NovelToon NovelToon

Emergency Love, Flora

Flora Bramantyo

EMERGENCY LOVE, FLORA

Semua impianku menjadi kenyataan. Cita-citaku tercapai dan kini laki-laki yang sangat aku impikan sedang menyematkan cincin berlian di jemariku.

Namun bukan keadaan seperti ini yang aku inginkan, bukan wajah datar tanpa ekspresi yang terlihat dingin saat menatap kearah ku sekarang yang ingin aku temui malam ini.

Aku ingin Kevin ku yang dulu. Yang aku inginkan laki-laki yang terus mengikuti ku dulu dengan posesifnya.

Kevin Alexander yang selalu menatapku dengan sayang, aku ingin laki-laki itu kembali.

***Flora Pov's***

Brakkk....

Aku mendorong pintu ruangan dengan sekuat tenaga yang aku punya. Bunyi pintu yang menghantam dinding ruangan itu dan seketika menghentikan aktivitas panas di atas sofa yang ada di dalam ruangan mewah milik calon suamiku. Hatiku kembali meringis perih, laki-laki yang selalu aku impikan untuk untuk bisa menghabiskan waktu bersama kini sedang menikmati tubuh orang lain di dalam ruangannya tepat di hadapanku.

Sebulan yang lalu kami resmi bertunangan, setelah spesialis Bedah yang aku impikan telah aku selesaikan. Aku segera di minta papi untuk pulang dan pertunangan kami pun tidak bisa lagi aku hindari.

Aku menghindarinya selama hampir tiga tahun, bukan karena aku sudah tidak lagi mencintainya namun hubungan persahabatan kami yang di bangun sejak kecil sudah mendingin saat dia memilih untuk menetap di Bali dan memimpin perusahaan keluarga di banding ikut bersamaku untuk meraih mimpi kami bersama.

Aku kecewa padanya, dan kini aku kembali di hadapkan dengan keadaan yang semakin membuat hatiku sakit.

cekrek.... cekrek...

Bunyi kamera dari ponsel dengan harga puluhan juta milikku kini ikut mengabadikan pemandangan menjijikan yang ada di hadapanku.

"Dasar pelacur murahan." Ujar ku sinis. Berusaha tetap terlihat tenang seperti biasanya. Tubuh ramping ku yang masih terbalut stelan kerja juga jas dokter kesayanganku, kini sedang bersandar di pintu ruangan sambil menatap tajam pada sekertaris calon suamiku yang sedang merapikan rok mininya yang sudah terlihat acak-acakan karena ulah laki-laki sialan yang masih berlabuh di relung hati terdalam ku.

Kedua tanganku terlipat di dada, mungkin saja saat ini aku terlihat sama sekali tidak terluka dengan pemandangan yang kembali aku dapati hari ini. Namun, sungguh meskipun pemandangan seperti ini sudah sering kali aku temukan di dalam ruangan ini, tetap saja hatiku terasa di remas kuat.

Laki-laki yang dulunya begitu sangat menyayangiku, kini sudah berubah. Tidak ada lagi tatapan hangat yang selalu tertuju padaku seperti saat kami masih kecil hingga kuliah dulu.

Semuanya berubah saat laki-laki ini memilih untuk memimpin perusahaan di bandingkan melanjutkan cita-cita yang sudah sejak kecil kami rencanakan.

"Bereskan barang mu hari ini, dan jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di perusahaan ini." Ucapku dingin. Gadis yang baru saja bercumbu dengan calon suamiku seketika menghentikan langkahnya lalu membalik tubuhnya menatap ke arahku.

Lalu mengalihkan tatapannya pada Kevin yang masih berada di sofa di dalam ruangan, laki-laki itu hanya menutup matanya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa tanpa memperdulikan kemarahan ku.

"Lakukan sekarang juga sebelum kesabaran ku habis dan memukulmu disini." Ucapku lagi saat melihat Diandra yang terdiam dan hanya menatap ke arah Kevin yang sama sekali tidak terpengaruh dengan kejadian di hadapannya.

"Ini perusahaan Kevin, jadi aku tidak akan berhenti sebelum dia memecat ku." Ucap Diandra tegas sambil menatap lekat ke arahku.

Plakk....

Tamparan kini ku darat kan di pipi mulusnya. Sudah sangat lama tanganku ini terasa gatal karena sudah jarang di gunakan untuk memukul orang lain yang sengaja mengusikku. Dan hari ini sikap bar-bar yang sudah lama terkubur akan kembali bangkit karena dua orang ini.

"Pergilah sebelum aku merontokkan seluruh rambutmu." Ucapku dingin. Sungguh kali ini aku benar-benar tidak bisa lagi menahan amarahku. Sudah berulang kali aku memperingati gadis di hadapanku ini, namun rupanya sekertaris murahan calon suamiku ini sama sekali tidak mengindahkan semua kata-kataku.

"Kevin...." Panggil Diandra pelan sambil memegang pipinya. Namun laki-laki yang ingin dia andalkan sama sekali tidak perduli dengan keadaannya.

"Sepertinya kamu memang ingin di pukul dulu ******, sialan.." Makiku geram.

Tanganku sudah menarik keras rambut Diandra, sungguh hari ini aku akan merontokkan rambut wanita yang masih berani menyentuh Kevin padahal sudah berulang kali aku memperingatinya untuk bekerja dengan profesional.

"Lepaskan dia.." ah laki-laki sialan yang sejak tadi menutup mulutnya rapat, akhirnya terdengar suaranya namun aku sama sekali tidak perduli.

Rambut sebahu milik Diandra sudah terikat di jemariku, juga tendangan demi tendangan dari kakiku yang masih terbalut heels mahal kini sudah bersarang di betisnya hingga meninggalkan memar-memar di sana.

"Jika ingin menjadi pelacur, pergilah mencari mucikari. Apa kamu pikir dengan menyerahkan tubuhmu dia akan berpaling pada gadis rendahan yang sudah di jamah oleh banyak laki-laki seperti dirimu." Cerca ku masih menarik keras rambutnya hingga tubuhnya membungkuk di hadapanku. "Apa bayaran dari petinggi rumah sakit belum cukup untuk membiayai ibumu ha ?" Kata-kata menghina terus meluncur dari mulutku.

"Lepaskan dia.." Kevin memeluk pinggangku lalu menarik ku masuk kedalam ruangannya. Sebelum kevin menendang pintu ruangannya dan tertutup aku sempat melihat gadis seumuran ku itu terduduk lemas di lantai tempat dia berpijak.

"Brengsek, aku akan membunuhmu hari ini juga." Ucapku lagi bersamaan dengan sepatu hak yang aku lepaskan dari kakiku ikut menghantam tubuh Kevin.

Amarahku masih memuncak, hampir dua bulan lamanya aku bersabar. Mengajak gadis itu berbicara dari hati ke hati namun sepertinya dua manusia bejat ini sama sekali tidak memperdulikan perasaanku. Dan kini nikmatilah jika aku sudah mengamuk, akan aku pastikan tidak ada yang bisa menghentikan ku sebelum aku benar-benar puas.

Ringisan demi ringisan yang keluar dari mulut Kevin, namun tidak aku pedulikan, sepatu dengan tumit berapa senti itu sudah menjamah hampir seluruh bagian tubuhnya yang sudah terlentang di atas sofa ruangannya.

"Hentikan Flora." Ucapnya. Selama dua bulan ini kami bersama, aku belum pernah mendengar mulutnya menyebut namaku, dan kini suara itu kembali terdengar di indra pendengaran ku.

"Jangan menyebut namaku dengan mulutmu sialan." Bentak ku masih terus melayangkan heels mahal ku pada tubuhnya.

"Flora sakit.." Keluhnya sambil menahan pergelangan tanganku lalu menariknya dengan kuat. Kini tubuhku sudah menindih tubuh kekarnya, dan membuat jantungku berpacu dengan cepat.

"Sialan." Makiku lagi sambil berusaha melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tanganku, namun cengkraman itu justru semakin keras hingga terasa perih di kulitku.

"Lepaskan tanganku brengsek..." Bentak ku sambil menyentak kan tanganku agar terlepas dari cengkeramannya. "Sialan, brengsek. Aku membencimu dengan seluruh hidupku." Ucapku dan kini air mata yang sering kali tumpah di dalam kamar gelap ku sudah mulai menetes membasahi kemeja yang terbalut di tubuhnya.

Namun laki-laki yang dulunya selalu mengalah denganku ini sama sekali tidak mendengarkan semua yang keluar dari mulutku. Tangannya masih menggenggam erat pergelangan tanganku, hembusan nafasnya yang berat, terasa di puncak kepalaku.

Wajahku tepat berada di dada bidangnya, bunyi detak jantungnya terdengar jelas di telingaku, dan akhirnya membuatku bungkam. Dada bidang ini masih senyaman dulu dan aku sangat merindukannya.

Tangannya terasa merenggang, dan aku segera bangkit dari atas tubuhnya lalu berjalan menuju pintu keluar tanpa melihat ke arahnya lagi.

Gadis yang baru saja aku pukul tadi masih terduduk di atas lantai dengan air mata yang membasahi pakaiannya. Sejujurnya aku begitu prihatin dengan gadis ini, namun dia sudah sangat melebihi batas.

"Aku sudah memberimu kesempatan untuk melakukan pekerjaanmu dengan profesional, namun sepertinya kamu benar-benar sudah menaruh rasa pada calon suamiku, dan berharap laki-laki brengsek itu membalasnya." Ucapku sambil berdiri angkuh di hadapannya. "Kamu begitu bodoh, jika dia benar-benar menginginkanmu dalam hidupnya, dia akan menikahi mu bukan membayar mu setelah dia puas meneyetubuhi mu." Sambung ku menyadarkan gadis yang masih sesegukan dengan penampilan yang sudah acak-acakan di atas lantai.

"Jika sampai aku masih melihatnya disini, akan aku pastikan gambar yang ada di ponselku akan sampai ke tangan opa. Dan aku rasa kamu tahu apa yang akan terjadi berikutnya tanpa aku beritahu." Ucapku pada Kevin namun tubuhku masih membelakanginya. Aku kembali melanjutkan langkahku keluar dari ruangan dengan anggun bersamaan dengan hati dan perasaan yang berkecamuk menahan perih.

Kevin Alexander

**Kevin Pov's**

"Turunkan tanganmu dari wajahku." Bentakku pada gadis yang kini sudah duduk di atas pangkuanku. Aku sudah meniduri banyak wanita termasuk sekertarisku yang kini sedang mengankang di atas pangkuanku, namun aku tidak akan pernah mengizinkan wanita-wanita yang tidak aku inginkan ini menyentuh bagian tubuhku.

Diandra menurunkan tangannya dengan perlahan dari wajahku. Tanganku mulai menjamah bagian tubuhnya di dalam ruang kerjaku, seperti biasa sering aku lakukan. Cumbuan-cumbuan kasar kini mulau mendarat di atas dada dengan kancing kemeja yang sudah terlepas.

Brakkkk....

Pintu ruangan yang terbuat dari kayu mahal menghantam dinding, bunyi keras menggema di seluruh ruangan hingga membuat gadis yang sedang duduk di pangkuanku seketika berdiri bersamaan dengan bunyi kamera dari ponsel milik gadis yang kini sedang menyandarkan tubuhnya di pintu ruanganku.

Aku menutup mataku lalu menyandarkan kepalaku di sofa tempatku duduk. Aku tahu siapa yang berkunjung hari ini ke perusahaanku. Sudah hampir dua bulan ini saat jam makan siang, gadis yang berusaha aku lupakan akan selalu mengunjungi ruanganku.

Aku sengaja melakukan hal menjijikan ini di dalam ruanganku, sama seperti biasanya berharap gadis yang masih terlihat tenang itu jengah dengan sikapku padanya dan menjauh dari hidupku seperti beberapa tahun terakhir ini.

Berbagai kata umpatan juga makian meluncur dari mulutnya hingga tamparan berhasil dia daratkan di pipi sekertarisku.

Aku diam saja, berusaha untuk tidak persuli dengan apa yang sedang terjadi di dalam ruanganku.

Hingga akhirnya teriakan histeris dari sekertarisku mengejutkanku. Gadis bar-bar favoritmu dulu sudah menjambak rambut Diandra tanpa belas kasih. Tendangan bersamaan dengan caci dan makian terus dia lancarkan pada tubuh Diandra.

"Lepaskan dia." Ucapku namun belum beranjak dari sofa.

Aku terkejut saat melihat gadis yang masih memenuhi seluruh rongga dadaku semakin menggila. Gadis itu sama sekali todak perduli dengan kata-kataku, bahkan kini tubuh Diandra sudah membungkuk menahan tarikan di rambutnya yang sudah melilit di tangan calon istriku.

"Lepaskan dia.." Ujarku lagi sambil memeluknya dan menarik tubuh mungil itu masuk ke adalam ruanganku. Pintu ruangan kembali ku tutup menggunakan kaki panjangku.

Makian dan pukulan kini sudah mengarah padaku, sepatu dengan tumit yang tajam sudah menghantam di beberapa bagian tubuhku.

"Hemtikan Flora." Ujarku. Nama yang sudah lama tidak lagi ku sebutkan dengan bibirku kini kembali terdengar. Sungguh tubuhku sudah terasa sakit karen hantaman keras dari sepatunya. Bahkan kini tubuhku sudah terlentang di atas sofa akibat kemurkaannya.

"Flora sakit." Ucapku lagi lalu menangkap pergelangan tangannya dan menarik tubuh mungil itu hingga terjatuh di atas tubuhku. Beberapa saat aku menikmati wangi tubuh yang selalu aky rindukan. Puncak kepalanya aku hirup dalam- dalam.

Cacian dan makian masih meluncur dari bibirnya yang ingin sekali aku bungkam dengan bibirku, namun aku masih belum memiliki keberanian hingga ke titik itu.

Bebrapa saat dia terdiam, kata-kata kasar yang sedari tadi terus meluncur dari mulutnya sudah tidak lagi terdengar. Tersisa bunyi detakan jantung dari tubuh kami berdua yang terdengar jelas saling bersahutan.

tess... tess...

Tetasan air mara terasa menembus kemeja bagian dadaku, dia menangis. Gadis yang selalu ceria dengan sifat bar-barnya dulu, kini mulai meneteskan air matanya hingga menembus kemeja yang membalut tubuhku. Hatiku semakin menggila, ingin rasanya ku rengkuh tubuh mungil yang masih berada di atas tubuhku ini. Namun kekecewaan karena dia menjauh kembali menahanku. Ingin sekali mengucapkan kata maaf karena melukainya dengan sikapku ini, namun ego maaih menahanku.

Perlahan aku renggankan genggaman tanganku di pergelangan tangannya, dan gadis yang masih menjadi pemilik seluruh hatiku ini, segera bangkit dari atas tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menoleh lagi padaku.

Hari ini dia terlihat berbeda dari dua bulan ini. Biasanya dia tidak akan perduli pada apapun yang dia temui di dalam ruangan kerjaku, namun hari ini dia tiba-tiba menggila. Bahkan kini Diandra sudah terduduk di atas lantai di depan pintu ruanganku dengan tubuh mengenaskan.

Tubuh mungil yang selalu aku rengkuh dulu kini berhenti di hadapan sekertarisku yang masih terduduk di lantai dengan air mata yamg meluncur di pipinya.

Beberapa kalimat ancaman sudah terdengar kembali dari mulut Flora, bahkan ada yang tertuju padaku, lalu ku lihat dia kembali melangkahkan kakinya tanpa menoleh lagi kearahku.

Yah gadis itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya karena perlakuanku padanya. Aku tersenyum miris, mungkin hari ini adalah batas dari kesabarannya stelah hampir dua bulan ini sering mendapatiku bercumbu dengan berganti wanita di dalam ruangan ini.

Tubuhku masih terlentang di atas sofa, rasa sakit masih terasa di beberapa bagian tubuhku karena hantaman sepatu milik calon istrik itu dan mungkin saja sudah terdapat memar di sana.

"Kevin...

"Kemasi barangmu, aku akan segera mengirimkan uang ke rekening pribadimu." Ucapku cepat tanpa melihat pada Diandra yang sudah berdiri di pintu masuk ruangan.

"Aku tidak ingin berhenti." Jawab Diandra.

"Aku tidak lagi membutuhkanmu, kemasi barangmu lalu keluar dari ruangan ini." ucapku tegas.

"Aku mencintaimu Kevin." Ucapnya. Aku sudah menebak hal ini, namun aku sama sekali tidak perduli. Bukankah dia tahu jika hubungan kami hanyalah salaing menguntungkan satu sama lain. Tidak ada yang special dalam hubungan ranjang yang sudah beberapa kali kami lakukan. Bukan hanya dengannya, aku sering melakukan dengan beberapa gadis malam yang sering di persembahkan sebagai hadiah oleh klien ku.

"Tapi tidak denganku, aku memakai tubuhmu tidak gratis. Aku membayar mahal atas semua jasamu jadi aku tidak berkewajiban untuk mempertimbangkan perasaanmu. Keluar dari ruanganku sekarang juga sebelum aku meminta petugas keamanan yang menyertmu." Ucapku sambil menatap tajam ke arahnya yang sudah berkinangan air mata.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Diandra segera membalik tubuhnya lalu keluar dari dalam ruanganku. Aku tahu dia terluka, namun aku harua menegaskan, tidak ada yang bisa di harapkan dari hubungan kami.

Aku masih tergeletak di atas sofa yang ada di dalam ruanganku. Wajah Flora kembali melintas di pelupuk mata dan kembali membuatku berdesir. Entahlah apa yang membuatku begitu sulit melupakannya, bahkan kekecewaan yang menumpuk di dalam hatiku tidak bisa membuat namanya pergi.

Mataku perlahan kembali tertutup rapat, tanganku menyentuh bagian kemeja yang basah dengan air matanya tadi. Aku menarik nafasku dalam, menghirup wangi tubuhnya yang melekat di kemeja yang aku kenakan.

Selama hampir dua bulan setelah pertunangan kami, baru hari ini kami bisa sedekat itu. Bahkan selama tiga tahun ini, aku tidak lagi menyebutkan namanya dalam keadaan apapun dan selalu menghindari pembahasan tentangnya, namun tetap saja terlalu sulit bagiku membuat gadis itu benar-benar pergi dari dalam hidupku.

Lupakan, berapa kali kata ini keluar dari mulutku namun sama sekali tidak pernah di realisasikan dengan baik oleh hatiku. Semua yang ada di dalam sini masih miliknya.

Flora, gadis kecil dengan cadel khasnya masih menjadi satu-satunya gadis yang mengisi relung hati terdalamku.

Bimbang

** Happy Reading, ku mohon jangan lupa tinggalkan jejak saat mampir, itu akan membantu meningkatkan popularitas dari cerita. Tidak perlu poin atau vote, like atau komentar semangat sudah sangat cukup**

Matahari yang cerah siang tadi mulai terlihat terbenam di puncak gunung. Kevin mulai memacu mobilnya menuju rumah mewah yang sudah berapa tahun ini dia dan keluarganya tinggali dan hampir dua bulan ini gadis yang dulu menghindarinya juga ikut tinggal disana. Mobil yang di kendarainya terus melaju di jalanan Kota Bali yang terlihat semakin indah di sore hari.

Kejadian siang ini menguras energi dan fikirannya. Hati yang memang dari dulu sudah tidak baik-baik saja, hari ini semakin bertambah parah. Rasa yang membuatnya bimbang semakin berkecamuk dan membuatnya semakin fruatasi.

"Sial." Makinya saat nyeri di beberapa bagian tubuhnya semakin terasa. "Kegilaan gadis itu tidak pernah hilang." Sambungnya kesal.

Dengan hati-hati sambil menahan nyeri di tubuhnya, Kevin membuka pintu mobil dengan perlahan lalu keluar dari dalam mobil mewah miliknya.

Keningnya mengerinyit heran, biasanya gadis dengan wajah judesnya itu akan menunggu di depan rumah saat dia kembali dari tempat kerja, namun tubuh mungil itu tidak nampak terlihat di teras rumah mewah milik orang tuanya itu.

Langkahnya masuk kedalam rumah, pandangannya mengelilingi setiap ruangan yang dia lewati namun gadis yang ingin dia lihat sama sekali tidak nampak di sana.

"Bu..." Panggil Kevin saat melihat sang ibu yang kini duduk di depan TV yang menyala namun fokus pada beberapa berkas yang ada di pangkuannya.

"Hm.." Jawab Anggun mengalihkan tatapannya dari beberapa berkas, ke arah putranya yang terlihat acak-acakan. Memar di wajah tampan putranya terlihat dengan begitu jelas.

"Apa yang terjadi dengan wajahmu ?" Tanya Anggun bingung. Putranya ini sama sekali bukan tipe laki-laki yang suka mencari masalah dengan orang lain.

"Ada apa sayang ?" Tanya Robby sambil melangkah menuju sofa tempat istrinya duduk.

"Itu wajah putramu memar." Jawab Anggun. Robby segera menoleh ke arah putranya yang masih terdiam di samping istrinya.

"Paling Flora sudah tidak tahan lagi dengan kelakuannya dan mengahantamnya." Ujar Robby santai lalu merebahkan kepalanya di atas berkas yang ada di pangkuan sang istri. Dia sudah banyak mendapat informasi tentang putranya yang sering membawa beberapa wanita ke dalam perusahaan.

"Benar Vin ?" Tanya Anggun sambil mengusap kepala suaminya.

"Flora di mana bu ?" Tanya Kevin tanpa menjawab pertanyaan sang Ibu.

"Hari ini dia meminta izin untuk kembali ke Jakarta, Maminya menelfon ibu dan meminta Flora untuk pulang." Jawab Anggun.

"Kapan dia pergi ?" Tanya Kevin cepat. Hati dan fikirannya semakin tidak tenang, entahlah hatinya terasa tidak rela jika Flora kembali menjauh darinya.

"Sekitar tiga jam yang lalu, mungkin sekarang sudah di Jakarta." Jawab Anggun.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevin segera membalik tubuhnya menuju mobil sambil berdo'a di dalam hatinya agar gadis itu belum berangkat. Apapun yang terjadi nanti, dia akan menahan gadis itu untuk pergi.

Anggun hanya menatap punggung putranya yang sudah menghilang di balik dinding pembatas ruangan.

"Biarkan dia melakukan apapun yang dia mau, toh nanti dia juga akan tahu mana yang terbaik. Aku mendapat informasi, Flora memukuli sekertaris Kevin hari ini." Ucap Robby masih menutup matanya di atas paha sang istri.

"Kamu tuh yang selalu saja ikut campur dengan urusannya." Ketus Anggun. Beberapa kali Anggun mendapati suaminya ini memarahi Kevin soal sekertaris putranya itu.

"Karena aku menyayanginya," Ucap Robby yang kini sudah membawa wajahnya menghadap perut rata istrinya. Mneghirup dalam-dalam aroma tubuh yang sudah puluhan tahun menemaninya. Menemaninya berjuang di tengah kehidupan pas-pasannya di Prancis dulu.

"Aku tahu sayang." Ucap Anggun lalu kembali mengusap rambut yang sudah terlihat mulai memutih milik laki-laki yang selalu dia cintai.

****

Di salah satu Bandara di Kota Bali, Flora termenung di ruang tunggu keberangkatan, menatap kosong orang-orang yang berjalan melewatinya. Helaan nafas berat di paru-parunya terdengar begitu jelas di indra pendengarnya.

Kini tatapannya kembali menoleh pada satu buah koper kecil yang ada di sampingnya. Dia yang memutuskan untuk menjauh tiga tahun yang lalu meninggalkan laki-laki itu, dan kini hanya untuk ke Jakarta saja dia begitu berat melangkahkan kakinya.

Matanya tertutup, berusaha mengurangi gemuruh di dadanya. Ingin beranjak namun begitu sulit meninggalkan hati yang masih begitu mencintai.

Dia hanya kecewa karena laki-laki itu tidak ikut bersamanya tiga tahun lalu, namun dia ingin tetap bersama Kevin. Tiga tahun ini memberinya jawaban jika hanya Kevin laki-laki yang dia inginkan.

Baikalah, memulai kembali mungkin tidak ada salahnya. Bukankah waktu tiga tahun ini sudah lebih dari cukup untuk menenangkan dirinya, dan kini dia kembali berharap laki-laki itu akan menyambutnya dengan hangat.

Namu lagi-lagi keadaan menamparnya, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bisa merubah seseorang.

Yah semuanya sudah berubah, namun tidak dengan hati dan perasaanya untuk laki-laki itu.

Drrrttt...drrrrttt....

Getaran ponsel dari dalam tas mahalnya menyadarkan dia dari lamunan.

"Iya Mi," Jawabnya setelah mengusap ikon berwarna hijau di layar ponsel mahalnya.

"Kamu sudah di Jakarta ?" Tanya sang Mami dari balik ponsel yang menempel di telinganya.

"Belum Mi, keberangkatan mengalami delay mungkin satu jam lagi baru berangakat." Jawabnya.

"Ya udah, hati-hati sayang. Cepat kabari Mami jika sudah sampai Jakarta biar papi yang akan menjemput kamu." Ucap Rosa.

"Iya Mi." Jawab Flora dan pembicaraan berakhir saat sang mami memutuskan sambungan ponsel mereka.

Haruanya dia mendengarkan kata-kata papinya untuk bekerja di Rumah Sakit pusat di Jakarta dan tidak memilih datang dan menyiksa dirinya di kota ini.

Hampir dua bulan tinggal di rumah yang sama, namun laki-laki yang sedang menjadi tujuannya sekarang sama sekali tidak pernah menganggapnya ada di rumah itu.

Setiap pagi mereka akan sarapan bersama di meja makan yang sama, begitupun saat makan malam. Siang hari dia selalu menyempatkan diri di sela-sela kesibukannya di Rumah Sakit hanya untuk mengunjungi calon suaminnya agar bisa makan siang bersama namun pemandangan yang menjijikan akan selalu dia dapati di dalam ruangan mewah itu.

Dan hari ini segala rasa sabar dan amarahnya mencapai titik puncaknya. Biarlah untuk sementara waktu dia ingin pulang ke Jakarta, menenangkan diri juga hati yang semakin terasa kacau.

Seharusnya dia tidak lagi kembali berharap untuk bisa memperbaiki dan memilih berterus terang pada papi dan maminya jika laki-laki dulu yang selalu menatapnya hangat sudah tidak lagi sama. Laki-laki yang dulu sempat meminta izin pada sang papi untuk menjaganya sudah berubah.

Flora kembali mearik nafasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan.

"Bukan masalah besar Flo, ini baru pertunangan. Kalian belum menikah jadi masih punya kesempatan untuk menghentikan semuanya." Ucap Flora menyemangati dirinya.

"Dan kamu fikir aku akan membiarkan itu terjadi ?" Ucap Kevin yang kini sudah berdiri di belakang Flora.

"Brengsek." Maki Flora pelan namun bisa di dengar dengan jelas oleh Kevin. Entah apa yang terjadi hingga laki-laki yang baru dia pukuli siang tadi kini sudah berdiri di belakangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!