NovelToon NovelToon

OH MY BOSS

BAWA AKU BERSAMAMU, BOS!

“Hai pelangi, Hai! Godain kita dong!”

“Jutek sekali kamu, Pelangi. Cantik juga tidak, tapi juteknya tidak ketolongan. Samperin kita dong, kita kosong, nih!”

“Ayo dong, Pelangi, kapan lagi coba kamu bisa dapat perhatian dari pria tampan seperti kami!”

Pelangi Aulia memejamkan matanya dengan sebal. Napasnya mulai memburu karena berusaha untuk menghindari beberapa pria yang mulai menggodanya. Ah, tidak, tidak, lebih tepatnya pria-pria itu menjahilinya, bukan menggoda. Lagi pula siapa yang berminat untuk menggodanya. Pelangi si cupu yang tidak cantik sama sekali!

“Pelangi!” Sebuah tangan meremas bokongnya dengan kasar. Membuat dirinya menghentikan  langkah dan kemudian terdiam mematung.

“Apa yang  barusan kamu lakukan?” tanya pelangi dengan suara bergetar. Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan. Namun, berusaha terus menghindar pun pasti akan sulit. Mengingat dirinya telah dikelilingi oleh beberapa pria yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan mesum.

“Menyentuh bokong. Apa kamu tidak merasakannya? Mau lagi?” tanya Radit, salah satu pria yang sekarang ini telah sukses membuat Pelangi terpojok.

“Ti-tidak!” lirih Pelangi.

“Sungguh?” tanya Radit lagi. Kembali meremas bokong Pelangi dengan kasar, membuat beberapa temannya yang menonton pertunjukan murahan itu seketika tertawa terbahak-bahak.

“Jangan, jangan se-sentuh!” Pelangi mulai terisak. Ia kemudian membalikkan tubuhnya dan berlari dengan cepat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk menghindari komplotan pria kurang ajar yang sejak tadi mengganggunya.

Pelangi merupakan pekerjaan paruh waktu di sebuah perusahaan ternama. Hidup sebagai seorang yatim piatu dan tinggal sendirian di kota besar Jakarta membuatnya harus siap melakukan pekerjaan apa saja yang dapat langsung menghasilkan uang. Asalkan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang benar, bukannya pekerjaan kotor.

Seperti malam ini, ia mendapatkan telepon dari kantor tempatnya bekerja bahwa ia harus kembali ke kantor untuk merapikan beberapa berkas yang masih berantakan.

Awalnya Pelangi merasa keberatan. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 21:30 WIB. Perasaannya pun tidak enak, apa iya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya di jam segitu. Namun, seseorang yang  berada di seberang panggilan jelas sekali memaksa agar dirinya harus datang. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, Pelangi segera meluncur saat itu juga menuju kantor. Terlebih lagi si penelepon mengatakan akan langsung membayar Pelangi secara cash begitu Pelangi menyelesaikan tugasnya. Tentu saja gadis polos berkacamata itu segera berubah pikiran dan akhirnya setuju.

Kebetulan sekali letak kantor dan juga kontrakannya tidaklah terlalu jauh. Hingga ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke kantor tersebut.

Pelangi tersenyum lega saat setengah jam yang lalu ia tiba di kantor dengan cepat. Ia pikir jika pekerjaannya cepat diselesaikan maka dirinya akan cepat untuk kembali ke kontrakan dan beristirahat.

Namun, sepertinya harapan sederhana itu sia-sia!

Sekarang, justru di sinilah ia. Sedang berlari di lorong gelap dan menuruni puluhan anak tangga dari pintu darurat agar dapat menghindari sekumpulan pria kurang ajar yang ternyata tengah mengerjainya. Tidak ada pekerjaan yang harus ia selesaikan, si penelpon yang ternyata karyawan bagian HRD bernama Radit hanya ingin mengerjainya.

“Sedikit lagi, Pelangi, sedikit lagi!” gumamnya sambil terisak, saat akhirnya ia telah berada di lantai 5 bangunan besar itu. Itu berarti ia hanya perlu menuruni lima lantai lagi agar bisa terbebas dari kejaran pria-pria itu.

Buk!

Sebuah benda yang tidak ia ketahui benda apa itu terasa menghantam bagian belakang kepalanya. Seketika itu juga ia merasakan sakit yang luar biasa. Perlahan pandangannya menggelap. Ia bahkan tidak lagi bisa berdiri dengan benar. Tubuhnya mulai limbung, langkahnya goyah dan menit berikutnya ia terjatuh tengkurap di atas lantai yang dingin.

Ia masih sadar. Bahkan gendang telinganya dapat mendengar sorak kemenangan dan juga tawa menjijikkan dari pria-pria kurang ajar yang merupakan atasannya tersebut.

Perlahan Radit dan  teman-temannya menghampiri pelangi. Mereka menarik tangan gadis itu dan membenarkan posisi tubuhnya. Tadinya Pelangi terjatuh dalam posisi tengkurap, tetapi sekarang tidak lagi. Gadis itu sekarang berbaring terlentang dengan mata setengah tertutup. Ia tidak pingsan, hanya setengah tidak sadarkan diri.

Dengan keadaan yang setengah sadar seperti itu, ia dapat dengan jelas melihat wajah Radit dan teman-temannya yang terlihat sudah sangat bernafsu. Mereka beramai-ramai melepas kancing pada blues yang dikenakan oleh Pelangi.

Gadis itu berusaha untuk berontak, tetapi entahlah. Tubuhnya sulit sekali untuk digerakkan. Ia pasrah, benar-benar pasrah jika akhirnya keempat pria brengsek itu mulai melecehkannya.

Namun, kemudian terdengar suara Radit mengaduh. Sebuah sepatu melayang mengenai kepalanya. Pria itu menghentikan aktivitasnya yang sedang serius melepas kancing pada blues yang Pelangi kenakan untuk kemudian mencari si pembuatan onar.

“Lift tidak bisa digunakan. Itulah sebabnya aku menggunakan tangga. Siapa sangka aku malah mendapatkan tontonan gratis seperti ini. Apakah ini termasuk katagori blue filem?” seorang pria tengah berdiri di anak tangga paling atas. Pria tampan dengan sorot mata tajam itu kemudian duduk di anak tangga dengan meletakkan tangannya di bawah dagu. Siap untuk kembali menyimak kejadian menjijikkan di hadapannya.

Pria itu adalah Gilang Andreas. Seorang direktur di perusahaan besar tempat Pelangi bekerja. Tentu saja kelak ia akan menjadi seorang CEO, mengingat dirinya adalah pewaris tunggal dari keluarga Andreas yang terkenal kaya raya.

“Duduklah di sampingku, Toni,” ucapnya pada asistennya yang juga sedang berdiri di sampingnya tadi. “Dan kalian berempat, lanjutkanlah. Aku ingin lihat bagaimana kehebatan kalian. Ayo!” Gilang menjentikkan jarinya sambil tersenyum sinis kepada Radit dan kawan-kawannya.

Radit dan ketiga temannya membelalak takut. Sejak kedatangan Gilang, mereka berempat tiba-tiba saja tidak bisa bergerak. Seolah terpaku di tempat.

“Ma-maaf, Pak. Ka-kami hanya bercanda. Sungguh, Pak. Maafkan kami!” ucap Radit dengan tergagap.

Gilang bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Radit dan ketiga temannya. Mata elangnya kemudian terpaku pada sosok lemah seorang wanita yang terbaring tidak berdaya di lantai dengan pakaian yang terbuka pada bagian atasnya. “Benarkan pakaiannya!” Gilang memerintah. “Aku bilang, benarkan pakaiannya!” Gilang berteriak, saat tidak ada satu pun  dari ke empat pria berengsek itu yang menuruti perintahnya dengan membenarkan pakaian Pelangi.

Dengan cepat Radit kembali mengancingkan pakaian Pelangi dengan benar. Sehingga bra yang dikenakan oleh Pelangi tidak lagi terlihat.

Setelah mengancingkan pakaian Pelangi, Raditya kemudian kembali berdiri di hadapan Gilang. Sorot matanya terlihat khawatir, ia takut jika Gilang kemudian melakukan hal lain kepada dirinya. Dan benar saja, beberapa saat kemudian sebuah tinju melayang tepat di wajahnya. Mengenai hidungnya yang kemudian mengeluarkan darah.

“Cepat enyah dari hadapanku, Sialan!  Besok kita bicara lagi. Untuk saat ini aku sama sekali tidak berminat, tapi besok lihat saja. Kalian berempat jangan berani menghindar. Karena aku pasti akan tetap menemukan kalian. Keluar!” teriak Gilang. Membuat Radit dan teman-temannya segera berlalu dari hadapan Gilang.

Sepeninggalan Radit. Gilang kembali menatap Pelangi yang masih dalam posisi berbaring. “Pulanglah. Aku tahu kamu tidak pingsan. Mereka sudah pergi. Mereka tidak akan mengganggumu lagi.” Usai mengatakan itu, Gilang segera melangkah untuk melanjutkan perjalanannya menuju lobi. Namun, ia merasa ada sesuatu yang menahan kakinya, membuatnya kesulitan untuk bergerak.

Gilang menundukkan wajah untuk melihat apa yang sedang terjadi, dan ia melihat gadis yang tengah berbaring di lantai tadi sedang menyentuh dan memeluk kakinya. Tatapannya terlihat nanar dan benar-benar terlihat ketakutan.

“Bawa aku bersamamu, Bos!”

 

Bersambung  ....

 

 

 

 

 

MENARIK PERHATIAN

Gilang menatap gadis di hadapannya dengan iba. Pria tampan berperawakan tinggi itu memang memiliki sifat yang tidak tegaan. Sebenarnya bisa saja ia menyentakkan kakinya dari tangan si gadis cupu berkacamata itu, kemudian pergi meninggalkannya seorang diri, tetapi ia sungguh tidak tega melakukan hal seperti itu, apalagi gadis itu baru saja mengalami kejadian yang mengerikan.

"Bangunlah, aku akan mengantarkanmu pulang," ujar Gilang setelah beberapa saat.

"Tapi, Pak, Anda ada janji makan malam dengan Nona Gisel." Toni dengan cepat menyela ucapan Gilang. "Sekarang saja kita sudah sangat terlambat."

Gilang melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Tidak masalah terlambat sedikit lagi. Ayo cepat bangun!" pinta Gilang pada Pelangi yang masih memeluk kedua kakinya.

Mendengar ucapan Gilang, Pelangi segera bangkit dari posisi duduknya. Gadis berkacamata itu kemudian mengusap bulir dari sudut matanya dan menatap Gilang dengan malu-malu, sebelum akhirnya mengucapkan terima kasih.

Gilang hanya mengangguk, sementara Toni menatap Pelangi dengan sinis. Karena ulah gadis itu bisa-bisa Tuannya dan Gisel kembali terlibat pertengkaran yang tidak penting!

Mereka berjalan beriringan menuju basement di mana mobil Gilang terparkir.

Gilang dan Toni berjalan dengan langkah cepat, sehingga Pelangi kesulitan mengejar langkah kedua pria yang ada di depannya. Pelangi memang tidak mengatakan kepada Gilang dan juga Toni bahwa kakinya terkilir. Pelangi tidak ingin membuat kedua pria itu semakin kerepotan, diantarkan pulang saja ia sudah bersyukur, tidak mungkin 'kan ia minta digendong juga.

"Katakan padanya untuk lebih cepat, Toni," ujar Gilang pada Asistennya, saat ia menyadari bahwa gadis yang ia tolong ternyata tertinggal jauh di belakang.

"Cepatlah!" Toni berteriak kepada Pelangi sambil menunjuk arloji yang ada di pergelangan tangannya.

Pelangi mengangguk, kemudian dengan susah payah ia mempercepat langkahnya, menyusul kedua pria dingin yang telah berjalan jauh di depannya.

Beberapa menit kemudian, Pelangi telah duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil mewah milik Gilang. ia sungguh tidak percaya jika Gilang benar-benar akan mengantarkannya pulang dan mereka sedang di dalam kendaraan yang sama sekarang.

Selama ini Pelangi hanya bisa menatap Gilang dari jauh. Pria itu memang sosok yang sangat menarik, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit putih bersih, tatapan tajam, hidung mancung dan rambutnya berwarna hitam legam, tidak heran jika banyak yang mengaguminya. Tidak terkecuali Pelangi.

Namun, Pelangi cukup sadar diri untuk tidak ikut heboh seperti gadis-gadis lainnya di kantor, saat mereka melihat direktur muda itu melintas di lobi atau pun saat berpapasan dengannya di koridor. Pelangi memilih untuk menundukkan wajah dan menyingkir. "Aku hanyalah seorang babu, bisa apa aku," gerutunya setiap melihat segerombolan karyawan wanita menyapa Gilang dengan ramah.

Akan tetapi, sekarang di sinilah ia, duduk berdampingan dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Sungguh sulit untuk dipercaya.

"Te-terima kasih, Pak," ucap Pelangi, berusaha untuk mengurai keheningan yang menyergap.

Sejak tadi tidak ada satu pun di antara mereka yang berbicara. Gilang terlalu sibuk dengan ponselnya, sementara Toni terlihat serius mengemudi sambil menikmati musik dari earphone yang terpasang di kedua telinganya. Pelangi sungguh tidak merasa nyaman dengan keadaan itu, itulah sebabnya ia mencoba untuk membuka obrolan. Barangkali saja ia bisa berkenalan dengan lebih dalam pada bos yang sangat ia idolakan itu.

"Pak, Terima kasih!" seru Pelangi lagi. Kali ini nada suaranya sedikit lebih nyaring, karena ucapan sebelumnya tidak mendapat respon dari Gilang. Ia pikir bosnya itu tidak mendengar ucapannya,karena suaranya yang terlalu pelan. Akan tetapi, kali ini pun sama, Gilang masih serius menggerakkan jemarinya dengan lincah di atas layar benda pipih yang ada di tangannya.

Pelangi mengerjap bingung. 'Mungkin suaraku kurang nyaring. Harus lebih nyaring lagi,' batinnya. Kemudian ia berdeham dan berteriak, "Pak Bos, terima kasih, Pak!"

Kali ini berhasil. Gilang dan Toni sama-sama terkejut. Toni bahkan menghentikan mobilnya secara mendadak. Membuat wajah Gilang dan Pelangi menghantam sandaran kursi yang ada di depan mereka dengan keras.

"Oh, Astaga!" Gilang menyentuh dahinya, lalu beralih menatap Pelangi dengan sebal. "Ada apa?" tanya Gilang.

Pelangi yang sibuk membenarkan letak kacamatanya segera balas menatap Gilang. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada pria itu. "Saya tadi bilang terima kasih, Pak Bos. Terima kasih banyak karena telah--"

"Hanya itu?" Gilang memotong ucapan Pelangi.

"Iya, sebenarnya lebih panjang, saya--"

"Jika bukan hal penting kenapa harus berteriak?" Gilang lagi-lagi memotong ucapan gadis berkacamata itu. Gilang kemudian memerintahkan Toni untuk melanjutkan perjalanan, setelahnya pria itu terlihat kembali sibuk dengan ponselnya. Tidak sedikitpun ia terlihat peduli pada Pelangi yang menatapnya dengan kecewa. "Oh, ya, katakan kepada Toni di mana alamatmu," ucap Gilang kemudian, lalu suasana di dalam mobil itu kembali hening seperti sebelumnya.

Pelangi menghela napas dengan berat sebelum akhirnya mengatakan kepada Toni alamat rumahnya dengan cepat dan tentu saja dengan setengah berteriak. Ia sengaja melakukanya demi menarik perhatian Gilang, dan ia sukses, pria itu kembali menatapnya dengan malas sebelum akhirnya mendengkus dengan kesal.

Tidak terlalu sukses sebenarnya!

***

"Gisel, maaf, Sayang. Aku sungguh minta maaf, aku sedikit terlambat." Gilang berlari menghampiri Gisel begitu mobilnya berhenti tepat di depan restoran Jepang.

wanita cantik dengan rambut sepanjang bahu dan tubuh bak model internasional itu menatap Gilang dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa Gilang mengatakan 'sedikit terlambat' padahal restorannya saja sudah akan tutup.

"Sedikit katamu? Oh, astaga, yang benar saja, Gilang," ucap Gisel dengan sinis. "Minggirlah, aku mau pulang!" Gisel kemudian mendorong tubuh Gilang dari hadapannya. Ia sungguh kesal karena kekasihnya itu selalu saja datang terlambat setiap mereka membuat janji. Menyebalkan!

Gilang meraih tangan Gisel, berusaha menahan gadis cantik itu agar terus bersamanya. Ia memang terlambat untuk memenuhi janji makan malam dengan Gisel, tetapi bukankah masih banyak yang mereka bisa lakukan selain hanya sekadar makan malam. "Tunggu, Sayang. Kenapa harus marah?" tanya Gilang.

"Bagaimana tidak marah, Gilang. Aku menunggumu hingga kelaparan!" teriak Gisel.

"Kalau begitu izinkan aku untuk membuatmu kenyang. Kenyang akan kasih sayang," bisik Gilang di telinga Gisel. "Kamu tinggal pilih, ingin berbelanja sepatu, tas, atau pakaian. Akan aku turuti semua keinginanmu, Sayang."

"Tapi ini sudah malam, Gilang. Semua toko sudah tutup!" gerutu Gisel.

Gilang berdecak lalu menarik tubuh ramping Gisel ke dalam pelukannya. "Kalau begitu semua agenda itu bisa kita lakukan besok. Sekarang bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua sambil membuat daftar tempat apa saja yang ingin kamu kunjungi besok."

Gisel mengerti apa yang diinginkan oleh Gilang jika sudah begitu. Maka gadis itu tersenyum nakal dan menarik dasi yang dikenakan oleh Gilang. Membuat wajah Gilang semakin dekat dengan wajahnya. "Baiklah, mari kita habiskan waktu berdua malam ini."

Bersambung ....

MENIKAHLAH!

"Serius semalam kamu ditolongin sama Pak Gilang, La? Terus, terus, gimana kelanjutannya?" Amara terus menempel pada Pelangi sejak gadis itu menceritakan apa yang terjadi semalam kepada dirinya. Bagaimana dirinya harus mengalami tindakan tidak menyenangkan dari Radit dan kawan-kawannya, hingga akhirnya Gilang datang untuk menolongnya.

"Kelanjutan apanya? Aku 'kan sudah berkali-kali bilang, setelah menolongku, aku lantas meminta untuk diantar pulang--"

"Dan Pak Gilang benar-benar mengantarmu pulang?" Amara kembali mengajukan pertanyaan yang telah berkali-kali ia tanyakan kepada Pelangi. Seolah ia tidak percaya akan ucapan Pelangi. Mana mungkin seorang direktur mau memberikan tumpangan kepada seorang babu. Begitulah yang ia pikirkan.

"Iya. Astaga, sudah berapa kali kukatakan, Ra, aku sampai bosan tahu."

"Terus, terus, gimana--"

"Hai kalian berdua. Kerja yang benar. Kerja kok gosip terus. Apa kalian mau saya aduin ke bos. Biar kalian berdua dipecat! Heran deh, kok suka sekali makan gajih buta!"

Pelangi dan Amara sontak terdiam begitu rekan kerja mereka yang juga seorang senior mengomeli mereka dengan sengit. Saat ini Pelangi dan Amara memang sedang membersihkan koridor lantai tiga. Masing-masing dari mereka memegang alat pel, tetapi bukannya membersihkan lantai dengan benar, justru kedua sahabat itu terlibat obrolan seru tentang si direktur tampan. Membuat mereka berdua akhirnya mendapat teguran.

"Amara, setelah ini naiklah ke lantai dua belas. Semprot kaktus di ruangan Pak Gilang. Dia selalu berpesan agar tidak lupa untuk menyemprot kaktus kesayangannya itu!"

"Lantai dua belas! Ruangan Pak Gilang? Biar aku saja. Biar aku!" Pelangi terlihat bersemangat. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya, ia segera berlari menuju lift, bahkan tanpa meninggalkan alat pel yang sejak tadi dipegangnya.

Sesampainya di lantai dua belas, Pelangi segera menuju ruangan Gilang. Ruangan berpintu kaca yang terlihat elegan itu terlihat masih sepi. Wajar saja karena sekarang memang masih pagi, belum juga jam delapan pagi. Hanya Office Boy dan Office Girl yang terlihat berseliweran ke sana-kemari membawa alat-alat perangnya.

Pelangi mendorong pintu kaca yang bertuliskan 'Ruang Direktur" sambil tersenyum bahagia. Tanpa membuang-buang waktu, Pelangi segera mengambil semprotan kecil yang ada di pojok ruangan lalu menyemprotkan cairan bening itu pada kaktus mini dan juga sekulen yang tertata rapi pada rak yang terdapat di samping jendela.

"Siapa sangka ternyata dia suka tanaman-tanaman seimut ini," gumam Pelangi. Setelah selesai menyemprot tanaman-tanaman mini itu, Pelangi segera bersiap untuk keluar dari ruangan itu. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat potret yang terdapat pada sebuah bingkai berwarna silver.

Pelangi meraih bingkai itu dari atas meja dan mendapati bayangan dirinya terpantul dari kaca bingkai. Ia terlihat sangat sederhana, mendekati buruk rupa malahan, jika dibandingkan dengan sosok cantik yang terdapat di dalam potret itu.

sosok berambut panjang itu bak seorang dewi. Jika dibandingkan dengan dirinya tentu saja tidak sebanding. Ia dan gadis di dalam potret itu bagaikan langit dan bumi.

"Kekasihmu, ya?" tanya Pelangi, sambil menyentuh potret gadis cantik itu yang tak lain adalah Gisel.

***

Gilang menyembulkan kepala dari balik selimut untuk melirik jam beker yang terletak di atas nakas.

"Sial, terlambat!" keluhnya, saat mendapati jarum pendek jam itu menunjuk pada angka sembilan. Ia segera keluar dari dalam selimut, meninggalkan kenyamanan surgawi di sana. Gisel menggeliat begitu Gilang menjauh dari tubuhnya.

"Sayang, kenapa buru-buru?" tanya Gisel dengan suara manja yang memabukkan.

Melihat gadisnya masih berbaring di atas tempat tidur tanpa busana membuat Gilang ingin kembali melompat menghampiri Gisel. Namun, bayangan akan ruang rapat di kantor membuat ia mengurungkan niatnya.

"Aku ada rapat, Sayang. Aku harus tiba sebelum jam setengah sepuluh," jawab Gilang, sembari mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru.

Gisel hanya mengedikkan bahu lalu kembali memejamkan mata. Ia masih mengantuk sekali. Semalaman Gilang tidak membiarkan dirinya untuk beristirahat. Ada saja yang diperbuat pria itu sehingga ia tidak bisa memejamkan mata barang sedetik saja. Ia benar-benar kerepotan jika menghadapi Gilang yang ganas itu.

"Aku berangkat!" Gilang menghampiri Gisel dan mengecup singkat bibir ranum gadis cantik itu.

"Bagaimana dengan tas, sepatu dan gaun yang kamu janjikan? " tanya Gisel.

"Setelah aku pulang dari kantor, kita akan langsung belanja--"

"Berikan saja aku kartumu, Cinta." Gisel memotong perkataan Gilang, lalu mengulurkan tangan kepada pria itu sambil mengedipkan mata dengan genit.

"Baiklah, Nona!" Gilang kemudian mengeluarkan kartu persegi berwarna hitam dan menyerahkannya kepada Gisel.

Gisel segera meraup kartu hebat itu dari tangan Gilang dengan senyum mengembang.

***

Satu jam kemudian Gilang telah tiba di kantor. Ia melangkah dengan cepat diikuti oleh asistennya yang sejak tadi menuggu kehadirannya di lobi.

"Dari mana saja, Pak. Anda terlambat satu jam!" ujar Toni dengan cemas.

"Aku sibuk dengan Gisel." Gilang menjawab singkat sambil terus melangkah menuju lift. "Apa rapatnya sudah dimulai?" tanyanya pada Toni.

"Rapatnya dibatalkan, Pak, " jawab Toni.

"Diundur maksudmu?" Gilang kembali bertanya kepada Toni.

"Tidak, Pak. Rapatnya benar-benar dibatalkan dan tender kita lepas."

Gilang menatap Toni dengan tatapan tidak percaya. "Kamu pasti bercanda. Sungguh ini tidak lucu, Toni."

Toni menghela napas dengan berat. "Aku tidak bercanda, Pak. Ayah Anda menunggu Anda di ruangannya."

"Tidak mungkin!" keluh Gilang sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

Beberapa saat kemudian, Gilang sudah berada di depan ruangan sang Ayah. Gilang kemudian mengetuk pintu kaca yang ada di hadapannya sebelum ia masuk ke dalam ruangan itu.

"Masuklah!" terdengar suara dari dalam ruangan.

"Apa aku harus masuk juga, Pak?" tanya Toni yang melihat kecemasan di wajah Gilang.

"Tidak perlu. Tunggulah di sini. Biar aku saja yang menghadapi kemarahan Ayah," ucap Gilang. Ia kemudian mengatur napas dan segera melangkah memasuki ruangan itu dengan mantap.

Ruangan ayahnya dua kali lebih besar dari ruangannya dan juga lebih nyaman pastinya. Mengingat sang ayahnya adalah orang nomor satu di perusahaan itu, maka tidaklah terlalu mengherankan jika semua barang-barang di ruangan ayahnya terlihat mewah dan berkelas.

Farhan Andreas terlihat duduk dengan kaku di atas singgasananya. Sorot matanya menatap Gilang dengan datar tanpa ekspresi. Sulit untuk ditebak apakah ia marah atau tidak atas pembatalan kerjasama yang baru saja terjadi karena ulah putra satu-satunya.

"Dari mana saja kamu, Gilang?" tanyanya, begitu Gilang duduk di kursi yang ada di hadapannya.

"Maaf, Ayah." Hanya itu yang bisa Gilang katakan.

"Ini bukan masalah permintaan maaf, tetapi masalah tanggung jawab. Kapan kamu benar-benar bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas tugas-tugasmu, Gilang. Jika seperti ini terus, aku yakin setelah satu bulan aku pensiun, perusahaan pasti akan mengalami kerugian besar."

"Ayah jangan berkata seperti itu," ucap Gilang.

"Lalu apa yang harus aku katakan? Hal seperti ini bukan pertama kali terjadi, Gilang. Sebelumnya kamu juga melakukan hal yang sama!"

Gilang hanya diam mendengarkan setiap ocehan Farhan. Bagaimanapun juga yang dikatakan ayahnya itu benar. Ia sering sekali mengacau.

"Apa kamu menghabiskan malam dengan Gisel, itukah sebabnya kamu menjadi terlambat?" tebak Farhan sambil menatap tajam putranya.

"Iya, Ayah."

Farhan kemudian mengelus dagunya. Pria tua itu terlihat sedang serius memikirkan sesuatu.

"Gilang, tahukah kamu bahwa ada satu hal yang bisa melatihmu agar terbiasa menjadi sosok yang bertanggung jawab," ucap Farhan kemudian.

"Apa itu, Ayah?" tanya Gilang berpura-pura bodoh. Padahal ia tahu apa maksud Farhan dan ia pun sudah berkali-kali mengutarakan niat baik tersebut kepada Gisel, tetapi Gisel selalu menolak dengan berbagai alasan.

"Menikah," ucap Farhan dengan serius. "Menikahlah dengan Gisel dan belajarlah menjadi sosok yang bertanggung jawab, Gilang. Aku tidak akan memberikan perusahaan ini kepadamu jika kamu tidak menikah."

"Tapi, Ayah, menikah itu bukan hal yang mudah. Aku sudah sering meminta Gisel untuk menikah denganku, tetapi--"

"Tetapi dia selalu menolak." Farhan memotong ucapan Gilang. "Bukan dengan Gisel juga tidak apa-apa."

"Apa maksud, Ayah? Aku hanya akan menikah dengannya, kami saling mencintai."

Farhan tertawa. "Saling mencintai. Kamu yakin? Gisel selalu menolak lamaranmu , apa itu yang dinamakan cinta. Pikirkan dengan baik, Gilang. Jangan menutup mata dari segala kemungkinan. Bersiaplah untuk mencari pengantin wanita."

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!