NovelToon NovelToon

MIMPI

Episode 1

Dering telepon menghentikan kesibukan Dewi membereskan kertas-kertas kerjanya. Dengan segera, ia beranjak mengangkat gagang telponnya.

“Iya, Tik, ada apa?”, kata Dewi

“Maaf, mbak Dewi, mengingatkan saja sekarang sudah pukul lima sore. Malam ini ada janji dengan dokter Pam jam tujuh di kliniknya. Sekalian, saya mau tanya, mbak Dewi mau makan apa sore ini, mumpung mas Tono, suami saya mau menjemput”, jawab Tutik sekertarisnya.

“Oke, terima kasih ya. Tolong belikan saja nasi goreng yang biasanya dan air mineral ya”, jawab Dewi

“Baik mbak Dewi, nanti saya sampaikan mas Tono”, kata Tutik menutup pembicaraannya.

Dewi menaruh gagang telponnya dan kembali menekuni kertas-kertas kerjanya. Memilah-milahkan nota-nota tagihan dan pembayaran. Lalu memisahkan nota-nota itu menurut nama toko dan mengurutkan berdasarkan tanggal transaksinya.

Dewi mengambil buku penjualan dan pembelian barang. Lalu Dewi mulai mencocokan tanggal dan jumlah nominal transaksinya. Dengan cermat dan teliti, Dewi menghitung semuanya. Dewi menandai dengan bolpoin merah setiap tanggal atau nominal yang tidak sesuai dengan nota. Ia juga menuliskan selisih angkanya di samping nominal yang tercatat dengan tinta merah.

Lembar demi lembar diselesaikannya setiap transaksi minggu lalu. Dewi mulai menyusun semua nota transaksi minggu lalu yang sudah sesuai nominalnya di map kuning, dan semua nota yang selisih dimasukkan di buku penjualan. Dewi berdiri dan mengembalikan semua data ke atas rak kerjanya.

Dewi mengambil nafas panjang dan kembali duduk di kursi kerjanya lalu mengeluarkan laptop ungu kesayangannya. Ia mulai mengecek semua transaksi rekeningnya hari ini dan mulai menghitung sisa debit yang ada. Mengingat lusa, Dewi harus segera melunasi semua tagihan kain dan membayar gaji karyawan.

Dewi mendongakkan kepalanya saat mendengar suara pintu kantornya diketuk dan dibuka perlahan oleh Tutik.

“Mbak Dewi, ini nasi gorengnya. Silahkan dinikmati selagi masih hangat”, sapa Tutik sambil meletakkan sepiring nasi goreng dan sebotol air mineral yang dipesan Dewi di meja tamu di sudut ruangan itu.

“Terima kasih Tutik. Mau pulang sekarang?”, sahut Dewi sambil menyelesaikan pekerjaannya.

“Iya mbak, Mas Tono sudah menjemput. Masih ada yang tugas lagi mbak?”, tanya Tutik.

“Tidak ada Tik, kamu pulang saja. Ohya, besok siapkan daftar gaji karyawan sebelum makan siang dan tolong sampaikan Pak Dar, tiga puluh menit lagi aku turun. Terima kasih ya Tik. Hati-hati di jalan”, jawab Dewi.

“Baik Mbak Dewi, nanti saya sampaikan Pak Dar. Berkas gaji karyawan besok pagi saya selesaikan. Mari Mbak Dewi, saya pulang duluan”, lanjut Tutik sambil menutup pintu kantor Dewi.

Dewi menutup laptop ungu kesayangannya lalu meletakkannya di laci meja kerjanya. Dewi beranjak ke meja tamu lalu duduk dan menyantap nasi goreng. Dewi menikmati setiap suap nasi gorengnya. Ia merasa setiap suap nasi goreng itu menenangkan gejolak hatinya, yang entah mulai kapan, mengganggu tidurnya. Nasi goreng menjadi sesuatu yang begitu dekat dan nikmat yang membuatnya nyaman. Tak butuh waktu yang lama sepiring nasi goreng itu telah tandas.

Dewi segera membereskan meja sudutnya dan bersiap-siap untuk pulang. Ia mengambil tas kerjanya, mematikan AC dan lampu lalu mengunci pintu kantornya. Dewi berjalan menyusuri lorong dan keluar gedung menuju tempat parkir. Ia masuk ke dalam mobilnya dan menyuruh Pak Dar untuk segera meluncur ke rumah.

Episode 2

Dewi mengenal doter Pam atas saran dokter Lea. Dokter Lea adalah dokter tulang yang merawatnya ketika kecelakan. Sejak kecelakaan itu, Dewi sering merasa ketakutan secara tiba-tiba dan pusing tanpa sebab yang jelas. Dokter Lea menganjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter Pam. Dokter Pam adalah psikolog yang handal. Ia juga sepupu dokter Lea.

Selain praktek di rumah sakit saat pagi hari, Dokter Pam juga membuka  praktek di rumahnya di malam dari hari Senin sampai hari Kamis. Untuk pelayanan di rumah, Dokter Pam hanya membatasi tiga sampai empat pasien dan itu pun harus melakukan reservasi dulu.

Dewi turun dari mobilnya dan berjalan ke tempat praktek dokter Pam. Dewi menyusuri koridor dengan santai. Ia merasa mengenal setiap sudut rumah itu, padahal baru dua kali ini Dewi datang berkonsultasi ke rumahnya. Biasanya konsultasi di rumah sakit, bersamaan dengan jadwal kunjung ke dokter Lea. Karena lengan kanannya sudah dinyatakan normal maka konsultasi dengan dokter Lea dihentikan.

Di ujung koridor itu, Dewi melihat Pak Jono, petugas pendaftaran, tersenyum melihat kedatangannya. Dengan ramah Pak Jono menyapa Dewi saat Dewi mendekatinya. “Malam Bu Dewi, sudah di tunggu Pak Dokter. Silahkan masuk saja”.

“Terima kasih Pak. Saya yang terakhir ya?”, tanya Dewi.

“Iya Bu hari ini hanya dua pasien saja”, kata Pak Jono sambil membawa berkas dan membukakan pintu untuk Dewi.

Dewi memasuki ruang praktek dokter Pam dengan perlahan dan tenang. Dewi duduk di sudut sofa dengan rasa nyaman yang sangat sejak pintu itu terbuka.

“Selamat malam Dewi, bagaimana kabarmu hari ini?”, sapa dokter Pam dengan ramah, sambil duduk di kursi dekat sofa.

“Baik dok, hari ini saya cukup nyaman”, jawab Dewi dengan tenang.

“Masih terbangun di tengah malam?” lanjut dokter Pam

“Tidak, beberapa malam terakhir tidur sangat lelap. Terima kasih, obatnya sangat ampuh”, sahut Dewi sambil tersenyum.

“Itu hanya vitamin saja kok, bukan obat tidur. Oh ya, mau minum apa? Teh atau kopi

atau jahe saja untuk menghangatkan tubuh”, tanya dokter Pam.

“Jahe saja, terima kasih”,  jawab Dewi lembut.

“Baiklah, aku akan minta Mbok Inah untuk membuatnya”, sahut dokter Pam segera sambil mengangkat gagang telepon di samping kursinya.

Dokter Pam berbicara dengan seseorang yang diteleponnya, agak lama, namun senyum mengembang di wajahnya. Bahkan tawa ringannya pun terdengar jelas oleh Dewi. Begitu akrab dan hangat pembicaraannya, meski Dewi tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

Dokter Pam berdiri lalu mengambil map dari mejanya lalu duduk di tempat semula. Ia membuka mapnya lalu mengulurkan beberapa gambar berukuran setengah folio ke tangan Dewi. Dengan senyum simpul, dokter Pam berkata, “Pilih satu yang menurutmu menarik, dam ceritakan padaku alasannya”.

Dewi menerima gambar-gambar itu dan menimbang-nimbang untuk memilih yang paling menarik hatinya. Cukup lama Dewi mengambil keputusan itu, baginya semua gambar yang ditunjukkan itu menarik hatinya. Bukan hanya bentuknya, tapi juga warnanya sangat menarik. Sampai akhirnya dia memilih satu gambar yang agak berbeda

dengan yang lain.

“Ini, aku pilih ini. Hmm menurutku gambarnya cukup unik. Warnanya tidak terlalu menyolok tapi komposisi bentuknya seperti foto dengan fokus pada bunga, jadi realitas gambar di belakangnya sebagai background saja”, jelas Dewi.

“Hanya itu saja?” tanya dokter Pam.

“Entahlah…, rasanya gambar itu tidak asing bagiku. Seperti de javu, ya… semacam itulah”, jelas Dewi.

Dokter Pam menganggukkan kepala dan mengumpulkan gambar-gambar tadi lalu memasukkannya ke dalam map. Kemudian ia mengambil beberapa gambar lain untuk diberikan kepada Dewi.

“Kalau yang ini bagaimana?, lanjut dokter Pam.

Dewi menerima gambar-gambar itu sambil mengenyitkan dahi, “Maksudnya ini bagaimana ya dok?”

“Ya…. Seperti tadi. Pilih satu yang menurutmu menarik, dam ceritakan padaku alasannya” jawab dokter Pam dengan tenang.

Dewi termangu dan bingung melihat gambar-gambar yang diberikan dokter Pam. Semua nampak sama, tidak ada yang berbeda. Semakin Dewi berusaha memilih, semakin kebingungan melandanya. Dewi mengambil nafas panjang untuk menenangkan pikirannya.

Dokter Pam dan Dewi serentak menoleh ke arah pintu saat pintu diketuk dan mulai terbuka. Mbok Inah datang membawa baki dengan dua gelas, satu gelas berisi jahe hangat dan gelas satunya berisi air lemon hangat, dan sebuah lepek yang berisi irisan gula jawa. Mbok Inah menaruh baki beserta isinya di atas meja sofa, di depan Dewi.

“Silahkan diminum Non, semoga Non Dewi masih suka dengan minuman buatan Mbok Inah”, sapa Mbok Inah dengan pandangan mata berbinar kepada Dewi  sambil mempersilahkannya.

“Iya, terima kasih”, jawab Dewi memandang Mbok Inah dengan heran dan penuh kebingungan. Bagaimana Mbok Inah bisa mengenalnya dan kata-katanya seperti menunjukkan kedekatan mereka.

“Terima kasih Mbok”, kata dokter Pam sambil membukakan pintu untuk memberi isyarat kepada Mbok Inah agar segera keluar dari ruangan itu.

Mbok Inah segera beranjak dari hadapan Dewi menuju pintu keluar. “Masih cantik seperti dulu”, bisik Mbok Inah kepada dokter Pam saat menutup pintu.

“Diminum dulu, mumpung masih hangat”, kata dokter Pam memecah kebingungan Dewi sambil mendekat ke meja tempat minuman itu diletakkan. Dokter Pam mengambil sendok teh untuk mengambil gula jawa di lepek dan memasukkannya ke dalam gelas yang berisi jahe lalu mengaduknya. Selesai mengaduk, dokter Pam meletakkan gelas itu di tangan Dewi dan memaksanya untuk minum.

Setelah Dewi meminum seteguk jahe hangatnya. Raut muka Dewi mulai mengendur perlahan-lahan. Dewi menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir. Dewi tampak lebih nyaman dan santai. Dewi meletakkan gelasnya di tempat semula

Melihat Dewi sudah lebih nyaman, dokter Pam melanjutkan sesi yang tertunda. Ia mengingatkan Dewi untuk memilih satu gambar dari beberapa gambar yang diberikannya. Dewi kembali melihat gambar-gambar bunga yang ada di meja, tiba-tiba matanya tertuju pada salah satu gambar yang diberikan dokter Pam. Tampak sekali matanya berbinar dengan senyum yang menghias di wajahnya.

“Ini Dok, ada sesuatu yang menggelitik di sini. Warnanya hanya guratan-guratan tipis, seharusnya warna unggu di mahkotanya lebih tebal supaya warna kuning pada putiknya kelihatan tajam. Dan itu membuat warna bunga ini jadi lebih cantik”, kata Dewi dengan penuh semangat.

Sementara itu dokter Pam hanya mengangguk-angguk dan tersenyum simpul mendengar penjelasan Dewi. Sorot matanya meneduh melihat antusias Dewi menjelaskan gambar yang dipilihnya. Senyampang mendengarkan penjelasan Dewi, dokter Pam mengambil gelas yang berisi air lemon, hanya dipegang saja sampai Dewi selesai bicara. Ia lalu memegang sendok dan mengambil irisan gula jawa lalu memasukkannya ke dalam gelas. Belum sempat diaduk, tiba-tiba Dewi merebut gelas itu dari tangan dokter Pam.

“Jangan, ini tdk enak diminum!”, kata Dewi.

“Dari mana Dewi tahu kalau rasanya tidak enak?”, sahut dokter Pam.

“Entahlah, tapi aku tahu itu pasti tdk enak. Bikin mual”, jelas Dewi dengan sedikit ragu lalu meletakkan gelas itu. “Maaf, aku terlalu defensive”, lanjutnya.

“Tidak apa-apa Dewi, aku tidak terkejut, hanya ingin tahu alasannya. Apakah Dewi pernah meminumnya?”, tanya dokter Pam.

“Mungkin, tapi aku tidak terlalu yakin. Rasanya aku pernah …”

Belum selesai Dewi menjelaskan kepada dokter Pam, tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang gadis kecil yang sangat cantik memakai kaos dan celana pendek berwarna biru dengan berlari memeluk dokter Pam dan menciumnya. Kehadirannya diikuti oleh dokter Lea dari belakang sambil menutup pintu.

“Terima kasih Pa, tante udah cerita soal ultahku besok Sabtu”, katanya merajuk.

“Iya sayang, Cinta masuk rumah dulu ya, papa masih ada tamu”, jawab dokter Pam.

“Maaf ko, turun dari mobil Cinta langsung ke sini. Maaf ya Dewi, Cinta udah mengganggu sesi kalian. Ayo Cinta, kita ke kamarmu. Kita coba bajunya dulu, biar dilihat opa dan oma”, kata dokter Lea sambil menggandeng Cinta ke luar ruangan.

“Da…. Papa, da…. Tante cantik. Datang ya ke ultah Cinta besok Sabtu”, kata Cinta di sela-sela langkahnya.

Dewi hanya tersenyum dan tertegun melihat Cinta. Wajah itu tak asing  baginya. Tapi entah siapa yang pernah ia temui sebelumnya. Wajahnya yang oval, rambutnya yang hitam bergelombang, dan senyum menawan yang memperlihatkan lesung pipinya. Entah mengapa, hati Dewi bergolak dan membuatnya kebingungan.

“Dewi…. Dewi….”, sapa dokter Pam.

“Iya”, jawab Dewi tergagap. Ia tersadar dari pemikirannya sendiri.

“Mau dilanjutkan sekarang atau minggu depan?”, tanya dokter Pam.

“Maaf, saya bingung. Tolong dijelaskan lagi!”, jawab Dewi.

“Dewi mau melanjutkan sesinya sekarang atau minggu depan?”, jelas dokter Pam.

“Menurut dokter bagaimana?”, tanya Dewi sedikit bimbang.

“Kalau Dewi masih bersemangat, kita lanjutkan saja. Masih ada waktu sekitar 20 menit lagi. Tapi kalau sudah agak lelah ya kita lanjutkan minggu depan saja”, jelas dokter Pam dengan hati-hati ketika melihat Dewi seperti kebingungan.

Dewi semakin bingung dan tidak dapat menjawab apapun. Wajahnya memucat, Dewi menutup matanya dan tangannya memegang kepalanya yang mulai berdenyut. Dewi merasakan pening yang semakin menajam. Lalu dokter Pam mendekatinya, duduk di depannya. Ia memegang kedua tangan Dewi dan di dekatkan ke wajah dokter Pam. Hal itu membuat Dewi membuka matanya dan berusaha menarik tangannya. Tetapi dokter Pam memegang tangan Dewi dengan erat

“Dewi… sayang, maafkan aku. Sabar ya, nanti sakitnya akan hilang”, bujuk dokter Pam dengan lembut. Dokter Pam terus menatap wajah Dewi yang menahan rasa sakit dengan sedikit cemas. Ia terus memegang tangan Dewi sampai tangan Dewi mulai mengendur. Dan berangsur-angsur rasa sakit yang mendera Dewi mulai menghilang.

“Sebaiknya Dewi pulang sekarang. Aku antar pulang ya”, kata dokter Pam.

“Tidak usah, ada Pak Dar kok”, jawab Dewi singkat.

Dokter Pam merapikan gambar-gambar yang ada di meja dan menatanya kembali ke dalam map. Ia menaruh map itu di atas meja kerjanya lalu menolong Dewi berdiri. Ia memapah Dewi keluar dari ruangan dan mengantarkannya sampai ke mobil.

“Untuk pertemuan berikutnya saya atur dulu ya. Oh ya, obatmu habis malam ini. Besok pagi setelah praktek aku antar ke kantor”, kata dokter Pam saat menutup pintu mobil Dewi. Ia juga berpesan kepada Pak Dar untuk mengantar Dewi sampai depan kamarnya. Dokter Pam menatap kepergian Dewi sampai mobil itu keluar dari gang rumahnya dengan sedikit cemas. Ia masuk ke rumah dengan lunglai.

Episode 3

Dewi menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah meminta Tutik membatalkan semua janji hari ini. Ia termenung mengingat peristiwa semalam, dalam benaknya dipenuhi banyak tanda tanya tentang pembantu perempuan dokter Pam, gadis kecil yang cantik itu, dan kata-kata yang samar-samar didengarnya saat sakit kepala menyerangnya. Dan anehnya, rasa sakit itu menghilang dengan cepat saat ia masuk ke kamarnya.

Sepertinya hal itu cukup menyita perhatiannya, sampai ia tidak menyadari kehadiran seseorang dalam kantornya. Dewi menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Begitu melihat wajahnya Dewi terhenyak, ia bangun dari sofa dan berdiri menyambutnya.

“Bapak, sugeng rawuh”, sapa Dewi kepada Pak Harto, laki-laki separuh baya yang berdiri di depannya.

“Piye kabarmu nduk cah ayu? Wes suwe kowe ora mulih ngidul, apa ora kangen karo bapak”, tanya Harto itu kepada Dewi.

“Nggih kangen tho pak, ning dereng saget mantuk. Dereng saget nyopir dewe”, jawab Dewi sambal mempersilahkan Harto, lelaki tua yang disebut bapak oleh Dewi.

“Ough ngunu tho, lha mbok ngomong apa njaluk tulung Dar, kon ngeterke. Mengko yen arep bali tak ngomong Pur, ben ngeterke mulih,” sambung Pak Harto sambil duduk di sofa dekat Dewi. “Apa ngene, aku tak mampir rene wae, suk yen ana garapan neng kene. Sisan karo ibumu. Soale, ibumu mung tokan-takon wae nganti bingung leh ku

gawe alesan”.

“Nggih pak, ngoten nggih sae,” jawab Dewi dengan takjim.

Tak lama setelah itu pintu diketuk dan muncullah Tutik dengan membawa segelas teh hangat dan sepiring gorengan.

“Sugeng siang Pakdhe, dhahar mriki tho?”, tanya Tutik sambal meletakkan gelas dan piring di meja.

“Nuwun ya Tik, ora usah repot-repot. Aku ora suwe kok, mung nginguk anak wedhok”, jawab Pak Harto.

“Ndak usah Tik, nanti makan di luar saja, sekalian mau keliling outlet kita”, jelas Dewi sambal mengedipkan mata kepada Tutik.

“Ya sudah Mbak Dewi, monggo Pak dhe,” sapa Tutik sambil keluar ruangan Dewi.

Pak Harto meminum tehnya dan mengambil tahu isi, makanan kesukaannya, lalu menggigitnya sambal mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Enak tenan, Tutik kie ya pinter tenan lho, ngerti wae senenganku. Iki tuku apa gawe dewe nduk?, tanya Pak Harto.

“Bu Dar sing ndamel Pak, sak niki masak kangge bocah-bocah”, jawab Dewi.

“Wah, saya penak yen ngunu, ora perlu jajan neng njaba”, komentar Pak Harto sambil menghabiskan tahu isi yang ada di tangannya.

“Nduk cah ayu, bapak rene iki merga ditangisi ibumu. Deweke pesen kowe suk setu arep dijak njagong neng anake koncone. Jare iki undangan special ngunu”, jelas Pak Harto kepada Dewi. “Wingi malah wes tuku sarimbitan ngunu, malah wes milih kalung sak penganggone barang kanggo kado”.

“Nggih Pak, mengke kula atur jadwal meeting kalih suplier. Benjing setu bibar kantor kula mantuk Pak”, jawab Dewi.

“Ora, ora usah mulih, wong undangane neng kene kok. Setu esuk, aku karo ibumu tak mrene, ngawa sak perangkat sing dibutuhake. Kowe tak tunggu neng omah wae, mengko mangkat bareng saka ngomah”, kata Pak Harto.

“Nggih Pak, kula manut mawon”, jawab Dewi sambil berdiri menuju meja kerjanya karena telepon berdering.

“Ya Tik, ada apa?” tanya Dewi saat mengangkat telepon.

“Mbak Dewi, ini ada Dokter Pam, katanya mau nganter obat. Mau ditemui atau tidak? Soalnya masih ada Pak Dhe di dalam”, jawab Tutik.

“Suruh masuk saja Tik, barangkali ada yang penting untuk dikatakan”, kata Dewi.

“Baik mbak, saya akan segera antarkan”, kata Tutik.

Dewi menutup teleponnya dan kembali duduk di samping Pak Harto.

“Nggih Pak, Dewi manut. Bapak kalian ibu sare wonten ndalem tho?” tanya Dewi dengan penuh harap.

“Ora nduk, sak jane aku karo ibumu wes di-booking-ke kamar, ya ning hotel sing dienggo resepsi kuwi. Dadi critane, aku karo ibumu mung methuk awakmu. Mengko Pur sing nyopir, dadi yen awakmu meh mulih ngomah ana sing ngeterke mulih. Ning yen arep melu nginep ya luwih becik”, jelas Pak Harto.

“Mekaten nggih sae Pak. Kula manut kemawon”, jawab Dewi.

Ketukan pintu membuat mereka menoleh ke arah pintu dan berhenti berbicara. Perlahan daun pintu terbuka dan muncul Tutik mengantarkan Dokter Pam. Saat Pak Harto melihat kehadiran Dokter Pam, ia terkejut dan tertawa lepas. Sementara itu Dewi terkesiap melihat perilaku bapaknya.

“We…. Ana tamu agung. Kene… lungguh kene”, sapa Pak Harto.

“Nggih Pak, matur nuwun”, jawab Dokter Pam sambil mengambil tempat untuk duduk di samping Dewi.

“Saiki wes praktek ya Pam?” tanya Pak Harto.

“Sampun Pak, wonten poliklinik RSUD. Sampun wolung taun menika”, sambung Dokter Pam.

“Lho, Bapak tepang tho kalian Dokter Pam?” tanya Dewi dengan keheranan.

“Iya nduk, mbiyen dewekke PPL ana rumah sakit mburi kecamatan kae. Pas aku lagi nggarap proyek Gedung anyar”, jelas Pak Harto dengan hati-hati.

“Ough, ngoten tho Pak”, jawab Dewi setengah bingung.

“Ya wes, aku tak bali sek. Aja lali ya nduk, setu ndang bali kerja. Tak tunggu neng omah”, pamit Pak Harto sambil beranjak meninggalkan ruangan Dewi.

“Nggih Pak”, jawab Dewi sambil melihat Pak Harto keluar dan menutup pintu. Lalu Dewi berpaling, berhadapan dengan Dokter Pam, “Maaf ya Dok, tadi masih ada bapak. Dan terima kasih sudah mau menunggu”.

“Tidak apa-apa Wi, lagi pula aku yang mau ke sini kok. Ohya, ini obat dan vitamin kamu. Untuk jadwal kunjungan berikutnya, hubungi Pak Jono saja”, kata dokter Pam.

“Terima kasih Dok, untuk tagihannya nanti akan ditransfer Tutik”, jawab Dewi.

“Gampang itu, maaf ya buat semalam. Tidak usah terlalu dipikirkan, nanti sakit kepalanya semakin tajam. Untuk undangan dari Cinta, tidak usah diperdulikan saja. Nanti aku akan cari alasan untuk itu”, kata dokter Pam.

“Iya, terima kasih. Mau minum apa Dok?” lanjut Dewi

“Tidak usah, aku ke sini mau ajak Dewi makan siang. Mumpung hari ini agak longgar dan juga kebetulan di rumah tidak ada yang masak”, kata dokter Pam.

“Kok bisa kebetulan banget sih? Beneran kebetulan atau memang disengajakan?” lanjut Dewi sambil tertawa. “Oke, saya siap-siap dulu ya”.

Dewi beranjak dari kursinya menuju meja kerjanya dan mengangkat telepon untuk menghubungi Tutik. Ia meminta Tutik untuk me-reschedule jadwalnya keliling outlet batik miliknya siang ini. Dewi mengambil tasnya dan mengeluarkan berkas kerjanya di atas meja lalu beranjak mengikuti dokter Pam.

Mereka berjalan menuju tempat parkir sambil bercengkrama dengan akrab. Dewi merasa sangat nyaman dan hangat setiap kali bercengkrama dengan dokter Pam. Terlebih saat melihat binar-binar cerah di sinar mata dokter Pam, Dewi merasa melambung. Entah rasa apa yang muncul begitu halus dan hangat. Dewi semakin bergairah saat melihat senyuman Tutik, Bu Dar, Pak Dar, dan beberapa orang yang bekerja lebih lama di sana, seolah memberi semangat bagi Dewi untuk menapak lembaran baru.

Saat duduk berdua di dalam mobil pun, Dewi merasa sangat nyaman untuk bercerita apa saja dengan dokter Pam. Rasa itu begitu kental dan sungguh menyenangkan. Tertawa, bercanda, dan berbagi cerita dengan bebas dan lepas. Seperti melepaskan kepenatan yang mungkin bertahun-tahun tertumpuk dalam pikiran, hati, dan jiwa. Begitu menyenangkan.

Setiap kali melihat mata teduh dokter Pam, senyum simpul, dan tawa lepasnya,  hati Dewi berbunga-bunga seperti anak remaja yang tengah jatuh cinta. Dewi mengenal rasa itu dan menikmati keindahannya meski tanpa kata-kata cinta atau sekedar rayuan mesra. Kedekatan mereka seperti telah lama terjalin, begitu dekat, begitu nyaman.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!