Akhir-akhir ini cuaca selalu saja mendung. Seperti hari ini, awan begitu gelap menandakan hari akan hujan. Sejak pagi tadi udaranya sudah begitu dingin, meski tubuhku beberapa hari ini rasanya sedang tidak ingin diajak untuk bekerjasama. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Tidak mungkin aku hanya berdiam diri di rumah. Aku harus bekerja.
Disinilah aku hari ini, duduk di ruang CEO yang bertuliskan namaku di depan pintunya. Sebentar lagi aku akan mengetahui hasil tes yang aku lakukan dengan Dokter Freddy beberapa yang lalu. Semoga hasilnya tidak buruk, mengingat selama ini kesakitan yang sudah aku rasakan.
Dalam beberapa bulan ini, aku memiliki begitu banyak sekali keluhan. Saat berhubungan intim selalu merasakan sakit, bahkan sering diikuti oleh adanya perdarahan. Aku juga sering merasakan sakit pada daerah pinggulku. Bahkan saat buang air kecil, aku juga merasakan sakit. Tamu bulanan ku pun keluar dalam jumlah banyak dan berlebih.
Selain itu ***** makan ku juga menjadi sangat berkurang, berat badanku menjadi tidak stabil. Sekarang aku begitu kurus.
'Kenapa aku tak menyadarinya sejak awal?'
Lagi, aku menatap ke arah luar jendela. Meski sayup ku dengar suara petir dari kejauhan. Namun, hujan belum kunjung turun juga.
Lamunanku buyar saat terdengar suara ketukan pintu dari luar. Hatiku semakin tak karuan saat melihat Dara, asistenku membawakan laporan hasil pemeriksaan yang aku lakukan beberapa hari lalu ke dalam ruangan ini dengan wajah penuh air mata.
Hatiku merasa sudah tak enak, pasti hasilnya buruk dilihat dari wajah Dara yang menangis.
Perlahan aku membuka laporan ini dengan hati yang sudah tak karuan dan entah sudah seperti apa wajahku saat ini. Dan ternyata tertulis jelas bahwa hasilnya : kanker stadium III.
'Ya Tuhan, apa aku akan mati.' aku membatin dengan perasaan yang benar-benar hancur.
Aku mengambil ponsel yang ada didalam tas untuk segera menelepon Dokter Freddy.
"Halo Dokter, jelaskan padaku. Apa hasil tes ini benar adanya?" Aku bertanya dengan perasaan yang begitu cemas.
“Nyonya Setyawan dengan berat hati saya mengatakan bahwa hasil tes itu positif benar adanya. Rahim Anda tidak dibersihkan dengan baik saat keguguran 2 tahun lalu, ditambah lagi dengan infeksi yang terjadi setelahnya menyebabkan kanker rahim berubah jadi…” balas Dokter Freddy berkata dengan perlahan di seberang telpon.
“Berapa lama lagi waktu ku Dokter?” tanyaku langsung menyela ucapan Dokter Freddy dengan air mata yang tak tertahankan.
“Sel-sel kanker sudah menyebar, paling lama 3 bulan.” jawab Dokter Freddy yang membuat jantungku berhenti berdetak.
Deg!
'Ya Tuhan, apalagi ini. Apa aku memang cuma punya waktu tiga bulan? Apa yang harus aku lakukan dalam waktu 90 hari?'
Tak terasa air mata mengalir deras di pipiku. Hancur sudah, aku tidak dapat melakukan apapun lagi.
Di luar hujan turun begitu derasnya, seolah mengerti dengan kesedihanku dan awan pun seolah ikut menangis bersamaku.
Dara yang sedari tadi tak beranjak dari tempatnya berdiri, ikut menangis seraya memelukku.
Ya, selain Merry sahabatku, aku hanya punya Dara seorang asisten yang sudah seperti Kakakku sendiri. Dia sudah bekerja bersamaku sejak pertama kali aku terjun sendiri ke perusahaan ini.
Dalam situasi yang seperti ini, aku jadi merindukan kedua orangtuaku.
'Mah, Pah, sebentar lagi kita akan berkumpul. Kita akan bersama lagi seperti dulu. Tunggu aku Mama Papa.'
Dara semakin memelukku dengan erat, ia sepertinya berusaha menenangkan aku. Tapi apa lagi yang bisa menenangkan hati seseorang kala ia tahu batas usianya hanya tiga bulan?
"Tenangkan dirimu Velicia. Kau akan sembuh." Ucap Dara.
Andai saja bisa, Dokter Freddy bahkan sudah mengatakan sisa waktuku. Aku tidak mau diberi harapan palsu dengan mengatakan aku bisa sembuh.
'Ya Tuhan, apa kesalahanku?'
*************
Arnold, suamiku seperti biasanya langsung beranjak dari tempat tidur untuk mandi setelah melakukan hubungan badan denganku, dan dia selalu saja pergi tanpa perasaan.
Rasa yang tak nyaman pada tubuhku ini setidaknya masih bisa aku tahan, dibandingkan dengan sakit yang aku rasakan pada hatiku selama tiga tahun ini.
Bagaimana tidak, ternyata sejak awal pernikahan yang aku jalani bersama Arnold ini sudah salah. Dia hanya menikahi ku demi uang dan bahkan dia melakukannya demi seorang wanita yang selama ini dia cintai.
Kupikir seiring berjalannya waktu Arnold akan bisa mencintai aku sebagaimana aku mencintai dia. Tapi, nyatanya tidak. Hubungan kami hanya sebatas ikatan diatas sebuah kertas. Meski sudah berjalan tiga tahun, Arnold selalu saja bersikap dingin padaku. Walau begitu dia tetap melakukan hubungan badan denganku walau hatinya malah sibuk memikirkan wanita lain.
Aku memang mencintainya meski dia selalu bersikap dingin, meski pada kenyataannya dia memiliki wanita lain yang sangat ia cintai.
Aku sudah jatuh cinta padanya sejak saat usiaku 14 tahun, yang memang saat itu usianya lebih tua 8 tahun dariku. Dia adalah satu-satunya orang yang pada saat itu tempat aku mencurahkan segala perasaanku setelah kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan pesawat.
Ya, aku anak yatim piatu yang tak memiliki siapapun lagi setelah kedua orangtuaku meninggal.
Aku Velicia Arista, terlahir sebagai puteri tunggal Keluarga Arista. Keluarga Arista adalah keluarga yang paling berkuasa di Kota Ternate. Hingga setelah kedua orang tuaku pergi meninggalkan dunia selama-lamanya, mereka meninggalkan semua kekayaan mereka padaku, puteri tunggal mereka.
Dan sebentar lagi, aku sebagai satu-satunya Keluarga Arista yang tersisa, dalam waktu tiga bulan akan meninggalkan dunia juga karena penyakit yang ku derita ini.
Seharusnya aku sudah memiliki keturunan. Memiliki seorang anak yang akan mewarisi semua kekayaan ini.
Masih sangat jelas dalam ingatanku, bagaimana bahagianya aku saat Tuan Besar Setyawan datang melamar dengan membawa foto Arnold. Padahal sebenarnya aku masih punya banyak pilihan yang lebih baik, tapi aku lebih memilih Arnold.
Tapi, apa yang aku dapat setelah menikah dengan Arnold? Nyatanya dia bukan seperti yang aku harapkan. Dia benar-benar menikahi aku hanya untuk uang dan membantu bisnis keluarganya agar bisa berkembang.
Arnold sama sekali tak memberikan kesempatan pada pernikahan kami agar bisa berjalan baik. Bahkan, 2 tahun yang lalu saat aku sedang hamil, dengan kejinya janinku digugurkan oleh Arnold sendiri. Dia membunuh anaknya sendiri demi wanita yang dia cintai.
"Ya Tuhan sakit sekali."
Aku turun dari tempat tidur dan menatap ke lantai bawah di depan villa tanpa berbalut sehelai benang pun. Arnold sepertinya akan pergi menemui wanitanya.
"Waktuku hanya tersisa 90 hari. Aku harus cepat."
Aku mengambil ponselku yang berada diatas nakas dengan cepat menekan tombol memanggil pada nama Arnold saat ia tengah menyalakan mesin mobilnya.
“Arnold, mari buat kesepakatan.” ucapku singkat.
Hai readers, karya ini sedang on going, author akan update tiap hari ya~
"Aku ingin membuat kesepakatan." Ucapku pada Arnold.
"Katakan!" Suara Arnold terdengar begitu tegas padaku.
"Aku akan bercerai denganmu, memberikan seluruh aset yang aku miliki untukmu. Mengalihkan semuanya atas namamu. Semua itu akan aku lakukan dengan satu syarat yang harus bisa kau penuhi."
Aku berusaha tegar meski sejujurnya hatiku tak sanggup. Suaraku tak boleh bergetar dan terdengar bersedih. Tidak!
"Apa maksud perkataan mu? Apa kau bercanda? Atau mungkin kau sudah gila?"
Lagi-lagi Arnold berkata dengan sangat kasar. Tak bisakah dia bicara sedikit lembut padaku? Aku menghela nafas kasar.
"Aku sedang tidak bercanda Arnold. Aku serius. Kau bisa mendapatkan surat cerai dan seluruh kekayaanku asalkan kau mau menjadi kekasihku selama tiga bulan." Ucapku serius.
"Hahaha apa kau memang benar-benar sudah tidak waras. Apa kau pikir aku akan mau menjadi kekasihmu? Dengarkan aku baik-baik Velicia Arista. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menjadi kekasih yang akan mencintai kamu walaupun hanya satu jam."
Tutt...!
Sambungan telepon terputus, hatiku hancur. Apa aku benar-benar tidak pantas untuk dicintai? Kenapa Arnold begitu kejam? Dia tidak bisa mencintai atau hanya sekedar menjadi kekasihku dalam waktu 3 bulan. Lalu kenapa dalam kurun waktu tiga tahun ini dia selalu meniduri aku?
Ah, aku lah yang bodoh. Meski aku tahu dia tidak mencintaiku, meski aku tahu dia memiliki wanita lain, tanpa paksaan aku malah sangat mencintai dirinya.
Sudahlah! Waktuku hanya tersisa tiga bulan. Dan yang ingin aku lakukan selama tiga bulan itu hanyalah bisa mendapat kasih sayang, dan menjadi seorang wanita yang dicintai oleh suamiku sendiri. Bagaimanapun caranya aku pasti bisa membujuk Arnold.
Malam semakin larut, setelah membersihkan diri, aku memilih untuk mengistirahatkan tubuhku dan juga pikiranku yang sudah sangat letih menjalani semuanya.
Perlahan aku memejamkan mata, berharap masih bisa bangun esok hari. Karena masih banyak hal yang harus aku lakukan.
"Selamat malam Mama, Papa, aku harap kita bisa bertemu di alam mimpi."
***************
Hari ini matahari bersinar dengan begitu cerah, aroma tanah yang basah karena hujan kemarin menguar. Aku bangun tidur pagi-pagi sekali, bergegas mandi dan memilih pakaian terbaikku untuk ke kantor. Tak lupa ku poles wajahku dengan makeup yang senatural mungkin.
Ku pandangi pantulan diriku di cermin. Bukan hendak menyombongkan diri. Tapi, pada kenyataannya aku memang gadis yang cantik. Kulitku putih bersih, bibirku tipis, dan aku memiliki hidung yang lumayan mancung. Semua kecantikan ini sepertinya turunan dari Mama yang memang sangat cantik.
Hanya saja yang terlihat berbeda kini, tubuhku semakin kurus. Mungkin karena penyakit yang menggerogoti tubuhku.
"Ah sudahlah, lebih baik aku berangkat bekerja."
Selama ini aku memang berkendara sendiri dengan mobil sporty yang aku beli saat pertama aku mendapatkan surat izin mengemudi.
Saat tengah fokus menatap jalanan yang mulai padat dilalui kendaraan, suara ponselku berdering. Sekilas ku lirik nama Papa Setyawan tertera dilayar ponsel. Dengan sebelah tangan aku bergegas memasang earphone ke telingaku lalu menjawab panggilan dari mertuaku itu.
"Halo Velicia, kau dimana?"
"Aku tengah dalam perjalanan menuju kantor Pa." Jawabku cepat sambil mata terus fokus menatap ke arah jalanan.
"Velicia, dengarkan Papa baik-baik. Viona Gaulana akan kembali, kau harus lebih memperhatikannya. Jangan biarkan Arnold bertemu dengannya."
Aku terdiam, ya Viona Gaulana adalah wanita yang selama ini sangat dicintai suamiku. Mengingat usiaku yang memang menurut Dokter Freddy hanya tersisa tiga bulan, maka biarlah terjadi. Biarkan mereka bersama, toh sebentar lagi aku akan mati.
"Pa, aku tidak akan menghalangi hubungan mereka lagi. Karena aku sudah memutuskan bahwa aku ingin bercerai dari Arnold." Ucapku dengan tenang.
"Apa yang kau katakan? Kenapa kau tiba-tiba ingin bercerai? Ada apa denganmu? Kalau pada akhirnya kau hanya ingin bercerai, kenapa dulu kau memilih keluarga Setyawan? Apa yang kau inginkan sebenarnya?"
Aku tertawa mendengarkan ucapan Papa mertuaku itu.
'Kenapa aku memilih keluarga Setyawan.?' pikirku.
“Papa.... Papa.... Apa Papa mendadak menjadi pelupa? Bukankah Papa sendiri yang mengajukan anak Papa untuk menikah denganku?" Ucapku dengan nada yang mengejek. "Kalianlah yang sejak awal hanya menginginkan keluarga Arista, sedangkan aku hanya menginginkan seorang Arnold.” lanjut ku.
Setelah setengah jam perjalanan, aku tiba di kantor dan langsung menuju ruangan ku. Aku masih saja memikirkan bagaimana perasaan Papa mertuaku atas apa yang aku katakan tadi.
Dua buah dokumen sudah berada diatas mejaku. Aku mulai menandatangani dokumen yang pertama. Dokumen tentang surat perjanjian pengalihan saham.
Sebenarnya beberapa tahun belakangan ini Arnold terus mengembangkan bisnis keluarga Setyawan dengan bantuan keluarga Arista, jika aku mati, yang bisa aku andalkan hanyalah Arnold.
Selain menandatangani surat pengalihan saham, aku juga sudah membuat sebuah surat wasiat. Aku tidak menuliskan surat wasiat dengan panjang lebar seperti yang umumnya dilakukan orang-orang. Di dalam surat wasiat ini, hanya ada satu kalimat yang aku wasiatkan untuk suamiku: Arnold, kuharap segala yang kamu mau di kehidupan ini tercapai.
Aku mengambil ponselku yang ada didalam tas, untuk menghubungi pengacara dan memintanya menemui ku untuk menyerahkan kedua dokumen ini.
Tak butuh waktu lama, Pak Heri sudah ada dihadapanku.
"Pak Heri, aku akan menyerahkan dua buah dokumen kepada anda. Isinya merupakan surat pengalihan saham dan surat wasiatku." Ucapku tegas pada pengacaraku itu.
"Apa yang anda katakan Nyonya, kenapa anda tiba-tiba membuat surat wasiat?" Pengacaraku terdengar tak percaya atas apa yang aku katakan.
"Dengarkan aku Pak Heri, aku hanya akan mengatakan satu hal padamu. Aku berharap Arnold bisa memainkan sebuah lagu berjudul 'Sleep in the Deep Sea' dengan piano di depan makam ku setelah aku meninggal nanti."
Aku sangat menyukai lagu “Sleep in the Deep Sea” karena lagu itu adalah lagu yang dimainkan Mama setiap malam untukku sebelum dia meninggal. Setelah Mama meninggal, aku sering mendengar lagu ini dimainkan oleh Arnold di kelas sebelah saat kami bersekolah.
Itulah kenapa aku sampai bisa jatuh cinta padanya. Setelah itu dia menjadi temanku tempat aku berbagi suka dan duka ku. Sejak saat itulah aku terobsesi padanya, aku ingin menjadi istrinya dan menjalani hidupku bersamanya
Kisah cinta kami di masa lalu sebenarnya sangat indah. Meski sekarang semuanya benar-benar berbeda, setidaknya kenangan di masa lalu yang indah bersamanya akan menjadi memori terindah yang aku miliki terhadap Arnold.
Setelah pengacara pergi, aku kembali mengambil ponselku untuk menelpon Arnold.
"Untuk apa kau meneleponku lagi?" Teriak Arnold di seberang telepon.
Arnold andai kau tahu, aku juga tidak ingin menghubungimu. Toh selama setahun ini, aku hanya menelpon mu 2 kali, 1 saat kemarin malam, dan 1 lagi saat ini.
"Aku tidak punya waktu untuk mengobrol denganmu." Teriak Arnold lagi.
Hatiku hancur. Namun, aku harus tegar setidaknya aku masih memiliki waktu tiga bulan untuk mendapatkan cinta Arnold.
"Arnold, aku tahu Viona kekasihmu sudah kembali. Jika kau ingin mendapatkan surat cerai dan harta untuk kebahagiaanmu bersama Viona, maka pulanglah malam ini." Ucapku mengancam Arnold.
Matahari semakin beranjak tinggi, hari ini benar-benar berbeda dengan kemarin. Jika kemarin hujan turun begitu deras, berbanding terbalik dengan hari ini. Cuaca panas begitu terasa di pipiku saat kakiku melangkah keluar dari dalam mobil. Aku mau makan siang di sebuah cafe yang sedang trending di media sosial.
Aku berjalan menyusuri trotoar melewati beberapa deret cafe yang berbaris rapi, hingga mataku ini tak sengaja menangkap sosok wanita yang tak asing lagi berjalan keluar dari dalam mall.
Kakinya begitu jenjang, kulitnya sangat putih dan mulus. Bentuk tubuhnya begitu indah, rambutnya sangat lurus dan panjang. Dagunya yang lancip dengan wajah yang begitu cantik membuat wanita itu pantas disebut sempurna. Apalah aku jika dibandingkan dengan dirinya. Pantas saja Arnold sangat mencintai dia.
Iya benar, wanita yang tengah ku lihat itu adalah Viona, kekasih yang sangat dicintai suamiku.
Aku lebih baik berbalik saja, aku tak ingin berpapasan dengannya. Saat kakiku baru saja melangkah, terdengar suara seorang wanita memanggil.
"Nyonya Setyawan ya?”
Sudah terlanjur, ya sudah aku layani saja sekalian. Aku kembali membalikkan badanku bersiap memasang tampang yang biasa-biasa saja.
"Ada apa?" Aku berusaha bersikap santai.
"Hah, lihat rupa mu sekarang ini. Pantas saja Arnold sangat jijik denganmu. Aku kasihan padamu, kau itu bisa menjadi seorang Nyonya Setyawan hanya karena kau berada di posisi CEO keluarga Arista. Tapi suamimu sama sekali tidak mencintai dirimu, dia malah mencintai aku."
Semua yang dikatakan wanita ini memang benar adanya, jadi kenapa aku harus merasa sakit hati?
"Apa Arnold pernah memperlakukanmu dengan lembut? Apa Arnold pernah berbicara manis padamu atau memanggilmu sayang? Apakah Arnold pernah membuatkan mu sarapan saat kau terbangun dari tidurmu? Aku yakin pasti tidak pernah. Karena Arnold hanya akan melakukan semua itu padaku wanita yang sangat dicintainya. Bukan pada wanita yang memang berstatus sebagai istrinya tapi tak pernah dia cintai sama sekali. Bahkan aku yakin Arnold sangat jijik berada satu atap denganmu."
Apa mulut wanita ini terbuat dari cabai, semua kata-katanya begitu pedas, membuat telingaku menjadi sangat panas.
Sudah cukup, aku tak tahan lagi. Dari dulu aku tidak akan menahan diri jika ada yang kelewatan menggertak ku. Aku memang tidak punya apa-apa untuk melawan, tapi aku punya uang, selain itu aku juga punya status sebagai Nyonya Setyawan, dan wanita dihadapanku tidak punya apapun yang bisa dia banggakan.
"Seharusnya kau lebih mengasihani dirimu sendiri. Kau memang memiliki hati dan cinta Arnold bersamamu. Tapi apa statusmu dimata semua orang? Apa kau tak malu memiliki julukan sebagai pelakor. Sedangkan aku yang kau kasihani ini nyatanya dimata dunia, aku adalah Nyonya Setiawan dan kau tetaplah wanita simpanannya. Kau memang cantik, dan merendahkan aku dengan mengatakan Arnold jijik padaku. Tapi apakah kau tidak tahu kenyataannya. Atau Arnold yang kau katakan sangat mencintaimu itu tidak jujur padamu?"
Kali ini ucapan ku setidaknya sudah menyakiti wanita yang ada dihadapanku ini terbukti dengan raut wajahnya yang sudah berubah, bahkan air matanya terlihat menggenang.
Hah, ingin sekali aku menertawainya.
"Apa maksudmu hah?" Ucap wanita ini membentak ku.
"Apa kau tahu lelaki yang mencintaimu itu nyatanya menikmati setiap permainanku diatas ranjang."
Skakmat... Air matanya akhirnya tumpah juga, kau pikir hanya kau yang bisa menyakitiku. Kini kau rasakan akibatnya.
"Aku tidak percaya padamu. Kau pasti bohong." Teriaknya.
"Hahaha untuk apa aku bohong. Bukankah hal yang wajar bagi suami isteri untuk melakukan hubungan badan. Justru yang tidak wajar itu, suami orang berhubungan badan dengan seorang wanita yang bukan isterinya. Apa bedanya wanita itu dengan wanita panggilan yang dibayar untuk memuaskan birahi para pria hidung belang."
Lagi-lagi aku ingin tertawa melihat wanita di depanku ini menangis. Puas sekali rasanya.
Sosok yang menjadi akar perdebatan antara aku dan Viona akhirnya keluar juga dari dalam toko. Dia berdiri melindungi Viona di belakangnya. Tatapannya itu sedingin pisau yang siap menancap di tubuhku.
"Kenapa kau ada di sini?" Dia bertanya dengan nada yang begitu kasar padaku.
"Kenapa aku ada disini? Bukankah pertanyaan itu seharusnya aku tujukan padamu suamiku. Apa kau tengah kencan dengan pacar lamamu di belakangku?”
Aku menjawab dengan acuh tak acuh, dan sengaja mengejeknya secara langsung.
Kenapa wajah Viona tiba-tiba jadi sangat pucat? Apa yang ingin dia lakukan, kenapa dia malah berjalan maju ke arahku.
Viona memegang tanganku, sekarang ekspresi wajahnya sudah diatur menjadi tampang wanita yang begitu malang.
'Akting mu sangat tidak natural Viona, hahaha aku benar-benar kesal pada wanita ini.' ucapku dalam hati.
“Nona Veli, jangan salah paham…”
Aku sudah muak, jadi aku menghempaskan tangannya. Wanita itu terlihat sempoyongan. Arnold dengan cepat menopang tubuh wanita itu, dan membuatku terjatuh ke lantai karena tenaga Arnold yang terlalu besar.
Sakit sekali, pergelangan tanganku terluka dan mengeluarkan darah.
'Kau memang ratu akting Viona.' lagi-pagi aku bergumam dalam hati.
Aku hanya menghempaskan tangannya pelan, tapi aku seolah-olah telah melukai dirinya. Jelas-jelas aku yang terluka, tapi Arnold malah lebih memperhatikan Viona. Selama ini yang ada di mata Arnold hanyalah Viona.
Aku ingin menertawakan diriku sendiri saat ini. Aku mungkin sudah gila karena terlalu berharap.
"Arnold....aku terluka.” ucapku dengan lemah, berusaha menarik simpati Arnold.
Sebelumnya aku tidak pernah terlihat lemah di hadapan siapapun, dan Arnold tahu akan hal ini. Sangat jelas dimata Arnold, yang aku lakukan sekarang ini membuatnya bingung.
Namun, meski aku sudah terlihat lemah dihadapan Arnold dia tetap memilih Viona dan tidak menghiraukan aku sama sekali. Sekilas aku melihat senyum kemenangan di bibir Viona.
'Ah ingin sekali aku menarik mulutnya itu.' tapi aku hanya bisa bergumam dalam hati.
************
Malam harinya, aku mandi lebih awal. Setelah mengobati luka di pergelangan tanganku. Aku duduk di depan meja rias, berdandan yang cantik untuk menyambut Arnold.
Sekarang yang ada diatas meja rias ku adalah surat perceraian. Dengan tangan yang bergetar aku menandatangani surat perceraian ini, lalu meletakkannya di dalam laci.
Sudah pukul sepuluh malam, Arnold belum juga pulang. Aku bahkan memasak makanan kesukaannya. Aku ingin makan malam bersamanya. Tapi sampai sekarang dia belum datang juga.
Aku memutuskan menunggu Arnold di ruang keluarga. Karena kantuk yang menyerang, aku merebahkan tubuhku diatas sofa dan tertidur.
Aku terbangun karena mendengar suara deru mobil. Ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 3 subuh. Dengan cepat aku membukakan pintu untuk Arnold. Ku peluk tubuhnya, dan aku masih dapat mencium aroma tubuh Viona.
Aku semakin mengeratkan pelukanku dan menyandar dengan lembut di dadanya yang bidang.
"Arnold, aku sudah menunggu sejak tadi, aku bahkan belum makan malam. Aku sudah masak makanan kesukaanmu. Aku ingin makan malam bersamamu." Ucapku dengan nada yang sangat manja.
Arnold menggenggam tanganku erat, membuat jantungku berdegup dengan sangat kencang.
“Velicia, ada yang aneh denganmu sejak kemarin!” ucapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!