NovelToon NovelToon

Pelayanku, Asha

Bab. 1 Jemuran berkibar

Pagi yang cerah. Awan-awan yang berarak mengikuti angin serasa ikut bahagia dengan suasana pagi yang indah. Burung-burung berkicau di taman depan dan belakang menambah cerianya penampakan pagi ini. Arga bangun lebih pagi dari biasanya. Dia juga sudah mandi bersih. Aroma sabun yang wangi menyeruak dari tubuh tegap dan berotot itu. Juga dari rambut hitamnya.

Semua pelayan rumah keluarga Hendarto sangat kaget saat Tuan muda mereka sudah berjalan-jalan di lorong rumah di depan kamar. Ini sangat di luar kebiasaan laki-laki muda yang masih berumur dua puluh lima tahun.

"Selamat pagi, Tuan..," Semua pelayan yang saat itu melakukan rutinitas pagi menyapa. Arga hanya mengangguk pelan. Pikirannya sedang memikirkan hal lain sejak tadi malam.

Aku yakin, aku bisa menemukannya. Jelas sekali tadi malam gadis itu masuk ke rumah ini. Masuk melalui pintu belakang. Dan itu menunjukkan kalau dia adalah pelayan di sini. Tapi dia pelayan bagian apa. Aku tidak begitu hapal dengan semua pelayan di rumah ini. Tapi aku yakin merasa pernah melihatnya.

Arga melangkahkan kakinya menuju ke dapur.

"Arga!" pekik nyonya Wardah kaget melihat putranya pagi-pagi sudah ada bangun. Bik Sumi juga terlihat tidak percaya dengan apa yang di lihatnya sekarang. Ini adalah hari istimewa dan keramat bagi seorang Arga.

"Bik, ini hari minggu bukan?" tanya nyonya Wardah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Iya, Nyonya. Ada apa?" Bik Sumi yang menyiapkan makanan menjadi heran.

"Tidak. Aku rasa Arga sedang keliru melihat kalender. Karena hari ini dia sudah bangun pagi." Nyonya Wardah masih memandang ke arah anak sulungnya dengan takjub. Arga tidak mempedulikan kehebohan bunda karena keberadaannya.

Pada hari minggu Arga biasanya memberi pesan jangan di ganggu dengan tanda seru banyak. Karena seminggu sudah bekerja keras di kantor. Dia ingin istirahat total

tanpa ada gangguan.Tapi pagi ini dia berada di luar kamar padahal hari minggu.

"Kamu beneran tidak apa-apa, Ga?" tanya Bunda mendekat.

"Apakah wajahku kelihatan sedang dalam masalah, Bun?" tanya Arga.

"Tidak. Wajahmu tetap tampan seperti biasanya. Tubuhmu juga tetap tegap dan bugar." Nyonya Wardah membuat gerakan tangannya mengalir dari kepala Arga sampai bawah. Seolah mempersembahkan puteranya yang sangat mempesona kepada pemirsa.

"Kalau begitu apa yang perlu di khawatirkan?" tanya Arga tanpa malu mengaku dia memang tampan dan gagah. Narsis berat nih.

"Betul. Bunda tidak perlu khawatir. Silahkan lanjutkan kegiatanmu dan Bunda akan melanjutkan kegiatan Bunda." Arga mengangguk. Nyonya Wardah masih memperhatikan putranya yang aneh bisa muncul pagi-pagi pada hari minggu. Bola mata Arga mengedar ke seluruh penjuru. Termasuk Rike yang kebetulan di suruh oleh Bik Sumi tak luput dari tatapan tajam pria ini.

"Kamu mencari siapa?" tanya nyonya Wardah ingin tahu.

"Tidak ada," jawab Arga singkat lalu dia pergi.

"Ada apa dengan anak itu...," gumam Nyonya Wardah.

"Apa ada yang membuat Tuan Muda kesal, Nyonya?" tanya Bik Sumi khawatir. Karena pelayan muda yang ada di dapur cemas.

"Aku tidak paham. Tapi tenang dia bukannya sedang marah kok...," Nyonya Wardah tersenyum sambil berusaha menenangkan. Beliau tahu persis putranya seperti apa. Arga tidak sedang dalam keadaan ingin memarahi seseorang. Dia hanya sedang mencari sesuatu.

"Kalau begitu ayo kita bikin makanan kesukaan Arga supaya dia bahagia." Nyonya Wardah membakar semangat para pelayan bagian dapur supaya menyala. Nyonya termasuk orang yang ceria. Jadi pelayan muda itu menjadi lebih tenang.

Arga masih berjalan menyelusuri setiap sudut ruangan. Dimana pelayan perempuan berada, kecuali tempat terlarang seperti ruang pribadi tentunya. Arga melihat keluar jendela. Melihat tukang kebun yang membersihkan kebun dan memotong dahan dahan yang sudah kering.

Enggak mungkin dia berada di kebun. Karena dia perempuan. Aku merasa pernah melihatnya, tapi dimana? Di bagian apa dia bekerja.

Arga masuk terus ke belakang. Saat ini dia sudah sampai di bagian taman belakang. Lagi-lagi taman. Tidak mungkin kan, dia bersantai di taman belakang sementara ini jam-jam pelayan semua sibuk. Sebaik-baiknya Nyonya Wardah, tidak mungkin membiarkan pelayan rumah bersantai saat jam kerja.

"Sha, semua selimut dan sprei harus di cuci  dan di jemur langsung di jemuran belakang?"

"Iya. Siap."

Terdengar perbincangan dari ruang di sana. Arga mendekat ke arah ruang laundry dengan pintu yang langsung menghadap ke luar taman. Karena ada tempat jemuran di belakang dekat taman.

Karena Arga sibuk dan pada hari minggu dia mendekam di dalam kamar, dia baru tahu ada ruang khusus laundry seperti ini. Meskipun dia Tuan muda rumah ini, tapi dia tidak mengetahui dengan jelas semua bagian dalam rumah ini. Karena ada Nyonya Wardah alias Bundanya yang mengontrol semua urusan di dalam rumah. Semuanya yang mengatur Bunda. Arga hanya perlu fokus bekerja dan bermain di luar. Arga mendekati ruangan itu.

"Ah, selamat pagi tuan muda." Seorang bibi berumur sekitar empat puluh lima tahun berdiri dan membungkuk. Melihat Tuan muda berada di ruangan itu beliau langsung membungkuk dan memberi salam.

Meskipun penasaran dengan tujuan tuan muda datang ke area laundry, tapi tidak berani bertanya. Dia menunduk dan menekuk tangan di depan. Arga memperhatikan laundry tapi tidak orang yang di carinya.

"Semua pelayan sudah ada disini?" tanya Arga

"Masih ada yang di luar Tuan. Sedang menjemur selimut dan sprei," kata Bibi itu.

"Baiklah ... Terima kasih. Silahkan bekerja lagi." Ibu tua itu mengangguk. Arga melihat ke tempat sprei dan selimut di jemur. Sepertinya memang ada orang di sana. Semilir angin menerpa semua sprei dan selimut sehingga berkibar kibar. Hari ini cuaca sangat cerah. Arga mendekat masuk ke tempat penjemuran. Masuk di antara selimut dan sprei yang berkibar-kibar karena angin.

Saat itu seseorang sedang menjemur sprei. Memeras dan menjemur dengan susah payah. Arga memperhatikan perempuan itu. Setelah selesai dia menghela nafas lega.

Hh ... Karena rambut itu di ikat cepol ke atas lehernya terlihat jenjang, sehingga keringat-keringat terlihat bercucuran melewati lehernya. Dia menyeka keringat yang bercucuran di dahi dan lehernya dengan punggung tangannya.

Itu memang dia! Perempuan itu! Arga terus memperhatikan sosok yang dirasa memang cocok dengan gambaran seorang gadis tadi malam.

Setelah beberapa menit, gadis itu baru sadar ada Arga di sana. Matanya membulat kaget kemudian menunduk dan membungkuk.

"Se-selamat pagi, tuan Muda," sapanya dengan sopan dan gugup.

Sejak kapan Tuan muda ada di situ. Kenapa aku tidak menyadari kedatangannya.

Arga memperhatikan perempuan di depannya. Memastikan sekali lagi di adalah perempuan yang tadi malam.

"Kamu siapa?"

"Saya pelayan di tempat laundry ini," jawab Asha sambil tetap menunduk.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

Kenapa tanya? Sudah jelas sekali aku sedang menjemur selimut dan sprei.

"Saya sedang menjemur selimut dan sprei Tuan."

Aku jadi paham kenapa kemarin kamu menghindari ku. Ternyata kamu adalah pelayan rumah ini.

Arga mulai menyadari. Otaknya mampu merekam dengan jelas kilasan ingatan tadi malam di lapangan basket.

"Apa yang kamu lakukan kemarin?"

Asha mendongak heran. Tapi buru-buru menunduk karena Arga menatapnya tajam.

"Maaf Tuan, saya tidak paham maksud anda."

"Bukankah kamu sedang berkeliaran di luar tadi malam," tebak Tuan muda akurat. Benar! Asha diam.

Gawatttt.

"Kenapa kamu tidak menjawab?" tanya Arga dengan tatapan matanya yang tajam. Tidak setuju kalau pertanyaannya dibiarkan tanpa ada jawaban.

"Maaf Tuan," Asha tetap menunduk.

"Jawab saja pertanyaanku. Itu benar kamu kan?" Asha cemas.

Kalau aku jawab iya apa dia marah? Tapi kalau aku tidak menjawab bukankah itu tidak sopan. Dia Tuan Muda. Majikan.

"Maaf. Saya memang keluar kemarin malam." Arga memperhatikan perempuan di depannya yang menunduk. Dia hanya memakai kaos oblong dan celana selutut, juga sandal jepit dengan tali warna kuning. Rambutnya yang panjang di cepol ke atas tanpa di sisir terlebih dahulu. Sepertinya langsung di ikat begitu aja.

"Bukankah kita bertemu kemarin?" Arga masih mengajukan pertanyaan yang sama.

"Tidak mungkin Tuan." Asha menyangkal pertemuan tadi malam. Arga memastikan lagi wajah gadis di depannya yang menunduk. Dia yakin dia adalah perempuan itu.

Saat itu Rike, pelayan yang berumur belasan tahun hendak menuju ke tempat jemuran. Ia yang sudah selesai di suruh Bik Sumi di dapur, kembali ke tempat cuci. Mendadak dia berhenti saat melihat Asha tertunduk. Lebih terkejut lagi saat melihat Tuan Muda ada di depan Asha.

Tuan Muda ada disini! Aku harus pergi. Melihat mbak Asha yang menunduk seperti itu pasti ada kejadian tak bagus. Kabur. Selamatkan diri...

Pelan-pelan Rike melangkahkan kaki dan pergi meninggalkan sekeranjang sprei yang belum di jemur.

_____

...Baca novel yang lain juga ya ......

Bab. 2 Dia tadi malam

Arga teringat lagi kejadian tadi malam, yang membuatnya sampai harus bangun pagi-pagi dan mencari seseorang itu.

Duk! Duk!

Asha mendribble bola lalu menghindari dua penghadang dan ... Shoot!! Bola masuk ke keranjang.

"Bagus Sha!!" teriak Andre kegirangan. Asha mengangkat kedua alisnya. Seperti berkata 'itu sudah biasa'. Lalu dia tersenyum senang.

"Tos dulu." Andre memberikan lima jarinya. Asha menerimanya. Tap! Andre tertawa bangga dapat partner main basket seperti Asha.

"Eh, stop dulu. Capek," kata Deni.

"Alasan kau, Den. Bilang aja nyerah!" Andre tidak terima. Deni tidak menggubris ejekan Andre Lalu merebahkan tubuhnya di lantai lapangan basket begitu aja karena memang lagi capek.

"Selesai nih?" tanya Cakra.

"Ya berhenti dah. Deni capek," kata Asha sambil ikutan duduk di sebelah Deni yang rebahan.

"Sha, jangan berhenti. Kita bisa kalahin mereka lagi." Andre masih semangat.

"Udah! Aku capek! Karena tenagamu masih ada ambilin air, gih!" Asha mengibaskan tangannya menyuruh Andre mengambil botol air di dekat tasnya.

"Nih," Cakra melempar botol air ke Asha lalu ke Deni. Dengan sigap Asha menangkapnya

"Kapan kamu mengambilnya?" tanya Asha heran.

"Kamu ribut sama Andre jadi enggak liat aku kesana." Asha manggut-manggut. Ponsel di tangan Cakra berdering.

"Halo ...," sapa Cakra menerima panggilan telepon itu. lalu dia berjalan agak menjauh sambil terus menjawab telepon. Deni malah menutup matanya di lantai. Andre ikutan merebahkan tubuhnya disana. Asha berdiri mendekati tasnya yang ada di pinggir lap. Tangannya mencari-cari handphone di dalam tas.

20.22 wib.

Kurang 1 jam-an lagi harus pulang.

"Sha. Aku keluar bentar!" teriak Cakra, Asha mengangkat tangan tanda oke. Lalu Cakra keluar. Malam ini mereka berempat lagi main basket di lapangan basket tempat sekolah dulu. Cakra yang merupakan anak kepala sekolah, meminta ijin ke satpam untuk meminjam lapangan basket.

Sebelum Cakra keluar dari gedung sekolah, muncul seseorang. Asha mendelik melihat siapa yang datang. Segera Asha meraih ranselnya dengan cepat dan bergegas pergi untuk menghindar, tapi tidak ada jalan lain selain pintu yang di lewati Cakra.

Asha mendongak untuk melihat siapa yang datang sebagai tamu Cakra. Mata Asha terbelalak panik melihat lelaki itu semakin mendekat dan masuk ke Lapangan Basket. Dia muncul dengan pakaian biasa. Kaos oblong dan celana pendek. Tapi karena dasarnya adalah Tuan Muda, dia terlihat mencolok di antara yang lain. Walaupun tidak sering bertemu dengan anak majikannya itu, Asha pernah bertemu sekitar dua kali.

Bagaimana bisa ada Tuan Muda disini?

Asha hendak kabur, tidak mungkin. Lapangan basket outdoor ini hanya punya satu pintu. Yaitu pintu di belakang Lelaki itu. Dia di temani Rendra Sekretaris setianya. Begitu yang di dengar dari Bik Sumi.

"Hai," Cakra menyapa dengan santai saat menyambut Tuan Muda.

"Hai. Gimana klub basketmu?" tanya laki-laki itu setengah mengejek karena Cakra sangat menyukai basket. Cakra tertawa mendengar ejekan si Tuan Muda.

"Lancar ... Gimana kalau kita main-main sebentar. Mumpung kamu ada di sini. Jarang jarang melihat tuan muda ini muncul." Cakra menepuk dada Tuan Muda pelan

"Aku hanya melihat-lihat. Ajak sekretaris ku Rendra saja." Arga menolak.

"Ayolah Ga ... Teman lama ngajak main jangan di tolak," kata Cakra merajuk. Sekretaris Ren, diam. Tentu saja dia diam bagaimana mungkin dia menolak perintah tuannya. Arga juga diam. Sebenarnya dia malas bergerak hari ini.

"Baiklah ...," kata Arga malas.

"Sha!" Panggil Cakra membuat Asha meringis kesel. Aduh! Asha diam. Pura-pura tidak dengar.

"Ngapain di situ?" tanya Cakra. Asha berdiri di pojok sambil bawa ransel. "Kok bawa ransel? Kamu sudah mau pulang?" tanya Cakra lagi.

"Iya." Akhirnya Asha membalikkan tubuhnya sambil menunduk.

"Ga, kenalin temenku ...," Cakra mencoba memperkenalkan. Laki-laki bernama Arga menatap Asha lurus. Merasa pernah lihat.

"Kenapa Ga?" tanya Cakra heran. Arga diam, "Kamu kenal sama dia?"

"Tidak." Arga menjawabnya dengan yakin. Asha diam saja.

"Kenalin gih ...," Arga mengulurkan tangannya. Dengan ragu Asha menyambut tangan besar itu.

"Arga." Kedua mata itu menatapnya tajam. Asha yakin laki-laki di depannya itu tidak akan mengetahuinya dengan segera. Tapi tetap saja Asha merasa tidak nyaman.

"A-Ash....," Asha jadi terbata karena gemetar.

"Kok jadi gagap sih?" Cakra tertawa geli. Asha melirik tajam dengan tangan masih berjabat tangan.

"Aku Asha," ujar Asha akhirnya bisa menyelesaikan kalimatnya. Lalu segera melepas tangan Arga, tapi Arga sengaja tak mau melepasnya.

"Eh?" Asha panik. Arga segera melepaskan tangan Asha saat Cakra menyenggol bahunya.

"Terima kasih, Tu..." Asha segera menutup mulutnya.

Kenapa harus berterima kasih. Dia kan salah enggak mau melepaskan tanganku. Seharusnya aku marah bukan malah berterima kasih. Bodoh! Mulut ini jadi kebiasaan.

Arga mengamatinya. Asha berpaling muka. Pura-pura ngeliat ke arah lain.

Aduh, jangan menelitiku. Iya. Aku tahu. Anda pasti mengenaliku. Anda pasti tahu ini aku. Tapi aku berharap anda tidak mengenaliku.

Walaupun sebenarnya tidak dosa aku main di sini. Tapi itu tidak mungkin bagi anda.

"Dia bisa main basket?" tanya Arga meremehkan.

Ekpresimu itu ...  Aku paham. Aku tahu. Jadi aku tidak sakit hati atau apapun. Silahkan meremehkan dan merendahkan. Itu memang anda yang mulia..

"Ya. Dia lumayan jago." Cakra bangga. Lalu dia menceritakan tentang bermain Asha di lapangan basket. Apalagi pertandingan tadi saat Asha men-shoot dengan baik dari jarak lumayan jauh.

Tidak perlu mendeskripsikan diriku sedetail itu, Cakra! Aku enggak butuh! Aku ingin pulang!

Namun karena semua sudah lelah, Arga tidak jadi main basket. Sebenarnya Arga bersyukur karena dia juga lelah habis dari kantor. Karena searah pulang ke rumah, Arga mau menerima tawaran bertemu dengan Cakra. Rendra juga akhirnya memutuskan pulang terlebih dahulu karena dapat telepon dari saudaranya.

Sebenarnya Arga membawa mobil sendiri, tapi memaksa Rendra tetap mengikutinya.

Walaupun waktu yang di tentukan masih kurang 1 jam-an, Asha ingin segera pulang. Tidak ingin berlama-lama di sini.

"Aku ..." Belum sempat Asha ngomong Cakra sudah menyela.

"Ayo kita makan dulu."

"Ada yang traktir kan?" tanya Deni.

"Tenang ... Malam ini dia khusus jadi bos kita. Dia mau mentraktir makanan." Cakra merangkul pundak Arga.

"Ookee!!" Andre berteriak semangat.

Tidak! Aku tidak harus ikut mereka. Aku harus pulang terlebih dahulu, Asha panik.

"Ca, aku bisa pulang dulu gak?" Semua langsung ngeliat Asha tajam.

"Kenapa?" tanya Cakra.

"Eee ..." Asha memutar bola matanya. "Aku tidak makan malam," jawab Asha sambil nyengir.

"Diet? Tubuh kurus begini masih diet?" Cakra gak percaya.

"Tumben. Biasanya juga makannya banyak," imbuh Andre dengan raut wajah heran yang bikin mendelik kesel. Deni mengangkat alis heran kenapa Asha kesel.

"Ee ... aku pulang aja. Kalian kan laki-laki semua tuh. Karena aku perempuan sendiri, lebih baik pulang. Kalian nikmati malam kalian berempat saja." Asha memberi pengertian dengan kalimat panjang.

"Memang biasanya kamu peduli, kalau perempuannya kamu aja?" di tanya Cakra gitu, Asha tutup mulut. Sedari tadi aja Asha sendirian dengan tiga cowok. Kok sekarang malah mau heboh soal begituan.

"Lebih baik kamu ikut," imbuh Cakra yang membuat Asha semakin diam. Hanya manggut-manggut saja.

"Tapi sebelum jam 10 aku harus pulang," kata Asha tegas seperti di sengaja. Karena dia tahu seseorang paham dengan aturan jam malam itu. Karena apa, karena ya dia sendiri yang bikin aturan seperti. 

"Dia teman apa, Ca?" tanya Asha di dalam mobil.

"Arga maksudmu?" Asha mengangguk.

"Teman main," jawab Cakra ngambang. Karena teman main itu bisa teman masa kecil. Temen main yang ketemunya sudah gede. Teman main basket. Jadi kalau main basket janjiannya sama dia.

"O.." Asha sebenarnya penasaran tapi diurungkannya.

Bisa bahaya kalau Cakra mengadu kalau aku bertanya-tanya tentangnya. Aku gak mau ada keributan di dalam 'istana'.

Mereka sampai di cafe DIC. Andre langsung semangat pesen makan dan minuman. Asha karena tahu diri, tidak ikut memesan.

"Diet beneran, Sha?" tanya Cakra. Arga melirik. Asha nyengir aja.

***

Arga menyetir mobilnya ke arah perumahan elit Argopuro. Mobilnya berhenti agak jauh dari rumah saat di lihatnya seseorang berlari-lari kecil mendekati rumah.

"Aku seperti melihat perempuan tadi," gumam Arga yakin. Tapi mengapa masuk kedalam rumahku?

Bab. 3 Bekal Makan Siang

"Arga, ayo sarapan dulu!" panggil bunda di dapur saat Arga melintas. Ayah juga sedang sarapan pagi di sana.

"Tidak," jawab Arga singkat. Tangannya sibuk mengancingkan kancing di lengan kemejanya.

"Hh ... Bunda menyodorkan banyak wanita cantik tidak pernah ada yang di pilih. Sekarang lihat lah ... Kamu memang butuh seorang pendamping." Bunda mulai membahas soal itu.

"Memangnya mengancingkan ini butuh orang lain? Aku masih bisa," kata Arga sambil menunjukkan ujung lengan bajunya ke arah bunda. Dia paham maksud bunda.

"Iya ... iya." Nyonya wardah menipiskan bibir melihat anaknya yang sedang mengancingkan lengan bajunya. Beliau berusaha mengalah.

"Tuan Muda, sekretaris Ren sudah ada di depan," kata Pak Yus memberi tahu.

"Ya. Aku akan segera keluar." lalu Pak Yus pergi.

"Bagaimana dengan program mall baru di kota Situbondo, Arga?" tanya Ayah sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut beliau.

"Proses pembangunan sudah 90%, Ayah."

"Siapa yang ada di sana?"

"Gilang."

"Dia memang mumpuni. Kamu kapan berangkat meninjaunya?"

"Lusa. Sekarang aku masih melihat perluasan lantai 2 di sini."

"O ... proyek itu ya."

"Aku berangkat," pamit Arga. Ayah dan bunda mengangguk.

"Jangan telat makan siang, Arga!" teriak Bunda mengingatkan.

"Masih saja di anggap anak kecil," kata Ayah membuat Nyonya Wardah menipiskan bibir tidak setuju dengan pendapat suaminya.

"Dia memang masih kecil, Ayah. Kalau belum menikah dia tetap anak kecil bagiku. Sulit banget sih cari istri. Dia kan anak yang tampan dan gagah."

"Sudahlah. Nanti juga dia akan menikah."

"Nanti, nanti. Nanti itu kapan?" Nyonya Wardah ngedumel. Sementara itu di luar rumah, Rendra sekretaris Arga yang cakap dalam bekerja sudah siap.

"Selamat pagi Tuan," sapa Rendra membuka pintu belakang mobil.

"Pagi." Arga menerima sapaan Rendra dan masuk ke mobil. Setelah menutup pintu, Rendra masuk ke pintu depan dan mulai menyalakan mesin. Saat itu muncul Asha di depan pintu keluar.

Arga memperhatikan perempuan itu berjalan dari pintu belakang. Dia menghampiri tukang kebun dan berbincang.

Dia!

***

"Ren, bagaimana pendapatmu tentang kriteria seorang pelayan rumah?" tanya Arga tiba-tiba saat sedang menandatangani dokumen di ruang kerja. Membahas hal lain yang tidak ada hubungannya dengan dokumen yang sedang di tanda tanganinya.

"Kriteria seorang pelayan?" Rendra berpikir. Kenapa membahas pelayan. Biasanya kalau Tuan Arga sedang membahas perekrutan pegawai pasti soal sekretaris. Tapi ini membahas pelayan rumah.

Sejak kapan Tuan ikut memikirkan urusan rumah?

"Apakah anda akan menambah pelayan lagi, Tuan?" tanya Rendra. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Direktur.

"Tidak. Jawab saja," jawab Arga pendek. Menunjukkan kalau dia tidak suka Rendra tidak menjawab pertanyaannya dan justru mengajukan pertanyaan. Rendra mendehem lirih. Menyadari kekeliruannya.

"Maaf. Kita harus tahu dulu. Dimana kita menempatkan posisinya Tuan."

"Posisi ya ...." Arga bergumam sambil berpikir.

"Jika kita butuh koki, berarti dia harus pintar memasak. Jika kita butuh tukang kebun, dia harus pandai merawat kebun dan paham cara menanam bunga misalnya," jelas Rendra. Tepat! Memang seharusnya seperti itu. Meskipun banyak pelayan rumah yang cakap akan bermacam pekerjaan. Tapi intinya kriteria pelayan itu merujuk pada posisi dan keahliannya.

"Bagaimana jika hanya di tempatkan di area laundry?"

"Laundry? Bukannya cukup dia pintar mencuci Tuan? Dan saya rasa untuk tukang cuci tidak perlu kriteria khusus. Kebanyakan orang itu bisa mencuci. Karena keahlian ini tidak perlu bersekolah khusus, Tuan." Rendra sempat mengerutkan kening samar.

"Benar. Memang seharusnya tukang cuci tidak perlu keahlian khusus. Dia cukup bisa mencuci dengan bersih, bukan? Bagaimana jika seorang tukang cuci itu mahir main basket."

"Main basket?"

Apakah tuan habis nonton film? Kenapa tukang cuci mau main basket.

"Yang saya tahu tukang cuci itu tidak pernah, bahkan tidak perlu main basket tuan. Maaf bila saya keliru." Rendra menambahkan kata maaf karena sebenarnya dia sedang menyalahkan pembicaraan Tuannya.

"Tidak kamu memang tidak keliru. Aku juga tidak pernah menemukan seorang tukang cuci mahir main basket," ujar Arga sepaham dengan kalimat Rendra. Dan Rendra bersyukur.

Sebenarnya apa yang di bicarakan Tuan Muda.

Tok! Tok!

Pintu ruangan di ketuk orang. Arga melihat tajam ke arah pintu. Raut mukanya menjadi kesal. Sepertinya dia merasa terganggu dengan suara ketukan itu. Rendra menangkap rasa kesal itu.

Kenapa Maya tidak memberi tahu kalau ada tamu. Padahal Tuan Muda sudah senang tadi. Rendra menggerutu dalam hati.

"Masuk!" teriak Rendra. Tapi tidak ada yang masuk. Tuan Muda Arga menatap tajam lagi. Rendra menggeram dalam hati dan mendekat ke pintu untuk membukakan pintu.

"Halo. Selamat siang." Seorang perempuan membungkuk memberi salam di depan pintu. Ternyata pelayan rumah keluarga Hendarto.

"Kau sendirian?" tanya sekretaris Ren celingukan.

"Iya. Tuan Muda ada di dalam?"

"Ada. Sebentar, kamu tunggu di sini. Jangan masuk, sebelum aku memanggilmu." Sekretaris Rendra memperingatkan. Pelayan itu mengangguk setuju.

"Siapa?" tanya Arga masih kesal.

"Itu ... pelayan dari rumah anda, Tuan." Seketika tangan Arga berhenti menandatangani dokumen. "Boleh saya suruh masuk?" tanya Rendra ragu.

Arga memberi kode untuk membiarkan pelayan itu masuk. Arga ingin melihat siapa yang datang menemuinya saat jam kerja begini. Apalagi pelayan perempuan. Tidak biasanya Bunda menyuruh pelayan perempuan ke kantor. Rata-rata mereka takut dan malu untuk datang ke gedung perusahaan milik keluarga Hendarto yang megah. Mungkin merasa ciut karena mereka menganggap diri mereka orang kecil.

"Masuklah!" teriak Rendra dengan nada tegas berwibawa dari dalam. Asha membuka pintu perlahan. Arga menunggu pengunjung tak di undang itu memasuki ruangan. Seorang perempuan muncul. Dia pelayan di area laundry. Orang yang di bicarakan Arga barusan. Kali ini dia memakai pakaian lebih rapi di banding saat Arga menemuinya di tempat jemuran.

"Selamat siang, Tuan." Asha membungkuk. Arga melihat perempuan itu. Tangan kanannya membawa bekal.

Hh ... pasti Bunda yang menyuruhnya.

Arga memberi tanda kepada Rendra untuk menghentikan kegiatan dulu. Rendra mengangguk.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Lalu Rendra keluar ruangan meninggalkan tumpukan dokumen di atas meja Arga. sambil melirik.ke arah Asha masih berdiri di depan pintu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Arga sambil melihat pelayan itu. Asha mengerjapkan mata bingung. "Sampai kapan kau ada di sana? Duduk!"

Segera Asha duduk di sofa. Dan meletakkan bekal di atas meja.

"Siapa nama kamu?" tanya Arga dari kursi kerjanya.

"Asha."

"Apa itu?" tanya Arga yang beranjak dari kursi kerjanya menuju sofa tempat Asha berada.

"Makan siang Tuan Muda."

"Kenapa harus di bawakan dari rumah. Aku kan bisa membelinya." Tuan Muda menggerutu seperti tidak senang. Seperti sedang memarahi Asha.

Mana saya tahu, pikir Asha dalam hati.

"Maaf tuan. Saya hanya di suruh Nyonya." Asha memberi alasan. Dia seperti di salahkan karena membawa bekal makan siang ini.

"Cepat buka!"

Hah? Asha bingung. Lalu tangan Arga menunjuk ke arah bekal makanan yang ada di atas meja.

"Oh, Baik." Asha membuka tempat makan satu persatu. Bekal itu ada tiga susun. Dimana nasi lauk dan sayur di pisah. Setelah Asha mengeluarkan semua dia mempersilahkan Tuan Muda untuk makan. Arga mulai mengambil lauk dan sayur kemudian memakannya.

Asha menunduk saja di sofanya. Dia tidak menyangka akan di suruh tetap di sana sambil menunggui Tuan Mudanya makan siang.

"Kamu pelayan di tempat cuci kan?" tanya Arga kemudian.

"Iya, Tuan," jawab Asha masih tetap menunduk. Asha ingin segera keluar dari ruangan ini.

"Kenapa mengantarkan ini?"

"Maaf Tuan. Saya tidak tahu. Saya hanya di suruh."

Selain karena gugup dan enggak percaya diri masuk ke gedung ini. Masa gak paham kalau gak ada yang mau ketemu sama kamu. Mereka pada takut. Jadi aku yang di suruh.

Asha mencibir dalam hati.

Arga sering bilang ke Bunda untuk tidak membawakan bekal ke kantor. Karena masih banyak tempat membeli makanan di sekitar kantor yang buka. Tapi tetap saja seperti ini. Kalau tidak di makan, bakal ada drama tangis menangis bunda. Walaupun drama itu sudah basi tapi Arga tidak bisa membiarkan tangisan bunda. Bisa saja Arga memberikan ke sekretarisnya tapi masa iya tega gak makan bekal yang di buat bundanya dengan susah payah. Biasanya Pak Yus tukang kebun yang di suruh tapi tumben sekarang menyuruh pelayan baru.

"Pak Yus, kemana?"

"Saya tidak tahu Tuan." Sebenarnya Asha lihat tadi Pak Yus keluar. Kalau dia bilang Pak Yus keluar tapi tidak bisa memberitahu Pak Yus kemana, bisa-bisa dia kesal lagi. Asha menghindari itu. Makanya sengaja Asha berbohong tadi. Arga makan sambil melihat pelayan di depannya yang masih menunduk.

Beda jauh dengan yang kulihat di luar sana. Apa dia punya kepribadian ganda. Apa dia berpura-pura takut padahal enggak. Kelihatannya sih begitu... Lihatlah tubuhnya memang di tekuk. Tapi sorot matanya tetap tenang. Tubuhnya menunjukkan dia tidak lagi tertekan ataupun gugup. Dia hanya menunduk, mungkin untuk menunjukkan dia hormat kepada majikannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!