Angin siang menyapu helaian rambutku yang dibiarkan tergerai. Sesekali kusampirkan rambut ini ke belakang telinga agar tidak terlalu acak-acakan. Teriknya sinar matahari seakan membuat rambutku kering. Tapi untung saja ada payung besar yang menghalanginya.
Aku sedang berada di atap restoran terkenal di kota ini. Menunggu kedatangan seorang nyonya besar yang akan segera mempekerjakanku. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit karena biasa kulakukan. Tapi, cukup menantang untuk memenangkan pertempuran. Sebuah pekerjaan yang jarang digeluti oleh kaum wanita karena dipandang sebelah mata.
Aku Cecilia, usiaku genap dua puluh enam tahun bulan ini. Parasku bisa dibilang cantik dengan postur tubuh mendekati sempurna. Tinggiku berkisar 165cm dengan lekuk tubuh bak gitar spanyol. Ukuran dadaku pun di atas rata-rata, lebih besar, sintal dan menggoda. Ditambah kulit tubuhku kuning langsat bercahaya. Lelaki mana yang tidak akan tergoda melihatnya?
Pekerjaanku adalah menggoda suami orang. Terkesan murahan tapi memang itulah bidang pekerjaan yang telah lama kugeluti. Sayang rasanya jika kecantikan ini dibiarkan begitu saja. Selama bisa menghasilkan uang, kenapa tidak? Toh, pekerjaanku tidaklah sia-sia. Aku dibayar besar untuk melakukan hal ini.
Mengusir pelakor untuk mengembalikan target sasaran ke istrinya, atau bahkan menjadi penggoda seorang pria agar pria itu bercerai dengan istrinya. Tapi ini hanyalah sebatas peran, bukan sesungguhnya. Aku tidak pernah menjadikan nyata aktingku ini.
Terkadang istri dari pria itu sendiri yang mempekerjakanku. Dia menggunakan jasaku untuk memenangkan persidangan cerai dalam rumah tangganya. Apapun itu alasannya, aku tidak peduli, karena bagiku yang terpenting adalah uang. Aku hanya menjual jasa dan dibayar untuk melakukan peranku dengan baik.
"Sudah lama menunggu?"
Kulihat seorang wanita datang lalu duduk di depanku. Wanita berparas cantik dengan tampilan yang begitu modis dan juga glamor. Pakaiannya bisa terbilang seksi untuk wanita seusianya. Sepertinya wanita yang membuat janji temu denganku ini bukanlah wanita sembarangan. Dia mirip toko emas berjalan. Emas yang dipakainya begitu banyak dan besar-besar.
"Setengah jam," jawabku singkat agar terkesan elegan di matanya.
Wanita di depanku diam, tidak menanggapi. Namun, dia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas mahalnya. Tas berwarna hitam dengan merek terkenal.
"Baiklah. Kita langsung mulai saja transaksinya." Wanita itu memberikan dua lembar foto padaku.
Kulihat dua lembar foto yang diberikan olehnya lalu segera kuamati baik-baik. Target sasaranku kali ini tidak seperti biasanya. Dia berwajah lelaki sekali. Hidungnya mancung dengan kontur wajah yang begitu jelas. Sepertinya dia adalah tipe lelaki yang menyimpan hasrat besar.
"Ini?"
"Namanya Jackson Baldev. Dia Direktur PT Samudera Raya." Wanita itu menjawab singkat pertanyaanku.
"Bagaimana karakternya?" Aku bertanya lagi.
"Dia kurang tertarik dengan wanita."
"Lalu?"
"Selain berusaha keras, menggodanya juga perlu keberuntungan," kata wanita itu lagi.
Apa?!
Dua kalimat singkat kuterima dan berhasil membuatku menelan ludah. Sepertinya pekerjaan kali ini sedikit sulit untukku.
Bagaimana mungkin aku menggoda seorang pria yang tidak tertarik dengan wanita? Rasanya mustahil sekali.
Kulihat kembali foto yang diberikan oleh wanita ini. Satu foto target sasaranku saat bekerja dan satu lagi saat sedang berolahraga. Kuamati baik-baik lalu kutarik kesimpulan jika targetku amat berbeda dari pria-pria sebelumnya.
"Mau dipertahankan atau cerai?" tanyaku, memastikan keinginan klienku ini.
“Cerai," jawabnya dengan tegas. “Setidaknya aku dapat setengah dari kekayaannya.”
Aku mengernyitkan dahi saat mendengar jawaban dari klienku ini. Aku pikir pekerjaanku hanya mengusir wanita-wanita yang berada di dekat suaminya. Tapi nyatanya, dia malah ingin aku benar-benar menggoda suaminya.
Setengah kekayaan? Luar biasa! Baru pertama kali menghadapi kasus seperti ini. Apa aku bisa melakukan peranku dengan baik?
Aku sedikit ragu dengan pekerjaan ini. Rasanya sungguh berat untuk memenuhi apa yang klienku inginkan. Tapi sepertinya wanita bernama Nyonya Baldev ini menyadari keraguanku. Dia lalu mengeluarkan sejumlah uang ke atas meja.
"Ini uang muka dua puluh juta untukmu. Aku pernah mendengar kehebatanmu dalam pekerjaan ini. Jadi, tolong gunakan lebih banyak waktu untuk membuatnya melakukan kesalahan besar. Semakin fatal kesalahannya, kemungkinan aku menang semakin besar.” Dia menjelaskan.
Aku terdiam memikirkan kata-katanya. Rasanya dua puluh juta ini terlalu sedikit jika dibandingkan dengan pekerjaan yang akan kulakukan. Dan sepertinya dia kembali menyadari keraguan di dalam hatiku. Dia lalu menceritakan kekerasan non fisik yang pernah dilakukan target kepadanya. Alhasil, aku menimbang ulang tawarannya.
"Nyonya, aku khawatir tuan Baldev akan mengetahui tujuanku. Dan akhirnya keadaan berbalik, aku yang malah menjadi sasarannya," tukasku.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, Nona Cecilia. Jika dia sampai mengetahui hal yang sebenarnya, aku akan berdiskusi baik-baik dengannya. Jika diskusi kami gagal, maka aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke luar negeri untuk bersembunyi sementara waktu. Bagaimana?" Wanita di depanku ini berani menjamin jika pekerjaanku tidak akan menimbulkan efek ke depannya.
"Em, baiklah. Aku akan berusaha memenuhi apa yang Nyonya inginkan. Tapi berapa komisi yang kudapat setelah pekerjaan ini selesai?" tanyaku agar lebih bersemangat.
"Kau gadis yang pintar, Nona." Dia tersenyum menyeringai kepadaku. "Aku sudah menyiapkan perjanjiannya. Bacalah ini." Nyonya Baldev menyerahkan amplop berisi perjanjian kerja kami.
Kulihat perjanjian itu dan seketika aku terperangah sendiri. Namun, sebisa mungkin kututupi.
Apa?! Satu milyar?!!
Aku terperangah melihat nominal yang akan diberikannya jika pekerjaanku ini selesai. Kubaca baik-baik sebelum akhirnya memutuskan untuk menandatanganinya. Seketika itu juga semangat menggelora di jiwaku. Tak lain karena uang satu milyar akan segera menjadi milikku.
"Baiklah. Beri aku waktu tiga bulan. Aku akan menyerahkan semua bukti yang Nyonya inginkan." Aku merasa yakin dengan diriku.
Tak tahu bagaimana ke depannya, aku coba saja dulu. Toh, tidak ada efek untukku. Berhasil atau tidak, lebih baik rencanakan matang-matang dari sekarang agar hasilnya lebih memuaskan.
"Ini identitas barumu. Selamat bekerja." Nyonya Baldev mengajak ku berjabat tangan.
Aku berdiri lalu menyambut jabatan tangannya. Transaksi hari ini berjalan dengan lancar setelah lama menunggu. Dan aku berharap hari-hari berikutnya akan semakin dimudahkan. Ini pekerjaanku dan akan kumainkan peranku dengan baik.
Sore harinya...
Aku mulai bekerja, tak ingin banyak menunda waktu. Dan kini aku mempunyai identitas baru. Seorang mahasiswi universitas ternama yang masih bersih, seputih salju. Belum pernah pacaran apalagi berhubungan intim. Rasa-rasanya identitas baruku ini amat menunjang pekerjaanku.
Kita beraksi!
Aku menyamar kembali untuk misi ini. Kukenakan wig sebahu dan kaca mata cantik untuk menutupi jati diriku yang sesungguhnya. Kupakai juga setelan seragam bisnis yang lebih pendek dan ketat, tidak seperti umumnya. Aku rasa penampilanku begitu menarik kaum pria. Semoga dengan ini bisa secepatnya menyelesaikan pekerjaanku.
Aku mencoba menelepon nomor yang diberikan Nyonya Baldev untukku. Tak lain dan tak bukan adalah target sasaranku, Tuan Jackson Baldev. Tak lama teleponku pun diangkat olehnya.
"Halo?" jawabnya.
"Selamat siang, Tuan Baldev. Saya Cecilia. Saya diundang untuk menjadi—"
"Tahu Jalan Cempaka? Temui aku di sini." Dia menyela perkataanku.
"Baik, Tu—"
Begitu singkat percakapanku. Belum sempat meneruskan kata-kata, sambungan teleponku diputus begitu saja olehnya. Dia ternyata sangat dingin, tegas, dan jutek.
Sepertinya aku mendapat lawan yang tangguh kali ini.
Kukeluarkan lipstik lalu memoleskannya di bibir. Kuhapus lagi sehingga hanya tersisa sedikit yang menempel. Aku tidak boleh sembarangan menghadapi pria seperti ini. Karena pria seperti ini bukanlah mangsa yang mudah diatasi. Aku harus senatural mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan pada dirinya.
Baiklah ....
Di bawah langit sore, aku datang ke tempat tujuan dengan mengendarai mobilku. Memarkirkannya di depan mini market yang ada di bawah gedung PT. Samudera Raya. Kubuka kaca mobilku lalu melihat sosok pria yang ada di dalam foto. Dia sedang berdiri di antara cahaya oranye dengan tampang dingin. Dia sepertinya sama sekali tidak terpengaruh dengan keramaian di sekitarnya. Jemarinya dengan santai memainkan sebuah korek api berwarna emas sehingga tak hentinya memancarkan cahaya perak.
Dia lebih menawan dari perkiraanku.
Kuamati baik-baik target sasaranku sebelum menemuinya. Kusadari jika target sasaranku kali ini mempunyai ketampanannya sendiri. Tidak bisa dibilang memukau, tapi cukup menarik di antara pria yang pernah kutangani sebelumnya.
Dia memiliki raut muram tersembunyi di antara alisnya. Sepertinya dia salah satu contoh pria yang mempunyai hasrat besar, namun tidak mudah untuk menebak isi hatinya.
Kusadari sesuatu setelah mencoba membaca karakter dari wajahnya. Ternyata targetku kali ini tidaklah mudah untuk ditangani. Tuan Baldev sepertinya sangat pandai mengontrol diri, seperti tulang yang paling sulit dikunyah.
Kuhirup udara dalam-dalam lalu keluar dari mobil. Aku segera berjalan cepat ke arahnya. Seragam bisnis hitam yang kukenakan menemani langkah kakiku. Dan akhirnya, aku sampai juga di hadapannya.
"Maaf, Tuan Baldev. Saya terlambat.” Kumulai peranku di hadapannya.
“Nggak juga, gue juga baru sampai," katanya santai.
Sontak aku terdiam mendengar responnya.
"Datang setelah atasan memang kesalahan yang tidak bisa dimaafkan." Aku berpura-pura menyesal.
"Darimana istriku mendapatkanmu?" tanyanya dengan intonasi membunuh.
Sebisa mungkin kumainkan peran ini dengan baik. Walau kusadari jika targetku kali ini sangat berbahaya, sulit ditebak dan waspada terhadap orang lain. Sekalipun suruhan istrinya sendiri, Zea Liandra. Sepertinya tingkat keberhasilan misi kali ini tidak sampai 50%.
Aku pun menjawab dengan tenang pertanyaannya. “Teman istri Anda adalah guru pembimbingku di kampus, Tuan. Dia yang memperkenalkan kami," jawabku seraya tersenyum.
Aku menjalankan peranku. Tapi, lawanku bukanlah pria yang mudah untuk ditaklukkan. Beberapa hari pertama aku sudah mencoba berbagai macam cara untuk mendekatinya. Namun nyatanya, pria itu selalu menjauh dariku.
Kuputar otak untuk mencari cara yang tepat agar dapat meluluhkan hatinya. Tak lama, kutemukan sebuah cara licik untuk menerobos dinding pertahanan targetku. Aku mendekati sekretarisnya dulu, Clara.
Wajah cantik tentu saja dimiliki oleh sekretarisnya. Tapi sepertinya dia terlalu penurut dan juga lugu. Tak tahu bagaimana karakter aslinya, kucoba saja memainkan peran. Kali-kali saja cara ini akan berhasil untuk meruntuhkan pertahanan targetku.
"Nona Clara!" Aku memanggilnya saat wanita itu menuju ruang sang direktur besar yang tak lain adalah target sasaranku, Jackson Baldev.
"Nona Cecil?" Clara melihatku dengan tatapan kaget.
"Kau ingin mengantarkan dokumen untuk tuan Jackson?" tanyaku.
"Hem, ya." Dia mengangguk.
"Biar aku saja." Segera kuambil dokumen yang dipegang olehnya.
"Hei, Nona Cecil! Anda tidak sopan merebut dokumen yang sedang saya pegang!"
Kulihat wanita berseragam bisnis hitam ini marah kepadaku. Aku sih tidak peduli, asal kutemukan cara untuk menerobos dinding pertahanan Jackson.
"Maaf, Nona Clara. Tapi aku adalah asisten pribadi tuan Jackson. Aku lebih berhak membawakan dokumen ini padanya. Ya, walaupun berasal darimu," kataku dengan intonasi memaksa.
"Kau!" Dia seperti ingin mengajak ku berkelahi.
"Nona Clara, tenanglah. Biar semua dokumen masuk aku yang mengantarkannya. Anda tidak perlu repot-repot. Karena jika menolaknya, aku bisa saja mengadukan hal ini kepada nyonya Baldev. Dan nyonya Baldev bisa meminta tuan Jackson untuk memecatmu dari perusahaan. Apa kau mau?" Aku menggertaknya.
Kulihat dia sedikit gemetar setelah mendengar gertakanku. Pada akhirnya dia menuruti apa yang kukatakan walaupun dengan amat terpaksa.
"Jangan sampai ada dokumen yang jatuh," katanya lalu pergi begitu saja.
"Tenang saja. Aku bisa diandalkan," sahutku penuh kemenangan.
Akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk meruntuhkan pertahanan Jackson. Mulai hari ini aku akan mengantarkan dokumen masuk ke ruangannya. Suka atau tidak.
...
Beberapa kali dalam sehari aku bolak-balik masuk ke ruangan bos besar. Sengaja kupasang gaya sensual di hadapannya agar dia tertarik padaku. Aku juga melepas blezer, sehingga hanya kemeja putih dan rok hitam saja yang kukenakan. Rok hitam ketat setinggi lima belas senti di atas lutut. Tentunya akan membuat bergairah siapa saja yang melihatnya. Tak terkecuali target sasaranku, Jackson.
"Kok elu lagi?”
Kata-kata itu yang kudengar setelah beberapa kali mengantarkan dokumen. Dia akhirnya menyadari jika akulah yang selalu mengantarkan dokumen untuknya. Wajahnya terlihat kaget bercampur kesal, mungkin karena bukan sekretarisnya yang mengantarkan. Tapi aku tidak peduli. Segera saja kumulai misiku di depannya.
"Anda suka baca buku luar negeri, Tuan? Saya paling suka baca tema percintaan." Aku mengawali. "Saya terpesona dengan perasaan pria barat yang membara. Mereka tidak mempermasalahkan moralitas dan tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Melakukan suatu sesuai kehendaknya dan hidup sesuai yang mereka mau."
Aku memulai misi penaklukan ini saat melihat rak buku yang ada di belakangnya. Dokumen pun sudah kuletakkan ke atas meja. Namun, targetku ternyata bukan lawan yang mudah dikalahkan. Dia hanya mengendorkan dasi dengan satu tangannya dan menjawab singkat pertanyaanku.
"Bukunya dipajang, tapi tak pernah dibaca." Dia menjawab dengan jutek.
"Benar, kah?" Aku mendekatinya. "Tapi bagaimana dengan cara pandang Anda sendiri, Tuan? Apakah sama dengan mereka?" tanyaku lagi sambil menyandarkan pinggul di samping mejanya.
Aku pikir Jackson akan bereaksi dengan penampilanku yang berani. Tapi pandanganku berubah setelah dia menanggapi ucapanku.
"Pandanganku bertentangan dengan orang barat, menurutku menahan diri adalah yang terbaik," jawabnya.
Apa?! Aku terkejut.
“Masih ada urusan?” Dia seperti menyuruhku untuk pergi.
Aku seperti kehabisan akal menghadapi targetku kali ini. Ternyata Jackson tidak bisa ditaklukkan dengan perhatian yang kuberikan. Kupikirkan lagi cara yang harus kutempuh untuk menaklukkannya. Dan kusadari jika hanya bisa selangkah demi selangkah untuk mendekatinya.
Baiklah.
Kubungkukkan sedikit tubuhku ke arahnya lalu menatap kalender digital yang ada di meja. Sedang satu tanganku memegang belakang kursinya. Kancing kemejaku secara kebetulan tergantung di ujung atas. Hanya dengan sedikit gerakan saja, kancingku bisa terlepas dengan mudah. Dan akhirnya, aku mencoba mengambil kalender digital itu dari atas meja kerjanya.
"Tuan Jackson, sebagai asisten pribadi, aku perlu memahami apa yang Anda suka dan tidak. Misalnya bagaimana selera makan Anda. Apa Anda bisa memberi tahuku?” tanyaku sambil meletakkan kembali jam digitalnya ke atas meja.
Aku pura-pura tidak tahu jika satu kancingku telah menggelinding ke dekat tangannya. Pinggul dan bokongku pun membentuk lekuk seksi, seolah-olah melilit di tubuhnya.
"Kuharap ke depannya aku bisa membuatmu sangat puas, Tuan. Seperti..." Ujung jariku seakan membelai tangan kanannya. "Seperti tangan kanan yang begitu mengerti isi hati Anda," kataku, membiarkan dia melihat belahan dadaku di depan matanya.
Dia akhirnya sedikit bereaksi. Walaupun pandangannya berhenti sekilas di hadapan belahan dadaku yang seputih salju. Tapi sepertinya, tidak ada gejolak sedikitpun dari matanya. Tidak seperti kebanyakan pria yang akan terus memandangi keindahan di depan mata.
Dia memindahkan tangannya dari dekatku. "Gue nggak punya waktu buat ngurusin lu," katanya yang membuatku seperti menemui jalan buntu.
Sial! Pria ini memang benar-benar mengajak ku berperang!
Aku tidak terima. Berulang kali mendekatinya, berulang kali juga mendapatkan penolakan. Rasa-rasanya kesabaranku ini sudah mulai habis. Aku seperti tidak mempunyai cara selain berakting sedih namun penuh harap di depannya.
“Aku bersedia mendengarkannya kapan saja saat Tuan mempunyai waktu," kataku lagi.
“Gue nggak punya waktu kapanpun. Keluar!" Dia menolakku lagi tanpa basa-basi.
Aku terdiam beberapa detik setelah dia mengusirku. Tak kusangka jika rayuanku akan gagal lagi. Benar-benar menyebalkan!
"Baik." Kurapikan ujung rokku lalu hendak keluar. Namun, bersamaan dengan itu...
"Berapa umur lu?” tanyanya, saat aku hendak keluar.
"Dua puluh enam," jawabku seraya berbalik ke arahnya, tak percaya jika dia akan menanyakannya.
"Masa-masa yang bagus," katanya, lalu kembali membuatku kesal karena acuh tak acuh padaku.
Dia benar-benar sulit ditangani. Aku belum bisa menggodanya. Tidak seperti target-targetku sebelumnya. Aku memang harus bekerja ekstra untuk menghadapi pria seperti ini.
Rasa lelah mulai melanda karena berulang kali mendapatkan penolakan. Dan akhirnya aku keluar dari ruangan menuju meja kerjaku. Tak banyak yang bisa kukabarkan kepada Nyonya Baldev tentang kemajuan pekerjaan ini.
Beberapa hari kemudian...
Hari terus berganti, aku pun terus-menerus bekerja, memainkan peranku. Kadang aku ingin menyerah karena belum juga menemukan titik temu. Jackson selalu saja menolakku berulang kali.
Telepon?!
Aku kaget saat dering telepon menyadarkanku. Dan kulihat Jackson sendirilah yang meneleponku. Segera saja kuangkat telepon darinya.
"Halo?"
"Ya, Tuan. Baik."
Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Sepertinya pepatah itulah yang tepat untuk menggambarkan hatiku sekarang. Segera kututup telepon darinya lalu membereskan meja kerjaku. Aku harus berdandan secantik mungkin sebelum menemuinya.
Ya, Jackson memintaku datang ke Hotel Royal untuk menemaninya makan malam ini. Sungguh hatiku riang bukan main. Akhirnya aku bisa memulai misi untuk mendekatinya.
Segera kupercantik diri sebelum berangkat menuju tempat bertemu kami. Aku pergi ke salon untuk mempercantik penampilanku. Kukenakan gaun dengan bagian lengan dan paha yang terbuka. Sengaja kupilih berwarna merah agar terlihat berani di matanya.
...
Setelah mempercantik diri di salon, segera kulajukan mobil menuju Hotel Royal untuk menemuinya. Di dalam perjalanan tak lupa kulaporkan kemajuan misiku ini kepada Nyonya Baldev. Tapi...
"Jangan terlalu senang dulu, Nona. Dia paling mahir mempermainkan orang dengan sikap acuh tak acuhnya." Nyonya Baldev memberi tahuku.
Seketika aku merasa sia-sia saat Nyonya Baldev memberi tahu. Padahal aku telah bersusah payah untuk mewujudkan keinginannya. Dan karena kesal tak tertahan, kubalas saja kata-katanya dengan sisa-sisa keyakinanku.
"Nyonya, suami Anda memang mahir. Tapi, aku juga sama."
Kuyakinkan dirinya jika aku pantas mendapatkan uang satu milyar itu. Kututup segera telepon lalu melajukan kembali mobilku. Tak lama aku pun tiba di hotel tujuan.
Sesampainya di hotel...
Aku bergegas keluar dari mobil setelah memarkirkannya. Lekas-lekas aku mencari di mana ruang perjamuan dengan bertanya kepada resepsionis. Akhirnya aku pun dapat segera menemukan ruangan yang kucari.
Aku harus berhasil memikat hatinya kali ini.
Aku masuk ke dalam sebuah ruangan, ruangan yang dipenuhi sajian istimewa dan anggur merah menggoda. Jackson pun melihat ke arahku dan meminta agar segera mendekatinya. Lantas saja aku berdiri di sisinya. Dia pun menawarkan minuman kepadaku.
"Maaf, Tuan. Kalau minum terlalu banyak kakiku bisa lemas," kataku padanya.
"Oh, baiklah. Tak usah minum. Berdiri saja di sini sambil menunggu perintah," katanya lagi.
"Baik." Aku mengangguk, menuruti.
Rekan-rekan bisnis di perjamuan ini membicarakan kasus akuisisi dengan target sasaranku. Sedang aku memperhatikan situasi yang ada. Rasanya mirip sekali dengan film aksi barat yang kulupa judulnya. Di mana sang asisten wanita berdiri di sisi tuannya sambil menunggu perintah.
"Hadden Junius juga mau ikut campur dalam kasus akuisisi kali ini." Salah seorang rekan bisnisnya bicara.
Kulihat dia menggoyangkan gelas anggurnya.
“Paman istriku memang tidak bisa diam, dia terlalu tamak.” Dia membalas ucapan rekan bisnisnya.
Seorang pria berkata lagi padanya. "Kita lihat saja bagaimana Presdir Jackson menekannya," kata yang lain.
"Dia bukan lawanku," jawab targetku dengan yakin.
Aku menyadari jika targetku ini memang sombong. Aku pun tersenyum menutupi rasa jijik di hati. Kulihat dia tertawa renyah hingga suara tawanya itu menarik perhatian rekan bisnisnya.
“Presdir Jackson ganti sekretaris?” tanya salah seorang rekan bisnisnya lagi.
"Oh, dia asisten pribadi yang istriku perkenalkan. Nggak pintar, nggak juga bodoh," jawabnya yang membuatku kesal mendengarnya.
Seorang pria berkata lagi padanya. “Pacar idamanku dulu sangat mirip dengan asisten Presdir Jackson.”
“Oh, ya?” Dia jadi seperti tertarik. “Siapa namamu?” tanyanya padaku yang membuatku semakin kesal.
Aku sudah dua minggu mengikutinya, tapi dia masih belum juga mengingat siapa namaku. Padahal ingatannya sangat bagus. Terkecuali memang dia tidak peduli, itu lain lagi ceritanya.
“Cecilia, yang artinya lembut dan pandai menjaga perasaan," jawabku seraya menebarkan senyuman.
Sungguh aku benar-benar kesal dengan targetku kali ini. Sudah susah ditaklukkan, ucapannya begitu pedas hingga menusuk hati. Lain kali aku tidak boleh meremehkan siapapun. Aku pikir dia sama seperti targetku sebelumnya. Tapi nyatanya, dia amat berbeda.
Setelah makan malam...
Kulihat targetku merokok setelah masuk ke dalam mobil. Suasana pun sangat sunyi saat aku duduk di sampingnya. Tak tahu apa yang dia pikirkan, aku diam sajalah. Aku tidak boleh sembarang bertindak dalam menghadapi pria seperti ini.
Harus kuakui jika dia memang mempesona.
Kulihat langit malam dan cahaya oranye menyatu, menyinari wajahnya. Asap-asap rokok pun berterbangan memenuhi mobil. Untung saja dia membuka sedikit kaca mobilnya sehingga tidak terlalu membuatku sesak. Jika tidak, pastilah aku sudah terbatuk-batuk karenanya.
Sosok targetku ini harus kuakui jika tampan dan juga dingin. Entah mengapa aku merasa sangat tertantang untuk menaklukkannya.
Selama perjamuan dia mengenakan kemeja fuchsia mencolok dengan kancing yang tidak rapi. Dan kini tulang selangkanya dicemari oleh cahaya lampu, mulutnya pun sedang menghisap setengah batang rokok. Dia tampak mempesona di tengah keheningan malam.
Aku harus memikirkan cara untuk memanfaatkan kesempatan.
“Tampan?” tanyanya tiba-tiba.
Hah? Apa?!
Tiba-tiba saja dia bertanya yang memecah lamunanku tentangnya.
“Apa yang Anda katakan, Tuan?” tanyaku memastikan.
“Gue tampan nggak?” tanyanya lagi.
Dia bertanya dengan sedikit mabuk, lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku. Matanya pun kini bertemu dengan mataku.
Jarak kami sangat dekat, bahkan aku dapat melihat sedikit rona merah di wajahnya, dari dagu hingga ke keningnya, dan juga aroma alkohol dari napasnya. Kata orang pria seperti targetku adalah pria yang ceroboh dan penyayang. Bibirnya tipis dengan bola mata persik. Tapi sepertinya, dia pengecualian. Walaupun mabuk dia tetap menjaga ketenangan yang membuat orang ketakutan.
“Tuan Jackson tampan," kataku pelan sambil menatap kedua bola matanya.
Kutatap dirinya penuh arti dengan perasaan yang tersirat dari hatiku. Dan kulihat dia memperhatikan gerak-gerik bibirku ini.
"Pakai lipstik?” tanyanya lagi.
"Em,"
“Asistenku tidak butuh itu semua.”
Belum sempat aku menjawabnya, dia sudah menyela perkataanku. Mungkin dia memang seperti itu.
“Kalau Tuan Jackson tidak suka aku memakai lipstik, maka besok aku tidak akan memakainya lagi," kataku sambil merapikan kerah kemejanya.
Dia melirik sekilas jariku yang berada di kerah kemejanya, lalu kembali bersandar ke kursi. “Kalau gue nggak suka, lu nggak bakal lakuin?” tanyanya lagi.
Aku tahu jika dia sedang memberi tahuku untuk tidak berlebihan. Aku pun memainkan peranku kembali, mencoba menggodanya dengan suara serak nan lembut.
“Hal yang dapat merugikan Tuan, tidak akan kulakukan. Sedangkan yang menguntungkan, akan aku lakukan."
Kudekatkan tubuhku ke arahnya yang bersandar di kursi mobil. Sengaja kudekatkan bibirku ke telinganya lalu meniupnya pelan. Dia pun akhirnya bereaksi, memegang lenganku ini. Kupasang saja wajah sensual dan menanti akan hal yang ingin dia lakukan selanjutnya padaku.
"Kita ke apartemenku." Dia berbicara dekat sekali dengan bibirku.
Aku mengedipkan kedua mata, memenuhi apa yang dia inginkan. Dengan segera aku mengantarkannya menuju sebuah apartemen kelas satu yang ada di kota ini. Tak tahu apa yang akan dia lakukan nanti, aku harus siap menerima segala konsekuensi dari perjanjian kerjaku sendiri.
Sesampainya di apartemen...
Aku masuk ke dalam sebuah apartemen besar yang begitu rapi dan juga bersih. Semua barang tertata rapi di tempatnya dan juga menarik pandangan untuk terus melihatnya. Aku pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kuperhatikan sekeliling untuk mencari bukti perselingkuhannya dengan wanita lain. Tapi ... aku tidak menemukannya.
Ini aneh. Dia pria yang mempunyai banyak uang dan kekuasan besar. Tapi mengapa tidak mempunyai hasrat untuk selingkuh? Bahkan di dalam kamar mandinya pun hanya ada pisau cukur dan peralatan mandi biasa. Tidak kutemukan bekas pengaman atau hal sejenisnya.
Aku mencoba menyelidiki semua sisi apartemennya untuk kujadikan bukti jika targetku ini berselingkuh. Tapi sepertinya, aku harus percaya jika memang ada pria yang bisa menahan diri walau sudah berada di puncak kesuksesannya.
Dia memang berbeda.
Kulihat dia duduk di atas sofa dengan wajah kelelahan. Aku pun segera membuka sedikit gorden jendela, tapi dia memerintahkan untuk menutupnya kembali.
Aku menurut lalu berjalan ke meja dapur, berniat menuangkan segelas air untuknya. Dia pun mendekatiku, ingin menuang sendiri.Tapi, aku segera menahannya.
"Biar aku saja, Tuan." Kucoba air minum dengan ujung bibirku lalu memberikan air minum ini kepadanya. "Tuan Jackson, air minumnya manis. Coba, deh!" pintaku sedikit manja.
Kulihat dia tersenyum, tapi tatapan matanya tetap saja dingin. "Kerjaan asisten gue juga termasuk memberi minum?” tanyanya, mematahkan usahaku.
Aku berjalan mendekatinya dengan tatapan menggoda. "Aku bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan pribadi Anda, Tuan," kataku sambil berdiri dekat sekali dengannya.
Kulihat dia melepaskan kancing kemeja dan ikat pinggangnya sendiri. Dia kemudian duduk bermalas-malasan di sofa. “Kebutuhan pria tidak bisa diatasi oleh sembarangan wanita," sahutnya.
Sesaat aku menyadari. Sebuah kalimat yang membuatku memahami bagaimana karakter targetku kali ini.
Aku harus terus berusaha. Malam ini akan kutangkap dirinya.
Aku ikut duduk di sampingnya. Jari-jariku mulai menyusup ke dalam pengait logam ikat pinggangnya. Suara gesekan halus pun terdengar dari kait logam ikat pinggang itu. Kuletakkan tanganku di atas pahanya, kubelai sedikit untuk memunculkan reaksi yang selama ini kuinginkan.
"Apa aku boleh mengatasi kebutuhan Anda, Tuan?" tanyaku, lalu membelai dadanya dengan satu jariku.
Kulihat dia terdiam dan tersenyum kecil. Bibir tipisnya seperti menyiratkan sesuatu untukku. Tetapi...
"Gue tidur dulu. Lu pulang aja sekarang!" katanya lalu beranjak pergi.
Apa?!!
Seketika hatiku remuk tak berbentuk saat mendapatkan jawaban darinya yang jauh dari harapanku. Aku sudah melakukan berbagai macam cara untuk menggoda. Tapi nyatanya, dia bukanlah lawan yang mudah untuk kukalahkan.
Sial! Kenapa pria ini sulit sekali kutangani?!
Kulihat dia pergi begitu saja lalu masuk ke dalam kamarnya. Sedang aku, ditinggal sendirian di ruang tamu.
Benar-benar menyebalkan. Baru kali ini aku menemui pria sepertinya!
Rasa frustrasi mulai melanda pikiranku. Ternyata uang satu milyar itu tidak mudah untuk kudapatkan. Aku harus bergelut dengan pria dingin sepertinya. Jika bukan karena pekerjaan, tentunya aku sudah memakinya habis-habisan.
Aku harus mencari cara lain. Kalau seperti ini terus uang satu milyar itu akan lama kudapatkan.
Kuputar otak dengan cepat agar bisa menemukan cara untuk meruntuhkan pertahanannya. Akhirnya, kuputuskan mencari kamar lain untuk beristirahat sejenak setelah lelah kerja seharian. Aku juga meninggalkan celana lace-ku di atas kasur. Sengaja kulakukan agar hasratnya terpancing saat melihat pakaian dalamku tertinggal.
Esok harinya...
Malam kulalui seorang diri. Dan kini aku sedang berjalan kembali ke apartemen targetku setelah membeli sarapan. Aku pun berpapasan dengannya saat ingin masuk ke kamar tamu. Namun tak lama, kudengar suara istrinya datang. Segera saja aku bersembunyi di balik pintu agar tidak ketahuan.
"Minggu depan ayah ulang tahun."
Kudengar istrinya berbicara dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka duduk di sofa tamu yang berseberangan.
"Hm, ya." Targetku hanya menjawab singkat.
"Aku kemari ingin mengetahui keadaanmu. Sudah lama tidak pulang ke rumah. Apa masih marah padaku?" tanya istrinya itu.
Aku sengaja membuka sedikit pintu agar bisa mendengar dan mengintip percakapan mereka. Aku ingin tahu bagaimana percakapan sepasang suami-istri ini. Dan ternyata, mereka berbicara biasa-biasa saja.
"Baiklah, aku pergi dulu."
Tak lama kulihat istri targetku beranjak pergi. Tapi saat menuju pintu, dia mundur selangkah lalu berbalik, memeluk targetku untuk berpamitan.
Sepertinya nyonya sedang merekayasa bukti jika dia baik-baik saja dengan suaminya.
“Masih nggak mau keluar?”
Setelah istrinya pergi, Jackson bertanya padaku yang masih bersembunyi di balik pintu. Aku pun segera menyadari lalu keluar dari kamar dan berjalan mendekatinya.
“Cuma perasaanmu saja. Dia tidak akan bisa menangkap basah aku berselingkuh, karena tidak ada wanita manapun yang pantas membuatku salah langkah," katanya sambil melihat ke arahku.
Aku pun mengiyakan perkataannya. “Tuan Jackson sangat mencintai nyonya. Sebagai suami Anda sangat sadar dan juga setia.” Aku menyanjungnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!