Budi berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari bandara kedatangan, sambal menarik kopernya. Pandangannya sibuk menyapu suasana di depan bandara kedatangan. Seorang laki-laki muda berlari menghampirinya.
“Mobilnya disebelah sana, Pak," kata laki-laki menunjukkan sebuah mobil hitam yang agak jauh dari tempatnya berdiri.
Budi mengikuti laki-laki muda itu ke mobil yang dimaksud. Mereka berjalan dengan cepat solah-olah mereka sedang dikejar waktu. Laki-laki muda itu menghampiri sedan mewah berwarna hitam. Dengan cekatan ia membuka pintu disebelah kemudi dan membuka pintu bagasi. Ia mengambil koper Budi dan dimasukkan ke dalam bagasi dan tidak lupa menutup kembali bagasi mobil. Budi masuk ke dalam mobil duduk di depan di sebelah kemudi. Laki-laki muda itu masuk ke dalam mobil dan duduk di depan kemudi.
“Langsung ke rumah sakit, Pak?” tanya laki-laki itu.
“Ya," jawab Budi.
Tanpa basa- basi lagi, mobil tersebut langsung meluncur di jalan raya membelah jalanan ibu kota.
Dalam waktu 30 menit mereka sampai di depan lobby Rumah Sakit D. Dengan cepat Budi turun dari mobil mewah itu dan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Di depan liff terlihat pintu liff hampir tetrutup,
“Tunggu!" teriak Budi.
Orang yang di dalam liff menahannya agar pintu liff tetap terbuka.
Budi berlari mauk ke dalam liff.
“Terima kasih," kata Budi dengan nafas ngengos-ngosan.
Orang itu hanya menjawab mengangukan kepala sambil tersenyum.
Budi berjalan menuju ruang VVIP no 508. Budi menarik nafas dan membuang nafas perlahan. Terdengar suara isak tangis dari ruangan itu. Budi membuka pintu ruangan itu, terlihat seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu disebelah tempat tidur pasien. Semua orang yang berada di dalam ruangan telihat sedih, ada yang menangis tersedu-sedu, ada yang hanya berlinang air mata. Budi masuk ke dalam ruangan itu, semua orang menoleh ke arahnya.
"Assalamualaikum," Budi memberikan salam.
"Wa"alaikumsalam, "jawab semua orang yang berada di ruangan tersebut.
“Budi….kau sudah datang?” tanya seorang pria muda yang sedang terbaring lemah diatas tempat
tidur.
“Ya, Pak," jawab Budi singkat.
“Budi kemari," seru pria muda itu sambil mengangkat tangan dan menggerakkan tangannya, seolah memberikan perintah kepada Budi untuk mendekatinya.
Budi berjalan menghampiri pria muda itu dan berdiri di dekat wanita muda yang sedang menangisdengan tersedu-sedu.
“Bagaimana pertemuan dengan klien? “tanya pria muda itu dengan nafas terdengar seperti sesak.
“Semua berjalan lancar, Pak," jawab Budi.
“Tidak ada kendala?” tanya pria itu lagi.
“Tidak, Pak..Semua sudah beres," jawab Budi dengan pasti.
“Bagus," seru laki-laki muda itu.
Kemudian ia meraih tangan Budi,
“Budi, saya akan pergi. Saya titip istri dan anakku, tolong jaga dengan baik."
Lalu ia melepaskan tangan Budi dan pandangan tertuju pada wanita muda yang sedang menangis tersedu-sedu disampingnya. Dibelainya rambut wanita itu.
“Sayang jangan menangis, kasihan anak kita nanti dia ikut sedih. Jangan kau risaukan perusahaan. Ada Budi yang akan mengurusnya."
Lalu tangan pria muda itu beralih ke perut wanita muda tersebut diusapnya perut yang belum terlihat membuncit.
“Sayang baik-baik disana. Jangan nakal, jangan membuat Mama sakit dan jaga Mama, ya sayang. Papa pergi dulu, suatu saat nanti kita akan bekumpul kembali. Maafkan Papa, tidak menunggumu lahir. Papa sayang kalian.”
Tangisan wanita muda itu tambah kencang.
Lalu pandangan laki-laki itu berpindah kepada sepasang suami istri setengah baya,
“Papa-Mama maafkan Rangga yang tidak bisa mendampingi Poppy. Titip Poppy, Pa-Ma," katanya dengan lemah.
Sepasang suami istri itu menangis terseduh-seduh
“Pergilah, Rangga, biar Poppy dan anakmu kami yang menjaga," kata pria yang separuh baya sambal meneteskan air mata.
Lalu pandangannya beralih ke pasangan suami istri separuh baya yang lainnya disebelah pasangan suami istri itu,
“Papih Mamih Rangga pergi…..”
“Rangga…..," pecah tangisan wanita setengah baya.
“Rangga…!!!!! Jangan tinggalkan Mamih, nak..!!!”
Rangga tersenyum memandang kedua orang tuanya.
“Ada kak Dicky dan kak Ani yang akan menjaga Mamih dan Papih."
Rangga mengalihkan wajahnya pada sepasang suami istri yang berdiri di belakang Budi,
“Kak Dicky …kak Ani, Rangga titip Mamih dan Papih."
“Ya, Rangga. Kami akan menjaga Mamih dan Papih," jawab kak Ani
“Kak Dicky tolong bimbing Poppy mempelajari perusahaan Rangga. Untuk operasional
perusahaan biar Budi yang mengurus semuanya. Poppy hanya mengawasi saja.”
“Ya, Rangga. Pergilah dengan tenang, biar abang yang mengurus semuanya,” suara Dicky terdengar bergetar, dia tidak tahan melihat adiknya yang menahan rasa sakit.
Lalu pandangannya beralih pada seorang pria yang menggunakan jas putih,
“Bang, titip Poppy dan anak Rangga, ya.," kata Rangga.
“Ya, Rangga. Abang akan menjaga Poppy dan anakmu."
Rangga tersenyum mendengar jawaban abang Reno.
“Terima Kasih, Bang."
Lalu wajahnya memandang ke atas dan bibirnya mengucapkan sesuatu dan tak lama kemudian terdengar suara TIttttttttttttt dari layar monitor.
Terdengar teriakan
“Akang…..”
“Pak Rangga……”
“Rangga………”
Reno bergegas lari keluar ruangan, ia berteriak memanggil suster dan dokter.
“Sus..suster….”
“Dok…..dokter."
Reno walaupun seorang dokter tapi untuk memeriksa keadaan adik iparnya, ia benar-benar tak berdaya.
Semilir angin bertiup sepoi-sepoi di pemakaman umum. Budi berdiri tegap memegang payung hitam, ia memayungi Poppy dan Reno yang sedang bersimpuh di depan makam Rangga. Poppy masih menangis terseduh-seduh didepan gundukan tanah merah yang masih basah. Jasad suaminya terbujur kaku didalamnya. Semua para pelayat telah kembali ke rumahnya masing- masing.
Orang tua dan mertuanya pulang ke rumahnya. Kakak ipar dan istrinya mengantarkan mertuanya pulang ke rumah. Tinggallah Poppy ditemani kakaknya dan asisten suaminya. Sambil menangis dipanjatkannya doa-doa untuk almarhum suaminya. Meminta semuanya untuk ketenangan suaminya di alam kubur.
Tangannya mengusap gundukan tanah merah yang masih basah. Ada rasa lega dihatinya, suaminya tidak merasakan kesakitan lagi. Walaupun ia tidak rela ditinggal pergi untuk selama-lamanya, setidaknya Poppy melihat wajah suaminya tersenyum. Rangga meninggal dengan tenang dan damai.
Terdengar suara nada getar dari saku celana Reno. Reno berdiri dan mengambil ponsel dari saku celananya. Ia berjalan menjauhi makam Rangga.
“Assalamuaikum."
“……”
“Saya kan sudah bilang, kalau hari ini saya ijin adik ipar saya meninggal."
“……”
“Coba hubungi dokter Daniel, barangkali hari ini beliau sedang tidak praktek."
“…….”
Reno menghembuskan nafasnya, menahan rasa kesalnya.
“Ya sudah, saya ke sana sekarang. Siapkan semuanya! "
Reno mematikan ponsel lalu menghampiri Poppy. Kemudian ia berjongkok di samping Poppy.
“Poppy, Abang harus segera ke rumah sakit. Ada panggilan emergency," Reno berkata dengan pelan.
Poppy hanya menganggukan kepalanya.
“Kamu tidak apa-apa Abang tinggal?”
“Tidak apa-apa, bang," jawab Poppy singkat.
“Atau kamu abang antar pulang dulu? Sebab Ilham harus mengantarkan abang ke rumah sakit," tanya Reno.
“Poppy masih mau di sini, Bang. Nanti Poppy pulang naik taksi aja," jawab Poppy.
“Eh…. Jangan, kamu jangan naik taksi!“ seru Reno.
Reno menoleh ke arah Budi.
“Bud, kamu bawa mobil ngak?”
“Bawa, Pak," jawab Budi.
“Budi bawa mobil. Kamu pulang diantar Budi, ya?” bisik Reno.
Poppy hanya mengangguk. Ia hanya ingin berada lama di makam suaminya. Ia enggan meninggalkan makam suaminya.
Reno berdiri dan menghampiri Budi.
“Bud, saya harus segera ke rumah sakit. Ada panggilan emergency."
Budi mengannguk
.
“Titip Poppy. Ilham mengantarkan saya ke rumah sakit."
“Baik, Pak," jawab Budi.
“Jangan biarkan Poppy berlama-lama disini. Kasih ia waktu sekitar 30 menit lagi. Setelah itu kamu bujuk dia agar mau pulang."
“Baik, Pak."
“Kalau dia kelelahan kasihan bayi didalam kandungannya, nanti terganggu."
“Ya, Pak."
Reno menepuk bahu Budi.
“Terima kasih, Bud. Saya pergi dulu. Assalamualaikum."
“Walaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh."
Renopun pergi meninggalkan areal pemakaman.
Budi menghela nafasnya, ia melirik ke arah Poppy yang masih enggan beranjak dari makam Rangga. Ia melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri, sudah sudah setengah jam dari waktu yang diberikan oleh Reno. Perlahan ia menghampiri Poppy.
Ia jongkok di sebelah Poppy.
“Bu, sudah jam 12.30. Sudah waktunya sholat zuhur dan makan siang. Tadi kata Pak Reno ibu harus pulang," kata Budi dengan pelan.
“Kamu saja yang pulang, saya masih mau di sini," jawab Poppy dengan suara serak sambil menoleh ke arah Budi.
Haduh keras kepala sekali Bu Poppy. Ini gawat dia bisa terkena dehidrasi kalau tidak segera minum, bisik Budi dalam hati.
“Ibu, ayo pulang dulu. Ibu belum sholat dan makan. Ibu bahkan belum minum dari pagi, tidak baik untuk kesehatan ibu dan bayi dalam kandungan."
Budi mengulurkan tangannya ke hadapan Poppy. Dengan ragu Poppy menyambut uluran tangan Budi.
Dengan susah payah Poppy berusaha untuk berdiri, kakinya terasa sakit karena berjongkok terlalu lama. Sambil meringis Poppy berusaha untuk berdiri dengan tegap. Tiba- tiba kepalanya terasa sakit, tubuhnya serasa lemas dan melayang.
Ia sempat mendengar suara Budi memanggil namanya dengan panik dan cemas
“Bu Poppy…..”
“Ibu kenapa?”
“Ibu…ibu.. "
Pandangannya menjadi gelap dan ia tidak mendengar suara apa-apa lagi.
Dengan susah payah Budi menahan tubuh Poppy yang tiba-tiba ambruk. Dengan cepat ia merogoh saku celananya mengambil kunci mobil, lalu ia membuka kunci mobilnya dengan
menggunakan remot.
“Bismillahi rohmani rohim,," ucapnya sambil membopong tubuh Poppy menuju mobil.
Haduh lumayan berat juga, seru dalam hati.
Beruntung makam Rangga tidak berada jauh dari jalan, sehingga Budi tidak harus berjalan jauh menuju ke mobil. Budi dengan bersusah payah mencoba menarik handel mobilnya.
“Saya bantu, Pak."
Seseorang membukakan pintu mobil.
“Terima kasih," kata Budi kepada pria yang berdiri di sampingnya.
Dengan berhati-hati Budi membaringkan Poppy ke jok mobil. Budi menghela nafas sambil
merenggangkan badannya. Tangan dan pinggangnya terasa sakit.
“Kenapa istrinya?” tanya pria itu.
“Pingsan, Pak," jawab Budi dengan spontan.
“Ibu ini bukan istri saya. Dia atasan saya, Pak."
Pria itu mengangguk.
“Punya minyak kayu putih, ngak?” tanya pria itu.
“Sebentar saya cari dulu."
Budi langsung memeriksa dalam mobilnya. Barangkali saja ibu dan kakak sepupunya meninggalkan minyak kayu putih di dalam mobil. Akhirnya ia menemukan minyak kayu putih.
“Alhamdullilah, akhirnya ketemu juga," ucap Budi.
“Sudah ketemu minyak kayu putihnya?” tanya pria itu ketika melihatnya memegang minyak kayu putih.
“Sudah ketemu, Pak," jawab Budi sambil memperlihatkan minyak kayu putih.
“Sebentar, saya panggil istri saya dulu. Biar istri saya yang membalurkan minyak kayu putih."
Lalu pria itu menghampiri seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari mereka. Terlihat pria
tersebut sedang berbicara dengan wanita itu. Wanita itu memandang kearahnya,
lalu berjalan mendekatinya.
“Mana minyak kayu putihnya?” tanya wanita itu tanpa basa-basi lagi.
Ia memberikan minyak kayu putih kepada wanita itu.
“Bisa tolong joknya dimajukan ke depan? Biar tidak terlalu sempit," kata wanita itu.
Budi menggeser jok depan satu persatu. Setelah itu barulah wanita itu masuk ke dalam mobil dan membalurkan minyak kayu putih ke tubuh Poppy.
“Wajahnya pucat dan denyut nadinya lemah," seru wanita itu sambil terus membalurkan minyak kayu putih ke kaki dan tangan Poppy.
Terdengar suara guman Poppy,
“Eeehhhh…”
Kepalanya bergerak.
“Dia sudah sadar," kata wanita itu.
Perlahan Poppy membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya. Matanya berhenti kearah wanita itu,
“Dokter Riska?” tanyanya dengan bingung.
Perlahan Poppy mencoba untuk bangun dari tidur , Budi membantunya menahan tubuhnya dari belakang. Pelan-pelan ia membantu Poppy untuk duduk.
Wanita itu tersenyum,
“Sudah agak mendingan?” tanyanya.
“Masih pusing sedikit, dok," jawab Poppy.
“Mengapa dokter Riska bisa ada disini? Pak Budi yang memanggil dokter?” tanya Poppy dengan kebingungan.
“Kebetulan saya sedang mengunjungi makam ibu saya. Saya dan suami saya melihat ibu digendong bapak ini," kata dokter Riska sambil menunjuk kearah Budi.
“Ibu hamil berapa bulan?”
“Dua bulan, dok. "
“Sudah makan siang?”
“Belum, dok."
“Bu Poppy belum minum dari tadi, dok."
“Pantesan pingsan, ternyata kekurangan cairan. Ada minumnya, ngak?”
“Ada, dok.Sebentar saya ambilkan."
Budi membuka bagasi mobilnya. Beruntung ibunya selalu menyimpan sedus air mineral kemasan botol di bagasi.
“Ini bu minumnya.Tapi ngak dingin, tidak punya kulkas di mobil."
“Tidak apa-apa. Terima kasih, Bud."
Poppy meneguk air mineral pemberian Budi. Ternyata ia haus sekali sehingga menghabiskan setengah botol air mineral.
“Sudah enakan sekarang?” tanya dokter Riska.
“Sudah, dok," jawab Poppy.
“Boleh bersedih tapi jangan mengabaikan kesehatan. Siapa yang meninggal?”
“Suami saya, dok," jawab Poppy dengan suara yang gemetar hampir menangis.
“Innalillahi wa innalilahi roji’un. Saya turut berduka cita. Semoga almarhum husnul khotimah."
“Aamiin yra. Terima kasih dokter."
“Yang tabah, ya. Ingat ada bayi di dalam kandungan yang harus dijaga."
“Saya pamit dulu. Kita ketemu lagi pas waktu control."
“Terima kasih banyak, dokter," ucap Poppy.
“Ya, sama-sama bu."
Budi menghampiri dokter Riska,
“Terima kasih banyak, dok.Terima kasih, Pak," ucap Budi sambil membungkukkan badannya kepada dokter Riska dan suaminya.
“Sama-sama, Pak," jawab dokter Riska.
Suami dokter Riska menghampiri dan menepuk bahu Budi,
“Dijaga baik-baik atasannya," ujar suami dokter Riska.
Budi mengangguk,
“Baik, Pak."
Kemudian pasangan suami istri itu pergi meninggalkan Budi dan Poppy.
“Pulang sekarang, Bu?”
Poppy hanya mengangguk dengan lemah. Budi menutup pintu di sebelah Poppy , kemudian ia
jalan memutar masuk ke dalam mobil di bagian kemudi. Mobil pun bergerak meninggalkan areal pemakaman.
.
.
.
.
Hai ,
Terima kasih
telah membaca novel saya yang perdana.
Mohon maaf jika
masih ada typo, karena saya masih belajar.
Novel ini saya
buat disela-sela kegabutan saya. Daripada berkeluyuran diluar ntar kena Covit
19, mendingan berkarya.
Sampai jumpa di
episode selanjutnya…………
Mobil yang dikemudikan Budi memasuki pekarangan rumah alm Pak Rangga. Tampak banyak pekerja yang sedang bekerja memasang tenda. Ada juga petugas catering yang sedang menghias meja-meja. Tanpa mematikan mesin mobil Budi bergegas keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Poppy. Perlahan Poppy keluar dari mobil dengan langkah gontai. Poppy masuk ke dalam rumah. Budi mengikuti Poppy dari belakang, ia berjaga-jaga takut Poppy jatuh pingsan kembali. Di dalam rumah mereka disambut oleh Ibu Melly ibunya Poppy.
“Assalamu’alaikum," Budi dan Poppy mengucapkan salam
.
“Wa’alaikumsalam warohmatullohi
wabarokatuh," Ibu Melly menjawab salam Budi dan Poppy.
“Poppy, kamu sudah pulang, Nak?”
“Mengapa wajahmu pucat? Kamu
sakit ?” tanya Ibu Melly yang khawatir melihat putrinya begitu pucat.
“Tadi Bu Poppy pingsan, Bu," Budi yang menjawab pertanyaan Ibu Melly.
“Pingsan? Terus bagaimana? Jadi merepotkan Pak Budi," tanya Ibu Melly dengan cemas.
“Tidak merepotkan, Bu. Ada dokter Riska dan suaminya yang membantu saya."
“Dokter Riska, dokter kandungan Poppy?”
“Iya, Mah," jawab Poppy dengan lemah.
“Sekarang makan dulu, lalu istirahat. Pasti kalian belum makan siang, ya?”
“Ayo, Pak Budi makan dulu. Di mushola ada Wahyu dan Dimas sedang sholat . Mereka juga belum makan siang dari tadi sibuk menyiapkan untuk tahlil nanti malam. Nanti Pak Budi makan siang bareng dengan mereka."
“Saya ikut sholat dulu, Bu."
“Oh….. silahkan. Sudah tahukan
musholanya dimana?"
“Sudah, Bu."
“Kalau sudah sholat langsung makan, ya. Makanannya sudah disiapkan Bi Inah."
“Ibu tinggal, ya Bud?”
“Baik, Bu," jawab Budi.
Lalu Budi berjalan menuju mushola, di sana ia bertemu Wahyu dan Dimas yang baru selesai sholat.
“Baru sampai Bud?” tanya Dimas.
“Iya. Bu Poppy tidak mau pulang. Saya sholat dulu, ya. "
“Silahkan," jawab Dimas.
Cepat-cepat Budi berwudhu dan langsung sholat.
Setelah selesai sholat ia bergabung dengan Dimas dan Wahyu untuk makan siang. Selesai makan Budi pamit pulang. Ia harus bersiap-siap untuk mengikuti pengajian nanti malam. Wahyu dan Dimas juga pulang. Mereka harus berganti baju untuk mengikuti pengajian nanti malam.
Budi sampai di rumahnya ketika hari sudah sore. Ibu Tiara menyambut kedatangan putrannya.
“Assamu’alaikum, " salam Budi.
“Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh," Ibu Tiara membalas salam putranya .
Budi mencium tangan Mamahnya.
“Baru pulang, Bud?”
“Iya, Mah. Bu Poppy tidak mau pulang.
Susah ngebujuk Bu Poppy."
Mereka masuk menuju ruang keluarga. Budi menghempaskan diri ke kursi sofa .
“Ah…capenya," keluhnya.
Bu Tiara membawakan segelas air minum untuk Budi.
“Cape, ya. Nanti malam ada tahlil ngak di rumah Pak Rangga?” tanya Ibu Tiara.
“Ada. Budi berangkat sebelum magrib. Sekarang Budi mau tidur dulu," jawabnya sambil beranjak dari sofa menuju ke kamarnya.
“Eh….makan dulu, baru tidur, " seru Ibu Tiara .
“Budi sudah makan di rumah Pak Rangga," jawab Budi ambil terus menuju ke kamarnya.
“Mah…bangunin Budi jam setengah lima, ya," teriak Budi dari depan pintu kamarnya.
“Iya, " jawab Bu Tiara sambil membawa gelas bekas minum Budi ke bak cuci piring.
Budi rebahan di tempat tidurnya. Badannya terasa cape sekali. Apalagi lengannya agak terasa sakit setelah menggendong Tiara. Ibu hamil itu ternyata cukup berat juga. Karena rasa kantuk yang menyerang Budi tertidur dengan nyenyak.
Ibu Poppy sedang mencuci peralatan makan kotor di dapur,
“Enin……," seorang batita sambil
mengucek-ngucek mata memanggilnya.
“Enin……"
Ibu Tiara menoleh ke belakang sambil sibuk mencuci gelas,
“Iya, sayang tunggu, ya Enin cuci gelas dulu," jawab Bu Tiara sambil membilas gelas. Setelah selesai gelas diletakkan di rak cuci piring. Setelah mengelpkan tangannya yang basah diangkat batita tersebut.
“Sayang Enin sudah bangun? Mandi
yuk. Sebentar lagi Aki dan Mama pulang."
Batita itupun mengangguk. Bu Tiara membawanya ke kamar. Setelah memandikan batita giliran Bu Tiara mandi dan sholat. Sambil menunggu Eninnya mandi dan sholat batita itu anteng main di tempat tidur.
“Odie, makan dulu, yuk," ajak Ibu Tiara .
“Ayuk Enin, Odie sudah lapal," jawab batita itu sambil memegang perutnya dengan kedua tangannya dan memasang wajah yang memelas.
Ibu Tiara gemas melihat kelakuan
batita itu, diciumnya kedua pipi batita itu.
“Aduh…lucunya, cucu siapa sih ini?”
“Cucu Enin Tiala dan Aki Aep," jawab Odie dengan cadel.
Bu Tiara menggandeng tangan batita itu keluar dari kamar menuju ruang makan untuk mengambil makan. Ibu Bu Tiara menyuapi batita itu dengan hati-hati. Sambil menonton TV Odie makan dengan lahap. Rupanya batita itu benar-benar lapar.
Assalamualaikum, terdengar suara
bunyi bel.
“Aki…….," teriak Odie.
Batita itu berlari kencang menuju pintu ruang tamu. Dengan berjinjit ia mencoba menggapai handel pintu.
“Enin buka pintunya," seru Odie.
‘Iya sabar kasep, bageur, pinter, "
Bu Taira membukakan pintunya
“Assalamualaikum, " sapa Pak Aep
dan Rima mama Odie.
”Walaikumcalam," jawab Odie.
“Waalaikumsalam," jawab Bu Tiara.
Odie mencium tangan Aki dan Mamanya.
Bu Tiara mencium tangan suaminya dan Rima mencium tangan Bu Tiara.
“Budi sudah pulang, Ma?” tanya Pak Aep.
“Sudah, sekarang lagi tidur. Minta dibangunkan jam setengah lima, mau ke tahlilan Pak Rangga," jawab Bu Tiara.
“Sekarang sudah jam setengah lima, tidak dibangunkan?”
“Oh iya, Mama lupa lihat jam. "
Lalu Bu Tiara menaiki tangga yang ada di ruang tengah menuju kamar Budi.
Tok…tok…tok… Bu Tiara mengetok kamar Budi.
“Ya….," terdengar dari dalam kamar suara serak Budi yang baru bangun tidur.
“Bangun sudah sore sudah jam setengah lima," ujar Bu Tiara.
“Iya Ma….”
“Jangan tidur lagi!”
“Iya ngak….”
Budi munguap sambil menggeliatkan badan diatas tempat tidur. Dengan mata yang masih mengantuk ia berjalan keluar dari kamar menuju ke kamar mandi bersiap-siap menuju ke rumah bosnya.
Sesampai di rumah alm Pak Rangga tampak sudah ramai. Nampak sebagian petugas catering yang berlalu lalang sedang mempersiapkan meja dan kursi untuk tempat makan para tamu ditata dan dihias dengan cantik dan rapih. Dan sebagian lagi menata meja tempat hidangan. Tampak beberapa gubuk stand makanan berjajar dengan rapih. Nampak para asisten Pak Rahadian dan Pak Brata sedang berbincang-bincang dengan Pak Reno. Budi menghampiri mereka .
“Ah….Pak GM kita sudah datang," seru Pak Reno ketika melihat Budi menghampiri mereka.
Mendengar kata Pak GM, Budi menoleh ke belakang, namun taka da seorangpun di belakangnya hanya para petugas catering yang sibuk dengan pekerjaannya.
“Cari siapa, Bud?” tanya Dimas.
“Pak GM," jawab Budi.
Mendengar jawaban Budi Dimas, Wahyu dan Pak Reno tertawa.
“Budi….Budi….," Pak Reno tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Yang dimaksud Pak GM tuh kamu," sahut Reno sambil menepuk bahu Budi.
“Saya?” tanya Budi dengan bingung.
“Sudah nanti kamu juga akan tahu sendiri."
“Terima kasih, ya Bud. Sudah mau menemani Poppy. Maaf kalau Poppy sudah merepotkanmu."
“Sama-sama, Pak. Memang sudah menjadi tugas saya mengawal Bu Poppy."
“Pasti tadi kamu kerepotan waktu Poppy pingsan?” tanya Pak Reno.
“Sedikit kerepotan , Pak. Untung ada yang membantu."
“Iya, tadi Mama sudah cerita. Sekali lagi terima kasih, Bud," kata Pak Reno sambil menepuk bahu Budi.
“Sama-sama, Pak."
Matahari mulai tenggelam hari mulai gelap, para tamu mulai berdatangan. Kebanyakaan mereka keluarga dan teman-teman Pak Rangga dan Poppy. Mereka akan melaksanakan sholat magrib berjamaah sebelum melaksanakan tahlil. Nampak para gadis yang melirik searah Budi sambil berbisik-bisik. Ketika Iva lewat para gadis menarik tangan Iva.
“Iva, itu siapa yang duduk di situ?” tanya Tari sambil sembunyi-sembunyi menujuk kearah Budi.
Iva menoleh kearah yang dimaksud Tari. Iva tersenyum sambil balik bertanya,
“Kenapa? Naksir?”
“Ganteng, manis dan lucu, " jawab Tari tanpa malu-malu.
“Siapa sih namanya?” tanya Vita penasaran.
“Hhhmmm….Siapa, ya????” jawab Iva dengan gaya seperti orang yang sedang berpikir keras.
Tari mulai kesal dengan kelakuan Iva,
“Ivaaaaa………”
“Apaaaaaaaa………..," jawab Iva yang tidak kalah panjang.
“Hei…hei….Kalian apa-apaan, sih?” tegur Bu Femi.
“Iva, sudah wudhu belum? Sebentar lagi adzan magrib."
“Sudah, Mih," jawab Iva.
“Tari, Vita, Fira, kalian sudah wudhu belum?” tanya Bu Femi.
“Belum, Ua," jawab Tari, Vita dan Fira berbarengan.
“Mih, mereka mah bukan mau ikut tahlil, tapi mau ngelaba," jawab Iva.
“Husss……Iva”.
“Ih…..bener, Mih. Mereka lagi ngincer Pak Budi." seru Iva.
“Oh…jadi namanya Pak Budi….., " sahut Tari, Vita dan Fira berbarengan.
“Berisik tau," kata Iva.
“Biarin, wekkk," seru Tari.
“Sudah sebentar lagi adzan magrib, kalian wudhu dulu nanti keburu ngantri."
“Iya Ua," awab Tari, Vita dan Fira bersamaan.
“Ayo, kita siap-siap sholat magrib."
Bu Femi dan Iva mengambil mukena mereka masing-masing dan memilih tempat untuk sholat. Mereka memilih sholat di sebelah Poppy dan Bu Melly. Mereka berbincang-bincang sejenak.
“Apa Poppy masih sakit? Mamih dengar tadi siang kamu pingsan? Jaga kesehatan, ya sayang. Ihklaskan Kang Rangga, dia sudah tenang di sana," kata Bu Femi dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ya, Mih," jawab Poppy dengan sedih.
“Hotel & Resto tidak usah kamu pikirkan. Biar itu urusan Papih dan Budi, kamu fokus menjaga kehamilanmu."
“Makan makanan yang sehat. Kalau ada makanan yang ingin kau makan, bilang sama Mamih. Nanti Mamih masakkan."
“Iya, Mih."
Tiba-tiba terdengar suara adzan magrib. Mereka bersiap-siap untuk sholat magrib.
Setelah sholat magrib para tamu dipersilahkan untuk makan malam sebelum tahlilan.
Iva sedang mengambil sop kambing Betawi, di stand gubuk yang berada halaman samping, Tari mendekati Iva.
“Iva," panggil Tari.
“Apa?” Iva menjawab dengan cuek. Ia mengambil sop kambing Betawi yang sudah dituangi kuah oleh petugas catering.
“Terima kasih, Kak," kata Iva kepada petugas catering.
“Beneran namanya Pak Budi?” tanya Tari dengan nada tidak percaya.
“Iya," jawab Iva dengan acuh. Ia menuangkan kecap, sambel dan jeruk limo ke dalam sop kambing Betawi. Lalu beranjak menuju meja prasmanan mengambil nasi. Tari yang penasaran identitas Budi terus saja mengekori Iva.
“Kerja dimana?” tanya Tari penasaran.
“Rangga”s Hotel and Resto," jawab
Iva dengan tenang. Iva membawa makanannya ke dalam rumah. Ia memilih duduk leseh di karpet tempat bekas sholat.Tari terus mengekori Iva.
“Elo ngak makan?” tanya Iva melihat Tari belum makan apapun.
“Nanti aja," jawab Tari santai.
“Sebentar lagi sholat Isya terus setelah sholat Isya tahlil. Kalau ngak makan sekarang elo kapan makannya? Cepat sana makannya, " perintah Iva.
“Iya nanti."
“Pak Budi kerja di bagian apa?” tanya Tari penasaran.
“GM, udah puas? Sana makan dulu hus hus hus….," seru Iva mengusir Tari.
“Iya…iya…," Tari buru-buru pergi dari hadapan Iva.
Iva melanjutkan makannya. Tari bener-bener mengganggu makan malammya. Ketika iia sedang mengunyah makanan, ia melihat kakak iparnya Teh Poppy yang sedang makan ditemani oleh teman-temannya. Terlihat wajah sedih Teh Poppy, walaupun teman-temannya berusaha menghiburnya tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa sedihnya. Iva membuang nafas dengan kasar, ia melanjutkan makannya.
Adzan Isya sudah berkumandang, semua orang bersiap-siap untuk sholat Isya yang akan dilanjutkan dengan tahlil. Terlihat Tari, Vita dan Fira yang mencuri-curi pandang ke arah Budi. Iva menghela nafas melihat kelakuan sepupunya. Iva memilih untuk fokus mendengarkan Pak ustad yang mulai memberi
tausiyah setelah itu pembacaan surat Yassin dan ditutup dengan pembacaan doa.
Iva membantu Mamihnya dan Bu
Melly membagikan nasi kotak kepada semua tamu sebelum pulang. Poppy ingin ikut
membantu tapi dilarang oleh Bu Femi, ia tak ingin menantunya jatuh sakit karena kecapean.
Budi membantu para ART membereskan karpet-karpet bekas tahlil.
Dimas keluar dari ruang kerja Rangga, menghampiri Budi yang sedang membersihkan karpet.
“Bud, dipanggil Pak Rahadian. Beliau ada di ruang kerja Pak Rangga," kata Dimas.
Budi mematikan vacum cleaner dan menyerahkan kepada ART,
“Mbak, terusin, ya. Saya dipanggil bapak."
Budi mengikuti Dimas menuju ke ruang kerja Rangga. Di dalam ruang kerja sudah ada Pak Brata, Pak Dicky, Pak Reno dan Wahyu,
“Masuk, Bud," seru Pak Rahadian.
Budi duduk di sebelah Wahyu.
“Begini, Bud. Seperti Budi ketahui Rangga sudah tidak ada, jadi kursi pimpinan di Rangga’s Hotel and Resto kosong. Poppy untuk sementara ini belum bisa menggantikan Rangga karena masih berduka dan hamil muda, jadi belum boleh banyak aktifitas. Sementara kehidupan masih harus berjalan, Rangga’s Hotel & Resto harus terus beroperasi dengan atau tidak tanpa Poppy. Karena saya, Dicky, Pak Brata dan Reno memiliki kesibukan masing-masing, maka tanggung jawab atas Rangga’s Hotel & Resto kami serahkan kepadamu. Mulai hari ini kamu menjadi General Manajer di Rangga’s Hotel & Resto."
Budi kaget mendengarnya, menjadi
General Manager bukanlah hal yang mudah tanggung jawabnya besar. Selama ia menjadi Manager tugasnya hanya mengawasi pegawai dan operasional hotel dan resto sedangkan pengambil keputusan ada di tangan Rangga sebagai Direktur dan Owner. Sekarang semua tanggung jawab diserahkan kepadanya apalagi Bu Poppy belum tau kapan akan mulai bekerja sebagai Direktur, rasanya berat sekali.
Banyak karyawan yang bergantung hidup di hotel dan resto ini.
“Bagaimana, Bud ? Apakah kau siap menerimanya?" tanya Pak Rahadian.
Semua orang menunggu jawaban Budi.
“Rasa kok berat, ya Pak? Boleh tidak saya menolak?” tanya Budi dengan hati-hati.
“Menolak ? Kenapa? Bukankah semua
orang jika naik jabatan akan senang?" tanya Pak Rahadian keheran. Di dalam hatinya ia takut jika Budi menolak, karena Budi lah satu-satunya harapannya untuk membantu Poppy.
“Tanggung jawabnya besar, Pak .Saya takut salah langkah dalam mengambil keputusan. Saya belum pernah diberikan tanggung jawab sebesar ini oleh pak Rangga."
Pak Rahardian menghela nafas.
“Kami tetap mengawasi. Jika ada
yang terasa berat, kamu bisa diskusikan dengan kami." kata Pak Rahadian.
Dengan berat hati Budi terpaksa menjawab , “Baiklah, Pak."
“Yang semangat dong jawabnya!" seru Pak Brata sambil menepuk bahunya.
“Baiklah, Pak," jawab Budi dengan tegas.
“Besok penanda tanganan perjanjian kerja. Oke Pak GM, see you tomorrow in your office," Pak Rahadian mengulurkan tangan tangan Budi membalasnya. Mereka saling bersalaman.
Semua orang yang berada di ruangan itu memberikan selamat kepada Budi,
“Selamat, Pak GM. Semoga tambah
sukses," itu yang mereka ucapkan.
“Aamiin Yra. "
Budi pamit untuk pulang, ketika menuju pintu keluar Budi bertemu dengan Poppy,
“Pak Budi tunggu sebentar."
Poppy masuk ke dalam rumah, tak
lama kemudian ia keluar membawa plastik besar.
“Ini untuk Pak Budi," kata Poppy sambil menyerahkan sebuah plastik besar.
“Banyak sekali, Bu. Terima Kasih, Bu."
“Saya permisi pulang, Bu. Assalamualaikum."
“Waalaikumsalam," jawab Poppy.
Budi melangkah keluar gerbang menuju ke mobilnya.
.
.
.
.
.
enin : sebutan nenek dalam bahasa Sunda.
akI ;: sebutan kakek dalam bahasa Sunda
.
.
.
.
.
.
Hai readers,.....
Outhor minta maaf jika ceritanya kurang menyenangkan dan agak kaku. Karena memindahkan isi otak ke dalam sebuah tulisan tidaklah gampang.
Jangan lupa like dan komentar yang membangun, jangan yang julid bikin author patah semangat. Oceh.....
Pagi-pagi sekali Budi sudah siap untuk ke kantor. Walaupun sekarang ia menjadi GM namun pakaiannya masih seperti waktu menjadi manager.
“Ma, sarapannya dibekal aja. Pagi ini Pak Rahadian akan ke kantor," sahut Budi sambil
memakai kaos kaki.
Bu Tiara yang sedang sibuk di dapur langsung menghampiri anaknya.
“Jadi dibekal aja sarapannya?” tanya Bu Tiara sekali lagi.
“Iya," jawab Budi sambil meminum teh manis.
Dengan sigap Bu Tiara memasukkan makanan ke dalam kotak bekal. Sambil memasukkan makanan Bu Tiara bertanya,
“Tadi kamu bilang Pak Rahadian mau ke kantor, ada apa? "
Ayah datang sambil membawa koran, duduk di hadapan Budi,
“Berangkat pagi, Bud?”
“Iya Ayah," jawab Budi sambil meneguk teh.
“Ada rapat?”
“Tidak, hanya ada penanda tanganan kontrak kerja. "
“Kontrak kerja apa?” tanya Ayah sambil mengerut kening.
“Budi menjadi General Manager di Rangga’s Hotel & Resto," jawab Budi.
“Ceritanya nanti lagi, sekarang Budi sudah kesiangan. Assalamualaikum, " cepat-cepat Budi pamit kepada ayah dan mamahnya dengan mencium tangan kedua orang tuanya dan mengambil bekal yang sudah disiapkan mamanya .Lalu keluar menuju mobilnya.
“Waalaikumsalam," jawab Pak Aep dan Bu Tiara.
Pukul 6.50 mobil yang dikendarai Budi sampai di Rangga’ s Hotel & Resto. Seperti biasa ia memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus karyawan.
“Selamat pagi, Pak Budi," sapa Pak Amri security Rangga’s Hotel & Resto.
“Pagi, Pak Amri."
“Tumben Pak datang pagi-pagi?” tanya Pak Amri.
“Lagi banyak kerjaan, Pak. Kemarin saya tidak masuk, ikut ke pemakaman Pak Rangga. Sebelumnya saya ke luar kota. Jadi banyak pekerjaan yang saya selesaikan."
“Wah, Pak Budi memang karyawan teladan. Tidak sia-sia alm Pak Rangga memberikan kepercayaan pada Pak Budi. Ternyata Pak Budi benar-benar bisa dihandalkan," puji Pak Amri.
“Pak Amri bisa aja. Saya permisi dulu mau sarapan, tadi perginya terburu-buru jadi belum sarapan," pamit Budi.
“Oh, silahkan Pak Budi. Selamat sarapan."
Budi meninggalkan area parkir menuju ke kantor Rangga’s Hotel % Resto. Kantor masih sepi karena masih terlalu pagi . Biasanya para
karyawan datang sebelum jam 8.00. Hanya terlihat cleaning service yang sedang
membersihkan ruangan.
“Selamat pagi, Pak," salah seorang cleaning service menyapa Budi.
“Pagi," jawab Budi dengan tersenyum.
Ia masuk ke ruangannya. Terlihat ruangannya sudah bersih, sepertinya sudah dibersihkan sebelum ia datang. Pertama yang ia lakukan adalah menyalakan computer for table di meja kerja. Kemudian menyalakan AC . Di atas
meja kerjanya sudah menupuk tinggi berkas-berkas yang harus ia periksa dan
tanda tangani. Setelah meletakkan hp, tas kerja dan tas laptopnya, Budi membuka bekal sarapan paginya. Sambil ia menyantap sarapannya Budi membaca berkas-berkas
yang menumpuk diatas mejanya. Dipelajarinya berkas itu satu persatu. Ada beberapa berkas yang harus ia tanda tangani, ada pula berkas yang ia coret dengan menggunakan pencil. Sampai akhirnya sarapannya habis, setelah minum dan membereskan bekas sarapan Budi kembali bekerja. Kali ini ia mengecek email yang masuk.
Semua harus selesai ia kerjakan sebelum Pak Rahadian datang.
Tok..tok…tok….tok…. suara pintu diketuk.
“Masuk.," sahut Budi.
“Selamat pagi, Pak," sapa Irma
“Pagi… Irma."
“Bapak mau minum apa?”
“Kopi seperti biasa. Sekalian tolong kasihkan kebagian akunting suruh periksa lagi. Dan ini berkas yang sudah saya tanda tangan."
“Pak," panggil Irma.
“HHmmm," jawab Budi tanpa menoleh kearah Irma. Ia sibuk mengetik.
“Pak Budi," panggil Irma sekali lagi.
“Apa?” jawab Budi tetap tak menoleh kearah Irma.
Lama kelamaan Irma menjadi gemas karena tidak digubris.
“Iiiihhhh bapak, masa saya dicuekin," ujar Irma.
“Ya ampun Irma, apa kamu tidak lihat kalau saya sedang kerja. Sana anterin berkas kebagian akunting, terus buatkan saya kopi!” seru Budi.
“Ntar dulu Pak, saya mau nanya."
Budi menoleh k earah Irma, “Kamu mau nanya apa?”
“Memang benar bapak akan menjadi direktur?’ tanya Irma dengan wajah yang polos.
Budi kaget mendengr pertanyaan Irma, “Astaga Irma…….Kamu dapat gosip darimana? Lagipula pagi-pagi kamu udah ngegosip. Sama kerja !
Sebentar lagi Pak Rahadian datang."
“Iiiihhhhh Pak Budi jawab dulu pertanyaan saya," Irma merajuk.
“Bukan saya yang jadi Direktur, tapi Bu Poppy istri alm Pak Rangga," kata Budi.
“Sudah jelas? Sekarang buatkan saya kopi! "
“Oke Sir…," seru Irma sambil pergi dari ruangan Budi.
Budi menggeleng-geleng kepala melihat tingkah laku sekertarisnya.
Tak lama kemudian Irma datang lagi dengan scangkir kopi pesanannya.
“Terima kasih, Irma."
“Sama-sama, Pak Budi."
Irma langsung keluar dari ruangan Budi. Budi melanjutkan pekerjaannya.
Satu kemudian, Tok…Tok…Tok….Tok….
“Masuk!” seru Budi.
Terlihat Irma menongol di depan pintu sambil nyengir memamerkan gigi putihnya,
“Ada apa lagi, Irma?” tanya Budi gemas.
Irma tidak menjawab pertanyaan Budi, ia masih saja nyengir memamerkan giginya.
“Astaga, Irma……Kamu kenapa?” tanya Budi yang benar- benar kesal dengan kelakuan sekretarisnya.
“Pak kalau bapak naik jabatan saya akan tetap jadi sekretaris bapak kan?” tanya Irma.
Dengan tenang Budi menjawab, “Ya tergantung, kalau kamu main-main terus seperti ini saya akan minta ganti sekretaris."
“Ah…..bapak, jangan begitu dong. Masa bapak mau mencampakkan saya begitu saja?” Irma memasang wajah cemberut.
“Kamu akan mendapat atasan baru, siapa tau atasan baru kamu ganteng," jawab Budi sambil tersenyum.
“Gantengan juga Pak Budi.," ujar Irma
“Kamu belum lihat orangnya sudah protes. Udah jangan cemberut nanti cantiknya luntur. Ada apa kamu kemari?”
“Pak Budi dipanggil Pak Rahadian, disuruh ke ruang rapat," jawab Irma judes.
“Astaga Irma…….bagaimana saya mau mempertahankanmu untuk tetap jadi sekretaris saya? Pak Rahadian mencari saya bukannya langsung kamu sampaikan ke saya tapi kamu malah mengajak saya ngobrol?” sahut Budi sambil terburu-buru mematikan komputernya dan mengambil agenda kerjanya lalu keluar
dari ruangannya. Irma hanya dam berdiri di depan pintu ruangan Budi.
Tiba-tiba Budi berhenti dan berbalik ke arah Irma, “Saya ada rapat dengan Pak Rahadian, kamu catat setiap telepon yang masuk dan tamu yang mencari saya.Jangan lupa tanya ada perlu apa, Oke!”
“Oh, satu lagi. Jangan kebanyakan ngegosip dan jaga kantor baik-baik! kalau kamu masih mau menjadi sekretaris saya," ujar Budi lalu pergi menuju ruang rapat.
Mendengar perkataan bos nya Irma langsung tersenyum dan menaikkan tangannya seperti orang memberi hormat,
“Siap, Pak Bos!”.
Mendengar ucapan Irma, Budi hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Budi masuk ke dalam uang rapat. Di dalam sudah ada Pak Rahadian, Poppy dan HRD.
“Ini dia Pak Budi yang akan mengambil alih semua urusan di sini, selama kamu istirahat. Papih tidak akan memaksa Poppy untuk bekerja. Tapi jika kamu kesal diam di rumah terus dan ingin ada kegiatan kamu boleh masuk kerja. Cukup Poppy mengawasi saja," kata Pak Rahardian kepada Poppy.
“Pak Heru tolong siapkan ruangan GM baru kita ini. Dan carikan pengganti untuk posisi Manager. Carikan juga sekretaris untuk GM."
“Oh ya Bud, kamu perlu assisten, tidak? Saya rasa kalau hanya sekretaris saja pasti kurang."
“Boleh Pak. Tapi laki-laki ya Pak. Kalau perempuan rasanya kurang nyaman. Cukup sekretaris aja yang perempuan," jawab Budi.
“Bagus, saya setuju dengan pendapatmu."
“Pak kalau boleh sekretaris saya jangan diganti," usul Budi.
“Loh kenapa? Pacar kamu, ya?” tanya Pak Rahadian.
“Bukan Pak. Hanya saja dengan kedudukan baru dan sekretaris baru, butuh waktu yang lama untuk penyesuaian diri. Sekretaris lama saya sudah tau cara kerja saya, jadi tidak akan kesulitan ketika saya memberikan perintah."
“Oke, tinggal kamu atur saja dengan HRD. "
“Tidak ada pertanyaan lagi? Saya rasa cukup sekian. Saya masih ada pertemuan lagi dan Poppy mau control ke dokter. "
“Selamat bekerja Pak Budi, saya harap akan ada kemajuan pesat dibawah kepemimpinanmu," kata Pak Rahadian sambil menjabat tangan Budi.
“Insya Allah, Pak. Doakan saya bisa menjaga amanat Pak Rahadian dan Ibu Poppy."
“Terima kasih , Pak Budi sudah mau membantu saya, " kata Poppy sambil mengulur tangannya.
“Sama-sama, Bu. Sudah menjadi tugas saya untuk membantu ibu."
Budi membalas uluran tangan Poppy.
Setelah Pak Rahadian dan Poppy keluar dari ruang rapat, Budi langsung menghentakkan tubuhnya ke kursi dan menghela nafas berat.
“Selamat ya, Pak Budi. Semoga bapak berhasil memimpin perusahaan ini," ucap Pak Heru .
“Aamiin Yra, terima kasih Pak Heru."
“Saya permisi Pak. Mau membereskan semuanya, biar Pak Budi bisa langsung bekerja," Pak Heru pamit.
“Silahkan Pak Heru."
Setelah Pak Heru pergi Budi duduk kembali untuk menenangkan diri. Setelah tenang barulah ia kembali ke ruangannya.
Tampak Irma sedang serius di depan computer. Ternyata Irma menurut dengan perintahnya. Sekarang sudah masuk ke jam makan siang, namun gadis itu tidak meninggalkan mejanya. Ia menyibukkan diri di depan layar
computer.
“Irma kamu tidak makan siang?”
Irma kaget mendengar suara Budi.
“Eh…..Bapak, sudah selesai rapatnya,Pak?” tanya Irma.
“Sudah."
“Terus bagaimana hasilnya?” tanya Irma penasaran.
“Keputusannya kamu harus membereskan barang-barang kamu, " jawab Budi dengan memasang wajh serius.
“Kok saya sih, Pak? Apa salah saya?” tanya Irma kebingungan terlihat matanya sudah berair.
“Salah kamu, kenapa kamu memilih untuk tetap menjadi sekretaris saya," jawab Budi dengan tenang.
“Tapi bukan berarti saya dipecat, " Irma terisak menangis.
“Astaga Irma…….Siapa yang pecat kamu? Kamu tetap jadi sekretaris saya."
Kepala Budi benar-benar mau pecah rasanya melihat kelakuan Irma.
“Terus kenapa saya disuruh membereskan barang-barang saya?” tanya Irma dengan polosnya.
“Kalau kamu tetap di sini nanti saya susah jika ada perlu sama kamu."
Budi masuk kedalam ruangannya. Ia harus mengerjakan dulu pekerjaannya setelah itu baru bersiap-siap untuk pindah ruangan.
“Bapak mau pindah ruangan, ya Pak?”
“Iya."
“Kemana?”tanya Irma kepo.
“Belum tahu, Pak Heru yang sedang mengatur ruangannya," kata Budi sambil menyalakan komputer.
“Oh…iya Irma, nanti akan ada asisten untuk saya. Jadi kamu nanti ada yang bantu pekerjaan kamu. Tapi…..”
“Tapi apa, Pak?” tanya Irma penasaran.
“Jangan kamu ajak ngegosip."
“Siaplah, Pak. Lagi pula asisten biasanya laki-laki mana bisa diajak ngegosip. "
“Sudah sana sudah waktunya istirahat. Kamu makan siang dulu."
“Bapak ngak istirahat?"
“Nanti, tanggung selesaikan pekerjaan dulu. Lagi pula belum adzan dzuhur."
“Saya makan dulu, ya Pak."
“Ya," jawab Budi yang fokus ke layar computer.
********
Poppy sedang memandangi foto suaminya di ponselnya. Sambil mengusap perutnya yang
sedikit membuncit air matanya terus saja mengalir. Semenjak suaminya meninggal
dunia, hidupnya terasa hampa. Setiap hari waktunya hanya dihabiskan dengan
berdiam diri di kamar memandangi foto suaminya. Hal ini membuat orang tua,
mertua dan kakaknya menjadi cemas. Iva adik iparnya sering mengajaknya jalan-jalan,
tapi sering ditolaknya dengan alasan sakit kepala. Bagaimana tidak sakit kepala
karena hampir setiap hari kerjanya hanya menangis.
Tapi tadi pagi mertuanya datang, mereka hendak berangkat ke Singapura menghadiri undangan dari temannya.
“Poppy, jika ada waktu luang cobalah main ke resto. Tidak usah lama-lama sebentar saja, cukup hanya lihat-lihat saja atau sekedar makan siang di resto. Ajak teman-temanmu, mereka belum pernah menyicipi makanan di resto milikmu, kan?“
“Hotel dan resto itu sekarang sudah menjadi milikmu, Papih dan Mamih tidak akan ikut campur. Kami cukup hanya mengawasi saja untuk memastikan kalau hotel dan resto masih beroperasi dengan baik."
Keesokan harinya Poppy memantapkan diri untuk pergi ke Rangga’s Hotel & Resto.
Bagaimanapun juga Rangga’s Hotel & Resto adalah peninggalan suaminya untuk dirinya dan anaknya. Dia tidak harus datang pagi, toh tidak ada yang memarahinya jika ia masuk siang.
“Selamat siang, Bu”, sapa Nia petugas resepsionis ketika melihat kedatangannya.
“Siang, Nia."
Poppy berjalan menuju ruangannya. Reva sekretarisnya tidak mengetahui kedatangannya. Eva sedang sibuk membereskan berkas-berkas yang
menumpuk di meja.
“Selamat siang, Reva.," sapa Poppy.
Reva yang sedang sibuk tiba-tiba kaget mendengar suara Poppy,
“Selamat siang, Bu."
“Sedang sibuk?”
“Tidak, Bu hanya membereskan meja."
“Silahkan diteruskan kerjanya," kata Poppy sambil berjalan menuju ruangannya.
“Ibu mau minum apa?”
“Air putih aja. Adakan airnya di dalam?”
“Ada, Bu. Selalu disediakan."
“Terima Kasih."
Poppy membuka pintu ruang kerja alm suaminya, ruangan itu nampak rapih dan bersih. Ia menghampiri meja kerja suaminya diatas meja terdapat 2 bingkai foto, satu foto ia bersama dengan suaminya dan satu lagi
foto hasil USG kandungannya. Poppy tersenyum melihat hasil USG terbingkai
dengan rapih.
Ia teringat betapa bahagianya Kang Rangga ketika ia memperlihatkan hasil testpack menunjukan strip 2. Bahkan Kang Rangga mengratiskan seluruh karyawannya
makan di resto. Dan ia mengundang anak yatim untuk makan bersama di resto miliknya.
Tapi sekarang semua tinggallah kenangan, Kang Rangga suaminya sudah berpulang ke rohmatulloh meninggalkan ia dan bayi dalam kandungannya. Sekarang sudah waktunya ia harus berjuang sendiri membesarkan anaknya dan meneruskan usaha suaminya.
.
.
.
.
Hai, reader.....
Terima kasih karena masih menyimak cerita saya ini, walaupun bahasanya masih kaku.
Jangan lupa komen sebanyak mungkin ( jangan komentar yang julid, ya) dan like jangan lupa dipencet agar author semangat up.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!