-temannya. Siapa lagi kalau bukan Vania yang merengek memaksa Leon. Secara dia Leon kan anak orang kaya tante. Ya di manfaatin lah."
Bruakkk...
Nyonya Laras memukul tangannya ke atas meja makan. Sikap Leon benar-benar membuatnya geram.
"Sudah tante duga, dia hanya perempuan matre," ucapnya kesal.
"Bener itu tante," jawab Ziva yang masih terus mengompori Nyonya Laras.
Dalam hatinya, Ziva tersenyum penuh kemenangan. Hanya lewat mamanya Leon dia akan berusaha memisahkan Leon dan Vania.
Ziva memang sudah lama menyukai Leon. Namun ia tidak berani mengungkapkan perasaanya tersebut. Ziva sadar dan tahu jika cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Leon hanya menganggap dirinya sahabat tidak lebih. Tanpa Leon tahu jika sahabatnya itu adalah musang berbulu domba.
Di saat Nyonya Laras sedang sibuk menyusun rencana dengan Ziva, ada nomor asing yang masuk ke ponselnya.
Kring...Kring...
"Tante ada telpon, tapi cuma nomor aja," cetus Ziva.
"Biarin aja. Paling orang iseng."
"Ya jangan gitu dong tante, siapa tahu penting loh."
"Iya deh sayang. Tante angkat dulu ya."
Ketika hendak mengangkat telponnya, panggilan tersebut mati. Dan tak lama kemudian, telpon itu kembali menghubungi nomor Nyonya Laras.
"Halo," sapa Nyonya Laras.
"Halo tante. Ini saya Vania," lirih Vania dengan suara yang berat dan serak.
"Vania?" Nyonya Laras melirik ke arah Ziva dengan seringai licik di bibirnya. "
Oh iya saya ingat. Bagaimana? apa akhirnya kamu bersedia menerima tawaran saya?"
"Iya tante, saya bersedia. Tapi saya butuh uangnya 50 juta untuk operasi ibu saya tante."
"No problem, tidak masalah. Nanti saya akan suruh anak buah saya ke puskesmas tepat ibu kamu di rawat tadi dan tolong tanda tangani surat perjanjian yang nanti akan di bawa anak buah saya. Kamu paham?"
"Paham tante," jawab Vania dengan air mata yang berderai di atas pipinya.
"Bagus. Saya harap kamu tidak ingkar janji."
"Insyaallah tidak tan. Tapi jika Leon masih terus mendekati saya bagaimana?"
Nyonya Laras terdiam sejenak sambil memikirkan kata-kata Vania. Memang selama ini ia melihat jika Leon adalah tipe anak yang tidak mudah percaya sebelum ia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Tante...," lirih Vania.
"Oh soal itu, saya akan pikirkan cara biar Leon bisa membenci kamu selama hidupnya."
"Tante ingin membuat Leon membenci saya?" tanya Vania dengan rasa sesak di dadanya. Mana bisa ia melihat Leon membencinya, sedangkan dia sangat mencintai Leon.
"Kenapa? Kamu keberatan? Kalau memang iya, tidak masalah. Saya rasa telpon ini sia-sia, kamu itu hanya membuang-buang waktu saya," cetus Nyonya Laras yang bersiap mematikan sambungan telponnya.
"Tunggu tante...,tunggu..," seru Vania.
"Apalagi? Bukannya tadi kamu keberatan?"
"Tidak tante, baik saya akan mengikuti apa perintah dan cara tante."
"Anak pintar. Kamu tunggu saja di depan, setengah jam lagi anak buah saya akan datang."
"Baik tante," jawab Vania pelan. Dan ia pun segera mematikan sambungan telpon dengan mamanya Leon.
Sekujur tubuh Vania melemas. Vania terduduk di pinggir jalan sambil meratapi nasibnya kini. Dadanya terasa sesak, hatinya berdesir hebat, dan air mata tak pernah berhenti mengalir dari matanya.
"Ya Tuhan.., kenapa aku dan Leon gak bisa bersatu. Kenapa harus ada orang kaya dan orang miskin. Kenapa Tuhan?" seru Vania dalam tangisnya. Setelah puas menangis, Vania bergegas pergi ke puskesmas dimana ibunya di rawat sekarang.
****
Di rumahnya, Nyonya Laras dan Ziva merayakan kemenangan mereka. Dan Ziva membantu memberikan saran untuk Nyonya Laras tentang rencana apa yang bisa membuat Leon membenci Vania.
"Sayang..., jika Leon sudah putus dengan gadis miskin itu tante harap kamu mau ya menjadi kekasih Leon. Karena hanya kamu yang pantas menjadi menantu tante kelak. Kamu gak keberatan kan sayang?"
Ziva tersenyum tipis sambil mengangguk pelan. "Iya tante, lagipula Ziva udah lama suka sama Leon."
"Apa?? Jadi kamu selama ini menyimpan perasaan untuk Leon? Kok tante sampai gak sadar sih? Sini sayang," ucap Nyonya Laras sambil merentangkan kedua tangannya dan di sambut pelukan hangat Ziva. "Tante bakal setuju kalau kamu yang jadi kekasih Leon. Karena memang itu harapan tante. Dan tante akan bantu kamu buat mendapatkan cinta Leon," sambungnya.
"Makasih tante."
"Sama-sama sayang."
****
Sesampainya di puskesmas, Vania bergegas lari ke ruang IGD dan melihat bapaknya masih menangis sambil mendongakkan kepalanya ke atas.
"Bapak..," seru Vania sambil berlari ke arah Pak Indro.
"Vania.., kamu udah dapat pinjamannya nak?"
"Sudah pak. Sebentar lagi uangnya di kirim."
"Kirim? memang kamu pinjam berapa dan sama siapa Van? Ini uang halal kan nak?" tanya Pak Indro menyelidik.
"Iya pak, halal," Vania sudah tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dan langsung memeluk tubuh bapaknya dengan erat.
"Cerita sama bapak pak. Kamu pinjam ini dari siapa?"
Vania pun menceritakan semua kepada bapaknya. Mungkin dengan cerita begini, akan sedikit mengurangi kesedihan nya.
Pak Indro menghela nafas. Ia tahu betul Leon adalah anak yang baik. Dan ia juga tahu jika putrinya dan Leon saling mencintai.
"Van.., apa kamu batalkan saja uang dari mamanya Leon. Bapak gak tega lihat kamu sedih seperti ini nak. Biar bapak yang coba cari pinjaman."
"Jangan pak..., gak usah. Kita sudah gak ada waktu lagi. Abaikan aja perasaan Vania. Mungkin Vania dan Leon memang di takdirkan untuk tidak bersama."
"Vania...," Pak Indro kembali memeluk tubuh putrinya. "Kamu memang anak yang berbakti sama orang tua nak. Sampai kamu rela mengorbankan perasaan kamu demi kami."
"Sudah ya pak, jangan bahas soal perasaan Vania. Yabg terpenting sekarang kita fokus sama kesembuhan ibu."
"Iya nak."
Di sela-sela perbincangan Vania dan bapaknya, Leon menelpon Vania.
"Siapa nak?" tanya Pak Indro.
"Leon pak."
"Kenapa gak diangkat?"
"Gak usah pak. Mulai detik ini Vania akan menjauh dari Leon."
"Kamu yang sabar ya Vania. Percayalah sama bapak, kalau memang kalian berjodoh pasti Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."
"Iya pak."
Di dalam kamarnya, Leon mulai khawatir dan cemas, karena tidak biasanya Vania bersikap demikian. Leon pun segera menyambar jaket dan kunci motornya lalu bergegas menuruni anak tangga.
"Mau kemana kamu Leon?" tegur Nyonya Laras.
"Ke rumah Vania," ketus Leon sambil berlalu pergi meninggalkan mamanya dan Ziva.
"Ziva kamu bisa lihat kan, semenjak berhubungan dengan gadis miskin itu Leon jadi anak yang pembangkang. Padahal semenjak papanya meninggal, cuma Leon yang tante punya."
"Sabar ya tante. Ziva juga merasa demikian kok tan. Semenjak ada Vania, Leon udah jarang main sama Ziva."
"Iya sayang. Oh iya soal rencana kamu tadi apa kamu yakin berhasil?"
"Yakin 100 % tan. Karena hanya Morgan, laki-laki yang paling di cemburui Leon. Dan Morgan sendiri juga udah lama suka sama Vania," jawab Ziva penuh percaya diri.
Sesampainya di depan rumah Vania, nampak semua lampu di sana mati. Leon pun berfikir jika Vania dan keluarganya sudah tidur. Dan akhirnya Leon memutuskan untuk pulang kembali ke rumah.
Tanpa terasa seminggu sudah berlalu. Leon semakin gelisah, karena seminggu sudah ia tidak mengetahui keberadaan kekasihnya. Dan hari ini adalah hari kelulusan sekolah. Leon masih setia menunggu kekasihnya di depan pintu gerbang sekolah, namun Vania masih juga tak terlihat.
"Dimana kamu Vania. Kenapa nomor kamu sudah gak aktif. Rumah kamu pun selalu sepi. Kamu sebenarnya ada dimana? Atau kamu sudah pindah? Tapi kenapa kamu tidak memberitahuku?" batin Leon resah.
Tak lama orang yang di nantikan Leon datang, namun ia bukan naik angkot seperti biasa melainkan turun dari mobil seorang laki-laki yang amat Leon benci.
"Vania..., kenapa dia bisa bersama Morgan?" gumam Leon dengan kedua tangan yang mengepal.
Leon pun segera berlari menghampiri keduanya. Amarahnya memuncak tatkala Morgan merangkul mesra pinggang Vania di depan Leon.
"Vania!! Tolong jelaskan sama aku, kenapa kamu bisa berangkat sama laki-laki brengsek ini. Kemana aja kamu? Seminggu ini aku selalu datang ke rumah kamu, tapi rumah kamu selalu sepi. Seminggu ini aku juga terus mencoba menghubungi kamu, tapi nomor kamu juga tidak aktif. Dan sekarang kamu datang dengan laki-laki ini. Cepat jelaskan apa maksud semua ini!!" gertak Leon.
Vania mencoba menahan air matanya. Ia menatap Leon sinis dan menyandarkan tubuhnya ke dalam pelukan Morgan.
"Maaf Leon, aku rasa aku lebih memilih Morgan. Dia jauh lebih kaya dari kamu dan selama ini aku sama sekali tidak mencintai kamu. Aku hanya memanfaatkan keroyalan kamu. Dan aku rasa hubungan kita sampai di sini," cetus Vania sambil menarik tangan Morgan melewati Leon.
Tapi seperti apa yang sudah Vania duga sebelumnya, Leon jelas tak percaya begitu saja. Ia menahan tangan Vania dan menarik pergelangan tangannya.
"Tunggu Vania, aku tahu kamu tidak bersungguh-sungguh berkata demikian bukan? Kamu benar-benar tidak ingin mengakhiri hubungan kita kan?" desak Leon.
Dengan cepat Morgan menghempaskan tangan Leon dari tangan Vania.
"Sudah bro, mengalah saja. Jelas-jelas Vania lebih memilih gue daripada loe! Jadi akuin aja kalau memang gue jauh lebih dari segalanya dari loe!" bentak Morgan.
"Diem loe!! Gue lagi bicara sama Vania bukan sama loe!"
"CUKUP!!!" seru Vania. "Leon.., aku minta berhenti mengejarku dan berharap dengan hubungan ini. Karena aku dan Morgan akan segera menikah."
"Menikah???" lirih Leon yang masih tak percaya dengan semua perkataan Vania. Sejenak diam, Leon malah tertawa. "Alasan yang tidak masuk akal, kamu itu pacaran lama sama aku dan tiba-tiba kamu datang dan bilang mau menikah dengan dia! Kamu ini kenapa sih Vania, tolong bilang jujur sama aku," sambungnya.
"Leon.., Leon..., kamu dengar kan Vania bilang apa, kami akan menikah!" sahut Morgan yang semakin membuat kemarahan Leon memuncak. Tangannya sudah menarik kerah baju Morgan dan bersiap melempar bom atom ke wajahnya.
Melihat emosi Leon yang tak terkendali, Vania pun terpaksa menggunakan cara terakhir yang do berikan oleh Nyonya Laras dan Ziva.
"LEON BERHENTI!! ASAL KAMU TAHU AKU SEDANG HAMIL ANAK MORGAN!"
Jedddeer...
Leon merenggangkan cengkeramannya dan sebelah tangannya mengepal keras. Ia mengalihkan pandangannya dam menatap lekat kedua mata Vania. Ucapannya membuat hati Leon seperti tercabik-cabik.
Tiga tahun mereka berpacaran, Leon selalu menjaga tubuh kekasihnya. Tapi sekarang apa yang ia dengar dari mulut Vania, sungguh membuat kepercayaannya mulai di lema.
Leon masih belum percaya seutuhnya. Ia pun meminta bukti kepada Vania tentang pernyataannya barusan.
"Jika memang kamu hamil, aku ingin lihat hasil test peck atau hasil lab," cetus Leon.
Vania terdiam, ia tidak memiliki semua bukti yang Leon minta. Tiba-tiba Morgan mengambil ponselnya dan menunjukkan saat ia sedang berada di ranjang bersama Vania. Sebenarnya itu hanya foto rekayasa dari Ziva, karena memang Ziva sudah hafal betul bagaimana Leon.
"Apa bukti ini sudah cukup membuat loe percaya bro?" ucap Morgan sembari memperlihatkan fotonya bersama Vania.
Deg....
Leon melirik tajam ke arah Vania. Ia berdiri menatap lekat wajah Vania penuh kebencian.
"Rupanya aku salah menilai kamu selama ini. seharusnya aku memang mendengarkan apa kata mamaku. Kamu itu gak lebih dari perempuan murahan yang rela mengobral tubuh kamu demi uang. Aku benci kamu Vania, dan sampai kapan pun aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi. Mulai detik ini hubungan kita selesai," ucap Leon sembari berjalan meninggalkan Vania pergi.
Air mata Vania luruh. Buliran-buliran kristal itu mulai berjatuhan dari kedua kelopak matanya. Hatinya sakit mendengar ucapan Leon yang merendahkan dirinya. Padahal biasa bibir Leon selalu berkata dan memberi pujian-pujian serta gombalan untuknya.
Melihat kesedihan gadis yang di cintainya, Morgan berusaha meraih tubuh Vania. Namun dengan cepat Vania membuang tangan Morgan.
"Van, masih ada gue yang cinta sama elo," ucap Morgan.
"Pergi loe Gan. Tugas loe udah selesai, dan gue lagi pengen sendiri."
"Tapi Van..."
"Gue bilang pergi ya pergi!!! Dan jangan harap gue bisa mencintai elo. Karena sampai kapan pun cinta gue cuma buat Leon. Gue putus bukan karena keinginan gue, dan elo tahu itu bukan!"
"Iya gue tahu, tapi kasih gue kesempatan buat gantiin posisi Leon di hati loe. Loe lihat kan, Leon udah benci elo. Apa yang mau loe harapin lagi dari dia. Mamanya aja juga gak suka sama elo!" gertak Morgan
"Maaf Gan, tapi gue masih pengen sendiri. Gue maklum kalau Leon benci sama gue, karena siapa pun yang akan melihat foto itu pasti akan marah. Dan gue gak pernah nyalahin Leon soal itu."
"Oke deh Van, kalau itu mau loe. Tapi jangan sungkan kalau loe membutuhkan gue sewaktu-waktu, karena cinta gue buat loe gak akan berubah. Dan gue akan selalu nungguin elo sampai loe bisa buka hati buat gue."
"Thanks ya Gan."
"Iya sama-sama."
Vania menoleh ke belakang, melihat mobil Nyonya Laras yang sedari tadi mengamati dirinya. Vania melihat Nyonya Laras tersenyum sambil memeluk Ziva dan mengacungkan jempol ke arah Vania.
"Pasti tante udah senang kan bisa memisahkan saya dan Leon. Dan loe Ziv, gue kira elo beneran sahabat Leon dan sahabat gue, tapi nyatanya loe malah nusuk gue dari belakang. Maafin aku Leon, aku tahu sekarang kamu pasti benci dan jijik lihat aku," umpat Vania dalam hati. Dan sesaat setelah itu mobil Nyonya Laras sudah berlalu pergi meninggalkan area sekolahnya.
Di jalan Leon tak bisa lagi menyembunyikan rasa kecewanya pada Vania. Ia berteriak seperti orang gila, meluapkan segala penat dalam hatinya. Leon masih tak menyangka jika Vania tega berbuat hal yang menghancurkan hatinya sekarang.
"Gue benci elo Vania!!! Gue benci loe!! Dasar perempuan murahan!! Sampai kapan pun gue udah gak mau kenal sama elo!!" teriak Leon tanpa memperdulikan cemoohan orang-orang sekitar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!