NovelToon NovelToon

Eliziane

Bab 1

"Jika mabuk perjalanan seharusnya berdiam diri di dalam rumahmu Nona, bukan melakukan perjalanan panjang ini." Ucap seorang laki-laki tampan yang kini sedang menyodorkan sapu tangan pada Ziane

"Terimakasih." Ucap Zia lalu meraih sapu tangan putih itu kemudian membersihkan sisa-sisa muntahan yang masih melekat di sudut bibirnya.

Laki-laki tampan dengan stelan jas mahal yang melekat di tubuhnya kembali fokus pada benda yang berada di dalam genggamannya. Mengusap layar yang memuat berbagai informasi perusahaannya dengan perlahan agar tidak ada satupun laporan yang dia terima hari ini terlewatkan dari penglihatannya.

"Eliziane." Ucap Zia sembari mengulurkan tangannya ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya.

Laki-laki itu menoleh meanatap wajah teduh berbalut hijab itu, namun tidak menyambut uluran tangan Zia.

"Alard." Ucapnya lalu kembali mengalihkan tatapannya pada benda pipih di tangannya.

Suasana kelas bisnis dalam pesawat yang baru saja meninggalkan ibu kota Jakarta sudah kembali hening. Tangan mungil yang tidak tersambut tadi, sudah di tarik kembali oleh pemiliknya.

Tubuh mungil itu sudah bersandar dengan nyaman, ini penerbangan pertamanya dengan perajalanan yang begitu panjang.

Hanya sesekali dia menggunakan pesawat untuk mengunjungi makam mendiang Eyang Abinya di Bandung, dan kini dia harus bersabar dengan mual yang melandanya selama lebih dari enam belas jam kedepan. Mabuk udara, sungguh itu sangat menyiksa apalagi harus duduk berdampingan dengan orang arogan seperti laki-laki yang ada di sampingnya inu.

Tatapannya mengarah pada jendela pesawat, melihat awan putih yang begitu indah di luar pesawat sayangnya benda yang begitu terlihat empuk tidak akan bisa menahan berat tubuhnya.

"Minumlah." Ucap Alard sambil menyodorkan air minum juga satu pil ke arah Zia.

"Untukku ?" Tanya Zia. Kali ini dia merasa tidak enak karena sudah menuduh pria di sampingnya ini sebagai orang arogan.

"Tentu saja, di dalam kelas bisnis ini tidak ada orang lain yang merasa mabuk selain kamu." Ujar Alard ketus.

"Terimaksih." Ucap Zia dengan wajah yang semakin cemberut karena mendengar kalimat ketus yang keluar dari mulut aki-laki yang ada di sampingnya ini. Yah dia tidak salah sudah menuduh laki-laki ini sebagai orang yang arogan karena itu memnag benar adanya.

Zia memeriksa pil yang di sodorkan Alarad terlebih dahulu sebelum meminumnya.

"Itu pil pereda mual dokter." Ucap Alard sambil menatap lekat ke arah Zia. "Aku tidak berniat meracuni orang yang sedang sekarat menahan mabuk di dalam pesawat." Sambungnya lagi lalu kembali mengalihkan tatapannya ke layar tab miliknya.

"Sekarang aku semakin curiga, dari mana kamu tahu aku seorang dokter ?" Tanya Zia kesal. Laki-laki di sampingnya ini tidak ada sopan santun berbicara, padahal mereka baru saja bertemu hari ini.

"Itu." Tunjuk Alard pada satu buah buku yang ada di atas meja di samping Zia. "Hanya seorang dokter yang memvawa buku nembisankan seperti itu di dalam pesawat." Sambungnya.

Melihat Alard sudah menyelesaikan pekerjaannya, wanita mudah dengan rok selutut datang mendekat sambil membawakan selimut untuk atasannya.

"Terimakasih Gerin" Ucap Alard lalu menyerahkan tab tersebut pada wanita kepercayaannya.

"Selamat beriatirahat Tuan." Ucap Gerin kemudian beralalu dari sana.

"Cih... apa mereka sedang syuting drama." Gumam Zia pelan lalu kembali mengalihkan tatapannya pada jendela pesawat.

Awan yang tadinya begitu terlihat putih, perlahan mulai menguning bersamaan dengan matahari yang mulai tenggelam dan akhirnya siang cerah kini berganti dengan gelapnya malam.

Laki-laki di sampingnya sudah terlelap. Zia tersenyum sambil menatap wajah rupawan yang ada di sampingnya. Sungguh ini pertama kalinya dia merasa terpengaruh dengan sikap dari kaum Adam.

Perlahan matanya pun ikut terlelap bersamaan dengan do'a yang dia lafadzkan di dalam hatinya. Meminta pada sang pemilik kehidupan untuk menjaga dan melindungi perjalanan panjangnya hari ini.

Saat memastikan gadis yang menatapnya sudah terlelap, Alard memberanikan dirinya untuk menatap gadis mungil di sampingnya.

Ini pertama kalinya dia perduli pada orang lain, terlebih lagi prang itu adalah seorang gadis. Sudut bibirnya terangkat, ada senyum yang jarang dia tunjukan kini terlihat di wajahnya.

"Maafkan aku Karen." Ucapnya pelan lalu mengalihkan pandangannya dari Zia.

****

Wellcome Berlin..

Rumah-rumah sudah mulai terlihat, pesawat yang di tumpanginya mulai turun dari ketinggian menuju landasan pendaratan.

"Aku benar-benar berhasil meninggalkan Jakarta." Ucap Zia pelan sambil menatap ke arah luar jendela pesawat. Fikirannya kembali yeringat pada laki-laki paruh baya yang selalu posesif dengannya. Butuh perjuangan yang panjang untuk bisa meyakinkan sang Ayah agar memberinya izin untuk melanjutkan spesialisnya di Negara Federasi dengan penduduk Imigran tertinggi ketiga di dunia ini.

"Aku rindu Ayah." Lirihnya. Sungguh dia merindukan laki-laki terbaiknya itu.

Suara indah dari pramugari memyadarkannya dari lamunan tentang sang Ayah. Tatapannya mengarah pada laki-laki yang masoh terlelap di sampingnya saat pramugari menyampaikan untuk memasang sabuk pengaman karena pesawat akan segera mendarat.

Dengan memberanikan dirinya, Zia bersuara sedikir keras untuk membangunkan laki-laki di sampingnya ini. Meskipun merasa tidak enak, namun dia harus melakukannya.

"Permisi,," Ucap Zia pada laki-laki yang masih terlelap di sampingnya.

Wajah yang masih terlihat mengantuk itu mulai membuka matanya, dan kini manik cokelat itu sudah menatap tajam ke arahnya.

"Ada apa ?" Tanya Alard sedikit kesal karena gadis di sampingnya ini begitu berani mengganggu tidur lelapnya.

"Petugas pesawat meminta kita untuk segera memasang sabuk pengaman, pesawat akan segera mendarat." Jawab Zia lalu segera memutus tatapannya dengan Alard.

Alard segera memasang sabuk pengaman pada tubuhnya, tanpa menghiraukan lagi gadis yang sudah menatap ke luar jendela pesawat.

***

Ziane sudak keluar dari pintu kedatangan, pandangannya menyusuri setiap orang yang berdiri di ruang tunggu. Melihat satu persatu papan yang ada mencari namanya tertulis di sana.

Senyum terlihat di wajahnya bersamaan dengan ucapan Alhamdulillah saat melihat laki-laki terbaik ke dua dalam hidupnya sedang melambai ke arahnya.

"Kak.." Teriak Zidan masih dengan lambaian antusias menyambut kedatangan sang kaka di Negara tempat dia menuntut ilmu.

Zia melangkah mendekat, dan tidak jauh dari tempat mereka berada laki-laki yang enam belas jam lalu bersamanya kini sedang menikmati couman panjang di depan umum bersama dengan gadis pirang.

"Selamat datang di negara bebas kak.' Ucap Zidan saat mengikuti arah tatapan sang kaka.

"Apa harus seperti itu dek ?" Tanya Zia risih.

"Ini bukan di Indonesia, acuhkan saja. Hal seperti itu sudah biasa di sini." Jawab Zidan sambil meraih koper milik Zia dan di tariknya keluar bersama dengan genggaman erat di jemari kaka tersayamganya.

"Ibu apa kabar ?" Tanya Zidan.

"Dia selalu rindu padamu." Ucap Zia cemberut dan membuat Zidan terkekeh.

"Aku juga merindukannya." Ucap Zidan sambil tersenyum. Dia merindukan wanita terbaik itu, namun cita-cita harus tetap menjadi prioritasnya saat ini.

***

Zia tersenyum, tataoannya kembali mengarah pada laki-laki yang sedang menrengkuh pinggang ramping di sampingnya. Ah hati yang sempat berdebar di dalam pesawat beberapa jam yang lalu, harus segera dia lupakan, laki-laki itu sudah memiliki wanita lain dalam hidupnya.

Takdir, kehidupan manusia tidak akan pernah luput dari kata ini, dan tentu saja setiap apa yang terjadi dalam kehidupan manusia, sudah di gariskan dengan rapi oleh sang pemilik kehidupan.

Siapa yang akan menebak, pertemuan di dalam pesawat akan menjadi awal dari takdir dua orang manusia.

Bab 2

Jakarta, 6 tahun kemudian

Menghabiskan waktu di Rumah Sakit sudah menjadi rutinitas Zia selama empat bulan ini. Cahaya matahari yang mulai terbenam di ufuk barat mulai menembus tirai ruangan milik wanita yang berumur dua puluh sembilan tahun ini.

Zia masih duduk di kursi putarnya, menghadap jendela dengan sedikit sinar matahari yang mulai menguning masuk melalu celah tirai yang sedikit terbuka.

"Kenapa menolaknya nak, dia laki-laki baik dan sudah punya Firma Hukum. Ibu yakin kalian akan sangat cocok nanti." Ucapan sang ibu semalam kembali terngian di gendang telinganya. Bukan karena dia tidak ingin menikah dengan putra sahabat ibunya itu, hanya saja bukanlah seorang Rehan jawaban dari sujud di sepertiga malamnya.

Zia beranjak dari kursinya, lalu mulai merapikan barang-barang pribadinya ke dalam tas. Semua manusia punya masalah dan cobaan hidup masing-masing, masalah semalam harus dia hadapi dengan kepala dingin. Sedikit tidak tega melihat kekecewaan dari wajah sang ibu semalam karena penolakannya, namun memang hati memintanya untuk melakukan itu. Belum menikah di usia ini bukanlah keinginannya, namun Allah memang belum mengirimkan orang yang pantas untuknya.

"Permisi dok.." Ucap asisten Zia saat pintu yang baru saja di ketuknya sedikit terbuka.

"Ada apa Wina ?" Tanya Zia pelan tanpa menoleh, tangnya masih sibuk merapikan beberapa barang di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas.

"Ada pasien lagi dok," Ucap Wina tak enak. Dia tahu waktu kerja dari dokter yang masih setia dengan kesendiriannya ini sudah selesai sejak beberapa jam yang lalu, namun pasien yang ada di belakangnya adalah pemilik rumah sakit ini.

Zia menghentikan aktivitasnya lalu melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Tapi jam kerja saya sudah selesai Win, aku harus segera kembali." Jawab Zia lugas lalu meraih tas dan jas dokternya untuk segera pulang. Ibunya sudah menunggu, dan masalah baru akan bertambah jika hari ini dia tidak segera kembali ke rumah.

Langkahnya terhenti saat pasien yang di beritahukan asistennya sudah menerobos masuk ke dalam ruangannya. Ini bukan pasien, laki-laki tua yang masih terlihat sehat dan bugar ini adalah pemilik rumah sakit tempat dia bekerja, dan ada apa gerangan hingga memaksa bertemu dengannya.

"Tidak apa-apa Wina, ini tidak akan lama." Ucap Zia saat melihat tatapan tidak enak dari asistenya.

Wina mengangguk lalu kembali menutup pintu ruangan Zia dengan perlahan.

"Mari pak, silahkan duduk." Ucap Zia sopan, tubuhnya sudah kembali mendarat di kursinya, sedangkan laki-laki yang umurnya sudah lebih tua dari sang ayah itu duduk di kursi yang ada di depannya.

Sebuah dokumen yang terbungkus kertas berwarna cokelat sudah berada di hadapan Zia, namun dokter cantik itu masih diam sambil menatap lekat wajah laki-laki tua di hadapannya ini.

"Menikahlah dengan putra saya." Ucap Adrian singkat.

Zia terdiam, sungguh dia masih tidak percaya apa yang dia dengar beberap detik yang lalu. Petinggi runah sakit memintanya untuk menikah dengan putranya yang belum pernah dia temui.

"Ambilah dokumen ini, lihatlah jika sudah sampai di rumahmu. Saya bis membantu namun syaratnya kamu harus siap menikah dengan putra saya." Ujarnya lagi lalu segera berdiri dari kursi kemudian keluar dari ruangan dokter Ortopedi yang baru empat bulan ini berada di rumah sakitnya. Kepribadian Zia juga keahlian dalam menangani pasien, membuatnya tertarik dengan gadis yang sudah berumur itu.

Zia masih terdiam di kursinya, detakan jantungnya berpacu dan perasaannya semakin tidak enak. Dia yakin ada sesuatu yang sedang terjadi dengan keluarganya.

drrrtt....drrrttt

"Iya bu.." Jawab Zia segera.

"Kamu di mana nak ?" Tanya Anisa.

"Masih di rumah sakit bu." Jawab Zia pelan. Suara isakakan sang ibu sudah mulai terdengar di ujung ponselnya.

"Zia akan segera pulang bu, assalamualaikum." Ucap Zia lalu mengakhiri sambungan telepon dan bergegas keluar dari ruangannya menuju parkiran.

***

Mobil yang dia kenderai menembus jalanan padat ibu kota sudah terparkir di halaman rumahnya. Tanpa menunggu lama, Zia segera keluar dari dalam mobil lalu melangkah cepat menuju rumah.

"Ibu ada apa ?" Tanya Zia saat melihat sang ibu sudah sesegukan di ruang keluarga.

"Adik kamu nak." Jawab Anisa di sela-sela isakannya.

"Ada apa dengan Zidan bu ? Ayah mana ?" Tanya Zia beruntun namun sang ibu sudah kembali terisak.

Zia segera berdiri dari sofa tempat ibunya berada, tujuannya ruang lerja sang ayah. Laki-laki terbaik dalam hidupnya itu belum pernah mengabailan ibunya, namun kali ini dia mendapati ibunya sedang menangis sendirian di ruangan keluarga.

"Yah Zia masuk yaa.." Izinnya lalu perlahan membuka pintu ruang kerja yangs sering di gunakan Ayah dan Adiknya bercengkrama itu.

Zia tersentak mendapati ruangan yang sudah berantakan, dan Ayahnya terduduk lemas di sofa yang ada di ruangan itu.

"Apa yang terjadi Ayah ?" Tanya Zia.

"Zidan, adik kamu di tahan oleh pihak kepolisian." Ucap Dimas pelan. Sungguh laki-laki paruh baya itu begitu kalut karena sang putra yang dia besarkan sejak bayi terlibat dengan bisnis yang tidak sehat.

"Kenapa bisa yah ?" Tanya Zia.

Dimas menggeleng, dia pun kaget karena tiba-tiba saja ada petugas yang datang memeriksa seluruh ruangan kerjanya juga kamar sang putra.

Zia teringat dokumen yang di serahkan pimpinan rumah sakit padanya, gegas dia keluar dari ruangan kerja sang ayah menuju mobilnya, dia yakin ada kaitannya dengan maslaah baru yang kini menimpa keluarganya.

Zia terduduk lemas di dalam mobil, berkas tuntutan kini sedang dia baca dengan seksama. Jelas jika semua bukti penyelewengan itu mengarah pada adiknya. Tanpa izin atau apapun lagi pada dua orang terbaik dalam hidupnya di dalam rumah, Zia kembali melajukan mobilnya menuju kantor polisi dimana adiknya berada.

Dia akan meminta penjelasan tentang semua ini, sang Ayah seorang pebisnis handal namu. belum pernah terlibat dengan bisnis yang tidak sehat seperti ini.

***

Zia bergegas keluar dari dalam mobil menuju ruangan tempat adiknya berada, tubuhnya semakin terasa lemas saat melihat adiknya sedang terduduk diam di hadapan dua orang penyidik yang terus membentaknya.

"Permisi" Ucap Zia pelan. Dua laki-laki yang memakai stelan jas lengkap juga kartu nama yang menggantung di lehernya menatap le arah Zia yang sudha berdiri di belakang laki-laki mudah yang sedang mereka interogasi.

"Saya pendampingnya." Ucap Zia.

"Apa anda seorang pengacara." Tanya sala satu laki-laki yang sedang duduk di hadapan Zidan.

Zia menggeleng.

"Aku keluarganya." Ucap Zia.

"Ada apa dek ?" Tanya Zia pelan saat sudah duduk di samping adiknya.

"Ini tidak benar kak, mereka menjebakku." Jawab Ziadan pelan. Sungguh dia tidak tahu jika akan seperti ini, dia merasa benar-benar di jebak dengan bisnis ini. "Beberapa bulan ini semua berjalan dengan baik, dan tiba-tiba saja hari ini beberapa penyidik datang ke kantor dan membawaku." sambungnya.

Zia menarik nafasnya, lalu merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Menghubungi nomor yang tertulis di berkas yang dia baca tadi, lalu menyerahkan ponselnya pada salah satu penyidik yang ada di hadapannya.

Terlihat penyidik yang sedang berbicara melalui ponsel miliknya begitu patuh sambil menganggukkan kepalanya.

Bab 3

Mobil yang di kendarai Zia kini berhenti di sisi jalanan, kedua kakak beradik itu bernafas lega karena bisa selamat dari maut yang baru saja menyapa mereka malam ini.

Zia menatap nanar ke arah mobil yang hampir saja bertabrakan dengan mobilnya berlalu dari sana.

Fikirannya kacau, memilih mengeluarkan adiknya dari sana, itu berarti dia sudah menyetujui permintaan dari pemilik rumah sakit tempat dia bekerja. Dan semakin membuatnya takut, dia belum membicarakan apapun tentang masalah ini pada Ayah dan Ibunya.

"Ada apa ka ?" Tanya Zidan heran. Selama mereka hidup bersama, dia belum pernah mendapati kaka perempuanya terlihat tidak konsentrasi seperti ini. Wanita terbaik setelah sang Ibu ini selalu berhati-hati dalam hal apapun, dan baru saja mereka hampir kecelekaan karena sang kaka yang tidak berkonsentrasi dalam mengemudi.

"Zidan, kaka akan menikah." Ucap Zia seketika membuat mata Zidan terbelalak. Bagaimana bisa menikah, sedangkan wanita yang kini sedang duduk di sampingnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi mobil dan menutup mata ini baru saja menolak lamaran dari laki-laki sebaik Rehan dalam semalam.

"Menikah sama kak Rehan ?" Tanya Zidan sambil menatap lekat ke arah Zia. Tidak ada laki-laki lain yang dia tahu pernah berteman ataupun dekat dengan kakanya ini selain seorang pengacara yang merupakan putra dari sahabat ibunya itu.

Zia menggeleng.

"Putra dari laki-laki tua yang membantumu tadi." Jawab Zia pelan.

"Apa kaka menyukainya ?" Tanya Zidan kini sudah mengalihkan tatapannya dari sang kaka munuju mobil yang kini terparkir di depan mobil mereka. Hatinya mulai merasa tidak enak, dia sangat tahu cara kerja para pebisnis, mereka akan melakukan apa saja untuk bisa mendapat target mereka dengan mudah, dan dia semakin merasa khawatir jika orang-orang tadi sengaja menjebaknya untuk mendapatkan sang kaka.

"Kaka belum pernah melihatnya." Jawab Zia membuat Zidan segera mengalihkan tatapannya dari mobil yang terparkir tepat di hadapan mobil mereka ke arah kaka perempuannya yang masih menutup matanya.

"Bagaimana bisa kaka menyetujui menikah padahal belum melihat orang itu sama sekali." Ujar Zidan frustasi. "Jangan terlalu memikirkan perkataan orang tentang usia kaka. Lebih baik menua sendirian dari pada menua bersama dengan laki-kaki yang salah. Juga jika hanya karena agar aku terbebas dari sana, aku bisa mencari jalan keluar lain tanpa harus menyerahkan kaka pada mereka." Sambungnya.

Zia membuka matanya lalu menatap Zidan yang juga masih menatap lekat ke arahnya. Bayi laki-laki yang di bawa sang ibu dari Bandung sudah sebesar ini dan begitu menyayanginya. Putra dari wanita yang pernah melukai ibunya dulu kini sangat berarti dalam kehidupan keluarganya.

"Jangan khawatir, entah mengapa kali ini kaka tidak ragu untuk menyetujui permintaan laki-laki tua itu. Rasa ragu saat ingin mengatakan iya pada lamaran Rehan, kini tidak lagi kaka rasakan." Jawab Zia masih menatap lekat pada adiknya. "Kita pulang sekarang, jika ibu bertanya katakan saja semuanya hanya salah faham. Jangan membahas apapun tentang pernikahan kaka ini." Sambung Zia lalu kembali melajukan mobil di jalanan Jakarta menuju kediaman mereka.

"Lalu bagaimana kaka akan memberitahu Ayah soal ini ?" Tanya Zidan.

"Laki-laki tua itu berjanji akan datang langsung ke rumah untuk melamar sebagaimana mestinya." Jawab Zia masih terus mengendarai mobilnya dengan hati-hati.

Lampu-lampu jalan ibu kota sudah terlihat di sepanjang jalan yang mereka lewati. Tidak ada lagi pembahasan soal apapun, Zidan kembali terdiam dengan fikirannya sendiri. Hatinya merasa tidak rela jika harus membiarkan sang kaka untuk masuk dalam kehidupan dunia bisnis seperti ini, namun semuanya sudah di luar kendalinya.

Berbeda dengan Zia yang terus berusaha mengumpulkan semua keyakinan di dadanya untuk menerima dan menjalani ini. Menguatkan hatinya, mungkin saja ini adalah jawaban dari do'a-do'a di setiap sujudnya.

***

"Apa semua baik-baik saja nak ?" Tanya Anisa saat melihat dua anaknya memasuki ruangan keluarga tempat dia berada.

"Jangan terlalu khawatir bu, kami sudah dewasa." Ucap Zia menenangkan sang ibu yang terlihat cemas sambil mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

Zidanpun meraih tangan wanita yang sudah merawatnya dengan penuh kasih, lalu mencium punggung tangan itu sama seperti yang di lakukan Zia.

Langkah dua bersaudara itu berjalan menuju ruang kerja di mana sang Ayah berada. Laki-laki paruh baya itu pasti sangat mengkhawatirkan mereka saat ini.

"Yah.." Panggil Zia lalu masuk ke dalam ruang kerja yang terlihat berantakan. Berkas-berkas sudah berserakan di atas lantai karena penyidik yang menggeledah ruangan ini tadi.

"Apa semua baik-baik saja nak ?" Tanya Dimas khawatir pada Zia sambil beranjak dari kursi di belakang meja kerjanya lalu mendekati putrinya.

"Semua baik-baik saja Yah, mereka hanya salah faham saja." Jawab Zia dengan dada yang berdebar. Selama 29 tahun hidupnya baru kali ini dia membohongi sang ayah untuk ukuran masalah se besar ini.

"Jangan bohong nak, ini bukan lagi masalah saat kamu berbohong soal memakan permen yang bisa merusak gigimu." Ucap Dimas pelan lalu membalik tubuhnya menuju kursi sofa yang ada di dalam ruangan. Dia sangat tahu jika putrinya sedang menyembunyikan sesuatu. Gadis kecilnya ini sama sekali tidak pintar dalam berbohong.

"Ayah, semuanya sudah baik-baik saja. Jadi menurut Zia tidak ada lagi yang perlu di permasalahkan. Zidan sudah baik-baik saja, dia bisa kembali mengelolah perusahaan itu sebagaiman biasanya."Bujuk Zia pada sang Ayah. Yah dia memang tidak pintar untuk satu hal ini, menyembunyikan sesuatu dari sang ayah seperti hari ini sama sekali belum pernah dia lakukan sepanjang usianya.

Dimas memilih untuk mengerti apa yang sedang di fikirkan putrinya. Meskipun hatinya terasa menganjal, namun dia akan menunggu sampai putrinya ini bercerita padanya dengan sendirinya.

Zidan dan sang ibu yang masih berdiri di depan pintu ikut masuk ke adalam ruangan.

Anisa mulai memunguti satu per satu berkas yang sudah berserakan di atas lantai, lalu kembali merapikannya di atas meja kerja.

Zidan sudah mendekat ke arah sang kaka dan berdiri diam di samping wanita yang selalu menjadi penyelamatnya ini.

"Sini." Tepuk Dimas pada dua sisi sofa yang kosong di sampingnya. Dan dua buah hatinya yang kini sudah dewasa berjalan dengan patuh lalu duduk di sampingnya. "Ayah tahu kalian sudah dewas untuk memutuskan apa yang terbaik, namun alangkah baiknya untuk membicarakan lebih dulu pada Ibu dan Ayah." Ucap Dimas pelan.

Beberapa saat Zia terdiam, lalu kembali memberanikan dirinya untuk mengambil berkas yamg di berikan oleh pemilik rumah sakit dari dalam tasnya, lalu menyerahkan amplop besar berwarna cokelat itu pada ayahnya.

Dimas masih terlihat tenang sambil membaca setiap poin yang ada di sana. Masalah perusahaan yang wajar, tidak ada bisnis gelap yang di lakukan putranya.

"Zidan tidak bersalah dalam hal ini, semua bisnis yang dia jalankan sama seperti yang Ayah jalankan dulu." Ujar Zia. "Hanya saja, kerugian akan menimpa perusahaan jika tuntutan klien ini terus berlanjut." Sambungnya.

"Untuk itu Zia memilih untuk menerima tawaran dari pimpinan rumah sakit yang bersedia membantu Zidan, namun dengan syarat harus bersedia menikah dengan putranya." Ucap Zia pelan.

Dimas terkejut begitu pun dengn Anisa, keduanya kini menatap lekat ke arah putri mereka, memastikan jika kalimat yang baru saja mereka dengar ini tidak salah.

"Zia sudah menyetujuinya." Ucapnya membuat dua orang paruh baya yang ada di dalam ruangan semakin terkejut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!