NovelToon NovelToon

Kita, Tanpa Aku

•Pernikahan

Derap langkah kaki sayup-sayup terdengar diantara alunan melodi yang mengiringi keriuhan acara. Berlari kecil melewati lorong dan beberapa orang asing dengan tangan menggenggam erat gaun pemberian sang kekasih, seulas senyum manis tak lepas tersungging dari bibir yang terpoles lipstik tipis. Meski begitu, langkah kecilnya sempat melambat kala melewati anak tangga yang melingkar indah di gedung mewah dengan dekorasi bernuansa emas dan silver.

Tok.

Tok.

Tok.

“Yuki ...,” sapa Ara dengan kepala yang menyembul dari balik pintu.

“Cantik banget kamu,” ucap Ara yang tanpa sadar sudah melangkah masuk. Tangan yang hendak menutup mulut terbuka menggantung di depan dada. Ara seakan terpesona pada aura kecantikan Yuki. Ara akui, temannya ini benar-benar memiliki aura kecantikan yang berbeda.

“Hi, Ra," senyum Yuki dengan tatapan sendu. Euphoria kebahagiaan yang tergambar jelas di garis wajah para tamu tidak terpancar pada diri Yuki.

Matanya tampak lelah dan siap mengucurkan linangan air mata kesedihan. Seketika nyeri di dada yang sekuat tenaga Yuki simpan di dasar relung hatinya mendobrak hebat. Ia tidak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba jatuh di pipi.

“Loh Mbak kok nangis??” tanya salah seorang perias dengan panik dan hampir saja menepis tangan Yuki yang hendak mengusap wajah.

“Kemasukan debu," jawab Yuki sekenanya sambil mengerjap cepat beberapa kali.

“Aduh ... Ada-ada aja sih Mbak,” gerutu sang perias dibuat mendayu, jelas ia tidak enak hati memarahi Yuki. Apalagi ketidakbahagiaan sedari tadi sudah tampak menggelayuti wajah sang pengantin.

Candaan kedua orang yang sibuk menyapukan kuas, melukis indah wajah mungil Yuki silih berganti dilontarkan untuk mencairkan suasana, namun tetap saja tidak mampu menggelitik Yuki. Memang Yuki sempat menarik sudut bibirnya, namun dalam 2 detik kemudian semuanya mental tanpa menyisakan bekas. Pikirannya melayang jauh menyusun langkah, merajut kisah dan mengoyak lembaran keterpurukan dalam angan tanpa pelita.

“Ra, sini deh,” ucap Yuki lagi sembari melambaikan tangan pada Ara tanpa menoleh. Ia masih terus menatap pantulan dirinya dari sebuah cermin. Cantik dan mempesona bagai boneka porselen, namun tampak menyedihkan di mata Yuki.

Sedangkan Ara yang sempat terpaku mulai mendekat, menggeser kursi kosong ke sisi kiri Yuki. Tidak terlalu dekat, namun juga tidak jauh, hanya cukup pas untuk mengobrol dalam intonasi lirih. Meski tetap beresiko tertangkap pendengaran orang lain.

“Apa kamu serius dengan keputusan ini?” tanya Ara sendu.

Kebahagiaan yang semula menghiasi wajah Ara lenyap, berganti pilu dan kekhawatiran. Keceriaan yang biasa menguar dari sosok cerewet Yuki menghilang, seolah tidak pernah ada sebelumnya.

“Serius,” jawab Yuki singkat diiringi senyum tipis.

Yuki tidak mampu untuk mengucapkan segala hal yang rasanya ingin ia teriakkan. Hatinya benar-benar kecewa pada keputusan yang bisa membunuh dirinya secara perlahan. Bukan kematian sebenarnya, namun hidup dalam kehampaan yang tidak lebih baik dibandingkan kematian.

“Setelah acara ini selesai, tolong temani aku dulu. Jangan langsung pulang," pinta Yuki sambil menggerakkan tangan dingin dan lembab miliknya menggenggam erat jemari Ara. Jujur saja hal itu membuat perasaan Ara semakin teriris. Ara merasa gagal sebagai teman. Ia seolah tidak berguna bagi Yuki yang selalu memberi kekuatan untuknya.

“Kamu baik-baik aja?”

“Iya.”

“Aku akan bahagia, kan?”

Sekali lagi pertanyaan Yuki menohok hati Ara. Tanpa menjawab Ara lebih memilih membalas genggaman Yuki sama eratnya. Kini Ara yakin sejatinya Yuki menolak kenyataan yang terpaksa dipilih.

Tidak ada yang tau kebahagian atau hanya luka yang tertoreh. Semua perlu dijalani agar menjadi pelajaran, meski nantinya akan ada yang disesali. Hanya perlu diingat, jangan menyerah karena rintangan itu terasa berat. Bukan membandingkan dengan kesulitan orang lain, tapi bercerminlah pada diri sendiri yang sebelumnya pernah berjuang dan menjadi pemenang.

“Pengantinnya sudah siap?” Suara asing memecah keheningan Yuki dan Ara. Membuyarkan fokus penata rias yang memasangkan ornamen terakhir pada veil di kepala Yuki.

“Sekitar 15 menit lagi tolong antar pengantin perempuannya keluar ya, Mbak?" ucapnya lagi sambil memandang jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ia memberikan senyum canggung sebelum berlalu meninggalkan ruangan yang Yuki tempati.

Seolah waktu berjalan lebih singkat, Yuki sudah melangkahkan kakinya. Menapak berat pada lantai mengkilap yang terasa berduri. Ia tersenyum kaku dengan pupil mata bergetar. Tidak pernah disangka bahwa hari ini dirinya akan berganti status, tapi hidupnya tetap seorang diri.

Sedangkan di ujung jalan yang Yuki tuju, seorang laki-laki gagah menawan dengan senyuman tidak kalah canggung sudah menanti. Mengulurkan tangan pada mempelai wanita yang sebentar lagi akan berganti status sebagai istrinya.

Kamu cantik ... Tapi sayangnya bukan kamu perempuan yang aku inginkan. Kalimat yang terucap secara sadar di lubuk hati terdalam itu terbungkus rapat dalam raut wajah bahagia yang penuh kepura-puraan.

Dalam sekejap mata semburat kebahagiaan yang tulus tampak terlukis jelas di wajah kedua orang tua mempelai. Tawa dan canda tamu-tamu yang terus berdatangan membaur dengan melodi musik yang tidak henti mengalun. Ucapan selamat dan doa terus mengucur, mengalir penuh rasa yang beraneka, namun tetap terbalut rapi dalam topeng kebahagiaan.

Tidak ketinggalan dengan gemerlap cahaya bernuansa hangat yang menghiasi atap-atap bangunan megah seolah ikut mengisi keriuhan acara. Sayangnya aura dingin justru menguar dari raga sepasang anak manusia yang baru saja resmi menjadi pasangan suami-istri.

“Tersenyumlah! Jangan seolah kamu yang paling tersiksa dengan pernikahan ini!!” Bisikan dari bibir yang tersenyum ramah itu menusuk hati. Menimbulkan rasa ngilu hingga melemahkan nadi.

Ingin rasanya membungkam bibir manis yang baru saja melontarkan kalimat menyakitkan dengan kepalan jemari lentik. Menghadiahi bogeman mentah hingga bibir itu tidak berkutik.

“Nyatanya menikah dengan kamu yang aku cintai tidak membuat aku bahagia. Untuk apa aku memaksa tersenyum?" ucap Yuki datar dengan sorot mata tajam.

"Berbohong pada semuanya hanya membuat aku lelah, lebih baik dunia menyadari bahwa aku tersiksa di sini bersama kamu.” Kilatan amarah bercampur pilu menemani untaian kalimat tajam terlontar dari bibir Yuki. Membalas nyalang dengan kalimat tidak kalah sengit yang justru ikut menyakiti dirinya sendiri.

Percayalah, Yuki ingin menangis. Menikahi sosok yang ia cintai, namun terasa bagai ditikam di ujung tebing. Yuki sudah menyerah dalam perjuangan melelahkan yang selama ini hanya terisi oleh hadirnya. Dirinya kalah, namun saat ingin menjauh pergi justru terperosok dalam kubangan pernikahan yang tidak diinginkan.

Suka atau duka? Entahlah, semoga dunia masih berbaik hati padanya, begitu pikir Yuki.

...****************...

*

*

*

Hi ... Ini adalah novel kedua setelah Aara Bukan Lara. Di sini pemeran utama kita Yuki, teman baik Aara. Untuk tau kisah manis Yuki bersama kedua sahabatnya bisa juga mengintip di novel pertama. Spoiler siapa mempelai laki-laki mungkin sudah muncul di sana.😊

Terima kasih untuk segala dukungannya dan jangan ragu memberikan saran agar aku bisa menulis lebih baik lagi.😉

Salam sayang dari Hana, si pengangguran doyan rebahan yang terjerumus menulis demi otak tak beku.😎✌

PS : Jika ada yang tergelincir ke sini karena tag "Perjodohan", mohon maaf🙏 Sudah berusaha dihapus tapi tidak bisa. Sudah pula diajukan penghapusan tag itu sejak November 2021 tapi tetap tidak hilang juga.

Perempuan Gila

“Tersiksa? Baiklah.. Akan aku perlihatkan pada dunia bagaimana kamu seharusnya tersiksa.” Berbisik lembut tepat di daun telinga Yuki, ia tidak lupa meniup pelan tengkuk Yuki yang terekspos polos. Mengantarkan sengatan aneh yang memancing darah Yuki mendidih. Yuki hanya mampu meremas gaun berwarna kuning yang membalut indah lekuk tubuhnya.

“Siksalah aku sesuka mu, karena aku akan membalas dengan beribu penyesalan di hidup kamu!!” Ancam Yuki dengan seringai tidak kalah mengerikan. Dirinya harus tetap tegar, menguatkan pilar perlawanan demi harga diri yang akan terus terinjak di masa yang akan datang.

Keduanya saling menatap lekat, menggenggam erat penuh emosi. Meski tulang jemarinya terasa remuk, Yuki tetap teguh pada keangkuhan yang sengaja dipupuknya. Ia benar-benar muak pada senyuman yang biasanya mampu menggetarkan dan menghangatkan hatinya. Kini yang tersisa hanya perih menghujam, menghunus tajam tidak kasat mata.

Yuki sudah berdarah, terluka parah dan tersiram cairan asam. Menjerit di dasar lubang sempit nan gelap dengan tangan yang terus mengais, bukan untuk kembali pada sumber kehidupan, tapi pergi semakin ke dasar. Menjauh dari segala kenyataan, ia sudah menyerah.

Yuki hanya ingin pergi dan menghilang, namun mengapa dunia merantai langkahnya? Mengapa sosok yang membenci hadirnya justru mengikat dirinya dalam tali suci pernikahan?

“Pengantin baru mesra banget dari tadi main tatap-tatapan mulu.. Bukan kontes tahan mata loh..” Celetukan tiba-tiba membuka panggung sandiwara keharmonisan pasangan baru itu dimulai. Rangkulan mesra menyambut senyum ramah sosok yang tampak menawan, namun datang seorang diri tanpa pasangan.

“Tolong jaga dan sabar dengan tingkahnya ya.. Dia memang aneh, tapi semakin lama mengenalnya kita akan tau kalau dia adalah sosok yang tulus.”

“Pasti.. Yuki sekarang IS-TRI ku.. Aku jelas akan lebih mengenal dia nantinya.” Menekan kata ‘istri’ yang justru menggelitik nyeri dada Yuki. Kalimat itu seolah ingin menegaskan bahwa Yuki miliknya. Entah mengapa ada rasa bergejolak marah kala laki-laki lain memberikan tatapan sayang pada sang istri yang nyatanya tidak diinginkannya.

“Posesif kali Bro, hahaha.. Mantap lah. Ingat ya, ibarat minum teh ya rasanya teh, jadi kalau udah punya susu jangan coba-coba minum kopi, apalagi dijadikan kopi susu, udah beda rasa sama manfaat utamanya.” Gelak tawa hambar dengan tepukan berat di bahu sang mempelai menyisakan kekehan Yuki. Jelas kalimat itu bukan hanya sebuah candaan, tapi sindiran keras.

“Bangsat!” Yuki menyeringai mendengar umpatan lirih dengan tangan terkepal dari suaminya. Iya, suami, sosok di samping Yuki yang rupanya tidak sebaik yang selama ini ia kenal adalah suaminya.

“Permisi Mbak, Mas, waktunya ganti ke baju selanjutnya.”

Menolehkan kepala ke sisi kiri, keduanya sama-sama mendapati seseorang yang baru saja menyampaikan ucapan itu. Bergegas pelan sambil memegangi gaun yang merepotkan, Yuki berdecih pada sikap tidak peka atau mungkin tidak peduli suaminya. Beruntung Yuki masih dibantu oleh staf yang sejak awal memang bertugas membantunya berganti gaun.

“Dia ganti di sini juga? Gila..!!” Seloroh Yuki tanpa sadar terdengar oleh seluruh orang di dalam ruangan yang diperuntukan untuk dirinya berganti gaun.

“Bisa kan kamu gak usah berlebihan!? Aku cuma ganti kemeja dan jas di sini.” Suara yang jelas jengah itu tidak melegakan kekesalan Yuki, justru bertambah ingin menjambak dan mencakar suaminya.

“Kamu memang cuma ganti kemeja dan jas, tapi aku nggak! Cepat ganti terus pergi sana!!” Ucap Yuki sinis.

“Mbak, saya nggak akan ganti sebelum dia keluar.” Ucap Yuki lagi, masih sinis dan ketus, melipat tangan dengan dada bergemuruh kesal. Tidak berbeda dengan lawan bicaranya yang menghentikan kegiatan mengancingkan kemeja, ia berjalan mendekati Yuki.

“Kamu tanpa sehelai benang juga gak akan buat aku tertarik.” Menyeringai, ia mundur selangkah, berdecih dan menatap remeh pada Yuki. “Standar aku tinggi dan kamu bukan tipe ku, jadi santai aja kali.”

Suasana ruangan yang hangat berubah dingin, namun tidak dengan Yuki yang tampak akan meledak. Dengan tatapan mata yang garang, Yuki mengeratkan gigi nya hingga rahang mengeras. Sepersekian detik kemudian Yuki memejamkan matanya dengan erat disertai hembusan nafas perlahan yang sangat berat.

“Ayo, Mbak. Bantu saya ganti ke gaun selanjutnya sekarang!" Ucap Yuki halus penuh perintah dengan senyum dipaksakan.

“Kita bisa berganti ke sebelah sana Mbak.” Staf perempuan itu menunjuk sebuah bilik yang berada di balik tirai. Sedari tadi ia ingin menyela perdebatan pengantin baru itu, namun cukup segan dan takut karena 2 anak manusia yang harusnya bermesraan atau sedang saling malu-malu meow malah sama-sama memancarkan aura permusuhan.

Sayangnya ucapan salah satu staf tadi terlambat dan diabaikan oleh telinga Yuki yang terlanjur tersumbat kepulan asap amarah. Yuki tanpa ragu langsung meloloskan gaun dari tubuh indahnya, memamerkan kulit mulus dengan paha terekspos sempurna.

Seperti senjata makan tuan, jakun yang naik turun kesulitan menelan saliva itu tersiksa. Di hadapannya, Yuki hanya mengenakan kemben dengan celana pendek ketat super mini berwarna krem.

Omong kosong dirinya tidak tergoda pada gadis yang tiba-tiba nyaris polos bila hanya dilirik sekilas. Dirinya masih laki-laki normal yang bisa takjub pada keindahan wujud mulus di depan matanya.

‘Nikmati aja terus sampai mata mu copot!! Munafik!!’ Cibir Yuki dalam hati dengan seringai lebar.

“Udah puas lihatnya? Mau yang ini juga?” Ujar Yuki sambil menarik turun kemben yang ia kenakan, membuang rasa malu memperlihatkan belahan dada miliknya.

Uhuk.. Uhuk..

Tindakan berani dan frontal yang Yuki lakukan secara tiba-tiba langsung menampar kesadaran seseorang hingga tersedak saliva nya sendiri. Menepuk pelan dada dan mengusap bagian depan lehernya, mata yang terpejam sebelah dengan kerutan halus di dahi menahan kerongkongan miliknya yang terasa panas dan sakit.

Sontak saja seluruh staf di dalam ruangan itu mengulum senyum menahan tawa geli. Mereka terlalu takut dikatakan lancang bila tertawa, meski sudut bibir semuanya sudah berkedut hebat.

“Perempuan gila!!” Umpatnya nyalang sambil memutar tubuh tanpa sempat menyadari Yuki yang memberi acungan jari tengah dengan mata melotot dan bibir mencebik.

‘SIALAN!! SIALAN!! SIALAN!!’ Umpatan kasar yang hanya tertahan di dalam hati benar-benar meruntuhkan harga diri. Ia tidak pernah menyangka bahwa Yuki akan membalas hinaannya dengan bertindak tidak masuk akal.

Kemeja yang sempat terkancing sempurna dengan kasar kembali terlepas. Hawa panas tiba-tiba menyerang tubuhnya. Bertahan dalam posisi membelakangi yang justru membuatnya berkelana liar, diam-diam ia kembali mengumpat.

“Maaf, Mas belum selesai.” Teriak seorang staf yang bertugas sambil berjalan cepat untuk mengejar, membawa jas yang masih tergantung dan terlindung plastik transparan.

“Udah urus perempuan itu dulu. Bisa gila satu ruangan sama dia.” Mengibaskan tangan dan membuka pintu hanya selebar tubuhnya, ia jelas sadar pada penampilan Yuki yang seharusnya tidak pantas dilihat oleh orang lain.

Sayangnya terlalu fokus mengalihkan pandangan hingga ia tidak menyadari bahwa Yuki sudah selesai berganti gaun, tinggal memoles ulang riasan wajah dan menata rambutnya. Sedangkan Yuki yang sempat dibuat marah hanya tersenyum geli menatap punggung yang menghilang di balik pintu.

“Damn it!! (Sialan!!)” Mengusap kasar wajahnya, ia menopang wajahnya yang tertunduk menggunakan telapak tangan. “Kayaknya dulu dia masih manis walaupun suka merayu. Kenapa sekarang bisa segila itu?”

“Eh, lo kenapa di sini Bang? Pengantin apaan ini acak-acakan? Belum juga malam udah amburadul.”

“Eat **** and die, man!! (Tutup mulut mu!!)” Umpatan teramat kasar kembali terlontar.

“Galak banget sih.”

“F*ck off!! (Pergi sana!!)”

“Chill out Bro..! (Santai Bang..!) Lo itu harusnya bersyukur dapat bini cantik, masih muda lagi.”

“Bersyukur lo bilang!!??” Suara yang tiba-tiba meninggi menggema di lorong yang sepi. “Kalau lo terpaksa nikah sama perempuan yang lo nggak suka, apa lo juga bakal bersyukur?”

“Selama gue yang membuat pernikahan itu terjadi, suka gak suka, gue pasti bersyukur, Bang.” Jawaban enteng membuat sosok yang baru saja bergelar suami itu tertegun.

“Lo nyindir gue?”

“Yups.” Memasukkan kedua tangan ke saku celana, laki-laki tampan itu menyandarkan punggungnya ke dinding.

“Sialan lo Bintang!!”

...****************...

*

*

*

Penasaran siapa laki-laki yang menikahi Yuki?🤔

Tunggu kelanjutannya ya..😎

*

*

(Peringatan promo novel lain terselubung 🤫)

Buat yang udah baca novel Aara Bukan Lara pasti hafal gimana sikap Yuki dan tentunya bisa menerka Hana doyan buat karakter utama (sedikit) bar-bar.🤭

*

Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk mendukung karya Hana.🥰

Terperangkap Hujan

Flashback On.

Beberapa bulan yang lalu.

Rintik hujan yang berubah menjadi guyuran memerangkap 2 anak manusia yang menggigil kedinginan. Mesin dan knalpot motor yang panas tampak berasap tipis, basah kuyup akibat mandi hujan di parkiran terbuka.

JDEERR..!!

“Astaga halakalala!!” Dimas terperanjat, meloncat kecil dan menempelkan tubuh bagian depannya pada dinding dengan mata terpejam. Kilat yang disertai sambaran petir membuat jantungnya berdebar kencang. Beruntung Dimas tidak terjatuh setelah kaki nya sempat sedikit terpleset.

“Hahahaha.. Ngomong apaan kamu Dim??” Mengusap sudut mata yang berair, Yuki terpingkal pada tingkah absurd Dimas. Ia memang sempat terkejut, namun hanya sampai tersentak, berbeda dengan Dimas yang terlihat banyak tingkah.

“Hakalala? Hakakala? Sumpah bikin ngakak, hahaha..” Memukul asal lengan Dimas yang masih membelakangi jalanan, sebelah tangan Yuki memegangi perutnya.

“Gak usah ejek-mengejek deh, aku kaget tadi.” Dengus Dimas kesal, menoyor pelan dahi Yuki.

“Hahaha.. Ya salah mu latah aneh kayak gitu. Aduh, Haha.. Sakit perut ku kebanyakan ketawa.” Kini kedua tangan Yuki sudah memegangi perutnya yang terasa kram. Tertawaan hebohnya pada Dimas yang tanpa rem membuat perut Yuki sedikit mengeras.

“Kapok!!” Ucap Dimas ketus sambil melipat tangannya.

“Jadi gimana ini kita pulangnya? Terobos aja kali ya?” Meredakan tawanya, raut wajah Yuki berubah serius. Memandang jalanan yang basah, bunga-bunga yang menunduk dan dedaunan yang bergoyang tidak jelas akibat terhantam derasnya air dari langit.

Mengusap dagu nya gusar, dahi Dimas ikut berkerut. “Di motor cuma ada satu mantel baju, Ki. Kalau mau terobos kamu aja yang pakai.”

“Besok ada kuis, gila aja kalau aku pakai mantelnya sendiri terus besok kamu gak kuliah gara-gara demam.” Tolak Yuki tidak setuju pada usulan Dimas.

“Ya harus gimana lagi?” Mendesah pasrah dan kebingungan, Dimas mendekap tas ransel yang berpindah gendongan di depan. Hari sudah menjelang malam dan hujan semakin deras diikuti terpaan angin yang cukup kencang.

“Celananya aku pakai, terus bajunya kamu, gimana?” Usul Yuki tiba-tiba dengan mata berbinar. Pikirannya seketika terang benderang layaknya mendapat cahaya senter dari seluruh penjuru.

“Cih..” Dimas berdecih dengan senyum miring. “Pakai jas hujan model apa kita berbagi kayak gitu?”

“Itu baju pakai terbalik, Dim. Jadi nanti aku bisa, tau lah kayak gimana..”

“Paham-paham, ada yang mau modus meluk aku.”

Bugh.

Bersungut sambil mencebik, Yuki masih mengepalkan tangannya hendak memukul Dimas sekali lagi. Sedangkan Dimas dengan santai mengangkat jari simbol perdamaian.

“Maaf ya, gara-gara kejar Ibu ku, kita malah jadi kayak anak ayam kedinginan gini.” Ucap Dimas sambil menatap sendu sepatunya yang sudah basah. Ada rasa sesak di dada yang tiba-tiba membuatnya kesulitan memasok oksigen ke paru-paru.

“Santai aja kali. Moga besok kita bisa bertemu Ibu mu di tempat tadi.” Ucap Yuki diiringi tepukan lembut di bahu Dimas.

“Semoga aja, Ki. Aku cuma ingin menyapa dia. Aku cuma ingin tau gimana kehidupan dia setelah menelantarkan ketiga anaknya.” Ucapan itu terlontar lewat bibir yang bergetar tipis dan lidah kelu dihiasi oleh tatapan mata nanar penuh kerinduan.

“Aku hanya mau menunjukkan kondisi Ibu ke Nita yang suka diam-diam menangis. Aku hanya butuh tau kondisi dia untuk memberitahu Nita kalau Ibu yang dia tangisi hidup lebih baik atau bahkan terpuruk setelah meninggalkan kami.” Mengepalkan kedua tangan ke sisi tubuh, Dimas benar-benar merindukan sosok Ibu yang tidak pernah menunjukan kasih sayang kepada dirinya.

Hati Dimas bertambah pilu saat membayangkan sosok adiknya, Kanita Azalea yang mulai beranjak remaja sering diam-diam terpergok sedang menangis karena merindukan sosok Ibu.

Nita yang sempat merasakan gendongan dan hadirnya sosok sang Ibu jelas lebih memiliki sedikit kenangan yang membekas, berbeda dengan si bungsu yang sama sekali belum pernah merasakan dekapan, bahkan ASI juga tidak ada setetes pun yang terecap lidahnya.

“Sabar ya Dim. Jangan mellow deh, gak pantes banget muka mu dibuat mellow.” Tutur Yuki sambil menahan perasaan ingin menangis. Bibir yang tersenyum pada Dimas berusaha memberikan kekuatan.

“Terlalu tampan sampai mellow dikit langsung disayangkan.” Ucap Dimas dengan cengiran khas yang menyebalkan.

‘Dasar temen songong!!’ Umpat Yuki dalam hati sambil memutar bola mata nya malas.

“Bukan gitu..” Suara lembut nyaris mendayu Yuki membuat Dimas mendelik kaget, ia merinding. “Muka mu yang biasa aja itu gak usah tambah dibuat mellow kalau gak mau kelihatan lebih miris.”

“Dasar pemuja good looking!!” Ucap Dimas ketus dengan tatapan sinis.

“Bukan pemuja, tapi fakta yang harus diakui tampang mu itu bi-a-sa aja.” Ucap Yuki lagi sambil mengangguk mantap dan memasang ekspresi sok sedih, mengeja penuh tekanan pada kata ‘biasa’.

“Banyak yang bilang aku ini baby face ya! Imut, unyu, awet muda, terus dikira masih bocah padahal udah umur 21 tahun.” Tukas Dimas sewot, ia tidak terima ketampanannya diremehkan.

“Bukan muka mu, tapi otak mu yang kayak bocah.”

“Cih!!” Sekali lagi Dimas hanya mampu berdecih sebal.

“Ini jadi nggak kita pulang pakai mantel kayak yang aku bilang?” Tanya Yuki mengalihkan pembicaraan sambil menggosok lengan dan telapak tangan bergantian, uap dari mulut menjadi satu-satunya sumber kehangatan instan.

“Yakin kita nggak tambah basah kuyup barengan?” Tanya Dimas sepersekian detik setelah mulai membayangkan tampilan mereka yang nekat menerobos hujan.

“Daripada kita harus ngepet di sini.”

“Mepet Yuki..” Ucap Dimas dengan suara rendah, mengkoreksi perkataan yang seharusnya Yuki ucapkan.

“Tadi aku memang bilang mepet kan?” Tanya Yuki memasang raut wajah heran.

“Bukan mepet, tadi kamu bilang ngepet.”

“Nggak kok, mepet, bukan ngepet. Telinga mu aja kali tuh yang tersumbat petir tadi.” Ucap Yuki sewot tanpa sadar bahwa memang dirinya yang salah berucap.

Wahai tuan jin, tolong munculkan Ara di tengah Yuki dan Dimas. Perdebatan itu akan terus berlanjut hingga bumi berhenti berotasi bila tidak disela oleh Ara.

Cling..

Bunyi lonceng di pintu membuat Yuki dan Dimas menoleh ke belakang, tampak ada 2 sosok menjulang tinggi yang baru saja keluar dari bangunan restoran yang sedari tadi tidak berani Yuki dan Dimas masuki. Tampak gemerlap interior mewah dan mahal hingga membuat kantong tipis kedua mahasiswa itu menjerit sebelum sempat di bawa melangkah masuk.

“Kevin…!!”

“KEVEN!! K-E-V-E-N, KEVEN!!” Suara meninggi Keven menanggapi geram panggilan salah nama itu. Bukan sekali atau sesekali lagi orang-orang sering salah memanggilnya, namun sejak kecil sudah banyak orang salah mengira namanya ‘Kevin’, meski jika ditelusuri baik ‘Kevin’ atau ‘Keven’ sekalipun memiliki makna yang cukup mirip, yaitu bisa yang terlahir mulia dan bisa pula berarti tampan.

Keven Ezequiel (Jackson Wang)

“Iya-iya, Keven. Lagian Mama lo bikin nama antimainstream juga, bikin lidah suka keseleo.” Gerutunya

“Pfft.” Yuki dan Dimas menahan semburan tawa dengan canggung. Melirik sekilas pada sosok bernama Keven yang memberi tatapan sinis tidak suka.

Secara reflek Yuki membuat bulatan dengan kelima jarinya di depan bibir, mulai berakting dengan deheman salah tingkah yang kemudian dibumbui batuk lebay abal-abal. “Khem! Uhuk..Uhuk.. Khem!!”

“Gak masuk aja Mas, Mbak? Di luar dingin loh..” Sapa sosok yang tidak diketahui namanya.

“Di sini saja Bang, kayaknya sebentar lagi teduh.” Jawab Dimas sopan sambil mengangguk sekilas dan tersenyum ramah.

BREESS..!!

Senyum canggung yang sempat merekah di bibir Dimas langsung sirna kala guyuran air hujan seakan menertawakannya. Bukannya berkurang, justru langit bertambah gelap pekat dengan selimut kabut air hujan yang memutih. Jalanan dan suara lain tampak tersamarkan oleh derasnya hujan, hanya bias cahaya lampu kendaraan yang menjadi tanda adanya keramaian.

“Yaah.. Makin deras..” Keluh Yuki sedih, bibir nya tampak memucat dengan tubuh bergetar.

“Masuk aja, di dalam hangat.” Sosok ramah itu kembali menyarankan Dimas dan Yuki untuk masuk ke dalam restoran.

Jika saja bangunan yang melindungi keduanya dari terpaan air hujan hanya sebuah rumah makan biasa, mungkin lambung Yuki dan Dimas sudah menyerah karena kekenyangan. Dompet yang hanya didominasi lembaran hijau jelas merasa minder untuk sekedar mencicipi segelas air putih, tidak mungkin juga restoran itu mau menerima gadai kartu identitas jika uang mereka kurang.

...****************...

*

*

*

Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk mendukung kisah Yuki. 🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!