Pesta perusahaan QQ,
Lampu kristal mewah yang berada di atas ballroom ini begitu mempesona. sinarnya berpendar dengan indah. Selaras dengan kemewahan para undangannya. Gelak tawa, senyum, dan obrolan membahas sebuah perusahaan sangat membuat pusing kepala. Dia merasa sosok orang-orang dengan gaun dan setelan jas mewah dan mahal hanya berpura-pura. Masing masing dari mereka memakai topeng masquerade. Saling menyembunyikan dan menutupi niat dari hati sendiri. Mencoba terlihat mewah dan elegan.
Meskipun ada juga yang sengaja terlihat sangat rakus dan menjadi penjilat ulung.
Qia yang hanya memakai gaun lama memang tidak terlihat bila di bandingkan dengan mereka yang memakai pakaian dari perancang terkenal. Perempuan ini tidak peduli akan tatapan aneh yang melihat dirinya tak nampak sebagai seorang kalangan elit seperti mereka. Perempuan ini terus berjalan masuk dalam kerumunan orang yang memisahkan diri masing-masing sesuai golongan. Tanpa bertanya atau pun mengeluarkan sepatah kata. Dia hanya terus mencari seseorang. Seorang lelaki.
Kakinya berhenti sejenak dan mengambil minuman dari pelayan yang lewat. Meneguknya pelan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ballroom yang luas ini. Dengan keluasan ruangan ini tentu memberi keterbatasan pada penglihatannya. Tapi itu tidak mengurungkan niatnya untuk tetap memeriksa seluruh orang dalam pesta dengan matanya.
Aku yakin meskipun dia berada dalam kerumunan orang banyak sekalipun dia pasti akan terlihat dan mencolok. Walaupun dia tidak memakai nama di dadanya pun aku pasti bisa menemukannya. Dan aku harus segera menemukannya sebelum saat itu tiba.
Sekejap tiba-tiba semua mata memandang pintu masuk ruang acara dengan rasa tegang. Mungkin dari sini aura kejam dan dingin sudah terasa saat muncul laki-laki yang memang saat kita memandangnya akan terbuai dan juga gemetar. Wajah dengan rahang kuat dan tubuh yang tegap dan berotot. Tinggi badan yang menjulang. Semuanya mengintimidasi banyak orang walaupun dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Itu dia!!
Qia mengamati sosok itu dari kejauhan. Kedua matanya menjadi tajam seperti mata elang yang tak kan berpaling walau sedetik pun pada mangsanya. Qia mengawasi dengan teliti apa saja yang di lakukan orang itu. Sesekali tangannya mengangkat gelas mendekatkan ke arah bibirnya. Menyesap minuman dari gelas martini di tangan kanannya.
Kedua mata tajam itu tiba-tiba melihat lurus ke arah Qia. Seakan berkata dengan dingin, "Kau mengawasiku?"
Dari jarak yang jauh itu, sosok lelaki itu mampu membuat Qia merasakan hawa dingin dan gelap yang muncul dari tatapan itu. Seketika, Qia membalikkan badannya dan terduduk menghadap bartender. Mencoba menenangkan diri dari rasa takut yang menghinggapinya tiba-tiba. Ia berusaha tampak baik-baik saja di antara rasa takutnya.
Fyuuhhhh ... Qia menghela nafas berat.
"Bisa minta air putih?" tanya Qia. Bartender itu mengangguk. Lalu ke belakang dan mengambilkan air putih untuk Qia. Kemudian perempuan ini meminumnya dengan cepat dan meletakkan di atas meja.
Begitu kuatkah aura lelaki itu? Sehingga dari kejauhan saja mampu membuatku sesak karena hawa dinginnya. Bagaimana bisa lelaki itu mampu merasakan tatapanku dari jarak yang seperti itu. Ini tidak masuk akal! Kalau di tatapnya saja sudah membuatku sesak, bagaimana bisa aku hendak memintanya menolongku.
Otak Qia berpikir keras.
"Haloo ..." sapa seseorang yang mendekat ke arah Qia. Mata perempuan ini melirik jijik melihat laki-laki paruh baya yang barusan muncul itu. Meskipun merk setelan jasnya sangat mahal, tapi tidak mampu menutupi dirinya yang seperti orang murahan.
"Kau sengaja datang ke sini untuk menemuiku bukan?" tanya dia dengan badan sedikit bergerak-gerak tak beraturan. Mungkin dia sudah minum alkohol banyak yang membuatnya agak mabuk. Acara memang bukan baru di mulai tapi untuk mabuk jam segini sungguh tidak sopan. Jari jari bulat dan gemuk itu mulai menyentuh bahu Qia yang terbuka sedikit.
Cih! Kurang ajar!
Qia menolak sentuhan itu dengan menyingkirkan tangan itu dari bahunya.
"Ayolah ... Kenapa kaku seperti itu?" Senyuman mesumnya mengembang. Qia menyesap vermouth tadi yang sudah tinggal sedikit. Menghabiskannya dan beranjak dari tempat duduk. Meninggalkan laki-laki mesum itu yang sepertinya juga mengikutinya. Namun karena dia sudah agak mabuk, dia tak mampu mengimbangi kecepatan kaki Qia.
Di salah satu kerumunan, Qia melihat tante Imelda yang menatapnya tajam.
Mungkin dia yang memberitahu keberadaanku pada pria mesum, menjijikkan, dan murahan Ferdie. Hh ... sialan!
Qia tidak mempedulikannya. Saat melihat ke belakang, Laki-laki tua itu masih mengikutinya.
Sampai kapan orang tua itu mengikutiku. Sangat tidak masuk akal. Di sekitarnya banyak perempuan tapi dia masih saja terus mengejarku.
Tanpa sadar kaki Qia mendekati sosok dengan hawa dingin dan kejam itu. Qia mengecoh laki-laki tua yang mabuk itu dengan bergabung dengan sebuah kelompok yang berkerumun. Mencoba menjadi salah satu dari mereka. Mengambil satu gelas minuman lagi dan berusaha tersenyum wajar.
"Ini anak perempuanku Tuan, Aurora.."
Tuan Erick memperkenalkan putrinya yang cantik. Mungkin dia berharap bisa menjadikan putrinya isteri Real Arkana. Karena jika berhasil, itu sungguh menguntungkan. Mendapat menantu yang sangat tangguh dan berpengaruh di negara ini. Real tersenyum ramah. Entah itu senang atau muak.Tidak ada yang mampu mengartikan senyuman itu kecuali orang-orang kepercayaannya. Qia menyimak obrolan mereka sambil mengamati Real.
"Saya permisi dulu," pamit Real undur diri sambil tak lupa tersenyum. Tubuh tinggi itu beranjak pergi. Bukannya menyapa orang-orang penting di dalam, dia malah keluar. Menuju balkon. Kaki Qia lagi-lagi melangkah tanpa komando mengikuti orang itu.
Tangannya masih memegang gelas martini.
Sesampainya di luar, Qia tidak mendapati sosok Real Arkana. Matanya beredar mengitari balkon. Tidak mungkin dia menghilang dengan sekejap. Kaki Qia mendekat ke bibir pagar balkon. Mencoba melihat ke bawah. Tubuhnya merinding ngeri.
Ini lantai 15. Tidak mungkin dia sengaja loncat ke bawah. Dan lagi dia bukan orang putus asa yang akan menjatuhkan diri dari atas gedung ini. Bukankah ini lebih pantas untukku?
Matanya menerawang jauh. Menatap kerlap-kerlip lampu kota yang indah. Menyesap lagi minuman favoritnya. Srek! Qia merasakan ada pergerakan di belakangnya. Lamunannya buyar. Tubuhnya menegang. Jantungnya terpompa cepat. Jari-jarinya menggenggam, menahan gemetar yang dirasakannya. Gelasnya juga bergerak-gerak membuat riak kecil pada minuman berwarna putih bening itu. Giginya menggigit bibir bawah. Mencemaskan diri sendiri.
Siapa itu?
Perlahan Qia memutar tubuhnya dengan waspada dan berhati-hati. Akhirnya dia tahu pergerakan apa yang ada di belakangnya tadi. Di depannya bukan pemandangan seperti apa yang di bayangkan barusan, tapi tetap saja rasanya mencekam. Sosok yang di cari dan di ikutinya tadi berdiri tegak di depannya sekarang. Matanya yang kecoklatan menatap tajam. Seolah menusukkan senjata ke tubuh Qia.
.......
.......
...B E R S A M B U N G...
...Promo...
Qia kesulitan bernapas. Berkali-kali dia menghela napas. Akhirnya dia meneguk minuman di gelasnya dengan cepat.
"Kau mengikutiku?" tanya Real dengan hawa membunuh. Bibir Qia bergetar membuatnya kesulitan berbicara.
Bibir diamlah bergetar. Kalau begini aku akan di kira penguntit yang hendak mencelakainya.
"Maaf." Akhirnya Qia bisa mengeluarkan satu kata. Lelaki itu mengamati perempuan asing di depannya. Gaun itu bagus hanya saja terlihat usang.
"Aku tanya sekali lagi. Kau mengikutiku?!" tanya lelaki itu tidak sabar dan marah.
"Maaf. Iya. Saya mengikuti anda." Qia menunduk mengakui kesalahan. Lelaki itu mendekati Qia. Melihat itu Qia mundur, tapi langkahnya tertahan oleh bibir pagar. Dia sudah berada di tepi balkon. Tangannya mencekal leher Qia. Membuat mata Qia melebar dan nanar
Pyarr! Gelas di tangannya jatuh dan pecah.
"Mau apa kau mengikutiku?" tanya Real seraya mendesis.
Harus hari ini kapan lagi aku akan bertemu dengannya ...
"Saya ingin membuat penawaran," kata Qia dengan suara parau. Laki-laki itu menatap Qia lagi.
"Tawaran? Apa yang bisa kau tawarkan?" walaupun tangannya mencekal leher, tapi Qia tak merasa cengkeraman dari tangan yang kokoh itu. Jari itu hanya menempel pada leher. Suara Qia tercekat karena gugup. Sedikit salah ngomong, tangan itu akan mencekiknya tanpa ampun.
"Anda bisa memiliki saya."
"Hmmm..." Real tergelak meremehkan. "Ternyata hanya itu penawaranmu ... Tidak menarik. Membosankan." Setelah mengatakan itu, dia melepaskan tangannya dari leher Qia seperti membuang barang. Sengaja Qia membuang muka. Saat kedua mata lelaki itu memindai seluruh tubuhnya. Walaupun bukan pandangan mesum yang terlihat seperti Ferdie tadi, tapi Qia tidak suka. "Tidak perlu melakukan penawaran apapun aku akan bisa mendapatkan perempuan lain yang lebih baik darimu. Bahkan mereka sendiri yang akan datang kepadaku. Menyodorkan tubuhnya untuk bisa di tiduri olehku," kata Real dengan pongahnya. Itu bukan sesumbar. Itu kenyataan. Dengan reputasinya dia memang bisa mengundang wanita manapun semaunya.
Lalu dia beranjak pergi.
"Tolong ...," pinta Qia sambil menarik ujung setelan jas mahal Real dengan jarinya dari belakang. Real menghentikan langkahnya. Bukan karena dia jadi tertarik dengan perempuan itu, tapi kata tolong tadi membuat kakinya berhenti. Suara minta tolong ini menandakan keputusasaan yang sangat. Serasa menanggung beban yang berat.
Qia melepaskan pegangannya saat tubuh tegap, kuat dan bidang itu berbalik.
"Apa yang bisa kau tawarkan untukku selain dirimu?" tanya Real dengan nada yang menyiratkan bahwa dia tidak ingin perjanjian yang tidak menguntungkan. Karena sebagai orang berpengaruh di dalam kancah bisnis dunia, dia punya segalanya. Dia tidak kekurangan sesuatu apa pun. Ada siluet yang sangat di kenal Qia di balik pintu.
"Bisa kita bicarakan itu nanti? Sekarang Anda harus segera menolongku," ucapnya terburu-buru seperti akan kehabisan waktu.
"Soal apa?" tanya Real heran.
"Qia, dari mana saja kamu? Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana." Tiba-tiba seorang pria berumur sekitar Lima puluh tahun muncul di balkon. Tangannya memegang wine merah. Jalannya agak sempoyongan. Dia di pastikan dalam keadaan mabuk walaupun tidak parah.
Jari jari Qia kembali menarik setelan jas hitam Real. Tangannya gemetar. Walaupun jari-jari itu tak sepenuhnya menempel pada jas, tapi Real tahu perempuan itu gemetar. Perempuan itu bukan ketakutan, hanya muak hingga membuat tubuhnya bergetar. Namun dia berusaha menghadapi dengan wajah tenang.
"Oh maaf, ada Tuan Real ternyata." Orang itu membungkuk hormat kepada Real. Matanya ternyata masih bisa membedakan dengan jelas. Karena saat ini Real sedang bersama Qia. Sementara Real hanya mengangkat gelas wine-nya sedikit dengan sikap kakunya menerima sapaan Ferdie.
"Kenapa kau terus mencariku?" kata Qia tegas. Real sempat melirik ke arah perempuan yang ada di sebelahnya. Menatap kedua mata perempuan itu. Walaupun tubuhnya terasa melemah karena ketakutan, matanya tetap tajam seperti tadi. Tidak ada keraguan saat dia mengutarakan semua pikirannya. Kalimatnya jelas dan padat.
"Kenapa kau menanyakan itu. Bukankah sudah jelas sebentar lagi kita akan menikah," kata Ferdie tersenyum menjengkelkan.
"Kenapa kau harus menikah denganku? Masih banyak perempuan yang seumuran denganmu. Bukan bermain-main dengan perempuan yang lebih pantas di sebut sebagai puteri olehmu," kata Qia kesal.
"Hei ... Apa yang kau bicarakan? Tidak peduli terpaut usia berapa tahun kalau sudah cinta, apa yang mau di kata," kata Ferdie menjijikkan. Menyeringai dengan mesum sambil memindai tubuh perempuan ini. Qia sangat tidak suka itu. Rasanya seperti sedang ditelanjangi.
"Anda yang sedang jatuh cinta, bukan saya." hardik Qia.
"Hei, kau terus-terusan mengatakan hal yang membuat amarahku melonjak. Sini!" Tuan itu marah menarik lengan Qia dengan paksa untuk menjauh dari Real Arkana. Karena jari Qia hanya menempel saja pada setelan jas, di tarik seperti itu jelas membuat tubuh Qia mengikuti dengan pasrah. Namun dengan sigap Real menarik lengan Qia. Hingga akhirnya Qia berada pada lingkaran lengan Real yang kokoh.
"Eh?" Tuan dengan wajah mesum itu kaget. "Tuan Real, ada apa?" Beberapa tetes wine dari gelas itu tumpah ke tanah dan mengenai gaun usang milik Qia.
"Maaf, saya tidak bisa membiarkan calon saya di bawa oleh anda," kata Real dengan senyum manis palsunya.
"Calon?"
"Iya. Dia adalah calon isteri saya," kata Real sambil merengkuh pundak Qia. Perempuan ini mendongak ke atas. Menatap rahang kuat itu dari bawah dengan raut muka tidak setujunya.
Calon isteri? Sandiwaranya berlebihan. Bukankah cukup bilang jangan mengganggunya? Bagaimana bisa yang terpikir olehnya adalah calon isteri.
Padahal sedikit saja perkataan dari mulut Real Arkana, pasti akan membuat takut orang mesum tadi.
Sebenarnya Qia tidak suka sentuhan pada tubuhnya, tapi ini demi menolong nyawa dirinya sendiri. Jadi Qia mencoba diam. Dan mengikuti sandiwara Real Arkana yang sudah paham tentang permintaan tolongnya.
"Benarkah? Saya baru dengar kalau Tuan Real mempunyai calon isteri ... dan itu adalah dia." Ferdie tidak langsung percaya. Dia curiga.
"Apakah, Anda butuh bukti kalau dia memang calon isteri saya?" tanya Real dingin. Sesaat terasa hawa membunuh darinya. Ferdie gemetar. Tubuhnya beringsut mundur.
Tak ada niatan untuk meraih Qia. Bagaimana mungkin dia melawan laki-laki yang sangat berpengaruh di depannya ini. Bisa-bisa dia akan pulang dengan hanya tinggal mayat. Bukan hanya mayat, mungkin hanya serpihan daging yang sudah di cincang. Selain tatapannya yang dingin hatinya juga dingin. Walaupun senyum sering menghiasi bibirnya. Tetapi itu hanya senyum palsu yang dengan mudah dia buat untuk mengecoh lawannya.
"Ti-tidak. Sa-saya percaya pa-pada Tuan," jawab Orang tua itu gemetar. Ferdie melihat Qia sebentar yang masih menunduk dan diam. Kemudian perlahan berjalan mundur.
"Saya permisi, Tuan Real." Dia membungkuk hormat lalu pergi. Masih dengan jalannya yang terseok-terseok.
.......
.......
...B E R S A M B U N G...
"Bisa lepaskan pelukanmu?" pinta Qia dengan rasa tidak nyaman yang di tahan sejak tadi.
Real melepaskan.
"Selera mu sangat buruk soal pria," caci Real dengan tampang kakunya. Itu bukan gurauan. Dia mengatakannya dengan sungguh sungguh dan meremehkan.
Bagaimana bisa itu adalah seleraku? Aku normal dalam memilih pria. Seleraku bukan seperti itu. Dia hanya orang yang memaksa untuk menjadi sosok yang cocok dengan seleraku dan itu tidak mungkin!
"Maaf. Bisa kita bicarakan lagi soal tawaran tadi?" tanya Qia tidak lupa tujuan awal.
"Tidak. Tidak harus malam ini, tapi aku harap kau menepati janjimu. Karena bisa saja aku mengulitimu saat ini juga ataupun besok karena hatiku sedang dalam keadaan tidak baik saat kau berulah menipuku," katanya dengan tatapan dingin mengintimidasi.
Qia mundur selangkah. Meremas ujung gaunnya sendiri karena tangannya gemetar ketakutan. Sorot mata tajam milik Real sangat mengintimidasi. Sesaat tadi Qia lupa bahwa pria ini memang di kenal sangat dingin dan kejam. Orang berpengaruh dalam dunia bisnis.
Apakah benar aku membuat tawaran dengan dia yang tidak tahu, kapan saja bisa akan mencabik ku? Hh ... aku tidak tahu, rapi aku ingin lepas dari kejaran Ferdie yang mesum dan menjijikkan itu. Juga dari orang-orang yang mengincarku.
"Pulang lebih dulu. Aku ingin memperbaiki mood jelekku," usirnya sambil mengibaskan tangannya seperti mengusir hewan peliharaan. Qia terdiam. "Kau tidak mau pulang?"
"Terima kasih ...," ujar Qia, lalu pergi.
"Cepat cari tahu siapa dia. Karena aku harus segera menemuinya," perintah Real selepas perempuan yang tidak pernah di ketahuinya itu pergi.
"Baik," ujar pengawal pribadinya yang sejak tadi berada di sana untuk melindunginya.
......................
"Real!!! Begini caramu menunjukkan kalau kau juga lebih baik dariku dalam bermain dengan wanita?!" Kris datang dengan suara yang di buat-buatnya ke ruang kerja Real. Di dalam ruangan sudah ada Axel bawahan paling setia dan bisa menjadi apapun yang Real mau. Axel sedang berdiri di sebelah Real sedang membahas sesuatu.
Mata Real melirik tajam ke arah laki-laki play boy yang mulai duduk santai di atas sofa di depan meja kerjanya.
"Soal apa?"
"Hei ... berhentilah berpura-pura. Kau sengaja seperti itu untuk mengalahkanku sebagai penakluk wanita nomor satu bukan?" Real mengkerutkan dahinya mendengar ocehan Kris.
"Aku sudah dengar semuanya. Kau sangat jahat sebagai teman ... Aku bahkan mendengarnya dari tv di ruang Lexy. Bukan dari mulutmu sendiri." Kris masih membahas soal perkara yang Real tidak paham.
"Berhenti berbelit-belit. Cepat katakan apa maksudmu," kata Real seperti ingin membunuh Kris dalam sekejap.
"Oke, oke." Kris tahu Real tidak sabar. "Dasar ... orang kaku," umpat Kris pelan.
"Aku bisa mendengarmu," kata Real. Kris nyengir kuda. Lalu melanjutkan bicara soal berita heboh pagi ini.
"Bukankah kau sudah punya calon istri?"
"Omong kosong apa yang kau bicarakan?" Mata Real menyipit tidak suka.
"Hei, kau tidak melihat beritamu sudah ada dimana-mana?" Kris curiga temannya yang kaku itu belum mendengar berita yang menghebohkan pagi ini. Kris menyalakan tv.
Kalimat Real saat mengatakan Qia adalah calon istri tersebar kemana-mana.
"Kau sengaja menyembunyikan wanitamu karena takut aku goda ya ..." Maksud Kris bercanda. Namun reaksi Real justru berbeda.
Wanita itu!!
Brak!!
Real menggebrak meja karena marah. Kris menoleh kaget. Lagi-lagi dia harus menutup mulutnya.
"Aku hanya bercanda." Kris mengatakan itu dengan cepat. Padahal Real marah bukan karena omongan Kris, melainkan orang lain. Yaitu wanita yang tadi malam membentuk raut wajah sedih dan meminta tolong. Dan karena Real menangkap kata tolong yang teramat sangat putus asa, Real mau menolongnya. Dan dia tidak menyangka ternyata perempuan itu menjebaknya.
"Lexy ke ruanganku," panggil Real dengan geram yang ditahan lewat intercom.
"Baik," jawab sekretaris perempuan di sana. Pintu terbuka dan muncul Lexy sekretaris bertangan dingin dari balik pintu. Sesekali tangannya membenarkan letak kaca matanya saat menghampiri meja Real.
"Apa yang kalian lakukan, hah?!" tanya Real marah. "Kenapa bisa berita seperti ini muncul?" Axel dan Lexy diam tidak menjawab.
"Bukankah aku sudah menyuruhmu mencari informasi tentang dia? Seret wanita itu kesini!" perintah Real dengan hawa gelap yang menusuk menyelimuti perkataannya.
"Baik." Axel keluar ruangan. Kris mengkerutkan kening. Tidak paham apa yang sedang terjadi dengan mereka.
"Apa yang kau lakukan?"tanya Kris.
"Memberi pelajaran kepada seseorang yang sedang bermain-main denganku."
"Perempuan itu maksudmu?" tunjuk Kris ke arah foto perempuan yang di samarkan di dalam berita.
"Benar."
"Lexy, bungkam semua media yang memberitakan tentang aku yang mempunyai calon istri," perintah Real.
"Baik tuan." Lexy membungkuk dan itu membuatnya tak sengaja memperlihatkan paha mulusnya sedikit. Kris yang berada di belakangnya tersenyum senang. Pikiran mesum Kris bekerja. Kris membasahi bibirnya dengan lidahnya. Kemudian menggigit bibir dengan matanya yang menggeliat nakal.
"Wow."
Lexy tahu Tuan yang satu ini sedang memandangnya mesum, tapi dia tidak peduli. Lexy tetap berjalan keluar dengan tenang. Dia paham betul kebiasaan Tuan playboy yang doyan gonta-ganti pasangan itu. Sudah banyak rumor beredar tentangnya. Dia adalah penakluk wanita ulung. Dan semua pasangannya pasti di ajaknya bermain di atas ranjang.
Kata-kata manisnya mampu membuat semua wanita mendambakannya. Bahkan untuk semua umur seorang perempuan. Kris lelaki brengsek yang meniduri banyak wanita dengan dalih bersenang-senang. Herannya mereka merasa beruntung di perlakukan seperti itu oleh Kris.
Tapi di balik ke-playboy-annya dia adalah lelaki yang setia terhadap kawannya. Dia tidak pernah mengkhianati Real. Bahkan demi wanita cantik kesukaannya. Jika di beri pilihan, Kris akan memilih Real temannya, daripada memilih para wanita hanya untuk meninggalkan Real.
"Habitat di sini sungguh memerlukan orang baru yang unik dan aneh. Yang mampu membuat suasana lebih menarik dan indah. Semuanya tertular olehmu. Orang-orang di sekitarmu sangat kaku dan formal," ejek Kris.
Lexy, sekretaris sexy dan cantik, tapi juga dingin dan tak pernah tersenyum. Axel bawahan setia, keren dan tampan, tetapi raut wajahnya datar dan beku. Tidak pernah antusias melihat wanita. Seperti atasannya, Real Arkana.
"Karena mereka tidak gila sepertimu," cela Real.
"Heii ... aku ini bukan gila. Hanyalah orang yang tahu bagaimana caranya bermain dan bersenang-senang." Kris menepuk dadanya membanggakan dirinya yang ahli dalam menyenangkan diri sendiri.
"Aku tidak akan menjadi gila sepertimu," kata Real. Kris terkekeh.
"Pasti ada yang terlewatkan olehku sampai aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu denganmu," kata Kris. Pasti iya, karena saat pesta perusahaan QQ berlangsung, Kris tengah sibuk meladeni perempuan cantik.
Kris mengambil apel merah yang ada di atas meja di depannya. Menggosokkan apel ke setelan jasnya kemudian menggigitnya. Kepalanya miring mencoba berpikir.
"Bagaimana bisa kau bertemu dengan wanita itu?" tanya Kris penasaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!