NovelToon NovelToon

QUEEN, The Single Parent?

Bagian 1

...Alaa bizikrillaahi tathma innul quluub...

..."Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."...

...(QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 28)...

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Guru paling berharga adalah masa...

...lalu....

.......

“Aku sudah mengambil keputusan untuk kebahagiaan kita!” Tegas seorang wanita berhijab biru di tengah jalan sambil mengepalkan tinjuan ke udara.

Langit terlihat cerah hari ini, orang-orang berlalu lalang di sekitarnya menatap kebingungan. Kerutan demi kerutan kening yang melewatinya tidak ia pedulikan. Gemuruh semangat dalam dada begitu menggelora.

Angin menyapu hati gundah gelisah nya. Dokumen yang ia peluk satu pun tidak berhasil mendapatkan tanda tangan persetujuan pemilik perusahaan.

Sudah beberapa kali ia melamar pekerjaan, tetapi tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Ia tidak menyerah. Namun hal tersebut ia jadikan sebagai tameng jika mungkin rejekinya bukanlah di sana.

Wanita itu kembali melangkah membawa diri sendiri hingga tiba di bangunan bercat putih cokelat. Rumah itu menjadi saksi bisu seperti apa perjalanan kelam yang ia miliki.

Masa lalu bukan untuk dikenang, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran. Batu loncatan agar hidup di masa depan lebih cerah. Hingga kejadian itu tidak untuk dikenang, lagi.

Pintu depan terbuka lebar. Hal pertama yang menyambut kedatangannya adalah senyum cerah malaikat kecil. Seorang anak berusia dua tahun berjalan tertatih mendekat. Ia bersimpuh seraya merentangkan kedua tangan membalas sambutannya kemudian memeluk tubuh mungil itu, hangat. Aroma kayu putih dan bedak bayi menguar seketika. Ia menggendongnya dan duduk di sofa tunggal ruang tamu.

“Assalamu’alaikum, Mamah pulang," ucapnya dengan menghujani kecupan hangat di seluruh wajah sang anak. Gadis kecil itu terkekeh senang.

"Sudah dapat pekerjaan?” tanya seorang wanita paruh baya berusia sekitar lima puluh tahunan mendekat keduanya. Tanpa membalas tatapan itu ia pun menggeleng singkat.

“Mau sampai kapan kamu numpang hidup di sini? Ibu tidak mau yah kalau sampai bulan depan kamu belum juga dapat kerja maka sangat disayangkan kamu harus pergi dari sini.” Mendengar itu ia mendongak melihat kilatan kebencian dalam matanya.

Ia bangkit dengan sorot mata serius tercetak di sana.

“Ibu tidak usah khawatir, minggu depan aku dan Kaila akan pergi dari rumah ini!" Tegasnya nyalang.

“Baguslah jika kamu sadar. Lebih cepat lebih baik.”

Setiap hari hanya ada ucapan menyakitkan yang dilayangkan oleh mantan mertua. Ia sudah tidak sanggup lagi menanggung beban berat itu terus terulang.

Air mata kembali mengalir di pipi mulusnya, dengan kasar ia pun menghapusnya. Ia tidak boleh menangis. Tidak lagi! Tidak untuk kesakitan yang terus menerus datang padanya.

Ia kuat, bersama sang buah hati harus bangkit. Perkataan menyakitkan mereka harus ia jadikan sebagai motivasi terhebat.

Jika dengan cacian itu ia bisa mencapai kesuksesan, tidak peduli seberapa sakit luka yang harus dilewati. Itulah tekadnya. Ia tidak bisa terus diinjak seperti ini. Meskipun tidak ada orang yang mau menampungnya , tetapi Allah tidak pernah meninggalkannya dan ia yakin akan hal itu.

“Baiklah! Bismillah aku harus bertahan.”

...***...

Seminggu kemudian, apa yang ia ucapkan hari itu menjadi kenyataan. Seraya membawa koper besar ia pergi meninggalkan rumah  yang sudah menampungnya selama hampir lima tahun. Selama itu ia sudah bertahan dan sekarang waktunya bangkit membuktikan pada dunia jika dirinya sudah bebas dalam

kungkungan sarang kelam nan kejam.

“Sudah pergi sana tidak usah basa-basi lagi," kata sang ibu mertua saat ia hendak menyalami tangannya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun ia melangkah pergi.

"Aku berjanji akan membuktikan pada kalian jika... aku bisa terbang bebas. Terima kasih atas pelajaran berharga yang sudah kalian berikan," benaknya penuh tekad.

Perkataan itu mengiringi setiap langkahnya yang rapuh. Cacian ia jadikan sebagai bekal untuk terus melangkah maju, tidak peduli seberapa jauhnya.

Pesawat lepas landas. Awan putih berarak di sekitar membuat ia merasakan kedamaian. Langkah pertama sudah ia ambil dan selanjutnya biarkan berjalan seperti air mengalir.

Tidak sedikit pun senyum mengembang di bibirnya memudar. Ia percaya pergi jauh dari sumber sakit bisa menyembuhkannya dengan cepat. Meskipun harus mengubur perasaannya dalam-dalam.

Beberapa jam kemudian ia tiba disalah satu negara yang berhasil menerimanya. Hari itu setelah ia ditolak lagi oleh perusahaan, ia pun mencari beasiswa S2 dibeberapa negara. Mungkin inilah jawaban atas doa-doanya selama ini. Negara Ginseng, Korea Selatan menerimanya menjadi mahasiswi disalah satu Universitas ternama di sana.

Nikmat mana lagi yang ia dusta kan? Allah menghadirkan kebaikan dan kebahagiaan dibalik cacian dan makian untuknya selama ini. Sakit, perih nan pedih menjadi perjalanan kehidupannya. Luka dan luka terus menemani, ia tidak mau hal itu terjadi lagi.

“Nah, Sayang mulai sekarang kita akan hidup di sini dan memulai lembaran baru," ucapnya pada sang malaikat kecil yang berada dalam gendongan.

Keesokan harinya ia menemui universitas yang hendak menjadi tempatnya mengemban ilmu lagi. Ia senang orang-orang yang ada di sana menerimanya dengan baik walaupun ada perbedaan begitu signifikan. Bahagia tidak terkira, berkah dari Allah untuknya kali ini sangat besar dan ia harus mensyukurinya dengan baik.

Hari demi hari ia lalui dengan berat. Ternyata hidup di negara orang tidak semudah di negaranya sendiri. Rintangan datang dan ia tidak percaya itu lebih besar.

Namun, ia cukup bersyukur sebab itu datang dari orang lain. Bukan dari orang yang ia percayai. Lebih sakit cacian dan makian yang diterimanya di tanah air. Ia percaya Allah Maha Melihat dan Maha Penolong. Setiap kesakitan yang datang Allah menghadirkan ketenangan, melalui malaikat kecilnya.

Disamping sebagai seorang mahasiswi, ia pun bekerja paruh waktu dibeberapa toko di kota besar itu. Seoul, menjadi tempat tinggalnya kali ini. Badan mungilnya harus bekerja ekstra untuk menghidupi keluarga kecilnya.

Bekerja siang malam terlebih dengan tugas kampus yang tidak sedikit membuatnya harus menjaga stamina agar tetap sehat. Ia melakukan itu semua semata-mata untuk kebaikan buah hati yang hidup bersamanya. Seorang anak yang sudah Allah titipkan. Malaikat kecil pembawa kebahagiaan. Meskipun sang ayah tidak menginginkan kehadirannya.

“Aku percaya janji Allah pasti ada dan... Allah tidak pernah salah memberikan ujian. Laa yukallifullohu nafsan illaa wus’ahaa... Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Aku percaya itu.” Wajah damai sang putri menjadi obat pelepas lelah di kala hari sibuk datang menerjang.

Ditengah malam mencekam ia masih berkutat dengan kertas demi kertas. Hanya ditemani cahaya lilin untuk mengurangi biaya listrik ia berusaha sekuat tenaga. Sungguh berat kehidupan yang harus ia jalani, sekarang.

...***...

Tahun berganti tahun. Akhirnya wanita itu berhasil lulus dari Universitas bergelar S2 Arsitektur dengan nilai memuaskan. Tahap demi tahap kehidupannya mulai berubah. Ia sudah tidak menjadi pekerja paruh waktu dan pindah ke apartemen yang lebih layak. Selama masih belajar di kampus pun ada beberapa perusahaan yang menggunakan jasanya. Hingga saat ia lulus………

“Benarkah? Maa syaa Allah, bukankah ini perusahaan ternama? Mereka mau bekerja sama dengan saya?” ungkapnya dengan kedua mata berbinar senang.

“Ne Riana-ssi mereka mau bekerjasama denganmu. Saya sebagai dosen yang membimbing mu sangat bangga akhirnya kamu bisa bersinar. Jangan sia-siakan bakat terpendam itu. Kepakan sayap mu, ini langkah awal untuk masa depan yang cerah,” jelas dosen wanita bernama Lee Min Jae dengan senang.

“Alhamdulillah Ya Allah. Saya baru lulus seminggu yang lalu, tetapi sudah mendapatkan panggilan kerja? Bahkan dulu sulit sekali mencari kerja, tetapi Allah Maha Tahu segalanya," gumam Riana berdecak kagum dengan menahan tangis kebahagiaan. Wanita yang duduk di hadapannya hanya tersenyum bangga.

“Kalau begitu hari ini saya akan segera ke perusahaannya.” Ia pun beranjak pergi.

Riana Aiyash Humaira, seorang wanita single parent yang mencoba menjalani hidup di Negara Ginseng, Korea Selatan.

Riana hidup sebatang kara. Tanpa orang tua ataupun sanak keluarga yang mendampingi. Di usianya sepuluh tahun orang tuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Ternyata hidup tanpa ayah dan ibu tidak mudah. Ia harus kuat menghadapi ganasnya dunia sendirian. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Mata bulat besar dengan bulu mata lentik, berwajah oval, bibir kemerahan siapa pun mau mempersuntingnya. Namun, setiap kali ada pria yang melamarnya ia menolak. Alasannya Riana belum mau menikah.

Ia ingin mencapai kesuksesan untuk orang tuanya. Namun, ternyata mimpi tinggalah mimpi. Ia tidak punya uang untuk bisa melanjutkan sekolah. Hingga ia pun dipaksa menikah dengan seseorang, berkat perjodohan.

Pernikahan itu terjadi dengan syarat Riana harus kembali sekolah. Kesepakatan pun terjalin, ia pun berhasil duduk di bangku kuliah. Lulus dengan gelar S1 tidak menjadikannya menjadi seseorang serta sang suami mencegahnya untuk bekerja. Mau tidak mau ia pun harus menurutinya. Karena ia yakin surga istri ada disuaminya. Namun, kehidupan rumah tangga itu tidak berjalan mulus. Setiap hari selalu ada air mata yang mengalir. Ternyata orang yang ia pikir sebagai tumpuan hidup selalu berlaku tidak baik. Ia sering menangis seorang diri tanpa siapa pun yang tahu.

“Masa lalu yang menyesakan. Sudah, tidak baik dikenang terus,” gumamnya ketika teringat selentingan kisah hari itu.

Kini taksi yang ia tumpangi melaju kencang di jalan bebas hambatan. Bersama dengan kenangan menyakitkan yang perlahan terkikis dalam ingatan.

Beberapa menit berselang, Riana tiba di depan bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh dan berjajar rapih dengan bangunan lainnya. Langkah percaya diri menjadi peneman setia saat kedua kaki menapaki bangunan tersebut.

“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria bermata sipit mendekatinya.

“Saya mau bertemu dengan pemimpin perusahaan ini. Saya mendapatkan undangan," jelas Riana seraya menjulurkan dokumen tersebut. Pria tadi membacanya dengan teliti dan sedetik kemudian matanya

melebar.

“Kalau begitu ikut saya, Anda sudah ditunggu sedari tadi,” ungkapnya.

Mereka berdua memasuki lift. Perasaan menggebu dalam dada begitu kuat saat lantai demi lantai membawanya terbang menuju tempat tujuan. Inilah yang ia harapkan. Pencapaian pertama yang mengangkatnya pada titik keberhasilan.

Suara lift terbuka menyadarkan. Riana kembali mengikuti langkah tegap pria jangkung di depannya.

“Silakan masuk!” Titahnya.

Pintu kaca besar itu terbuka menampilkan beberapa orang penting di sana. Ia tidak sanggup melihat mereka. Sedari tadi degup jantung bertalu kencang. Ini pertama kali Riana bertemu orang-orang seperti mereka. Pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan.

Melihat seorang wanita berhijab ditengah-tengah rapat, seketika itu juga keadaan menjadi hening. Tatapan semua

orang mengarah padanya yang sedang duduk diujung meja. Sedari tadi kepala terbalut kain itu terus menunduk hingga suara berat seseorang menyadarkan.

“Apa Anda arsitek itu?”

Riana mendongak melihat tepat ke arah orang yang tengah duduk diujung meja. Ia tahu pasti pria itu yang menjadi CEO perusahaan tersebut.

“Ah, iya," kikuk Riana.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Riana Aisyah Humaira. Saya seorang arsitek baru di bidang ini," jelasnya mengembangkan senyum terbaik.

Semua orang masih memperhatikan. Apa ia salah bicara? Apa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya? Riana merasakan tatapan itu berbicara.

“A-apa ada yang salah?” gugupnya takut-takut.

“Ah tentu tidak. Baiklah seperti yang sudah Anda baca dalam surat undangan itu, kami ingin bekerjasama dengan Anda untuk pembangunan galeri. Perkenalkan saya Kim YeonJin, CEO Perusahaan art collection."

Jiwa berwibawa, senyuman yang menawan, serta lesung pipi di wajahnya menambah pesona seorang pemimpin perusahaan tersebut. Untuk sesaat keadaan kembali hening. Apa mereka terpesona? Riana pun sempat menatapnya lekat dan sedetik kemudian mengalihkan tatapannya lalu beristighfar.

“Jadi, apa yang harus saya kerjakan?” tanyanya setelah sekian lama bungkam.

“Saya ingin Anda memperlihatkan kepada saya beberapa rancangan. Saya ingin membangun galeri untuk memperlihatkan lukisan bernilai fantastis itu," katanya lagi senang. Tanpa keraguan Riana mengangguk yakin.

“Baiklah, besok saya akan memperlihatkannya kepada Anda," jawab Riana tak kalah serius.

“Kalau begitu saya akan menantikannya, dan pertemuan hari ini dicukupkan saja.”

Satu persatu orang-orang yang ada di sana mulai membubarkan diri. Hingga tersisa sang pemimpin perusahaan bersama sekretarisnya.

“Hyung… apa Hyung yakin mau bekerja sama dengan wanita itu? Aku pikir arsiteknya seorang pria… tidak aku sangka ternyata seorang wanita dan berhijab pula,” ungkap si sekertaris yang duduk di hadapannya.

“Eung aku yakin. Kita bekerjasama bukan dilihat dari penampilan atau pun gander melainkan dari bakat dan kemampuan.” Tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan dari gadget yang sedang ia pegang.

“Oh iya Jim, kita makan siang di restoran hari ini.” Ia pun bangkit dari kursi kebesarannya.

“Dan ini….” Dengan seenak jidat pria itu melemparkan benda pintar pada sang sekertaris.

“Hyung~ dasar maniak uang. Barang bagus seperti ini seenaknya saja dilempar-lempar," dumel nya.

Masa depan Riana Humaira Aisyah perlahan terbuka lebar. Cahaya menyilaukan itu memporak-porandakan kegelapan yang menguasai hati.

Dengan senyum lebar ia keluar dari bangunan besar menyambut hari esok yang bisa mengubah kehidupan. Allah memperlihatkan keajaiban. Riana sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini.

“Bismillah, rezeki tidak akan pernah tertukar. Allah Maha Adil dan Maha Segalanya…..lahaulla," bisik nya penuh semangat.

Bagian 2

...Sejak bertekad untuk merubah hidup, saat itu juga Allah sedang berbisik padamu jika sejatinya hidup tidak selalu tentang kesedihan. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui....

.......

Pagi yang cerah, secerah senyuman malaikat kecilnya. Sudah dua tahun ia merantau mengadu nasib di negeri orang. Selama itu pula kebaikan perlahan mendekat. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun ini mendapatkan berkah luar biasa yang Allah datangkan padanya.

Sedari membuka mata beberapa jam lalu, Riana tidak sedikit pun melepaskan pandangan dari kertas putih bersama pensil menari di sana. Ia tahu langit mulai beranjak siang. Bahkan cahaya sang surya pun mulai menghangatinya. Selesai salat subuh tadi, ia tidak sedikit pun beranjak.

“Mamah.”

Hingga panggilan dari gadis kecil menyadarkan. Ia menatap lurus ke depan melihat sang putri tengah mengucek matanya gemas. Wajah mengantuk itu membuat ia melebarkan senyum. Hanya Kaila, hanya sang anak yang bisa mengganggu pekerjaannya.

“Sayang, kamu sudah bangun? Maaf, Mamah belum buat sarapan. Kita buat sama-sama. Kamu mau?” Bola mata kecil itu berbinar seraya mengangguk senang. Riana menggendong dan membawanya menuju dapur.

Ditemani dengan candaan acara masak-masak mereka pun selesai. Hanya dua telur goreng dan roti sebagai pengganjal perut sudah cukup bagi ibu serta anak ini. Dibandingkan hari-hari itu, mereka hanya sarapan dengan air putih setiap harinya.

“Alhamdulillah sekarang Mamah sudah punya pekerjaan layak. Kaila harus sabar yah, Mamah tinggal," ucapnya mengusap kepala sang anak sayang.

Seakan mengerti gadis kecil bernama Kaila itu mengangguk-anggukan kepala. Riana semakin menyayangi buah hatinya. Meskipun dari suami yang tidak pernah ia cintai. Bukankah anak amanah dari Allah yang harus kita jaga seumur hidup? Itulah yang selalu ia tanamkan dalam diri. Bersama Kaila hidupnya lebih berwarna. Anak itu menambah kekuatan baginya.

Selesai sarapan dan membersihkan diri dan sang anak, mereka pun kembali menjalankan aktivitas. Tidak jauh dari apartemen, Riana mengantarkan Kaila ke taman kanak-kanak. Ia tidak mempunyai sanak saudara di negara ini dan harus berbaur dengan masyarakat sekitar. Dua tahun hidup di sana ia mengerti dengan lingkungannya.

“Kalau begitu Mamah pergi dulu yah, kamu baik-baik sama Ibu Sarah,” nasehatnya lagi.

“Iya Mah. Mamah yang semangat kerjanya,” balas Kaila disertai senyum lebar.

“Anak pintar, anak sholehah.” Riana mengecup hangat dahi sang putri dan setelah itu beralih pada wanita di belakang Kaila.

“Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ingat Kaila butuh figure seorang ayah.” Suara tegas itu menyapa.

Sarah, wanita berdarah Negara Asia Tenggara itu pun mengetahui bagaimana kondisinya.

Riana tertawa kikuk mendengar kata-kata itu lagi.

“Apa sih Mbak? Sudah yah aku pergi kerja dulu. Aku titip Kaila. Assalamu’alaikum.” Ia melarikan diri dari hadapan mereka.

Sarah menghela napas memandangi kepergiannya.

“Mau sampai kapan anak itu seperti ini terus?” gumamnya, Sarah wanita muslimah yang bekerja di TK tersebut.

Satu jam berselang, Riana tiba di gedung art collection. Ia bergegas mencapai lantai enam untuk bertemu kembali dengan sang pemimpin perusahaan. Lift yang membawanya pun tiba di lantai tujuan.

Dengan penuh keyakinan dan percaya diri, Riana mencapai gagang pintu ruangan dan membukanya perlahan. Di sana Kim YeonJin bersama sang sekertaris menyambut kedatangannya.

Kedua mata mereka saling bertubrukan dan Riana kembali menundukkan pandangan. Ia bergegas duduk di salah satu sofa tunggal di sana. Tangannya membuka perlahan dokumen yang ia bawa. Kertas demi kertas disodorkan kehadapan Kim YeonJin.

“Itu beberapa contoh rancangan bangunan yang saya punya. Jika ada yang kurang Anda bisa membicarakannya," jelas Riana.

Bola mata kecil sang CEO bergulir menatap gambaran tertuang dalam kertas. Berkali-kali kepala bermahkota kan surai hitam pekat itu mengangguk. Senyum menawan menjadi kemenangan bagi Riana, lega usahanya semalaman tidak sia-sia.

“Baik. Semua rancangan mu bagus, tetapi bisakah Anda menjelaskan pada saya satu persatu?” Pintanya dan dengan senang hati Riana mengiyakan lalu mengambil alih kembali kertas-kertas miliknya.

Bibir dengan lipstik pink lembut itu berceloteh ringan menjelaskan gambaran bangunan dirancangnya. YeonJin tidak sedikit pun mengalihkan tatapan dari wanita itu. Pria yang berdiri di sampingnya pun menyadari gelagat tersebut. Di dalam ruangan berbentuk kotak ini hanya ada suara halus mengalun bak nyanyian merdu. Suaranya mampu mendamaikan, bahkan sedari tadi Choi Jimin menguap seakan tengah dibacakan dongeng sebelum tidur.

“Kalau yang satu ini saya rancang menjadi dua lantai. Kenapa? Jadi satu lantai bisa diisi dengan berbagai tempat, misalnya tempat makan, tempat mengobrol, atau bisa juga sebagai tempat sovenier. Karena saya yakin tidak semua pengunjung yang melihat lukisan itu orang dewasa saja. Pasti ada anak-anak hingga remaja. Kita jadikan bangunan galeri art collection ini sebagai wadah kekeluargaan," ungkapnya mengakhiri penjelasan mengenai lima rancangan yang sudah ia buat.

YeonJin menganggukkan kepala lagi. Ia senang, sungguh. Penjelasan Riana begitu detail dan jelas. Ia semakin ingin segera bekerjasama dengannya. Tentu, untuk kepentingan sendiri.

“Sungguh arsitektur yang berbakat. Saya memilih rancangan yang terakhir kita jadikan bangunan itu sebagai wadah membentuk persaudaraan dan keuangan."

Suara tawa seketika menggelegar, mengejutkan. Riana merasakan canggung luar biasa. Apa ia harus ikut tertawa atau tidak? Hingga akhirnya ia hanya membentuk bulan sabit setengah jadi dibibir nya.

Hal itu pun membuat Jimin tercengang. Atasannya ini kembali menjadi seorang maniak. Tidak peduli di mana dan dengan siapa ia berhadapan, jika jiwa bisnisnya sudah keluar maka kebahagiaan tidak bisa ditahan lagi. Tanda tangan kontrak kerja pun terjadi secepat kilat menyambar.

...***...

Jam istirahat berlangsung. Riana, hanya mematung di depan kantin. Ia tidak tahu apakah makanan itu bisa dimakannya atau tidak. Ia belum mengetahui seperti apa masakan yang disajikan di sana.

Apa itu halal? Pikirnya berkecamuk.

Banyak pertanyaan juga dalam diam dan hanya memandang orang-orang sekitar. Mereka pun menatap Riana dengan bingung. Ia hanya bisa menyunggingkan senyum canggung sebagai balasan.

Tidak jauh dari keberadaannya seorang pria berjas cokelat lembut menghentikan langkah. Kedua alis tegasnya bertautan dan berjalan mendekatinya. Kembali, hal itu lantas memberikan tanda tanya besar bagi Jimin.

“Riana-ssi? Anda tidak makan?”

Pertanyaan barusan mengejutkan. Riana menoleh mendapati sang atasan.

“Eh? Kim YeonJin-ssi… em, saya ragu,” cicitnya takut-takut.

“Ne? Ragu? Memangnya kenapa?” tanya Yeon Jin, heran.

“Saya hanya bisa makan makanan halal. Em… yang tidak mengandung babi,” ungkapnya kemudian.

YeonJin melebarkan senyum, mengerti dengan kepercayaan yang dianut wanita ini.

“Ah! Iya saya mengerti. Baiklah, karena Anda baru bekerja di sini... maka saya akan melayani Anda dengan baik. Sebagai tanda jadi kerjasama kita. Ayo, mari ikut saya," ajaknya.

Riana tidak mengerti dan hanya mengikuti ke mana langkah pria itu pergi.

Riana tidak tahu jika YeonJin membawanya ke restoran halal. Ia senang bisa diperlakukan baik seperti ini. Begitu banyak makanan yang dipesankan atasan itu untuknya. Tidak masalah bagi pria berumur tiga puluh tahun ini. Uangnya banyak, membeli makanan segitu mudah baginya.

“Sa-saya tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih banyak." Riana berubah gugup sampai tidak bisa berkata-kata.

“Eung, tidak masalah. Makanlah, kamu pasti lapar. Tenang saja ini halal, kamu lihat sendiri kan labelnya tadi di pintu masuk?” Wanita itu mengangguk singkat dan mulai menikmati makan siangnya.

“Bismillah.”

Hal tersebut tidak lepas dari perhatian kedua pria itu. Wanita sederhana dengan bakat istimewa telah datang. Mereka dipertemukan oleh sebuah dokumen.

Riana tidak menyangka kesukaannya pada bidang seni arsitektur menghantarkannya pada kerjasama luar biasa seperti sekarang.

“Apa kamu berasal dari Indonesia?” Pertanyaan spontan dari Jimin menghentikan aksinya. Riana pun menoleh singkat.

“Iya, saya dari Indonesia.” Hanya itu yang ia katakan.

“Tidak usah terlalu formal kita sedang tidak di kantor," lanjut YeonJin ikut bergabung.

“Ah, iya. Terima kasih atas makan siangnya," balas Riana lagi.

Mereka pun menikmati makan siang dengan hidangan istimewa. Jimin tidak menyangka sahabat sekaligus atasannya ini bisa membelikan banyak makanan untuk Riana. Sedari tadi netra jelaganya terus memperhatikan pria itu. Ada sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Tatapan kagum? Mungkin lebih tepatnya seperti itu.

Setelah selesai, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Riana mulai menjalankan tugas pertamanya. Ia bertemu dengan beberapa orang pekerja konstruksi untuk membangun gedung hasil rancangannya.

Kedatangan wanita muda berhijab di sana membuat semua orang menatapnya heran. Benarkah dia yang akan bekerjasama dengan mereka? Kira-kira seperti itulah tatapan orang yang melihatnya. Bagi Riana itu biasa. Diremehkan dan tidak dihargai, tidak asing lagi baginya. Bahkan hal itu kecil untuk ia hadapi ketimbang rasa sakit yang bersemayam dalam hati.

Tidak ada yang tahu seperti apa masa lalu seorang Riana. Hanya ia dan Allah saja sebagai saksi masa kelam itu. Ia ingin mengubur kepedihan menjadi kebahagiaan. Ia tidak mau mengungkitnya dan menjadi boomerang. Ia cukup bahagia hidup bersama sang buah hati, Kaila. Kekuatan yang tidak akan ia dapatkan dari siapa pun.

“Baiklah mulai sekarang kita harus bekerjasama dengan baik. Anggap saja saya sama seperti kalian. Em, bisakah kalian memperlihatkan bahan-bahannya kepada saya?” pinta Riana setelah menjelaskan seperti apa rancangan yang ia bawa.

Seorang pria muda bername tag Lee Jung Hoon menjadi pemandunya hari ini. Mereka pun melihat-lihat bahan-bahan yang sudah disiapkan di sana. Riana mengangguk-anggukkan kepala saat pria itu menjelaskan bahan demi bahan yang dikunjunginya.

“Baik. Bahan-bahannya cukup lengkap. Nanti saya kabari lagi tentang pembangunannya.” Setelah itu Riana pun pergi kembali ke ruangannya.

...***...

Di lantai enam tepatnya di ruangan CEO, sedari pulang makan siang tadi pria itu tersenyum sendiri dengan cahaya dari layar laptop menyorotinya. Jimin yang kembali ke ruangan terkejut melihat senyuman itu tidak pernah pudar. Apa Kim YeonJin sudah gila? Itu tidak boleh terjadi.

“Hyung gila yah?”

Pertanyaan tadi meluncur bebas dari bibirnya hingga membuat kotak tisu mendarat di kepala bersurai cokelat lembutnya.

“Sakit hyung,” cicit Jimin mengaduh.

“Kamu mengatakan hal bodoh,” balas YeonJin acuh tak acuh.

“Terus kenapa Hyung senyum-senyum sendiri seperti itu? Menakutkan sekali," ucap Jimin kesal dan sang atasan segera membalikan laptop padanya.

“Lihat! Pemasukan kita bertambah Aku senang sekali.” Itulah alasannya dan kembali suara tawa penuh kegembiraan menggelegar di sana.

Jimin memutar bola mata, jengah dan menghela napas kasar.

"Dasar maniak uang. Aku pikir Hyung sedang jatuh cinta," katanya frontal.

Tatapan serius itu mengarah padanya, lagi. YeonJin tidak mengerti, dan seketika dahi lebarnya mengerut dalam.

“Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Pada siapa aku jatuh cinta?” tanyanya tidak mengerti.

“Ha-habisnya gelagat Hyung memperlihatkannya. Iya... wanita itu, arsitek baru kita, Riana.”

Seketika itu juga bola mata kecil YeonJin melebar, tidak percaya Jimin berkata demikian dengan lancarnya.

Bahkan sang sekertaris sendiri tahu bagaimana susahnya Kim YeonJin jatuh cinta pada seorang wanita, meskipun setahun belakangan ini banyak wanita cantik bertubuh ideal mendekatinya terus menerus. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang menarik perhatian. Hanya ada satu wanita yang menjadi rahasia mereka.

“Riana?" YeonJin tertawa kembali. "Aku hanya kagum saja. Ada juga wanita menjadi seorang arsitek. Em… bagus juga menambah pemandangan di kantor kita. Pekerja di sini kan kebanyakan pria.”

Sekarang giliran Jimin ikut tertawa, senang. “Aku pikir Hyung beneran jatuh cinta.”

“Dasar konyol.” Mereka pun tertawa bersama dengan pemikiran yang melintas begitu saja dalam pikiran Jimin.

Ia tidak menyangka sang atasan sekaligus orang terdekatnya tidak seperti yang diharapkan. Jatuh cinta tidak mudah bagi seorang Kim YeonJin. Alasannya, ia terlalu takut dan masa lalu menjadi gambaran untuk dirinya.

Bagian 3

...Perjalanan hidup tidak selamanya berliku. Terkadang Allah menghadirkan ujian untuk memperkuat keyakinan. Apa kita mampu melalui ujiannya atau tidak?...

.......

Sudah hampir satu bulan Riana melakoni tugas sebagai arsitek. Sejak ia bekerja bersama art collection kini di perusahaan itu tersedia makanan halal. YeonJin, khusus mendatangkan koki muslim dari Turki.

Mendapatkan pelayanan khusus dari rekan kerja membuat Riana betah bekerja di sana. Ia mengerahkan semua kemampuan untuk merancang bangunan agar tidak mengecewakan sang klien.

Seiring berjalannya waktu pertemanan antar mereka pun terjalin. Jimin yang awalnya mengira YeonJin menyukai Riana ternyata salah besar. Ia hanya mengagumi kemampuan yang dimilikinya saja.

Berbicara tentang kemampuan. Dulu, saat Riana masih berada di Indonesia dan menjadi seorang istri dari mantan suaminya, banyak omongan yang terus menghantam. Seperti, “Kamu tidak akan sukses dengan kemampuanmu itu.”

“Sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya ke dapur juga. Memang seperti itulah kodratnya wanita. Jangan banyak tingkah. Percuma sekolah tinggi, tetapi tidak berguna.”

Masih banyak perkataan menyakitkan yang setiap saat mengundang air mata. Sudah tidak ada orang tua yang ia bagi keluh kesah. Hanya mengadu pada Sang Khalik yang setiap saat memantau keadaannya.

Riana beruntung masih bisa diberi napas. Kesempatan kedua yang Allah kasih tidak akan ia sia-siakan. Itulah tekadnya. Hingga pada akhirnya ia ada di sini. Tengah menebar senyum pada setiap pekerja yang bekerja sama dengannya.

Riana tidak lagi diremehkan, tidak dicaci maki dan lebih dihargai. Ia sangat bersyukur bisa melebarkan sayap dan terbang dari sangkar menyesakan itu.

YeonJin yang baru tiba di tempat lokasi pembuatan bangunan terbaru melengkungan senyum menawan tat kala menangkap betapa semangatnya Riana hari ini. Ia memperhatikan wanita itu dalam diam sedari tadi.

“Aku tidak menyangka wanita seperti Riana bisa bekerja dengan pria-pria tua itu sungguh sangat disayangkan.” Ocehan meluncur mulus dari mulut seseorang yang berdiri di samping kanannya membuat YeonJin menoleh dan mengerutkan dahi heran.

“Paman? Sedang apa paman di sini?” tanyanya, bingung.

“Oh, ponakan ku kamu sudah besar ternyata. Paman ingin melihat bangunan barumu,” jelasnya ditambah acara pelukan singkat khas keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Namun, YeonJin tidak menyukai hal itu.

"Basa-basi yang sangat basi," benaknya. “Tumben. Biasanya paman ingin uangku saja," sindirnya langsung.

Pria paruh baya itu tertawa singkat. “Seperti biasa kamu tidak suka basa-basi.”

Senyum tipis muncul menjawab perkataan sang paman. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter berbadan berisi itu menatap lekat orang-orang di depan. Mereka sama-sama diam hanya ditemani suara konstruksi yang saling bersahutan. Kehampaan membuat YeonJin tidak menyukainya, terlebih bersama pria lima puluh tahunan ini.

“Mimpi ibumu akhirnya terwujud juga. Mereka pasti bangga padamu Jin," lanjut pamannya lagi. Kini perbincangan mengarah pada hal serius.

“Tidak usah membicarakannya. Jangan so peduli dengan kehidupan dan keluargaku.” Nada kekesalan terdengar. Kim Haneul tahu, keponakannya tengah menahan amarah. Sudut bibirnya terangkat melihatnya pergi.

Setelah memberikan pengarahan kepada orang-orang itu, Riana meninggalkan lokasi. Ia berencana kembali ke gedung art collection untuk membuat laporan. Namun, langkahnya terhenti saat menangkap bayangan seseorang yang tengah duduk di bangku dekat parkiran. Seakan kenal ia pun mendekatinya.

“Sajangnim.” Panggilnya pelan.

Kepala yang tengah menunduk itu mendongak menoleh ke sebelah kiri mendapati Riana, dan seketika ia terkejut.

“Eh? Kamu sudah selesai bekerja?” tanya YeonJin mengalihkan topik. Riana mengangguk singkat.

“Saya mau kembali ke kantor. Apa Sajangnim ada pertemuan di sini?” tanyanya balik. YeonJin menggelengkan kepala cepat.

“Ani. Saya hanya sedang melihat-lihat saja, tetapi bentuknya belum terlihat,” jawabnya.

Riana pun terkekeh kecil dibuatnya. "Sudah pasti. Mereka baru saja mulai."

“Oh yah tadi kamu bilang mau kembali ke kantor? Aku juga mau balik lagi, kita bareng saja. Ayo,” ajaknya melepaskan ke-formalan.

Riana mematung di tempat, tidak menyadari pira itu sudah melangkah meninggalkannya. Ia melamun merasakan sesuatu dalam hati. Hal yang ingin ia hindari, apa akan terjadi? Ia semakin menyelam ke dasar lamunan. Hingga klakson mobil menyadarkan.

“Astagfirullah,” pekiknya.

“Masuklah!” Teriak pria itu menyembulkan kepala keluar. Spontan Riana mengangguk dan bergegas mengikuti suruhannya.

Perjalanan menuju gedung perkantoran terasa lebih panjang. Setelah duduk di jok itu, Riana tidak pernah putus beristighfar. Pemandangan yang terhampar tidak sedikit pun mengenyahkan memori yang terus datang menghantam kepala.

Bak kaset kusut, kenangan itu terus berputar membuatnya gelisah. YeonJin yang tengah menyetir pun merasakan. Berkali-kali ia menoleh dan mengerutkan dahi dalam tidak mengerti. Ini pertama kalinya ia bersama wanita berhijab seperti Riana. Begitu pula sebaliknya.

“Kenapa? Apa kamu tidak terbiasa naik mobil?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Riana.

“Ah, ti-tidak Sajangnim. Ha-hanya saja saya-”

“YeonJin. Panggil aku YeonJin. Kita sedang tidak di kantor sekarang,” potongnya cepat. Riana mengangguk pelan dan tidak ada percakapan lagi.

Ia gelisah dan membungkam mulutnya sendiri. Setelah sekian lama ia mengurung dan menutup diri untuk tidak berinteraksi dengan pria yang bukan mahrom, kini situasi menjebaknya.

Mati-matian ia menahan diri seraya berkeringat dingin. Ia takut. Sungguh, ia sangat takut. Bersama pria asing ini membuat luka kembali mencuat ke permukaan.

"Tidak boleh! Jangan sampai terjadi, astaghfirullah Ya Allah lindungi hamba," gumamnya dalam benak.

Setelah setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di kantor. Buru-buru Riana masuk ke dalam gedung tanpa mengindahkan atasannya. Langkah kaki yang terseok-seok itu membuat YeonJin kembali menautkan alis.

“Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa dia berjalan seperti itu?” herannya.

Ruangan bernuansa biru laut menjadi tumpuan keletihan. Bak lari sepuluh kali mengitari lapangan sepak bola, Riana banyak mengeluarkan keringat dan tidak fokus untuk bekerja.

Sedari kedatangannya beberapa menit lalu hanya ada keheningan. Sorot mata kosong menatap layar laptop yang terus menyoroti wajahnya. Ia melamun, tidak bisa berkonsentrasi.

Terus seperti itu sampai jam menunjukan pukul setengah enam sore. Itu tandanya waktu bekerja telah usai. Tanpa daya dan upaya Riana membereskan berkas-berkas yang tidak tersentuh olehnya sedikit pun. Selesai dengan urusan di meja, ia menyambar tas dan berjalan meninggalkan ruangan untuk segera pulang.

Bunyi pintu lift terbuka menyadarkan. Ia masuk tanpa ada orang lain di sana. Lantai demi lantai terlewati. Hingga lift kembali terbuka di lantai enam. Pria berjas biru dongker kembali dipersatukan dengannya. Tanpa melihat kedatangan orang lain, Riana terus menundukkan pandangan. YeonJin. Sang CEO art collection berkali-kali dibuat heran.

“Riana-ssi… Riana-ssi… RIANA.” Dengan sedikit kencang YeonJin terus memanggilnya.

Riana kembali dari alam bawah sadar dengan mata bulannya membola sempurna. “A…YeonJin-ssi."

“Sebenarnya, kamu kenapa? Sedari pulang dari proyek kamu seperti ini. Apa ada yang tidak beres?” tanya YeonJin beruntun.

“Aku-”

Sebelum menjawab pertanyaan YeonJin, tiba-tiba saja lift berhenti berjalan. Seketika mereka panik.

Berkali-kali Riana menekan-nekan tombol untuk meminta bantuan. Kedua tangannya melambai ke arah CCTV. Namun, hingga beberapa menit kemudian tidak ada yang menyahuti.

“Sial, kenapa seperti ini? Apa mereka tidak becus-"

Untuk kedua kalinya YeonJin terkejut mendengar suara benturan yang kini dihasilkan oleh orang didekatnya. Ia menoleh ke samping kanan melihat Riana jatuh terduduk. Ia kembali terkejut menyaksikan lelehan air mata yang turut mengiringi. Buru-buru ia berjongkok memperhatikan wanita itu lebih dekat.

“Ri-Riana?”

Wanita itu tidak mengindahkannya sama sekali. Dengan napas memburu hebat ia mencoba menahan kesakitan yang mencoba datang menerpa lagi. Sekelebat bayangan masa lalu berputar. Kepala berhijabnya terus menggeleng mengenyahkan pikiran menyesakkan dada.

“Sa-saya minta maaf,” gumamnya parau. YeonJin yang tidak mengerti dengan keadaannya hanya bisa terdiam.

Sampai getaran ponsel di tas selempang nya membuat Riana sadar. Ia mengusap air mata kasar seraya mengubek isi tas menemukan benda pintar miliknya. Tertera nama sang malaikat kecil di sana. Ia terdiam bak patung tidak melakukan apa pun. Hal itu pun turut menjadi perhatian Kim YeonJin.

Setelah beberapa menit terjebak, akhirnya lift kembali berfungsi normal. Buru-buru Riana melarikan diri dari hadapan YeonJin. Jika sudah menyangkut keadaan seperti ini ia tidak peduli dengan siapa dirinya berhadapan. Pria itu hanya terus melihatnya hingga sosok sang rekan kerja menghilang dalam taksi.

“Ssshhh, aku tidak mengerti," gumamnya memiringkan kepala.

Riana masih mencoba menahan kepedihan. Air mata tak kunjung reda membuatnya terus mengusap kasar. Rasa sakit yang dihilangkan secepat kilat menyentuh hati terdalam menimbulkan ketidakberdayaan.

“Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya lagi. Kenangan bersama dia harus dimusnahkan!" tekadnya sendu.

Beberapa saat kemudian Riana tiba di sekolah sang anak. Waktu gelap itu membuat keadaan terlihat hening. Di sana di depan gedung, gadis kecilnya tengah menunggu.

“Kaila, Sayang.” Panggilnya cepat mendekati sang anak.

“Mamah.” Mereka berlari kecil lalu saling berpelukan.

“Maaf, Mamah telat menjemput mu,” sesalnya seraya mendaratkan kecupan hangat di kepala Kaila.

Gadis kecil itu mengangguk paham. Setelah berpamitan, mereka berdua pun menaiki taksi segera pulang ke apartemen.

Jalanan kosong memudahkannya tiba di tempat tujuan lebih cepat. Riana menggandeng hangat tangan Kaila seraya berjalan menuju ke dalam apartemen. Ia tidak bisa kehilangan malaikat kecilnya.

Lima tahun bukan waktu sebentar. Sebagai orang tua tunggal, Riana harus berjuang mati-matian dengan berdarah-darah untuk kebahagiaannya. Kini, di Negara Ginseng ia berhasil menemukan puncaknya dan berhasil mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan.

“Sayang.” Panggilnya menahan sang anak dan membalikan tubuh kecil itu untuk berhadapan.

“Mamah sayang~ sekali sama kamu Kaila. Mamah janji akan membahagiakanmu.” Senyum pun merekah di wajah imutnya.

“Kalia senang sekali mendengarnya Mah. Kaila boleh minta sesuatu tidak Mah?” pintanya kemudian. Riana mengangguk mengiyakan.

“Kaila ingin melihat ayah. Selama ini Kaila tidak tahu ayah itu seperti apa.”

Bak diiris pisau belati, hati Riana sakit mendengar permintaan anak semata wayangnya barusan. Tanpa bisa dicegah air mata tumpah ruah dan ia pun merengkuhnya hangat.

“Nanti, Kaila bertemu ayah yah. Nanti,” balasnya dengan suara bergetar.

"Entahlah, apa aku bisa mempertemukan kalian? Pria itu bahkan tidak menginginkan kehadiran Kaila. Maafkan Mamah, Sayang," batinnya berkecamuk.

Malam yang hening ini menjadi saksi tentang kekecewaan yang ia rasakan kembali.

Di tempat berbeda, sedari tadi Kim YeonJin sang pemimpin perusahaan masih memikirkan apa yang terjadi dengan rekan kerja barunya, Riana. Bayangan wanita itu terus menghantui tanpa henti. Ia penasaran akan sesuatu hal yang terjadi.

“Kenapa dia menangis? Aku tidak melakukan apa pun padanya. Ssshh, ini membuatku pusing. Ada apa sebenarnya?” gumamnya penasaran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!